Meo (voorvechter) op Midden-Timor
Vervaardigingsjaar : ca.1900
Potret seorang Meo (jawara,ahli beladiri,ahli perang) di Timor-Tengah bagian Utara(?)...foto sekitar tahun 1900
(KITLV4971)
.... berani menjalani kehidupan, adalah sebuah konsekuensi untuk ikut membangun sebuah peradaban yang lebih bertanggung jawab ...
Meo (voorvechter) op Midden-Timor
Vervaardigingsjaar : ca.1900
Potret seorang Meo (jawara,ahli beladiri,ahli perang) di Timor-Tengah bagian Utara(?)...foto sekitar tahun 1900
(KITLV4971)
Dia termasuk tokoh perintis kemerdekaan 1945. Dia pula yang mengusulkan kalau teks proklamasi untuk di ketik. Malam 17 Agustus 1945 naskah tulisan tangan setelah jadi langung diketik oleh beliau. Konon masin ketik yang di pakai seperti yang digunakan oleh Perwira nazi.
*********
Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik adalah seorang Perintis Kemerdekaan Indonesia yang tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai Pengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, dan juga mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang menjabat dari tahun 1971-1982.
Asal-Usul Sega (Nasi) Jamblang
Daendels waktu membuat jalan Trans Jawa dari Anyer sampai Panarukan yang kebetulan jalan tersebut melewati Cirebon mempekerjakan banyak orang Cirebon (Diantaranya Orang Jamblang), Namun Gajih Kuli Jalan tersebut rupanya ditilep oleh Para Demang. Dan ketika para Demang itu ditagih, alasannya macam-macam, mulai dari belum cair sampai pada dicairkan tapi dipotong.
Karena Upah yang tak kunjung Cair atau kalau adapun minim, maka Orang-Orang Jamblang membawa bekal masing-masing, masing dari rumah, selanjutnya agar Nasi tidak menjadi cepat Basi, Nasi dibungkus dengan menggunakan Daun Jati. Selepas Peristiwa itu Nasi yang dibungkus dengan daun Pohon Jati itu dikenal luas sebagai Sega Jamblang atau Nasinya orang Jamblang.
Studio potret Raden Ajeng Kartini bersama orang tua, kakak dan adiknya.
Jawa, 1890 - 1904
Sumber : rijkmuseum
Ternyata eh ternyata, sebelum istilah "bengung" dikenal luas masyarakat Magelang sebagai nama ganti sirine anti serangan udara yang masif dipasang pada akhir kuasa kolonial, istilah "siring" ternyata pernah muncul terlebih pada dekade 1950an. Entah sejak kapan istilah ini kemudian berubah menjadi "bengung"?
Apakah hal serupa juga ditemukan di kota lain, Jogja contohnya? Apakah pernah juga menggunakan istilah "siring" sebelum menjadi "gaok" seperti yang dikenal luas masyarakat lokal sekarang?
Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana
Sangat kontras sekali, wilayah Mataram bernama Panaragan ini menempatkan keris pada bagian depan badan. Sedangkan Mataram area keraton keris ditempatkan pada belakang badan.
Keberlangsungan ini Sehingga menjadi identitas pada wilayah Mataram keraton dan Panaragan, bahkan disebutkan Panaragan dipaksa menjadi budaya Mataraman.
Dalam kultur Jawa pada berbagai penelitian, termasuk hasil penelitian profesor UNEJ Jember setidaknya terdapat beberapa sub suku Jawa seperti berikut:
- Jawa Mataraman keraton (Yogyakarta & Surakarta)
- Jawa Mataram brang wetan (plat AE & plat AG)
- Jawa ngapak (vocal serba A, berbatasan suku sunda)
- Jawa Tengger (vocal Serba A, mendiami pegunungan sekitar Bromo/semeruu)
- Jawa Aneman (berakhiran -em, pesisir Utara Jawa)
- Jawa Arekan (plat L, Plat S, Plat W)
- Jawa Panaragan (Plat AE)
- Jawa Bawean (trah pejabat Giri Kedaton di Pulo Bawean)
Kemudian Jawa campuran, seperti:
- Jawa Cirebon (Jawa dengan Sunda)
- Jawa Cilegon (Jawa dengan Sunda/Betawi)
- Jawa Osing (sisa-sisa Jawa Blambangan dengan Bali)
- Jawa Pendalungan (Jawa dengan Madura)
- Jawa Jaton (Jawa dengan Minahasa)
Lantas bagaimana dengan Samin? Dan kalang? Yang sering diangkat media sebagai suku Samin dan suku kalang? Samin sendiri merupakan sebuah pergerakan era kolonial Belanda tidak berbeda dengan sarekat Islam dan Budi Utomo, yang dimana awal pemikiran Samin berasal dari Samin sepuh (putra bupati sumoroto, Ponorogo) dan Samin Anom (cucu putra bupati sumoroto, Ponorogo) menggunakan siasat pola pikir masyarakat panaragan meski saat ini lebih melebur menjadi sub Jawa Aneman.
