17 February 2024

Pangeran Dipokusumo

 Pangeran Dipokusumo

( RM. Dipokusuma/ RM. Dipoatmaja/ Pangeran Abdul Azis )


Lahir : tahun 1815/ 1805 M

Tokoh Perang Diponegoro dan putra Pangeran Diponegoro.

Bupati Madiun ke - 17 : 1810 - 1820 M.



Orang Tua : ♂️Pangeran Diponegoro/ Raden Mas Mustahar/ Raden Mas Ontowiryo, ♀️R. Ay. Retno Madubrongto.

Saudara : ♂Raden Mas Sodewo/Raden Mas Singlon Pangeran Alip (Demang Notodirjo), ♂Raden Mas Muhammad Ngarip / Diponegoro Anom (Pangeran Abdul Majid).

Anak : ♂️Dipojono, ♀️Raden Ayu Aminah.

Wafat : ?

Makam : 9G6F+32J, Taman, Kec. Taman, Kota Madiun, Jawa Timur 63131.


Keterangan : 


R.M Dipoatmaja /R.M Dipokusumo /Pangeran Abdul Aziz (1805) Adalah putera ke dua Pangeran Diponegoro yang lahir dari ibu Retno Madubrongto pada tahun 1805. Semasa perang, Raden Mas Dipoatmojo atau Dipokusumo banyak bergerak di wilayah Gunung Kidul, Pacitan, Madiun dan Sukowati. Peperangan dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Joyokariyo di pecat, sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui. Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipokusumo dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Di Kadipaten Purwodadi Raden Dipokusumo lalu mengangkat dirinya sebagai Bupati untuk menata kembali kehidupan yang hancur setelah dikuasai Belanda. Kadipaten Purwodadi sekarang menjadi nama sebuah Desa dengan nama Desa Purwodadi. Sebuah Beteng yang melingkupi kawasan tanah seluas enam hektar saat ini masih berdiri kokoh dan dikuasai oleh para keturunannya sebagai saksi sejarah. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda. Pada akhir perang Diponegoro, Raden Mas Dipokusumo berada di Surakarta bersama keluarga kakek buyutnya dari garis ibu setelah pada tanggal 8 Januari 1830 tertangkap oleh pasukan Belanda lalu dibuang ke Ambon 1840. Di Ambon berubah nama lagi dengan menggunakan sebutan pangeran Abdul Aziz. Pada tahun 2014 dilakukan penelusuran dan penelitian yang hampir memakan waktu selama satu tahun menunjukkan adanya sebuah keluarga besar keturunan Raden Mas Dipokusumo di wilayah Magetan di bekas wilayah Kadipaten Purwodadi. 


Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap dengan cara licik pada 28 Maret 1830 di wisma Karesidenan Kedu di kota Magelang, pengikutnya tercerai berai. 


Pangeran Dipokusumo bersama Pangerang Diposakti menghindari kejaran serdadu Belanda ke arah timur. Menyusuri Kali Elo menuju hulu Kali Soti, menjelang sore Pangeran Dipokusumo tiba di permukiman peduduk.


Kedatangan kedua pengikut Pangeran Diponegoro di kawasan ini disambut kabut tebal nan gelap yang menyebabkan para serdadu Belanda kehilangan jejak.


Di permukiman penduduk yang kelak mendapat nama Dusun Gelap ini, Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diposakti memutuskan menetap.


Tolak Meriam dari Gunung Kuli


Pangeran Dipokusumo, layaknya semua pemimpin pasukan perang Pangeran Diponegoro, dikisahkan memiliki kesaktian yang mumpuni.

Bahkan jauh setelah Pangeran Dipokusumo wafat dan dimakamkan di puncak Gunung Kuli, kesaktiannya melindungi warga setempat masih bisa dirasakan.


Dari cerita turun temurun dikisahkan bahwa Belanda yang bermarkas di kota Magelang pernah menembakkan meriam ke arah Gunung Kuli.


Belanda mendapat informasi bahwa Desa Soronalan yang berada di timur Gunung Kuli dijadikan markas pejuang republik. Belanda bermaksud menggempur basis pertanahan tentara RI.  


peluru meriam yang dilontarkan dari kota Magelang hancur berkeping-keping sebelum sempat melintas di atas Gunung Kuli.


“Pada masa penjajahan setiap ada bom yang diarahkan ke sini, Gunung Kuli selalu melindungi. Bom tidak bisa melewati Gunung Kuli karena ada makam beliau (Pangeran Dipokusumo)."


Sengkarut Makam Dipokusumo


Ada dua versi kisah rakyat terkait keberadaan makam Dipokusumo di Gunung Kuli. Pendapat pertama meyakini tempat ini adalah lokasi dimakamkannya Pangeran Dipokusumo.


Kisah lain menyebutkan jika lokasi ini hanya tempat petilasan Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diposakti.


Versi kedua dikuatkan dengan keberadaan makam Dipokusumo di Kecamatan Kretek, Parangtritis Bantul dan makam Dipokusumo lainnya di Makam Taman, Madiun, Jawa Timur.


Pangeran Dipokusumo yang dikebumikan di kompleks Makam Taman, adalah Bupati Madiun periode 1810-1820. Beliau dikenal sebagai adik dari Pangeran Diponegoro.


Terkait adanya makam Pangeran Dipokusumo di Yogyakarta dan Madiun, Kepala Dusun Gelap, Rosidin berpendapat:


“Itu kan seperti sekarang ini ada Sultan Hamengku Buwono I dan seterusnya. Pangeran Dipokusumo I dan II dimana kami kurang tahu. Tapi ada makam lagi (Pangeran Dipokusumo) yang di daerah sini.”


