31 March 2013

Kota Toea Magelang - Saluran Air Kali Manggis

Saluran Air Kali Manggis

Standard
https://kotatoeamagelang.files.wordpress.com/2011/03/e76a9-7.jpg
Jika kita melewati Jalan Manggis, Kelurahan Gelangan, Kota Magelang kita akan kita bisa menjumpai salarun air yang terbuat dari beton berbentuk kotak. Saluran tersebut memanjang dan mengikuti lekuk jalan tersebut, letaknya yang lebih tinggi dari jalan menjadikan saluran ini seperti tembok yang memagari jalan tersebut.
Saluran yang oleh warga Kota Magelang dikenal dengan Kali Kotak ini merupakan salah satu  bangunan peninggalan Kolonial Belanda. Ada sebuah prasasti yang menuliskan tanggal 1 Oktober – 31 Desember 1930. Dari sumber sejarah menyebutkan tanggal tersebut merupakan tanggal direhabnya saluran tersebut sehingga terlihat seperti sekarang. Kota Magelang dahulunya merupakan daerah yang kering dan tidak bisa teraliri air seperti sekarang. Namun usai perang diponegoro Magelang sebagai Government Settlement tepatnya tahun 1830 mulai membangun saluran air untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kepentingan Belanda. Saat itu Magelang dijadikan daerah untuk mengumpulkan hasil perkebunan yang akan di bawa ke Semarang.
“Karena di Semarang ada pelabuhan, maka dijadikan kota distribusi hasil pertanian dan perkebunan. Dan Magelang menjadi salah satu untuk mengumpulkan hasil tersebut,” ujar pemerhati kota toea dari Komunitas Kota Toea Magelang.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka Pemerintah Kolonial Belanda membangun saluran air Progo Manggis (Manggis Leiding) yang melewati tiga daerah yaitu Temanggung, Kabupaten Magelang dan Kota Magelang. Saluran tersebut memanjang dari Temanggung hingga Mertoyudan Kabupaten Magelang. Sumber air dari saluran tersebut diambilkan dari Sungai Progo di Dusun Kuncen Desa Badran Kecamatan Kranggan Temanggung.
Terbentuknya Progo Manggis tersebut tidak lepas dari jasa Kyai Gejayan. Dia ditantang oleh Belanda, jika bisa mengalirkan air Sungai Progo ke Magelang, Belanda akan membeli air tersebut. Akhirnya Kyai tersebut berhasil membuat Bendung Badran sehingga air bisa mengaliri Saluran Kali Manggis dan akhirnya sampai Magelang.
“Namun Belanda tidak menepati janjinya hingga sang Kyai meninggal. Sekarang jasadnya dimakamkan di Tegalrejo Kabupaten Magelang,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan salah seorang saksi sejarah dan tokoh masyarakat yang bernama Soekimin Adiwiratmoko. Saluran Progo Manggis ini mulai dibangun 1857. Saluran ini dibangun untuk mengairi sawah di daerah Secang dan perkebunan tebu milik Belanda di Mertoyudan, Kabupaten Magelang.
“Ada juga sumber lain yang menyebutkan saluran tersebut dibangun pada 1895,” ujar Bagus
Sedangkan saluran air yang ada di Kota Magelang digunakan untuk menggelontor limbah rumah tangga dan saluran air kota (Boog Leiding) dan juga untuk menyirami taman kota. Selain itu saluran ini juga untuk mengantisipasi bencana kebakaran, karena pada masa itu mayoritas rumah milik warga terbuat dari bambu sehingga mudah terbakar.
Pada saat dibangun, saluran ini dibuat dari plat dan kerangka yang terbuat dari besi. Namun karena tidak kuat menahan arus air maka pada  tahun 1911 dilakukan renovasi. Renovasi dilakukan pada  jembatan air atau banyak orang menyebutnya talang. Renovasi dilakukan sepanjang 125 meter di Dusun Bolang, Badran Temanggung.
Menurut cerita rakyat setempat, proses pengerjaan ini dikerjakan oleh tuan Ventros seorang Belanda. Dalam pelaksanaannya kualitas sangat diperhatikan, material seperti pasir dan batu koral yang dipakai untuk bahan bligon harus dicuci tidak boleh ada kotoran sama sekali.

Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/saluran-air-kali-manggis/#more-74

Kota Toea Magelang - KTM Kembali Menggelar acara Djeladjah Saloeran Air : Kali Manggis #2

KTM Kembali Menggelar acara Djeladjah Saloeran Air : Kali Manggis #2

Standard
AGENDA KOTA TOEA MAGELANG – 23 Juli 2017
Kali Manggis, sebuah sungai buatan yang begitu berarti bagi warga Magelang. Bahkan ribuan hektar area sawah dan perkebunan di airinya.
Dengan membendung Kali Progo di wilayah Badran Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung, Kali Manggis ini mengalir hingga lebih dari 20 km. Mulai dari wilayah Dusun Badran Desa Bengkal Kec. Kranggan di Temanggung, di wilayah Secang, masuk wilayah Kota Magelang, melintasi Mertoyudan dan mengalir hingga Sawitan di Kota Mungkid.
Lalu seperti apa keadaannya kini setelah lebih dari 100 tahun “mengalir sampai jauh” ?
Ayo ikuti acara ini :
#Acara
– Nama Acara : DJELADJAH SALOERAN AIR #2 : KALI MANGGIS #2 [jalur Payaman – Bendung Badran sejauh 7,5 km]
#WAKTU
– Waktu : Minggu Wage 23 Juli 2017
– Jam Kumpul : 06.30 – Selesai
#TempatKumpul
– Tempat Kumpul : Tugu Listrik ANIEM [depan Klenteng Liong Hok Bio/depan Kantor Pos Magelang]
#KONTRIBUSI
– Kontribusi : Rp 25.000,- [fasilitas : air mineral, snack, parkir motor, makalah, makan siang, transportasi pulang]
#PENDAFTARAN
– Cara Pendaftaran : ketik KALI MANGGIS #2 [spasi] Nama Anda.
Kirim ke 0878 32 6262 69 atau daftar nama anda di bawah kolom postingan poster acara di bawah ini.
– Pendaftaran paling telat Jumat 21 Juli 2017 jam 18.00 WIB.
#NB :
1. Peserta wajib datang tepat waktu, di mohon untuk sarapan pagi terlebih dahulu.
2. Peserta wajib memakai kendaraan bermotor [motor/mobil] beserta kelengkapan berkendara [SIM, STNK, helem, dll], boleh sendirian atau berboncengan.
3. Pembayaran dilakukan saat daftar ulang peserta sebelum acara di mulai di tempat kumpul di Tugu Listrik ANIEM dari jam 06.30 – 07.30 WIB [depan Klenteng Liong Hok Bio/depan Kantor Pos Magelang].
Perincian beaya pendaftaran :
– Air mineral & snack pagi Rp 5.000,-
– Makalah Rp 1.000,-
– Parkir motor Rp 2.000,-
– Welcome drink saat finish Rp 2.000,-
– Makan siang di Badran Rp 10.000,-
– Transport dari Badran ke Payaman Rp 5.000,-
4. Peserta wajib memakai pakaian yang nyaman dan aman untuk jelajah. Pergunakan topi, kaos katun berwarna terang/muda, akan lebih baik memakai kaos lengan panjang dan memakai sepatu kets yang nyaman.
Bawalah sapu tangan atau handuk kecil untuk penyeka keringat.
5. Jelajah dilakukan dengan berjalan kaki sejauh 7,5 km menelusuri Kali Manggis dari Payaman hingga Bendung Badran di Kranggan Temanggung.
6. Jadwal kegiatan :
– Jam 06.30 – 07.30 : daftar ulang peserta
– Jam 07.45 – 08.15 : perjalanan dengan kendaraan bermotor menuju Payaman. Sudah di siapkan tempat parkir yang representatif.
– Jam 08.30 – 12.00 : perjalanan jelajah dengan berjalan kaki sejauh 7,5 km.
– Jam 12.00 – 13.00 : istirahat di Bendung Badran
– Jam 13.00- 14.00 : makan siang di Badran
– Jam 14.00 : pulang dengan transportasi yang sudah di sediakan menuju Payaman untuk ambil kendaraan masing-masing peserta.
7. Hal-hal yang belum di sampaikan akan di publikasikan kemudian.
SAVE HISTORY & HERITAGE IN MAGELANG!
Foto Ryan 'Corleone' Adhyatma.