Sedangkan sub Jawa kalang sendiri yang tersebar diberbagai wilayah Jawa turut melebur menjadi sub Jawa yang ditempati. Sebagai contoh suku kalang di Magetan yang kekuatannya digunakan oleh Belanda untuk menaklukkan pembangkang diberbagai wilayah di karesidenan Madiun kini mengikuti sub Jawa Panaragan. sedangkan di kalang di kota Gede mengikuti sub Jawa Mataram keraton.
Kaum Panaragan bukan seharusnya dalam tata budaya Mataram terlihat dari tradisi, budaya, dialek yang sangat berbeda dan kontras dengan budaya Mataraman. Karena Panaragan atau wengker dianggap jowo tuek/tua karena telah ada sebelum Mataraman (modern) itu ada.
Seperti reog dadak merak dan reog thek (jaranan) yang merupakan budaya asli Panaraga, tidak akan bisa dirubah menjadi dan mengikuti pakem tari keraton, dialeknya pun begitu keras dan tegas, termasuk penempatan keris pada depan badan karena mengikuti pakaian adat Panaragan (Penadon) yang tidak dapat diletakan pada bagian belakang, tidak seperti beskap keraton dengan modifikasi khusus pola pakaian yang memberi ruang keris pada belakang badan.
Meski demikian, kini kaum Panaragan menjadi rebutan antara Mataram keraton Yogyakarta dengan Surakarta, kedua keraton ini pernah diselamatkan oleh pasukan Panaragan. Namun yang sangat kontras dan agresif untuk merubah budaya panaragan menjadi Mataraman ialah Surakarta, dengan memberikan berbagai penghargaan kepada budayawan, sejarah Panaragan dengan demikian merubah kebiasaan seperti menggunakan Blangkon tanpa mondol/perbawan, sedangkan Panaragan memiliki blangkon dengan mondol yang lebih besar dari blangkon Yogyakarta.
Kemudian penempatan keris dari depan menjadi belakang dengan mengganti pakaian Penadon dengan beskap Surakarta sehingga keris dapat diletakan pada bagian belakang badan. Padahal, panaragan sendiri memiliki beskap Panaragan sendiri dengan penempatan keris didepan (cek foto 2 orang kiri bawah).
Keris ini milik Stadtholder Willem IV (1711-1751). Ini menjadikannya benda tertua di Indonesia milik keluarga Van Oranje yang masih dilestarikan. Senjata tersebut kemungkinan menjadi milik VOC di Sulawesi Selatan sebagai hadiah atau rampasan perang dan selanjutnya dibawa ke Belanda.
Meskipun keris aslinya berasal dari Jawa, keris juga ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia. Khususnya di Sulawesi Selatan, karena besi yang mengandung nikel untuk bilahnya banyak ditemukan di sini.
Seni menempa keris tersebar mulai dari Kerajaan Hindu Majapahit yang pengaruhnya terutama berasal dari Jawa Timur pada abad ke-14. Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan juga termasuk dalam wilayah pengaruh Majapahit. Gowa diislamkan pada pertengahan abad ke-16. Beberapa motif pada keris ini masih menunjukkan pengaruh Hindu Majapahit, seperti gambar Garuda yang berdiri pada sarungnya dan sosok Bima pada gagangnya.
4,5 × 9 × 46cm (lemmet)
51 × 11 × 5cm (kris+schede)
Sumber : NMVW
Prajurit ALRI (Angkatan Laut Republik) berjaga di kawasan pelabuhan Boom Baroe Palembang (1946/1948)
Sumber : NIMH
Gentong berisi air di depan rumah merupakan salah satu tradisi di Jawa yang sudah terlupakan di era milenium, tujuan meletakkan gentong ini bermaksud untuk menolong orang ketika sedang lewat depan rumah kita yang kehausan, foto dibawah ini diambil tahun 1934.
Filosofinya sendiri sangat dalam. Gentong terbuat dari tanah liat yang diisi air, yang berarti tanah air (mengajarkan cinta tanah air).
