31 January 2024

Murdijati Dipodipuro tercatat sebagai sarjana pertama yang diluluskan oleh @ftp_ugm tepat 58 tahun yang lalu, sekaligus menjadi sarjana teknologi pertanian pertama di Indonesia. Wah keren sekali ya Kawan UGM. ✨

 Murdijati Dipodipuro tercatat sebagai sarjana pertama yang diluluskan oleh @ftp_ugm tepat 58 tahun yang lalu, sekaligus menjadi sarjana teknologi pertanian pertama di Indonesia. Wah keren sekali ya Kawan UGM. ✨



Jalur perlintasan kereta api di Sleman, tahun 1970an. 📸 Flickr

 Jalur perlintasan kereta api di Sleman, tahun 1970an.

📸 Flickr



KYAI NGABEHI KUDANAWARSA Kyai Ngabehi Kudanawarsa adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan memiliki andil besar dalam menghantarkan RM Said / RM Suryakusuma menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran Surakarta. Kyai Ngabehi Kudanawarsa adalah Seorang Pembantu, Pembina, Penasehat, Panglima Perang yang ulung bagi RM Said. Beliau yang memberi nasehat ketika RM Said yang saat itu berusia 15 tahun menghadapnya dan berkeinginan untuk keluar dari Keraton Kartasura. Saat itu Kyai Ngabei Kudanawarsa yang masih bernama Ki Wirodiwongso berkata : "Anakmas, keinginan paduka yang demikian itu menurut pendapat hamba tidak ada lagi yang mau membantu bela mati kecuali kerabat paduka di Nglaroh. Kalau menerima usul hamba silakan paduka segera meninggalkan keraton, langsung menuju Nglaroh untuk bersiaga perang" Ketika sampai di Tanah Nglaroh, RM Suryakusuma diperkenalkan kepada rakyat Nglaroh. Siang malam RM Suryakusuma di didik berbagai olah kanuragan juga meditasi ditempat yg wingit serta mendapat piwulang / pitutur para luhur dari Ki Wirodiwongso Ki Wirodiwongso mendampingi RM Suryakusuma sejak awal perjuangan hingga selesai perjuangan selama 16 tahun. Nama Kyai Ngabei Kudanawarsa adalah nama pemberian RM Suryakusuma untuk Ki Wirodiwongso yang masih terhitung Paman beliau. Ketika RM Suryakusuma menjadi Pengageng Puro Mangkunegaran, Kyai Ngabei Kudanawarsa diangkat menjadi Patih yang bertanggung jawab terhadap urusan diluar Pura Mangkunegaran, dan ditugaskan mengawasi wilayah Mangkunegaran bagian Selatan dan Tenggara dengan pangkat Bupati. Setelah kondisi Pura Mangkunegaran mulai stabil. Kyai Ngabei Kudanawarsa diangkat menjadi Bupati di wilayah Kaduwang. Kyai Ngabei Kudanawarsa melewati masa Sepuhnya di tanah tumpah darahnya, hingga beliau wafat dan dimakamkan di Mantenan, Jaten Selogiri Wonogiri.Kedudukan Bupati diteruskan oleh Pangeran Suryanagara ( putra Kyai Ngabei Kudanawarsa ). Kyai Ngabei Kudanawarsa adalah wayah wareng ( grad V ) dari Sultan Agung Hanyokrokusumo Berikut silsilahnya: 1.Sultan Agung Hanyokrokusumo berputra : RM Kasim (Pangeran Demang Tanpa Nangkil I) 2.Pangeran Demang Tanpa Nangkil I berputra : Panembahan Demang Tanpa Nangkil II, beliau bertempat di daerah Sukowati ( Sragen ). 3. Panembahan Demang Tanpa Nangkil II berputra : Raden Demang Hadiraja I yang menjadi Penguasa di Tanah Nglaroh. 4. Raden Demang Hadiraja I berputra : 4.1. Mas Ayu Kusumanarso ( menjadi Garwa Pertama Sunan Amangkurat IV ). Mas Ayu Kusumanarso menurunkan Pangeran Mangkunagara hing Kartasura. Pangeran Mangkunagara berputra RM Said / RM Suryakusuma ( KGPAA Mangkunagara I ) 4.2. Raden Demang Hadiraja II, menjadi Penguasa di Tanah Nglaroh. Raden Demang Hadiraja II menurunkan Kyai Wirodiwongso ( Kyai Ngabehi Kudanawarsa ) foto ilustrasi : Krisna sebagai kusir kereta ( penasehat ) Arjuna dalam perang Baratayudha.