Kota Toea Magelang - AKU KEMBALI KE RUMAHKU SETELAH 76 TAHUN BERLALU





AKU KEMBALI KE RUMAHKU SETELAH 76 TAHUN BERLALU

Standard
Kawan-kawan KOTA TOEA MAGELANG masih ingat denganku?
Iya aku Ivone Heintz, yang saat ini berada di Magelang. Aku kini tinggal di Roterdam, warga negara Belanda yang lahir di Magelang 83 tahun yang lalu. Cerita tentang hidupku sudah ku ceritakan di minggu lalu di grup ini. Semoga apa yang aku ceritakan bisa menjadi cerita menarik dari sebuah romantika kehidupanku ini.
Rabu siang ini (24/1) aku bersama Franky Heintz (adik tiriku), Robert Prayogo (keponakan, anak dari adik perempuanku, tinggal di Losmenan) dan di temani oleh Bagus berupaya mencari rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku di Botton 3 (Botton Nambangan). Dulu di rumah ini aku di asuh oleh omaku (nenek) yang bernama Catrien Heintz saat aku berumur 6 bulan hingga 7 tahun sampai tahun 1942, saat Jepang masuk ke Magelang.
Foto Bagus Priyana.
Aku dengan Franky yang menemaniku mencari rumahku di Kampung Botton Nambangan, Kota Magelang
Aku tiba di depan SMPN 1, rupanya Bagus sudah menungguku di depan gang Botton Nambangan yang kini bernama Jl. Merpati.
Suasana mendung menggelayuti langit Magelang. Terus terang hatiku merasa tidak karuan, jantungku pun terasa lebih kencang berdebar. Bagaimana tidak, saat ini aku akan mencari rumahku dulu, yang pernah ku tinggali 76 tahun yang lalu.
Aku menelusuri gang kecil yang lebarnya cuma selebar mobil saja. Aku tidak begitu ingat lagi dengan kondisi gang kecil ini.
Foto Bagus Priyana.
Foto Bagus Priyana.
Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan, tidak mampu menggugah ingatanku meski ada 1 atau 2 rumah masih terlihat keasliannya.
Bagus memberi informasi jika dulu di kampung ini banyak orang Indo yang tinggal di sini. Sehingga adakalanya ada orang keturunan Indo yang berkunjung di kampung ini.
Ah, rupanya daya memoriku kurang begitu baik untuk mengingat masa kecilku dulu. Benar-benar mampet.
Harapanku, sebelum aku kembali ke Belanda 31 Januari mendatang, aku sudah bisa menemukan rumahku dulu.
Foto Bagus Priyana.
Aku berada di simpang jalan Kampung Botton Nambangan
PENCARIAN DI KAMPUNG BOTTON
Untuk mencari rumahku yang dulu rupanya memang tidak mudah. Bukan hanya karena kondisi dulu dengan kini sudah berubah banyak, akan tetapi juga daya ingatku juga sudah menurun.
Foto Bagus Priyana.
Bagus mengajakku ke rumah Oma Mary di bilangan pojok Botton Nambangan. Oma Mary berusia 86 tahun, ayahnya seorang tentara KNIL bermarga Hinihulu. Yang mana Hinihulu ini berasal dari Flores, tetapi Oma Mary sendiri lahir di Magelang.
Saya senang bisa bertemu dengan Oma Mary, apalagi daya ingatnya juga masih baik meski ada beberapa hal yang lupa. Wajar saja karena usianya sudah lanjut
Dengan dibantu oleh keponakannya yang bernama Rita, proses komunikasi berjalan. Aku bercerita tentang hidupku yang dulu pernah tinggal di Botton Nambangan di tahun 1935 hingga 1942.
Foto Bagus Priyana.
Menemui Oma Martha [tengah] yang didampingi oleh Rita [anak Oma Marry, kanan]
Ku coba menanyakan, apakah Oma Mary ingat dengan omaku yang bernama Cristhine Heintz.
Mary mengatakan padaku jika di Botton Nambangan ini lebih banyak orang dari daerah Flores dan Timor yang dulu tinggal. Jika orang Ambon lebih banyak tinggal di Wates, sedangkan orang Menado di Ngentak.
Aku mengatakan tentang silsilah keluarga ku padanya bahwa papaku berdarah orang Eropa dan mamaku asli berdarah Jawa dan dulu tinggal di Glagah, Banjarnegoro.
Mary mengatakan sekali lagi jika tetangga nya lebih banyak orang yang berasal dari Indonesia Timur khususnya Flores dan Timor. Ku sampaikan ke Mary bahwa rumahku dulu dekat tangga yang bawahnya terdapat sebuah sungai kecil.
Haduh… Rupanya informasi dari Mary belum sepenuhnya memuaskan ku.
Mary mencoba menenangkanku agar aku berkunjung ke Oma Martha di Botton Tengah. Katanya, Oma Martha berusia sepantaran dia dan sejak lahir tinggal di Botton. Barangkali Oma Martha bisa membantu proses pencarian rumahku, begitu kata Oma Mary.
BERTEMU OMA MARTHA
Rumah Oma Martha tidak begitu jauh dari rumah Tante Mary, kira-kira berjalan 10 menit. Selama perjalanan, aku berusaha membuka memoriku tentang kampungku yang pernah ku tinggalkan 76 tahun yang lalu.
Di pojok dekat sungai kecil masih ku lihat 2 rumah lama, di sebelah dan depannya sudah bangunan baru. Yang aku ingat ada susunan tangga menurun menuju sungai (Kali Bening) di bawah. Tapi sayangnya tangga itu sudah hilang berganti dengan jalan beraspal.
Foto Bagus Priyana.
Berfoto bersama dengan Oma Martha [tengah] dan adikku Franky [kanan]
Rumah Oma Martha berada tepat di selatan Ambonsche School (kini SMPN 4), melewati sebuah gang sempit sekali. Jika berjalan berpapasan, salah seorang harus ada yang mengalah.
Rumah Oma Martha sangat asri, deretan bunga dan tanaman hias menyapa di halaman depan. Bangunannya pun juga terkesan nyaman meski berada di gang sempit.
Oma Martha bermarga/fam Sengkei, asli dari Manado tetapi lahir di Magelang tahun 1929. Suaminya bermarga Gozal. Rambut Oma Martha tampak memutih pendek, sama putihnya dengan rambutku.
Di rumah yang di tinggalinya kini merupakan rumah dari masa kecilnya hingga beranjak senja kini.
Saat bertemu dengannya, kami berbicara dengan bahasa Belanda. Wow, Oma Martha masih fasih berbicara dengan bahasa Wolanda. Rupanya Oma Martha ini dulu sekolah di Ambonsche School dari usia 6 tahun hingga 13 tahun (1935-1942) yang mana di sekolah ini memakai bahasa pengantar untuk pelajaran sekolah adalah Bahasa Belanda. Ambonsche School ini kini menjadi SMPN 4 yang terletak cuma beberapa puluh meter ke arah utara dari rumahnya.
Sungguh senang rasanya hatiku berkenalan dengannya. Di usianya yang sudah 89 tahun tampak bugar dengan memori yang masih terjaga dengan baik.
Saya ceritakan kisah hidupku dimana di masa kecilku dulu tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan). Dimana rumahku dulu ini bertetangga dengan Porteer, Boshard, Huwaij dan Groen.