Menurut Rosidin pernah suatu ketika pihak desa terhubung dengan pihak Kesultanan Surakarta dan Yogyakarta. Mereka meneliti keberadaan makam Pangeran Dipokusumo di Gunung Kuli.   


“Dulu pernah di-survei dari Jogja dan Solo tapi kebetulan bukan saya yang mendampingi. Hasil penelitiannya bagaimana juga belum ada tindak lanjut,” ujar Rosidin.


Perjanjian Sepreh pada tahun 1830 M


Politik devide et impera Hindia Belanda, menghasilkan sebuah Perjanjian “Perjanjian Sepreh” pada tanggal 3-4 Juli 1830 atau tanggal 12-13 bulan suro 1758 tahun Je. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang dipimpin oleh Raad Van Indie Mr.Pieter Markus, Ridder Van de Orde Van de Nederlandsche leeuw, Commisaris ter Regelling de Vorstenlanden dalam rangka mengatur daerah-daerah Mancanegara Timur Kasunanan Surakarta atau Kasultanan Yogyakarta. Pertemuan itu diikuti oleh semua bupati se-wilayah Mancanegara Wetan, pertemuan dilaksanakan di Desa Sepreh, Kabupaten Ngawi. Pada Pertemuan itu Hindia Belanda mengharuskan semua bupati Mancanegara Wetan untuk menolak kekuasaan Sultan Yogyakarta dan Susuhunan Surakarta dan harus tunduk kepada pemerintah Belanda di Batavia.


Dan akhirnya, pertemuan tersebut  menghasilkan sebuah “Perjanjian Sepreh Tahun 1830” yang ditandatangani dengan teraan-teraan cap dan bermaterai oleh 23 Bupati dari residensi Kediri dan residensi Madiun, dengan disaksikan oleh Raad Van Indie, Komisaris yang mengurus daerah-daerah Keraton serta tuan-tuan Van Lawick Van Pabst dan J.B. de Solis, residen Rembang. Berdasarkan persetujuan tersebut mulai saat itu Nederlandsch Gouverment melaksanakan pengawasan tertinggi dan menguasai daerah-daerah mancanegara.


Sejak tahun 1830 Kabupaten Magetan menjadi daerah jajahan Belanda. Pada masa itu yang menjabat Bupati Magetan adalah R.T. Sasrawinata (wafat tahun 1837). Kabupaten Magetan dipecah menjadi 7 daerah Kabupaten , yaitu :


Kabupaten Magetan I (kota) dengan Bupati R.T. Sasrawinata

Kabupaten Magetan II (Plaosan) dengan Bupati R.T. Purwawinata

Kabupaten Magetan III (Panekan) dengan Bupati R.T. Sastradipura

Kabupaten Magetan IV (Goranggareng Genengan) dengan Bupati R.T. Sasraprawiro yang berasal dari Madura.

Kabupaten Magetan V (Goranggareng Ngadirejo) dengan Bupati R.T. Sastradirya

Kabupaten Maospati (setelah ditinggalkan oleh Bupati wedana R. Ronggo Prawiradirja III), Bupatinya R.T. Yudaprawiro.

Kabupaten Purwodadi, Bupatinya R. Ngabehi Mangunprawiro (sejak tahun 1825 disebut R. Ngabehi Mangunnagara). (www.magetankab.go.id/note/161)

Pada tanggal 31 Agustus 1830, atau hampir dua bulan setelah Perjanjian Sepreh, pemerintahan Hindia Belanda mulai mengadakan penataan-penataan / pengaturan-pengaturan atas kabupaten-kabupaten yang telah berada dibawah pengwaasan dan kekuasaanya. Tentang penataan ini dapat dilihat dalam surat pemerintahan Hindia Belanda Y1.La.A.No.1, Semarang, 31 Agustus 1830, yang berisikan tentang hasil konperensi dari Gubernur Jendral dengan komisaris-komisaris yang mengurus / mengatur daerah-daerah keraton.


Dari hasil konferensi tersebut, kemudian keluar satu keputusan tentang rencana dari Pemerintah Hindia Belanda, yang antara lain menerangkan bahwa:


Pertama : Menentukan bahwa daerah mancanegara bagian timur akan terdiri dari dua residensi,  yaitu Residensi Kediri dan Residensi Madiun


Kedua             : Bahwa Residensi Madiun akan terdiri dari kabupaten-kabupaten: Magetan, Poerwodadie,  Toenggoel, Gorang-gareng, Djogorogo, Tjaruban dan kabupaten kecil di   wilayah  sekitar Madiun lainnya baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik  juga akan diatur kemudian.


Ketiga              : Bahwa Residensi Kediri akan terdiri dari kabupaten-kabupaten : Kedirie, Kertosono,  Ngandjoek, Berbek, Ngrowo(Tulungagung) dan Kalangbret. Selanjutnya dari distrik-distrik Blitar, Trenggalek, Kampak dan yang lebih ke Timur sampai dengan batas-batas dari Malang: baik batas dari kabupaten-kabupaten maupun distrik-distrik juga akan diatur kemudian.


Panglima perang Pangeran Diponegoro di daerah Magetan-Madiun-Ngawi


Pada waktu permulaan perang Diponegoro di daerah Madiun, para Bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah adalah sebagai berikut :


– Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo III ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro )


– Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul/ Wonokerto


– Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten


– Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati


– Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng


– Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagij


– Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi


Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun ada dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Ngabehi Mangunprawiro, putra Raden Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro. Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.

No comments:

Post a Comment