 KYAI NGABEHI KUDANAWARSA


Kyai Ngabehi Kudanawarsa adalah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dan memiliki andil besar dalam menghantarkan RM Said / RM Suryakusuma menjadi Pengageng Pura Mangkunegaran Surakarta.


Kyai Ngabehi Kudanawarsa adalah Seorang Pembantu, Pembina, Penasehat, Panglima Perang yang ulung bagi RM Said. Beliau yang memberi nasehat ketika RM Said yang saat itu berusia 15 tahun menghadapnya dan berkeinginan untuk keluar dari Keraton Kartasura.

Saat itu Kyai Ngabei Kudanawarsa yang masih bernama Ki Wirodiwongso berkata :


  "Anakmas, keinginan paduka yang demikian itu menurut pendapat hamba tidak ada lagi yang mau membantu bela mati kecuali kerabat paduka di Nglaroh. Kalau menerima usul hamba silakan paduka segera meninggalkan keraton, langsung menuju Nglaroh untuk bersiaga perang"


Ketika sampai di Tanah Nglaroh, RM Suryakusuma diperkenalkan kepada rakyat Nglaroh. Siang malam RM Suryakusuma di didik berbagai olah kanuragan juga meditasi ditempat yg wingit serta mendapat piwulang / pitutur para luhur dari Ki Wirodiwongso


Ki Wirodiwongso mendampingi RM Suryakusuma sejak awal perjuangan hingga selesai perjuangan selama 16 tahun.

Nama Kyai Ngabei Kudanawarsa adalah nama pemberian RM Suryakusuma untuk Ki Wirodiwongso yang masih terhitung Paman beliau.


Ketika RM Suryakusuma menjadi Pengageng Puro Mangkunegaran, Kyai Ngabei Kudanawarsa diangkat menjadi Patih yang bertanggung jawab terhadap urusan diluar Pura Mangkunegaran, dan ditugaskan mengawasi wilayah Mangkunegaran bagian Selatan dan Tenggara dengan pangkat Bupati.


Setelah kondisi Pura Mangkunegaran mulai stabil. Kyai Ngabei Kudanawarsa diangkat menjadi Bupati di wilayah Kaduwang.

Kyai Ngabei Kudanawarsa melewati masa Sepuhnya di tanah tumpah darahnya, hingga beliau wafat dan dimakamkan di Mantenan, Jaten Selogiri Wonogiri.Kedudukan Bupati diteruskan oleh Pangeran Suryanagara ( putra  Kyai Ngabei Kudanawarsa ).


Kyai Ngabei Kudanawarsa adalah wayah wareng ( grad V ) dari Sultan Agung Hanyokrokusumo 

Berikut silsilahnya:

1.Sultan Agung Hanyokrokusumo berputra :

RM Kasim (Pangeran Demang Tanpa Nangkil I)


2.Pangeran Demang Tanpa Nangkil I berputra : 

Panembahan Demang Tanpa Nangkil II, beliau bertempat di daerah Sukowati ( Sragen ).


3. Panembahan Demang Tanpa Nangkil II berputra : Raden Demang Hadiraja I yang menjadi Penguasa di Tanah Nglaroh.


4. Raden Demang Hadiraja I berputra :

4.1. Mas Ayu Kusumanarso ( menjadi Garwa Pertama Sunan Amangkurat IV ).

Mas Ayu Kusumanarso menurunkan Pangeran Mangkunagara hing Kartasura. 

Pangeran Mangkunagara berputra RM Said / RM Suryakusuma ( KGPAA Mangkunagara I )


4.2. Raden Demang Hadiraja II, menjadi Penguasa di Tanah Nglaroh.

Raden Demang Hadiraja II menurunkan Kyai Wirodiwongso ( Kyai Ngabehi Kudanawarsa )


foto ilustrasi : Krisna sebagai kusir kereta ( penasehat ) Arjuna dalam perang Baratayudha.