Nah Groen inilah yang memiliki rumah yang ku tinggali dulu.
Oma Martha mencoba mencerna apa yang aku ceritakan dan mencoba mengingat-ingat beberapa nama yang aku sampaikan tadi. Oma Martha membenarkan jika gang sebelah barat rumahnya dulu banyak tinggal warga Indo. Dan nama-nama tetanggaku dulu juga masih di ingat dengan baik oleh Oma Martha.
Aku takjub dan sungguh beruntung bisa bertemu dengannya. Ah sungguh suatu hal yang tidak pernah ku duga jika masih ada yang memberiku sebuah harapan dan pencerahan untuk mencari jejak rumahku dulu.
Rasanya tidak sabar lagi aku ingin menuju ke rumah di masa kecilku dulu. Ingin segera menumpahkan kerinduanku. Tapi apa daya karena hujan di siang itu dan pembicaraan yang begitu hangat membuatku harus sedikit kompromi.
Sebelum pamitan, aku sempatkan untuk berfoto bersama di depan rumah dengan Oma Martha (tengah) & Franky Heints (kanan). Terima kasih banyak aku sampaikan kepada Oma Martha yang sudah membantuku. Semoga di lain waktu kita masih bisa bertemu lagi.
SETELAH 76 TAHUN BERLALU
Aku bergegas menuju ke arah yang di tunjukkan oleh Oma Martha, rasanya tidak sabar lagi aku “kembali” ke rumahku dulu. Franky, Robert & Bagus berjalan di belakangku, seolah ingin ku tinggalkan mereka. Kenapa mereka berjalan begitu lambat?
Sebuah gang kecil beraspal membujur dari timur ke barat, lebar gang sekitar 1,5 meter dengan agak menurun ke barat. Ada selokan di tiap sisinya. Ada beberapa rumah di sini tapi sayangnya sudah kehilangan keasliannya. Gang kecil ini tembus ke Botton Gang Waluyo.
Karena saking semangatnya, aku malah berjalan sedikit kebablasan melewati rumahku. Untung saja Bagus segera mengingatkanku jika kita sudah sampai di rumah yang di cari.
Duh. Terasa makin keras debaran jantungku. Aku menatap nanar sebuah rumah di kanan gang kecil ini.
Foto Bagus Priyana.
Rumah masa kecilku dulu
Sebuah rumah bergaya tradisional dengan dinding tembok menghadap ke selatan. Rumah tertutup karena pemiliknya tidak ada di rumah. Dengan pagar tembok dengan pintu besi tertutup.
Aku tertegun cukup lama, aku berusaha untuk menggali lebih dalam kepingan memoriku di masa kecilku dulu.
Rumah ini sudah jauh berubah dari saat ku tempati dulu. Tentu saja, 76 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah cerita kehidupan.
Sebuah payung yang melindungi tubuh tuaku dari guyuran gerimis, seolah menjadi saksi buatku hari ini.
Aku masih ingat, rumahku dulu cuma berdinding bambu atau gedek saja. Pun dengan pagar depan juga dari bambu.
Di halaman sisi kanan tertanam pohon Jeruk Bali. Di sisi kiri tertanam pohon Jeruk Nipis, daun mangkokan dan pandan.
Aku masih ingat betul itu.
Di depan rumah ada selokan di kiri kanan gang. Air selalu mengalir setiap waktu. Aku suka sekali bermain-main di selokan itu.
Di samping rumah ada gang kecil menuju ke utara yang tembus hingga rumah tetangga.
Ah, sebenarnya aku tak mampu menahan emosiku. Rasanya aku ingin menangis haru bahagia. Di rumah ini, sebuah kisah suka duka terpatri di masa kecilku dulu (1935-1942). Masa kecil yang takkan pernah aku lupakan.
Gerimis sore itu seperti tahu tentang perasaanku.
Di rumah ini, omaku mengasuhku. Sedangkan mama papaku tinggal di Glagah. Omaku begitu sayang padaku.
Terima kasih Tuhan, Engkau mengabulkan doaku. Walaupun baru terkabul setelah 76 tahun. Engkau mengabulkan permintaanku walaupun di saat aku sudah beranjak senja.
Dan gerimis sore inipun masih mengiringi perjalananku.
Foto Bagus Priyana.
Rumah masa kecilku dulu
RUMAHKU.
Rumah yang ku tinggali ini sebenarnya bukan milik omaku, omaku menyewa dari seorang wanita bernama Groen. Tapi tidak menyewa 1 rumah karena di rumah ini juga ada 2 keluarga yang tinggal yaitu keluarga Leifheit dan Wals. Mereka juga menyewa kamar lain di rumah ini. Jadi dalam 1 rumah ada 3 keluarga yang tinggal.
Foto Bagus Priyana.
Bersama Franky di depan rumahku dulu
Ah sungguh ramainya rumah ini, terlebih masing-masing keluarga juga memiliki anak kecil sepantaran denganku. Aku biasa bermain dengan mereka.
Sedangkan Mevrouv/Nyonya Groen tinggal tidak jauh di rumah ini, hanya beberapa puluh meter di barat rumah yang kami sewa ini.
Groen ini seorang wanita Belanda yang sungguh unik karena selalu memakai kebaya berwarna putih dan bersarung untuk bagian bawahnya. Lebih terlihat anggun lagi karena Groen memakai sanggul.
Keseharian Groen ini menjual bubur dan gorengan di depan rumahnya. Pelanggannya tentu saja tetangga di sekitar rumahnya.
Groen memiliki anak perempuan yang bernama Lien, entah siapa nama lengkapnya. Tapi kami biasanya memanggil dengan nama Lien.
Aku masih ingat dengan nama tetanggaku yang lain, di antaranya Portier, Boshard dan Huwaij.
Ah andaikan anak-anak mereka masih hidup, tentunya akan menyenangkan sekali kami bisa bernostalgia.
Foto Bagus Priyana.
Gang kecil di sebelah rumahku dulu, jalan kecil ini yang menjadi saksi kenakalanku
AKHIR PERJALANAN
Dari 7 kali perjalanan ku ke Magelang, baru kunjungan di tahun ini yang paling berkesan. Tentu saja kunjungan pertama kali saat bertemu dengan adik-adikku di tahun 1989 di atas semuanya.
Foto Bagus Priyana.
Gang kecil ini menuju ke rumahku, sedang di sana adalah tempat jualan Tante Groen
Perjalanan yang begitu indah buatku. Terlebih sesudah 76 tahun aku meninggalkan rumah masa kecilku ini. Kenangan yang teramat luar biasa dan takkan pernah bisa ku lupakan.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk bisa berkunjung ke rumah ini.
Harapanku untuk bisa menemukan, akhirnya terwujud sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini.
Kepada para pembaca setia di grup KOTA TOEA MAGELANG ini, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga bisa mengambil hikmah dari kisah hidupku ini.
Terima kasih banyak buat Bagus yang sudah membantuku.
Foto Bagus Priyana.
Aku di apit oleh Franky [kiri] dan Bagus Priyana [kanan]
Ini foto bersama denganmu sesudah selesai pencarian rumahku di Botton Nambangan.
Good bless you. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik.
(TAMAT)