Mari kita hidupkan kembali tradisi yang nyaris punah tersebut, dengan menaruh galon berisi air minum di depan rumah kita, demi menolong orang yang sedang lewat kehausan.
Insya Allah airnya akan habis dan galonnya akan hilang
Seperti biasanya😅.
Source : Erwin
Pasukan Marinir Belanda beristirahat sejenak dipesisir pantai Pasir Putih Situbondo sebelum memulai Agresi Militer I pada Juni 1947.
RADEN TUMENGGUNG WIRAREDJA
Beliau adalah salah satu leluhur Susuhunan Pakubuwana IV Raja Kraton Surakarta, Leluhur KGPAA Mangkunegara II Puro Mangkunegaran, Leluhur Patih Cokronegoro dan Leluhur Bupati Banyumas.
Melalui Raden Tumenggung Wirareja , ucapan Sunan Kalijaga terbukti :
" Ageng Karang Lo juga berkenan untuk mengantar rombongan Ki Ageng Pemanahan hingga sampai hutan Mentaok. Dan secara kebetulan di tepian Kali Opak mereka bertemu dengan Sunan Kalijaga yang sangat terkesan dengan ketulusan dan kebaikan Ki Ageng Karang Lo. Kepada Ki Ageng Pemanahan , Sunan Kalijaga berpesan untuk selalu mengingat kebaikan Ki Ageng Karang Lo serta membalas kebaikannya . Sunan Kalijaga juga berkata bahwa kelak keturunan ketujuh Ki Ageng Karang Lo akan turut menikmati kemewahan keturunan Ki Ageng Pemanahan.
Dan perkataan Sunan Kalijaga terbukti salah satu generasi keturunan Ki Ageng Karanglo mukti menjadi Permaisuri Sunan Pakubuwana III Raja Kraton Surakarta Hadiningrat."
RT Wirareja masih keturunan dari Raden Patah Raja Kraton Demak Bintoro. dengan urutan sbb : Syech Ibrahim Asmara berputra Sunan Ampel, berputri Ratu Mas Panggung ( permaisuri R Patah ), berputra RM Alit, berputra Panembahan Djogorogo, berputra Ki Ageng Ampuhan, berputra Ki Ageng Karanglo, berputra Ki Ageng Tjutjuk Telon, berputra Ki Ageng Tjutjuk Depok, Berputra KiAgeng Tjutjuk Singowongso, berputra Kyai Kertimantjut, berputri Nyai Sutowijaya, berputra Kyai Tumenggung Wiroredjo.
Tumenggung Wiraredja menurunkan:
1. Mas Adjeng Mojosongo
2. Raden Tg Pandji Cokronegoro
3. Kanjeng Ratu Kencana, Permaisuri Sunan PB III
4. Raden Tg Wiryodirdjo, Bupati Ponorogo
5. Raden Tg Pandji Surodilogo, Bupati Gedong Tengen Kraton Surakarta
6. Raden Ngabehi Surodipuro
7. Raden Ayu Surodiningrat, garwa ampil Bupati Ponorogo
8. Raden Tg Prawirodipuro
9. Raden Pandji Djoyolengkoro
10. Raden Ayu Wirodimedjo ing Probolinggo
11. Raden Bagus Bonno
RT Wiraredja adalah orang tua dari Permaisuri Sinuhun PB III yaitu GKR Kencana atau lebih dikenal GKR Beruk.
RT Wiraredja adalah keturunan Ki Ageng Karang Lo. Pada awalnya Beliau adalah seorang penjual arang kayu bakar di daerah Secoyudan barat Kraton Surakarta. Beliau punya kelebihan bisa menembangkan lagu lagu Mocopat. Kelebihan tersebut pada suatu saat menghantarkan Beliau masuk ke Karaton Surakarta untuk menggantikan kawannya yang kebetulan tidak bisa bertugas di Karaton sebagai Penembang. Hingga kemudia Beliau diangkat sebagai Penembang Kraton dengan nama Kyai Jagaswara. Ketika Beliau menjadi Mantri Keparak Kiwo, Beliau mendapat anugrah asma atau nama Mas Tumenggung Wirodjoyo
Selama bertugas di Kraton Kyai Jagaswara mengajak Putri Beliau yang masih kecil yang bernama Rara Handawiyah ikut berlatih sebagai penari Bedaya.