Es Puter

 Jaman cilikan kula udakawis tahun 70 an mapan ing karang pradesan, welah nepaki buka pasa lha kok saupama  kasembadan nyucup Es Puter ingkang asring pun sade dipikul muter kampung ngeten niki ~ biyuuuuuh bungahe jyan ramekakat, rasa rasane wis ningrat byanget ... hmmmm



Ning emane saemut kula ya ra keturutan niku leh jaman semanten ~ paling banter sing keturutan nggih ngenyoot bendoyo krai nika leh  .....hiiiks .. hiikss


Ngaten niki yen boten kalih sedulur dhewe kula nggih wegyaaah cerita mundhak kemisisnaan ....qiqiqiqi

Tonil

 Salah satu hiburan rakyat di masa lalu sebelum Indonesia merdeka, antara lain  pertunjukan Tonil atau Sandiwara. Ini iklan dari Grup Tonil Darmo Moeda, tentang jadwal pertunjukan di Gedung “Beatrix Theater” yang berlokasi di Kapasari Surabaya. 



Ada pertunjukan spesial hari Sabtu malam yaitu pertunjukan Tonil “Djoko-Sengoro”, dan di beberapa jadwal pertunjukkan tonil lainnya untuk beberapa berikutnya. Silakan tonton beramai-ramai! ( hanya iklannya saja). 


Sumber: Soeara Omoem, 16-3-1940. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#Kesenian #tonil #sandiwara