Sumber : https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2018/03/29/aku-kembali-ke-rumahku-setelah-76-tahun-berlalu/

KOTA TOEA MAGELANG - KISAH NYATA : KARENA PERANG, 40 TAHUN AKU BERPISAH DENGAN ADIKKU

Standard
Foto Bagus Priyana.
Perkenalkan namaku Yvone Sonja ten Hoor-Heintz, aku biasa di panggil dengan nama Yvone atau Oma Yvone (dibaca ‘Ivon’). Aku tinggal di kota Roterdam dan menjadi warga negara Belanda. Meski demikian, aku lahir di sebuah kampung kecil di Glagah, Banjarnegoro Mertoyudan Kab. Magelang pada 26 Oktober 1935, kini usiaku 82 tahun.
Papaku bernama Karel Otto Heintz yang berdarah campuran antara Jerman (kakekku) dan Swiss (nenekku). Yang ku tahu nama kakekku Carl Heintz dan nenekku bernama Kristin.
Mamaku bernama Murni, orang Jawa dan asli dari Glagah. Adikku 2 orang, semuanya wanita. Yang nomer 2 bernama Joyce Sylvia Heintz dan yang ke 3 bernama Yulia Christine Heintz. Joyce lahir pada tahun 1938, panggilan akrabnyavadalah “Ribut” karena tingkah lakunya yang selalu bikin ribut sekitarnya. Adikku yang bungsu bernama Yulia lahir pada tahun 1940 dan biasa dipanggil dengan “Jembrok” karena model rambutnya yang ‘njegrak’. Bisa dikatakan aku dan adik-adikku adalah warga Indo karena berdarah campuran antara Eropa dan Jawa.
Mamaku seorang pedagang hasil bumi. Sedangkan papaku seorang suplyer (pemasok) ketela pohon untuk pabrik tepung tapioka/pati di Borobudur.
Saat ini (Januari 2018) aku sedang berkunjung ke Magelang dengan di temani oleh Franky Heintz, adik tiriku (1 ayah, beda ibu).
Kunjunganku ke Magelang adalah untuk bersilaturahmi dengan adik-adikku. Kunjunganku kali ini adalah yang ke 8 kalinya. Kunjungan pertama pada tahun 1988, di susul dengan kunjungan berikutnya di tahun 1989, 1990, 1991, 1992, 1995 hingga yang terakhir kali pada tahun 1998.
Jangan di tanya, bagaimana perasaanku saat kembali di tanah kelahiranku. Dan jangan di tanya pula saat aku bertemu dengan adik-adikku tercinta.
Sungguh bahagia sekali hatiku saat kembali menginjakkan kakiku di Magelang ini. Kota yang telah mengukir jiwa ragaku. Kota yang menjadi belahan jiwaku ini. Jika di tanya soal masa kecilku, mataku bisa basah karena terharu. Karena di kota inilah perjalanan hidupku begitu berwarna.
MASA KECILKU
Aku tidak tahu sejak umur berapa aku di asuh oleh omaku (nenek) , yang aku dengar sejak usia 6 bulan hingga 7 tahun. Omaku tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan), masuk wilayah Kel. Magelang Kota Magelang. Tujuan di asuhpun aku juga tidak tahu sama sekali. Yang masih ku ingat aku ini anak perempuan yang bandel saat kecil dulu.
Pernah aku berjalan kaki dari Botton ke Glagah karena aku di marahi opa atau oma. Dan saat itu umurku baru 5 tahun!
Coba bayangkan, seorang anak perempuan berumur 5 tahun berjalan seorang diri berjalan kaki sejauh 7 km.
Aku masih ingat, dalam perjalanan itu aku melewati jalan yang sepi. Di kanan kiri jalan masih banyak Pohon Kenari & Asem. Jika aku haus atau lapar, aku memunguti buah Asem yang berjatuhan dibawahnya. Terutama di ruas Bajemanweg (Jalan Bayeman, kini Jalan Tentara Pelajar). Jika ada Kenari yang kudapat, ku mencari batu untuk memecahkannya. Cukuplah untuk sekadar teman jalanku.
Saat itu sekitar tahun 1940, kondisi jalan masih sepi, tidak banyak kendaraan bermotor yang lewat. Jika kebetulan, ku berpapasan dengan 1 atau 2 kendaraan saja yang lewat. Yang bikin merinding jika melewati Pemakaman Giriloyo. Kadang aku berlari kecil karena takut.
Tidak hanya sekali aku berjalan kaki, tapi berkali-kali. Sampai-sampai opa oma maupun mama papaku mencariku. Entahlah, di usiaku yang sudah senja inipun kadang tertawa dan tidak mengerti jika mengingat kenakalan di masa kecilku dulu.
MASA MENYEDIHKAN
Keadaan menjadi berubah kala Perang Dunia 2 meletus. Saat itu tahun 1942 menjelang 1943, umurku masih 7 tahun. Kondisi Kota Magelang begitu gawat. Jepang masuk Magelang dan menawan orang-orang Belanda dan keluarganya (di internir), termasuk papaku.
Sedikit beruntung pada diriku. Oleh para pemuda kampung, Aku dan mamaku yang saat itu ada di Botton Nambangan di bawa dan dikumpulkan di rumah pak Lurah di Kampung Tulung, utara kampungku.
Aku masih ingat saat itu kami berjalan tergesa-gesa menuruni tangga dan menyeberangi Kali Bening menuju rumah pak Lurah yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku.
Baru ku tahu, ternyata tidak hanya kami ada di rumah pak Lurah tetapi para pemuda kampung mengumpulkan kami karena kami warga Indo.
Yang menyedihkan adalah nasib papaku. Suatu hari tentara Jepang datang kepadanya dengan membawa sepucuk surat penangkapan atas nama Heintz. Papaku di bawa Jepang ke garnisun (Kompleks Rindam kini).
Papaku di tawan karena termasuk warga Indo dan berkulit putih.
Lain waktu, ku dengar papaku dan tawanan lain dipindahkan ke kompleks van der Steur di Meteseh. Aku tidak tahu, apakah ayahku mengalami siksaan dari Jepang atau tidak.
Masa-masa di era 1942-1945 merupakan masa yang teramat pahit dan sulit, khususnya untuk keluargaku. Kami harus berpisah dengan papa kami.
Kehidupan keluarga kami dimulai lagi dari awal. Bahkan untuk tempat tinggalpun, kami terpaksa harus berpindah-pindah rumah. Pernah kami tinggal di Kampung Juritan, dibelakang Pecinan. Pernah juga berpindah di Blabak, dekat dengan pemandian Mudal (dekat eks Pabrik Kertas Blabak). Aku masih ingat rumahku punya halaman yang luas. Bahkan dari beranda rumah bisa melihat Gunung Merbabu dan Merapi.