Hingga pada suatu malam ketika para penari bedaya sedang tidur, tiba tiba ada sebuah cahaya yang masuk kedalam tubuh salah satu penari tersebut yaitu Rara Handawiyah dan secara kebetulan hal tersebut diketahui Susuhunan PB III yang baru berjalan di area Karaton. Keesokan harinya Susuhunan PB III memanggil Kyai Jagaswara untuk menjaga putrinya tersebut dan jika kelak sudah cukup usia akan diperistri oleh Susuhunan PB III.
Dan waktu yang ditunggu tiba, Rara Handawiyah berkenan diangkat sebagai Garwa Ampil oleh Susuhunan PB III dan tidak lama kemudian Rara Handawiyah diangkat sebagai Garwa Permaisuri dengan gelar GKR Kencana yang kelak menurunkan :
1.Susuhunan PB IV
2.GKR Alit yang menikah dengan KPH Prabu Mijaya ( Putra KGPAA MN I) dan menurunkan KGPAA MN II
3.GKR Supiyah yang menikah dgn KPH Purbanegara ( putra KGPAA MN I)
4. KGPH Mangkubumi
5. KGPH Buminoto
6. GKR Kudus, Garwa Bupati Kudus.
7. GKR Maduretno
Setelah Putrinya diangkat sebagai Permaisuri, Kyai Jagaswara mendapat anugrah asma gelar R Tg Wiraredja.
Ketika R Tg Wiraredja wafat dimakamkan di Astana Makam Adji yang dipersiapkan khusus untuk makam Orang Tua Permaisuri Susuhunan PB III.
Astana Makam Adji terletak di Pajang Sukoharjo.
Kompleks Astana Makam Adji sekarang menjadi komplek makam keluarga keturunan Kraton Kasunanan Surakarta juga Para Ulama Kraton Surakarta.
KGPAA MANGKUNAGARA II
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II adalah penguasa kedua Puro Mangkunegaran Surakarta.
Terlahir dengan nama Raden Mas Sulama. Beliau adalah putra Sulung dari Kangjeng Pangeran Arya Prabumijaya I, putra dari KGPAA Mangkunegara I dari Garwa BRAy Kusuma Patahati, sedangkan ibunya ialah Kanjeng Ratu Alit, putri Sunan Paku Buwana III dan GKR Beruk
Semasa hidupnya KGPAA Mangkunagara II memiliki seorang Garwa Permaisuri dan 25 garwa ampil , Putra KGPAA Mangkunagara II total 69 putra, tetapi yang berusia hingga dewasa 34 adalah sbb :
1. BRAy Natakusuma (Garwa cucu Sunan PBIII)
2. BRAy Hadiwijaya I (Garwa cucu Sunan PB III)
3. KPH Suryanagara
4. KPH Suryadiningrat
5. KPH Suryamijaya I
6. KPH Surya Mataram
7. BRMH Suryadirja II
8. KPH Surya Nataningrat
9. BRAy Wiranagara
10. BRAy Prabumijaya III
11. KPH Surya Mijaya II
12. BRAy Balater , menantu PB IV
13. BRMH Suryadirja III
14. BRMH Surya Hadiwinata
15. BRAy Suwangsa Suryadipura II
16. BRMH Surya Hadipura
17. BRMH Surya Hadikusuma
18. BRAy Suryadipura anem
19. BRAy Kusumadilaga ( garwa bupati Tmg )
20. BRAy Singa Atmaja
21. BRM Surya Manguningrat
22. BRMH Surya Natamijaya
23. BRMH Surya Mangkuwinata I
24. BRAy Djayakusuna ( garwa putra PB IV )
25. BRMH Surya Nataatmaja
26. BRMH Mangkudilaga
27. BRMH Mlayakusuma
28. BRMH Surya Wiryadiningrat
29. BRMH Surya Pakuningrat
30. BRMH Surya Danuwinata
31. BRMH Brajanata
32. RAy Tg Mangkureja
33. BRAy Priyembada ( garwa putra PB IV )
34. BRMH Suryadilaga.
BRAy Natakusuma menurunkan KGPAA Mangkunagara III
BRAy Hadiwijaya I menurunkan KGPAA Mangkunagara IV
Al Fatihah kagem Eyang Leluhur KGPAA Mangkunagara II
Putra RT Wiraredja yang ke lima yaitu Raden Tumenggung Pandji Surodilogo menurunkan putra yaitu Raden Adipati Cokronegoro yang menjadi Pepatih Kraton Surakarta pada masa Sunan Pakubuwana IV, beliau menjabat selama delapan tahun.
Raden Adipati Cokronegoro menurunkan putra yaitu Raden Ngabehi Cakrawedana yang menjadi Ngabehi di Pasir. Raden Ngabehi Cakrawedana kemudian diangkat menjadi Bupati Cilacap dengan gelar Raden Adipati Cakrawedana, beberapa tahun kemudian R.Adp Cakrawedana dipindahkan tugas menjadi Bupati Banyumas.
R.Adp Cakrawedana menurunkan putra yaitu Raden Cokrodisosro kelak menjadi Bupati Banyumas dengan gelar Raden Adipati Cokronegoro I ( Bupati Banyumas th 1832 s/d 1864 )
Raden Adipati Cokronegoro I menikah dengan putri KPH Mangkubumi II ( cucu Sunan PBIII ) menurunkan sbb:
1. R.M.Tg Cokronegoro II, Bupati Banyumas
2. R.M Cokrodirdjo
3. R.Ay Cokrodisuryo
4. R.M Mangkoewinoto
5. R.Ay Sosrodiningrat menikah dg Pangeran Sosrodiningrat Paku Alaman.
6. R Cokro Atmojo
7. R Ngabehi Cokroseputro
8. R Ngabehi Cokrowiredjo
9. R Cokrodiwiryo
10. R.Ay Cokrosaprodjo
RM Mangkoewinoto menurunkan :
1.dr R.M Marwoto Mangkoewinoto
2. R.M Cokromarsadi Mangkoewinoto
3.dr R.M Marsaid Mangkoewinoto
4. R.M Markusen Mangkoewinoto
5. R.M Mawardi Mangkoewinoto
Al Fatihah kagem Eyang RT Wiraredja dan para leluhur lainnya.
Oleh KRT Sajid Jayaningrat ( JSM )
Setelah adanya negosiasi dengan pihak Akademi TNI dan Kemenkeu akhirnya Balai Kota Magelang, akan pindah di sebelah utara Alun-alun Kota Magelang. dan beginilah kira-kira desainnya by PT SKALA ABADI JAYA, Magelang. Skala Abadi Jaya, adalah juga perancang gedung RSUD Tidar Magelang, Gedung PUPR Magelang juga DP4kb yang ikonik. Tinggi 10 lantai
Penulis : Bagas Kara
Straatverkoop bij het station Tempel op het stoomtramtraject Jogjakarta - Moentilan,Midden-Java
Vervaardigingsjaar : 1904
Pedagang di stasiun Tempel,trayek Yogyakarta - Muntilan,Jawa Tengah...foto tanggal 05/08/1904
(NMvWereldculturen)
Foto studio seorang asisten rumah tangga di sebuah keluarga Eropa, Jawa Timur, Hindia Belanda, 1936.
koleksi:
KITLV
BALI, INDIA DAN JAWA..MAJAPAHIT
Menurut catatan Jawa, sejumlah Brahmana Shaiva mungkin datang dari India ke Majapahit sebelum kejatuhannya pada tahun 1478 dan kemudian melarikan diri ke Bali. Para Brahmana Bali menelusuri keturunannya dari Padanda Pandit Vahu Eavuh. sebuah nama yang artinya, yang baru tiba. Lima subdivisi Brahmana yang ada di Bali konon merupakan keturunan beliau dan kelima istrinya. Agama Budha masih bertahan di Bali namun agama Hindu sedang naik daun. Pada pesta besar, seorang pendeta Buddha diundang untuk bergabung dengan empat pandit Shaiva. Ida adalah gelar Brahmana, leva adalah gelar Kshatriya, Glusti adalah gelar Waisya, sedangkan Sudra diberi nama kesopanan.
Para pangeran ksatria Bali menelusuri garis keturunannya dari Deva A.gung~seorang pangeran Majapahit yang menetap di Bali. Sejak lama para kepala suku Bali tidak melupakan Jawa. Pulau Jawa bagian timur dan Bali bagian barat menjadi terpencil akibat peperangan yang terus menerus terjadi antara penduduk Muslim di Jawa dan Bali. Tidak berhasil di Jawa, para pangeran Bali menaklukkan beberapa pulau di timur, Lombok, dll. Hanya sebagian dari Weda yang bertahan di Bali. Brahmanda Purana mungkin sudah lengkap.