Pernah juga kami tinggal di sebuah rumah di Tidarweg (kini Jalan Tidar). Dari rumahku bisa melihat Bukit Tidar yang gundul, beda dengan kondisi sekarang yang hijau.
Pernah saat ke Magelang, aku berusaha mencari dan menengok rumahku dulu di Juritan dan Blabak. Aku sedih karena kondisinya sudah berubah.
Masa-masa sulit rupanya belum berlalu. Kondisi pasca 1945 setelah Proklamasi Republik Indonesia rupanya belum sepenuhnya aman dan membuat nyaman.
Belanda masih ingin menguasai negeri ini.
Di tahun 1948, Belanda berusaha mengamankan dan menyelamatkan warganya. Saat itu kami diberi 2 pilihan, apakah akan ikut Belanda atau Indonesia.
Pilihan ini benar-benar sulit bagi keluarga kami. Bagaimana tidak sulit, keluarga kami adalah perpaduan 2 budaya dan 2 bangsa. Papaku Eropa, sedangkan mamaku Jawa. Kami bertiga, anak-anaknya tidak bisa menentukan nasib kami sendiri. Terlebih saat itu kami masih kecil, umurku baru 13 tahun, adikku 10 dan 8 tahun.
Sungguh, benar-benar sulit.
Pada akhirnya keluarga kami harus mengambil sebuah keputusan, yang tentu teramat berat buat kami.
Keputusan itu adalah keluarga kami akan kembali ke Belanda. Sebuah keputusan yang sulit.
Tapi rupanya mamaku lebih memilih tetap tinggal di Glagah. Mama ingin tetap tinggal di Magelang, mengingat ayah ibunya (kakek nenekku) tinggal di Glagah. Terlebih mamaku juga tidak ingin meninggalkan tanah kelahirannya.
Papaku akhirnya membawaku ke Belanda, sedangkan kedua adikku di asuh oleh mamaku.
Sedih rasanya kami harus berpisah dengan orang-orang yang kami cintai. Semua ini terjadi karena kondisi saat itu yang tidak memungkinkan kami untuk tetap bersama.
Saat itu tahun 1948, sebuah peristiwa penting dalam sejarah hidupku, berpisah dengan mama dan 2 adikku. Saat itu umurku 13 tahun, dimana di umur itu aku masih membutuhkan kasih sayang dari mamaku. Terlebih aku juga punya 2 adik perempuan yang ku cintai.
Sedih sekali rasanya.
Aku dan omaku meninggalkan Magelang bersama rombongan keluarga yang lain berjalan kaki dari komplek van der Steur menuju Stasiun Magelang Kota (kini sub Terminal Kebonpolo). Papaku sendiri sudah dipulangkan lebih awal ke Belanda karena warga yang kena internir Jepang didahulukan.
Dari stasiun tersebut kami naik kereta api menuju Solo. Dari Solo kami naik pesawat terbang menuju Semarang. Dari Semarang naik kapal laut menuju Batavia. Di Batavia kaki di tampung sementara waktu di Cililitan sambil menunggu pemberangkatan. Sesudah waktu yang sudah ditetapkan, kami bergabung dengan rombongan lain untuk berangkat menuju Belanda.
Magelang ku tinggalkan, kota kelahiranku yang penuh dengan kenangan yang takkan pernah ku lupakan seumur hidupku.
Aku menangis sepanjang perjalanan. Selama 3 minggu perjalanan menuju ke Belanda. Setiap hari selama di kapal, tak henti-hentinya aku menangis. Setiap awal hari hingga senja datang, ku selalu menatap lautan lepas. Wajah mama dan adikku selalui membayangiku. Omaku cuma bisa memelukku dan meredakan tangisku.
MEMULAI KEHIDUPAN DI BELANDA
Sesudah 3 minggu perjalanan, tibalah kapal yang kami tumpangi di Belanda. Aku turun dari kapal dengan omaku. Ternyata papaku sudah menungguku di dermaga. Meledaklah tangisku di pelukannya.
Kehidupan di Roterdam Belanda tidak semudah yang ku bayangkan. Terlebih saat itu usiaku baru 13 tahun (tahun 1948), dimana di saat itu aku madih membutuhkan kasih sayang dari seorang mama. Sebuah tempat yang teramat asing bagiku. Budayanya juga teramat berbeda dengan di Magelang. Akupun harus menyesuaikan diri agar tetap bisa hidup.
Aku harus melanjutkan masa depanku. Papaku membesarkanku. Papaku menikah lagi dengan seorang wanita Belanda. Salah seorang adik tiriku bernama Franky yang kini menemaniku berkunjung di Magelang.
Saat mulai beranjak dewasa, aku juga berubah. Sebagai seorang wanita, akupun juga mempercantik diri. Sebagai wanita Indo, akupun juga bersolek. Banyak orang bilang aku mirip dengan artis populer di jaman itu, Faradiba.
Aku juga menikah dengan orang Belanda yang bernama Lucky. Lucky ini juga seorang Indo, dia lahir di Semarang. Meninggalkan Semarang saat berusia 21 tahun. Tambah bahagia lagi dengan kehadiran anak-anak kami. Suamiku ini bekerja membuka bengkel mobil.
Akupun juga bekerja, salah satunya menjadi sopir bis. ðŸ˜Š
Selama kami tinggal di Belanda, kami (aku dan papaku) terputus hubungan dengan mama dan adikku di Magelang.
Sungguh, aku kangen dengan mereka. Akupun tidak tahu, apakah masih bisa bertemu dengan mereka?
Apakah mereka masih hidup?
Apakah aku masih dikaruniai umur panjang hingga aku bisa kembali ke Magelang?
Jarak yang jauh dan terputusnya hubungan membuat kami pesimis.
Foto Anton Widodo.
Papaku dan mamaku yang menggendong adikku [belakang], aku jongkok di depan bersama suamiku Lucky
PERTEMUAN TAK SENGAJA
Tahun berganti tahun. Aku semakin betah hidup bersama keluargaku di Roterdam. Di Belanda memang masih banyak keluarga Indo yang hidup di sini. Sehingga jika aku kangen dengan tanah kelahiranku, aku menemui kawan-kawanku.