Di bawah judul Tutur kami mempunyai berbagai kumpulan teks Sansekerta tentang hukum dan pemerintahan Hindu, Bajaniti, dll. Ini hampir semua literatur Sansekerta yang masih dimiliki Bali. Ramayana yang belum mendapat IJttara Banda ada di Bali dalam bahasa Kavi. Uttara Kanda membentuk sebuah karya tersendiri. Nama Mahabharata tidak dikenal di Bali tetapi enam parvanya ada dalam bentuk lengkap di Kavi. Sisanya tidak lengkap. Lalu ada kronik atau balada. e. G. Usana Jawa dan Usana Bali. Yang terakhir menyebut pulau Balianka. pangkuan orang-orang yang kuat dan gagah berani. sehingga dengan tepat mengekspresikan semangat berani dan suka berperang dari orang Bali.
....
A.W.V HINNE SANG PENAKLUK SI PITUNG
Adolf Wilhelm Verbond Hinne atau Tuan Schout Hinne adalah seorang Polisi di Batavia yang terkenal karena keterlibatan dan keberhasilannya menangkap Si Pitung di Tanah Abang, Batavia pada bulan Oktober 1893. Schout Hinne memimpin penyergapan dan menembak buronan Kompeni tapi sekaligus pahlawan Betawi tersebut saat baku tembak di kuburan. Selain Pitung, Schout Hinne juga banyak terlibat dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus kasus besar di Batavia. Karena berbagai hal tersebut Hinne mendapat julukan “Sherlock Holmes Hindia Belanda”
Lahir di Borneo (Kalimantan) pada tahun 1852 dengan nama Scipio, Ayahnya adalah seorang infanteri berdarah Perancis yang diakuinya hanya sebatas ayah angkat saja dan ibunya seorang wanita pribumi.
Sewaktu kecil Hinne pernah diculik gerombolan bajak laut Aceh dan tinggal bersama mereka selama 6 (Enam) tahun lamanya, di mana peristiwa ini ikut membentuk karakter dirinya tumbuh menjadi seorang anak yang pemberani karena pernah dididik di lingkungan dan kehidupan keras.
Ketika beranjak dewasa Hinne memulai karirnya di pemerintahan, tepatnya di karesidenan Padang, Sumatera Barat. Setelah itu pindah tugas sebagai kepala kantor Pos di Ternate, kemudian mengajukan diri menjadi polisi hutan di Jawa dan berhasil menumpas bajak laut Medomo di Halmahera.
Pengalaman Hinne sebagai polisi hutan berhasil membawanya menjadi seorang polisi unit khusus di Batavia yang bertanggungjawab membersihkan daerah Ommelanden (pinggiran), dimulai sebagai Onderschout (Deputi) di distrik Tanah Abang pada 1887. Hinne dikenal sosok polisi pemberani, berdarah dingin dan ahli strategi serta lihai mengatasi orang-orang yang dijuluki “trouble maker”, khususnya di daerah Ommelanden, yang dianggap pemerintah kolonial sebagai zona merah.
Salah satu prestasi fenomenal Schout Hinne adalah keterlibatannya dalam penangkapan Si Pitung pada tahun 1893, Si Pitung adalah seorang jagoan Betawi yang saat itu dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat Betawi karena keberpihakan dan keberaniannya dalam melawan kesewenang-wenangan kompeni dan Tuan Tanah yang menindas rakyat kecil. Tapi bagi kompeni Si Pitung adalah buronan perampok yang meresahkan keamanan Batavia setelah dia melakukan aksi perampokan terhadap Haji Sapiudin, seorang tuan tanah asal Bugis, Sulawesi Selatan. Konon Si Pitung selama ini sulit ditangkap dan punya ilmu kebal, akhirnya berhasil dilumpuhkan dan ditembak mati dengan peluru emas, karena pengkhianatan salah seorang temannya yang memberitahukan kelemahan Si Pitung, tapi cerita tentang kesaktian Si Pitung ini masih perlu dikonfirmasi kebenarannya, karena banyak versi cerita yang beredar. Setelah penangkapan Si Pitung, Hinne mendapatkan bintang penghargaan dari Ratu Belanda bergelar, Broeder van den Nederlandsche Leeuw. Peristiwa ini sebagaimana mengutip Hindia Olanda (1893) berikut: “Toean Hinne soedah dapet koernia-an bintang “Broeder van den Nederlandsche Leeuw dari sebab banjak kerdjaan besar jang ija telah perboewat”.Dan atas prestasinya ini pula Hinne mendapat promosi sebagai Schout dengan wilayah tugas di seluruh Karesidenan Batavia.