Hingga tak ku sangka-sangka di Roterdam ini aku berkenalan dengan seorang laki-laki Belanda keturunan Ambon yang ternyata beristri orang Magelang!
Dan perempuan istrinya ini berasal dari Kampung Paten Jurang!
Oh my God, mimpi apa aku ini. Sebuah harapan untuk mencari keluargaku ku dapatkan!
Aku pun menceritakan kisah hidupku padanya, dari masa kecilku hingga aku hidup di Roterdam ini. Aku juga bertanya padanya tentang kota kelahiranku, Magelang.
Kami meminta bantuan perempuan istri orang keturunan Ambon tersebut untuk mencari tahu tentang keluargaku di Glagah, Banjarnegoro.
Perempuan tersebut menghubungi keluarganya di Magelang untuk membantuku.
Proses pencarian adik-adikku memang tidak mudah. Terlebih mamaku (Murni) sudah meninggal sejak tahun 1961, informasi ini ku dapat saat proses pencarian ini. Di Glagah ku dapatkan informasi jika kedua adikku Joyce dan Yulia ternyata masih hidup.
Dari informasi keluarga di Glagah, adikku Yulia tinggal di Kampung Losmenan. Sedangkan Joyce tinggal di Blondo.
Gembira rasanya hatiku, bahagia tiada terkira.
Ingin rasanya aku terbang segera ke Magelang. Tapi tentu saja butuh persiapan dan beaya yang besar. Kejadian ini sekitar tahun 1988.
Ah mimpi apa aku ini?
BERTEMU DENGAN ADIKKU
Sekitar tahun 1988-1989 (saya lupa pastinya), aku dan suamiku (Lucky) berkunjung ke Magelang. Tentu saja ditemani oleh kenalanku orang Magelang yang tinggal Roterdam tsb. Perjalanan panjang dengan pesawat terbang dari Belanda ke Jakarta begitu terasa lama. Meski lelah tetapi perasaan bahagia mampu menutupi kelelahanku. Bagaimana tidak, aku akan bertemu dengan adik-adikku yang sudah berpisah selama 40 tahun (1948-1988).
Di aturlah pertemuan kami. Bukan di rumah Joyce di Glagah atau di rumah Yulia di Losmenan, tetapi di rumah kerabat kami yang kebetulan tinggal di Paten Jurang. Rumahnya persis di depan rumah perempuan kenalan kami di Roterdam.
Ketika proses pertemuan itu, aku tidak langsung bertemu dengan kedua adikku. Rupanya mereka berdua ada di dalam kamar dan “mengintai” diriku dari dalam. Mereka ingin memastikan jika aku ini benar-benar kakak kandungnya.
Setelah mereka memastikan jika aku ini adalah kakak kandungnya, keluarlah mereka dari dalam kamar. Kemudian antara aku dan kedua adikku (Joyce dan Yulia) saling menatap seakan-akan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku berusaha menatap wajah mereka dengan baik. Benarkah mereka adik-adikku?
Ku tatap mata mereka. Ku pandangi wajah mereka. Hati dan perasaan kamilah yang menjawabnya. Tidak ada kata yang terucap.
Foto Anton Widodo.
aku dengan adikku Julia dan Franky
Kami bertiga saling berangkulan dan menangis haru. Air mata kami tiada terbendung, membasahi pipi kami. Suasana saat itu begitu sangat mengharukan.
Bagaimana tidak, kami berpisah selama 40 tahun di saat kami anak-anak (13, 10 & 8 tahun). Sedangkan saat pertemuan itu usia kami 53, 50 & 48 tahun. Perpisahan kami pun juga terasa pahit karena situasi yang memaksa kami harus berpisah.
Sesudah suasana mereda, kamipun menceritakan perjalanan hidup masing-masing. Aku menceritakan tentang papa dan keluargaku di Roterdam. Sedangkan adikku menceritakan tentang mama murni dan keluarga masing-masing di Magelang.
Adikku menceritakan jika sesudah papa pergi ke Belanda, Mama Murni menikah lagi. Mama Murni sudah meninggal di tahun 1961. Salah satu putra Mama Murni dengan pernikahan keduanya bernama Pak Diyuk tinggal di Glagah, usianya kini 70 tahun.
Jika mengingat masa-masa dulu aku jadi ingat masa kecilku dengan adik-adikku. Termasuk kenakalanku.
Pertemuan bersejarah ini tidak mampu kulupakan seumur hidupku. Bagaimanapun juga Tuhan yang mengatur semuanya. Meski aku tidak pernah bermimpi untuk bisa bertemu lagi dengan adik-adikku.
Foto Bagus Priyana.
Dengan adikku Yulia yang tinggal di Kampung Losmenan Kota Magelang
MAGELANG KOTAKU
Kini di tahun 2018 aku berkunjung lagi ke Magelang, menemui adik-adikku dan keponakanku. Sungguh bahagia lagi bisa bertemu dengan mereka untuk yang ke 7 kali. Tapi aku juga sedih karena adikku yang ke 2 (Joyce) sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Di foto bawah ini aku berdiri di apit oleh adikku Yulia (deretan depan nomer 1 dari kanan), adik tiriku di Belanda Franky (deretan depan nomer 1 dari kiri). Di belakang berbaju merah adalah keponakanku Robert Prayogo (anaknya Yulia). Di deretan belakang tengah berbaju hitam adalah menantu (almh) Joyce dan sebelah pojok kanan belakang bertopi adalah Bagus Priyana.
Ku sadari bahwa semuanya sudah menjadi suratan takdir dari-Nya.
Tapi aku masih bisa bersyukur di usiaku yang ke 83 ini masih diberi kesehatan sehingga aku masih bisa kembali ke Magelang. Sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini, aku ingin menelusuri jejak rumahku dulu di Botton Nambangan.
Aku sadari bahwa Magelang tidak akan mungkin ku lupakan meski aku kini telah menjadi warga negara Belanda.
Memang aku warga negara Belanda, akan tetapi jiwaku dan cintaku tetaplah untuk Magelang.
Terima kasih untuk semua pembaca cerita hidupku ini. Terima kasih untuk Bagus Priyana yang sudah menulis kisah hidupku.
Terima kasih untuk KOTA TOEA MAGELANG.
Terima buat Candra Yoga dari Magelang Ekspress, Ika dari kompas.com.
Semoga kita bisa bertemu kembali di lain hari.
God Bless You.
I love you Magelang
(Tamat)

Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/

KOTA TOEA MAGELANG - KOMOENITAS PETJINTA DAN PLESTARI BANGUNAN TOEA DI MAGELANG

Sesuai dengan nama dan semboyannya, komunitas ini merupakan sekelompok masyarakat yang peduli dan berupaya untuk menggali dan melestarikan nilai yang ada di setiap peninggalan sejarah baik itu yang berupa bangunan dan budaya lainnya.
Selain nilai arsitektur yang tinggi, bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda mengandung nilai sejarah terbentuknya Indonesia khususnya Kota Magelang. Bukan maksud hanya terjebak dengan kejayaan masa lalu, namun dengan lebih berusaha menggali semangat dan ilmu yang dipunyai oleh para pendahulu kita bisa kita akomodir dan menjadi sebuah semangat untuk membawa Kota Magelang ini lebih maju.
RaadhuisKarena menurut pepatah, Bangsa Yang Besar Adalah Yang Menghargai Sejarah.  Walaupun dengan tampilan seadanya dan informasi yang terbatas, diharapkan keberadaan blog ini bisa menjadi sebuah media informasi dari secuil dari gunungan sejarah yang terkandung di Kota Tercinta ini. Selain itu, dengan sebuah blog yang kami buat memanfaatkan fasilitas “Gratisan” dari Wordprees bisa menjadi pelecut semangat untuk anggota komunitas dan masyarakat Kota Magelang pada umumnya untuk lebih menggali dan berusaha bersama-sama melestarikan peninggalan sejarah yang ada.
Teriima Kasih
Bagus Priyana
Sumber : https://kotatoeamagelang.wordpress.com/

24 March 2013

KAMPUNG RAMAH LINGKUNGAN

Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Tata Kota Kota Magelang merintis perumahan ramah lingkungan. Perumahan tersebut adalah RW 10, Perumahan Korpri, Kelurahan Kramat Selatan, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang. Ketua RW 10, Sutiyono, perumahan Korpri ditunjuk menjadi perumahan ramah lingkungan sejak Pebruari 2013, dikarenakan telah memenuhi sejumlah kriteria. “RW 10, Perumahan Korpri, ditunjuk oleh Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Tata Kota Kota Magelang karena memenuhi kriteria ramah lingkungan. Apalagi setelah ada kunjungan Bapak Sudirman, Asisten Deputy Pengelolaan Sampah, Kementerian Lingkungan Hidup, pada bulan Pebruari 2013,” tutur Sutiyono. Sedangkan pengertian perumahan ramah lingkungan itu sendiri adalah suatu perumahan dan pemukiman yang dibangun dengan mempertimbangkan dan memadukan ekosistem lingkungan sekitar. Artinya tidak hanya membangun suatu perumahan atau pemukiman dengan rumah-rumah atau gedung-gedung bertingkat yang megah, mewah dan artistik saja, tetapi bagaimana bangunan tersebut dirancang untuk mengurangi polusi dan hemat dalam penggunaan energi serta air. Kriteria lain perumahan ramah lingkungan yaitu adanya kawasan ruang terbuka hijau (RTH), penyediaan taman bermain anak, kebun sayuran/buah-buahan, biopori, lapangan olah raga, tersedianya sarana dan prasarana dasar umum seperti jalan dan jaringan air bersih dn jaringan listrik yang memadai. Juga kompleks hunian yang dilengkapi dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, ibadah dan komersial yang berkualitas serta terdapat juga tempat pengolahan sampah daur ulang limbah domestik dan pemanfaatan kompos yang efektif. Lokasi RW 10, Perumahan Korpri, sangat ideal terdapat Sekolah TK, SD, SMP, dan Peguruan Tinggi. Juga terdapat tempat pengolahan daur ulang sampah domestik. Ditambah Ruang Terbuka Hijau (RTH), serta sebagian warga telah mempunyai apotik hidup, selain sebagai penghijauan juga bermanfaat sebagai tanaman obat. Kepala Dinas Kebersihan, Pertamanan dan Tata Kota Kota Magelang, Ir. Eri Widyo Saptoko, Msi, mengatakan, keberadaan perumahan ramah lingkungan tersebut sangat bermanfaat untuk warga setempat, selain itu dapat menjadi nilai plus dalam penilaian Adipura. Sumber : Magelang Ekspres, Rabu, 20 Maret 2013

19 March 2013

KAMPUNG ORGANIK

Kampung Organik di Kota Magelang berada di Kampung Kalisari, RW 8, Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara. Di Kampung Kalisari, RW 8, terdapat Paguyuban Perempuan Pengelola Sampah Terpadu “Legok Makmur’. Dalam aktifitas keseharian, penggiat Paguyuban “Legok Makmur” mengaplikasikan kemampuan dan ketrampilan bercocok tanam dan pengelolaan sampah dengan memanfaatkan potensi alam lingkungan sekitar. Paguyuban “Legok Makmur” mulai aktif mengelola potensi alam dan mengelola sampah menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat Kampung Kalisari, RW 8, pada awal Tahun 2012 dibawah supervisor seorang aktifitas PKK setempat, Nur Lamiah. Nur Lamiah bersama beberapa aktifis PKK Kampung Kalisari, RW 8, mendapat bimbingan Drs. Fence Oloilulin, seorang aktifis lingkungan, untuk belajar mengelola sampah organik menjadi kompos dan bercocok tanam dengan menggunakan produk alam yang bebas dari zak kimia. Anggota Paguyuban “Legok Makmur” mulai dari pagi hingga menjelang malam melaksanakan kegiatan bidang pertanian berupa bercocok tanam dan melaksanakan berbagai budidaya tanaman pangan (utamanya jenis sayuran) dengan menerapkan metode bercocok tanam menggunakan prinsip “back to the nature” serta tidak menggunakan bahan-bahan yang mengandung zat kimia, baik pupuk yang digunakan maupun zat pengusir hama penyakit tanaman. Tanaman sayuran yang dibudidayakan oleh anggota Paguyuban “Legok Makmur” antara lain tomat, cabai, terong, daun bawang, seledri, dan lain-lainnya. Hasil budidaya tanaman sayuran tersebut bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga paguyuban. Selain kegiatan bidang pertanian, anggota Paguyuban “Legok Makmur” juga bergiat di bidang pengelolaan sampah. Anggota paguyuban kesehariannya juga melakukan pemilahan dan pengolahan sampah organik dan sampah anorganik dengan menggunakan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Dalam perkembangannya, Kampung Kalisari, RW 8, sebagai Rintisan Kampung Organik di Kota Magelang sering menjadi objek study banding di bidang lingkungan hidup, maupun bidang persampahan. Untuk itu, banyak usaha yang dilaksanakan oleh Paguyuban “Legok Makmur”, agar Kampung Kalisari, RW 8, benar-benar menjadi Kampung Organik, antara lain : - Kampung Kalisari, RW 8, dalam mengelola pertanian benar-benar tidak menggunakan zak kimia yang berbahaya bagi lingkungan. - Lingkungan Kampung Kalisari, RW 8, bebas dari polusi udara, sehingga kualitas udara di Kampung Kalisari, RW 8, bersih dan sehat dan berpengaruh terhadap kualitas tanaman yang dibudidayakan warga masyarakat. - Setiap rumah di Kampung Kalisari, RW 8, diwajibkan ada pot-pot yang ditanami berbagai jenis sayuran. Hasilnya bisa dimanfaatkan bagi pemilik rumah sekaligus berdampak pada hijaunya lingkungan.