Selain penangkapan Si Pitung, kasus besar lain adalah keberhasilan Hinne dalam mengungkap kasus pembunuhan Fatima, dimana melalui penyelidikan Hinne, akhirnya Kepolisian Batavia berhasil menetapkan 5 (lima) orang tersangka yang ternyata salah satunya melibatkan Kontrolir Kepolisian W.H.L Johan. Akibatnya terjadi perseteruan hebat antara Hinne dan Johan di Kepolisian, tetapi di mata public, nama Hinne semakin harum, masyarakat menganggap Hinne adalah satu-satunya polisi yang jujur tulis Margreet Van Till dalam bukunya “Batavia Kala Malam : Polisi, Bandit dan Senjata Api”.
Pada 1913 Keberhasilan Schout Hinne dalam mengalahkan para jago yang tersohor di Batavia menginspirasi sebuah surat kabar di Batavia “Bataviaasch Handelsblad” untuk membuat cerita bersambung berjudul “De Indische Sherlock Holmes” dengan menjadikan Hinne sebagai modelnya. Dalam cerita tersebut dituliskan bagaimana Hinne menyamar sebagai Kusir Sado dalam operasi penangkapan Gantang, seorang penjahat yang terkenal licin karena meski pernah ditangkap tapi masih berhasil kabur dari penjara.
Dibalik semua kegemilangan prestasinya di Kepolisian, karir Schout Hinne ternyata kurang begitu berkembang, posisi puncak tertinggi yang pernah dijabat hanya mentok sebagai Asisten Kepala Komisaris Kepolisian, Hinne tidak pernah mencapai pangkat tertinggi sebagai seorang Kepala Komisaris. Menurut Margreet Van Till banyak kemungkinan penyebabnya, diantaranya factor usia, factor latar belakang seorang kelahiran Hindia dan kurangnya pengetahuan teknis. Dan sebuah kejadian tragis yang mengakibatkan kematian bawahannya ketika secara tidak sengaja menarik pelatuk saat tengah membersihkan senjata Hinne, berdampak sangat besar dan membuatnya terpuruk secara psikis. Hinne kemudian mengajukan pensiun setelah menerima bintang jasa kedua.
Schout Hinne akhirnya meninggal pada tahun 1915, setelah kematiannya sepak terjang Hinne selama menjadi Polisi di Batavia di siarkan oleh Radio Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij (NIROM) pada tahun 1932.
Itulah sekilas kisah Schout Hinne. Terima kasih sudah membacanya.
Sumber :
Margaret Van Till Batavia Kala Malam (Polisi, Bandit dan Senjata Api), Sindonews, Facebook Betawi antar generasi. dll
Ka
A.W.V HINNE SANG PENAKLUK SI PITUNG
Adolf Wilhelm Verbond Hinne atau Tuan Schout Hinne adalah seorang Polisi di Batavia yang terkenal karena keterlibatan dan keberhasilannya menangkap Si Pitung di Tanah Abang, Batavia pada bulan Oktober 1893. Schout Hinne memimpin penyergapan dan menembak buronan Kompeni tapi sekaligus pahlawan Betawi tersebut saat baku tembak di kuburan. Selain Pitung, Schout Hinne juga banyak terlibat dalam penyelidikan dan penyelesaian kasus kasus besar di Batavia. Karena berbagai hal tersebut Hinne mendapat julukan “Sherlock Holmes Hindia Belanda”
Lahir di Borneo (Kalimantan) pada tahun 1852 dengan nama Scipio, Ayahnya adalah seorang infanteri berdarah Perancis yang diakuinya hanya sebatas ayah angkat saja dan ibunya seorang wanita pribumi.
Sewaktu kecil Hinne pernah diculik gerombolan bajak laut Aceh dan tinggal bersama mereka selama 6 (Enam) tahun lamanya, di mana peristiwa ini ikut membentuk karakter dirinya tumbuh menjadi seorang anak yang pemberani karena pernah dididik di lingkungan dan kehidupan keras.
Ketika beranjak dewasa Hinne memulai karirnya di pemerintahan, tepatnya di karesidenan Padang, Sumatera Barat. Setelah itu pindah tugas sebagai kepala kantor Pos di Ternate, kemudian mengajukan diri menjadi polisi hutan di Jawa dan berhasil menumpas bajak laut Medomo di Halmahera.
Pengalaman Hinne sebagai polisi hutan berhasil membawanya menjadi seorang polisi unit khusus di Batavia yang bertanggungjawab membersihkan daerah Ommelanden (pinggiran), dimulai sebagai Onderschout (Deputi) di distrik Tanah Abang pada 1887. Hinne dikenal sosok polisi pemberani, berdarah dingin dan ahli strategi serta lihai mengatasi orang-orang yang dijuluki “trouble maker”, khususnya di daerah Ommelanden, yang dianggap pemerintah kolonial sebagai zona merah.