KAMPUNG ORGANIK

Kampung Organik di Kota Magelang berada di Kampung Kalisari, RW 8, Kelurahan Wates, Kecamatan Magelang Utara. Di Kampung Kalisari, RW 8, terdapat Paguyuban Perempuan Pengelola Sampah Terpadu “Legok Makmur’. Dalam aktifitas keseharian, penggiat Paguyuban “Legok Makmur” mengaplikasikan kemampuan dan ketrampilan bercocok tanam dan pengelolaan sampah dengan memanfaatkan potensi alam lingkungan sekitar. Paguyuban “Legok Makmur” mulai aktif mengelola potensi alam dan mengelola sampah menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat Kampung Kalisari, RW 8, pada awal Tahun 2012 dibawah supervisor seorang aktifitas PKK setempat, Nur Lamiah. Nur Lamiah bersama beberapa aktifis PKK Kampung Kalisari, RW 8, mendapat bimbingan Drs. Fence Oloilulin, seorang aktifis lingkungan, untuk belajar mengelola sampah organik menjadi kompos dan bercocok tanam dengan menggunakan produk alam yang bebas dari zak kimia. Anggota Paguyuban “Legok Makmur” mulai dari pagi hingga menjelang malam melaksanakan kegiatan bidang pertanian berupa bercocok tanam dan melaksanakan berbagai budidaya tanaman pangan (utamanya jenis sayuran) dengan menerapkan metode bercocok tanam menggunakan prinsip “back to the nature” serta tidak menggunakan bahan-bahan yang mengandung zat kimia, baik pupuk yang digunakan maupun zat pengusir hama penyakit tanaman. Tanaman sayuran yang dibudidayakan oleh anggota Paguyuban “Legok Makmur” antara lain tomat, cabai, terong, daun bawang, seledri, dan lain-lainnya. Hasil budidaya tanaman sayuran tersebut bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan pangan anggota keluarga paguyuban. Selain kegiatan bidang pertanian, anggota Paguyuban “Legok Makmur” juga bergiat di bidang pengelolaan sampah. Anggota paguyuban kesehariannya juga melakukan pemilahan dan pengolahan sampah organik dan sampah anorganik dengan menggunakan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Dalam perkembangannya, Kampung Kalisari, RW 8, sebagai Rintisan Kampung Organik di Kota Magelang sering menjadi objek study banding di bidang lingkungan hidup, maupun bidang persampahan. Untuk itu, banyak usaha yang dilaksanakan oleh Paguyuban “Legok Makmur”, agar Kampung Kalisari, RW 8, benar-benar menjadi Kampung Organik, antara lain : - Kampung Kalisari, RW 8, dalam mengelola pertanian benar-benar tidak menggunakan zak kimia yang berbahaya bagi lingkungan. - Lingkungan Kampung Kalisari, RW 8, bebas dari polusi udara, sehingga kualitas udara di Kampung Kalisari, RW 8, bersih dan sehat dan berpengaruh terhadap kualitas tanaman yang dibudidayakan warga masyarakat. - Setiap rumah di Kampung Kalisari, RW 8, diwajibkan ada pot-pot yang ditanami berbagai jenis sayuran. Hasilnya bisa dimanfaatkan bagi pemilik rumah sekaligus berdampak pada hijaunya lingkungan.

12 March 2013

SAPU JAGAD

Sapu Jagad Merupakan Kegiatan Rutin Petugas Kebersihan Kota Magelang dalam Melaksanakan Sapuan Jalan. Sapu Jagad dilaksanakan dalam 3 Shift yaitu Shift Pagi, Shift Siang/Sore dan Shift Malam.

11 March 2013

GOWES BERSAMA WALIKOTA MAGELANG

Hari Senin, 11 Maret 2013, start jam 06.30 WIB, Walikota Magelang, Ir. Sigit Widyonindito, MT, kembali melakukan gowes atau bersepeda keliling kota untuk melihat secara riil kondisi kebersihan Kota Magelang. Dalam gowes ini, Walikota Magelang didampingi Sekretaris Daerah Sugiharto, dan sejumlah Pejabat di Lingkungan Pemerintah Kota Magelang. Kegiatan dimulai dari Pendopo Pengabdian, rumah dinas Walikota Magelang di Jalan Cempaka kemudian menyusuri Jalan Cempaka, Jalan Sunan Kalijaga, Jalan Panembahan Senopati, Jalan Sunan Bonang, Jalan Gatot Subroto, Jalan Tentara Pelajar, Aloon Aloon Kota Magelang, Jalan Pemuda, Jalan Sudirman, Jalan Soekarno Hatta, selanjutnya rombongan gowes Walikota Magelang masuk ke dalam Terminal Bus Soekarno-Hatta meninjau kondisi kebersihan terminal. Selesai peninjauan , Ir Sigit Widyonindito, MT, langsung melakukan evaluasi di aula Kecamatan Magelang Selatan di hadapan kepala SKPD, ketua RT, ketua RW, ketua LPM dan tokoh Masyarakat untuk mencari masukan terkait kebersihan lingkungan.

07 March 2013

LOMBA K3 KOTA MAGELANG TAHUN 2013

Dalam Rangka Memperingati Hari Jadi ke 1107 Kota Magelang Tahun 2013, Pemerintah Kota Magelang Meyelenggarakan Lomba Kebersihan, Keindahan dan Ketertiban {K3}. Lomba K3 Dibagi Dalam 3 Kategori yaitu Lomba K3 Antar RW, Lomba K3 Antar Sekolah dan Lomba K3 Antar SKPD. Lomba K3 Kota Magelang Tahun 2013 diselenggarakan mulai Senin s/d Kamis, 4 s/d 7 Maret 2013