Salah satu prestasi fenomenal Schout Hinne adalah keterlibatannya dalam penangkapan Si Pitung pada tahun 1893, Si Pitung adalah seorang jagoan Betawi yang saat itu dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat Betawi karena keberpihakan dan keberaniannya dalam melawan kesewenang-wenangan kompeni dan Tuan Tanah yang menindas rakyat kecil. Tapi bagi kompeni Si Pitung adalah buronan perampok yang meresahkan keamanan Batavia setelah dia melakukan aksi perampokan terhadap Haji Sapiudin, seorang tuan tanah asal Bugis, Sulawesi Selatan. Konon Si Pitung selama ini sulit ditangkap dan punya ilmu kebal, akhirnya berhasil dilumpuhkan dan ditembak mati dengan peluru emas, karena pengkhianatan salah seorang temannya yang memberitahukan kelemahan Si Pitung, tapi cerita tentang kesaktian Si Pitung ini masih perlu dikonfirmasi kebenarannya, karena banyak versi cerita yang beredar. Setelah penangkapan Si Pitung, Hinne mendapatkan bintang penghargaan dari Ratu Belanda bergelar, Broeder van den Nederlandsche Leeuw. Peristiwa ini sebagaimana mengutip Hindia Olanda (1893) berikut: “Toean Hinne soedah dapet koernia-an bintang “Broeder van den Nederlandsche Leeuw dari sebab banjak kerdjaan besar jang ija telah perboewat”.Dan atas prestasinya ini pula Hinne mendapat promosi sebagai Schout dengan wilayah tugas di seluruh Karesidenan Batavia.
Selain penangkapan Si Pitung, kasus besar lain adalah keberhasilan Hinne dalam mengungkap kasus pembunuhan Fatima, dimana melalui penyelidikan Hinne, akhirnya Kepolisian Batavia berhasil menetapkan 5 (lima) orang tersangka yang ternyata salah satunya melibatkan Kontrolir Kepolisian W.H.L Johan. Akibatnya terjadi perseteruan hebat antara Hinne dan Johan di Kepolisian, tetapi di mata public, nama Hinne semakin harum, masyarakat menganggap Hinne adalah satu-satunya polisi yang jujur tulis Margreet Van Till dalam bukunya “Batavia Kala Malam : Polisi, Bandit dan Senjata Api”.
Pada 1913 Keberhasilan Schout Hinne dalam mengalahkan para jago yang tersohor di Batavia menginspirasi sebuah surat kabar di Batavia “Bataviaasch Handelsblad” untuk membuat cerita bersambung berjudul “De Indische Sherlock Holmes” dengan menjadikan Hinne sebagai modelnya. Dalam cerita tersebut dituliskan bagaimana Hinne menyamar sebagai Kusir Sado dalam operasi penangkapan Gantang, seorang penjahat yang terkenal licin karena meski pernah ditangkap tapi masih berhasil kabur dari penjara.
Dibalik semua kegemilangan prestasinya di Kepolisian, karir Schout Hinne ternyata kurang begitu berkembang, posisi puncak tertinggi yang pernah dijabat hanya mentok sebagai Asisten Kepala Komisaris Kepolisian, Hinne tidak pernah mencapai pangkat tertinggi sebagai seorang Kepala Komisaris. Menurut Margreet Van Till banyak kemungkinan penyebabnya, diantaranya factor usia, factor latar belakang seorang kelahiran Hindia dan kurangnya pengetahuan teknis. Dan sebuah kejadian tragis yang mengakibatkan kematian bawahannya ketika secara tidak sengaja menarik pelatuk saat tengah membersihkan senjata Hinne, berdampak sangat besar dan membuatnya terpuruk secara psikis. Hinne kemudian mengajukan pensiun setelah menerima bintang jasa kedua.
Schout Hinne akhirnya meninggal pada tahun 1915, setelah kematiannya sepak terjang Hinne selama menjadi Polisi di Batavia di siarkan oleh Radio Nederlands Indische Radio Omroep Maatschapij (NIROM) pada tahun 1932.
Itulah sekilas kisah Schout Hinne. Terima kasih sudah membacanya.
Sumber :
Margaret Van Till Batavia Kala Malam (Polisi, Bandit dan Senjata Api), Sindonews, Facebook Betawi antar generasi. dll