Ketika Aspasia Jadi 'Guru' Retorika Socrates di Sejarah Yunani Kuno ________________________________________________ Aspasia bekerja sebagai hetaira, wanita kelas atas yang menjadi pendamping pria berkuasa dalam sejarah Yunani kuno. Namun di sisi lain, sosok Aspasia menurut para filsuf adalah ahli retorika, bahkan dia mengajari Socrates. Aspasia lahir dari keluarga berpangkat tinggi di kota Miletus kemudian pindah ke Athena, untuk menghindari kerusuhan politik. Dalam sejarah Yunani kuno, saat di Athena, Aspasia diklasifikasikan sebagai penduduk asing, dan tidak memiliki hak sebagai warga negara. Saat berada Athena, dikatakan Aspasia bekerja sebagai hetaira atau pelacur. Peran hetaira tidak hanya menyediakan seks, tetapi juga pendampingan intelektual, percakapan, dan dukungan emosional. Hal ini berarti bahwa banyak hetaira termasuk wanita paling berpendidikan tinggi di Athena, dan beberapa di antaranya memperoleh kekayaan dan kekuasaan politik yang besar. Skandal Hubungan Aspasia dan Pericles Hubungan Pericles dengan Aspasia dari Miletus, wanita dengan kecerdasan dan karisma yang tinggi memainkan peran penting dalam hidupnya. Aspasia, sering digambarkan sebagai rekan dan orang kepercayaannya, adalah seorang penduduk asing di Athena. Sosoknya dikenal karena hubungannya dengan orang-orang terkemuka di Athena. Hubungan mereka tidak lazim pada saat itu, mengingat asal usulnya yang bukan orang Athena. Bersama-sama, mereka memiliki seorang putra bernama Pericles the Younger. Aspasia sendiri merupakan sosok yang unik dan berpengaruh dalam masyarakat Athena. Dia sering dianggap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pericles, terutama dalam pandangan dan kebijakannya mengenai perempuan dan budaya. Rumahnya merupakan pusat diskusi intelektual, menarik para filsuf dan negarawan, termasuk Socrates di sejarah Yunani kuno. Meski menghadapi kritik dan pengawasan sosial, hubungan mereka bertahan hingga kematian Pericles. Sepanjang hidupnya, Pericles dikenal karena sikapnya yang berhati-hati di depan umum dan menghindari kesombongan pribadi. Dia mempertahankan gaya hidup yang pendiam dan sederhana, sadar akan citra publiknya dan pengawasan yang datang dari posisinya. Pribadi yang disiplin, memiliki kesopanan terlepas dari statusnya yang kuat, adalah sifat-sifat yang membuatnya dihormati di antara orang-orang sezamannya. Aspasia menjalin hubungan jangka panjang dengan Pericles. Karena Aspasia adalah orang luar, maka perkawinan mereka tidak dapat diakui secara hukum, sehingga perkawinan tersebut tidak sah. Namun demikian, hubungan jangka panjang Aspasia dengan Pericles mungkin telah memberinya perlindungan dan akses ke masyarakat kelas atas Athena. Dia bertemu dengan filsuf Socrates, yang menurut catatan Plato, menganggapnya sebagai gurunya. Satu hal yang jelas dari catatan kontemporer adalah bahwa Aspasia adalah sosok yang kontroversial, begitu pula hubungannya dengan Pericles. Baik dia maupun Pericles sering menjadi sasaran kritik dan serangan. Penulis drama Aristophanes bahkan menyalahkannya, tanpa sedikit bukti atas pecahnya perang Peloponnesia. Pada 429 SM, wabah penyakit melanda Athena. Pericles menyaksikan banyak anggota keluarganya meninggal, dan kemudian dia pun menyerah. Sepeninggal Pericles, Aspasia terus tinggal di Athena. Namun nampaknya setelah kematian pasangannya, dia semakin menjauh dari pusat kekuasaan. Pengetahuan kita tentang kehidupannya di kemudian hari sama tidak pasti dan kaburnya dengan pengetahuan yang kita miliki tentang kehidupan awalnya. Kemungkinan besar dia meninggal sekitar tahun 401 SM, beberapa tahun sebelum kematian Socrates. Aspasia, Ahli Retorika di Sejarah Yunani kuno Aspasia terkenal terutama sebagai ahli retorika. Menurut Aristoteles, retorika adalah seni untuk mendengar melalui penggunaan logika, etika dan emosi. Menurut tradisi, Aspasia adalah seorang pembicara yang sangat persuasif sehingga dia mengajari Pericles, jenderal militer yang hebat. Kemudian Socrates sang filsuf besar, cara berbicara secara persuasif hingga memenangkan hati orang lain. Dalam dialog Plato yang disebut Menexenus, Socrates berkata, 'Saya kebetulan tidak punya guru pidato yang kejam' — dan guru itu adalah Aspasia. Socrates adalah seorang filsuf moral. Dia tidak tertarik pada matematika atau sains tetapi peduli dengan kualitas jiwanya dan kualitas orang lain. Filsafat Socrates mengkaji bagaimana kita seharusnya hidup. Hal ini membawanya pada diskusi tentang berbagai kebajikan, seperti kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan kesalehan. Beliau mengajarkan bahwa manusia hendaknya tidak terlalu memedulikan tubuh dan harta benda mereka. Namun lebih memperhatikan jiwa mereka, dengan mengatakan, “kekayaan tidak mendatangkan kebaikan, tetapi kebaikan mendatangkan kekayaan.” Karena itu, dia yakin dia melayani kota Athena dan warganya dengan menyoroti pemikiran mereka yang salah. Di Yunani Kuno, gagasan retorika selalu dicurigai. Apalagi ahli retorika perempuan. Argumen yang menentang retorika adalah bahwa jika kita cukup terampil, kita dapat meyakinkan orang tentang apa pun—baik itu benar atau tidak—sehingga retorika merupakan alat yang ambivalen. Anggapan paling buruk, retorika merupakan ancaman nyata terhadap perdebatan yang masuk akal. Namun argumen tandingannya, yang juga dibuat oleh Aristoteles adalah retorika merupakan keterampilan penting, yang melengkapi pencarian kita akan kebenaran. Jika Anda mengetahui sesuatu itu benar, tetapi tidak mampu meyakinkan orang lain, maka pengetahuan ini sulit digunakan. Dalam pandangan kedua ini, retorika penting dalam penalaran dan perdebatan publik. Kebenaran tidak ada gunanya jika kita tidak dapat meyakinkan siapa pun tentang kebenaran tersebut. Jika Aspasia memang guru retorika Socrates, jelas bahwa dia berhasil. Dialog Plato memberikan banyak bukti tentang gaya debat dan argumentasi Socrates yang sangat persuasif. Namun kisah Aspasia di sejarah Yunani kuno juga mengingatkan kita akan peran perempuan yang seringkali tersembunyi dalam tradisi filosofis dunia. Kesulitan besar yang kita hadapi dalam meluruskan kisahnya adalah konsekuensi dari suara perempuan yang sering terdistorsi dan dikucilkan dari tradisi.

 Ketika Aspasia Jadi 'Guru' Retorika Socrates di Sejarah Yunani Kuno

________________________________________________



Aspasia bekerja sebagai hetaira, wanita kelas atas yang menjadi pendamping pria berkuasa dalam sejarah Yunani kuno.


Namun di sisi lain, sosok Aspasia menurut para filsuf adalah ahli retorika, bahkan dia mengajari Socrates.


Aspasia lahir dari keluarga berpangkat tinggi di kota Miletus kemudian pindah ke Athena, untuk menghindari kerusuhan politik.


Dalam sejarah Yunani kuno, saat di Athena, Aspasia diklasifikasikan sebagai penduduk asing, dan tidak memiliki hak sebagai warga negara.


Saat berada Athena, dikatakan Aspasia bekerja sebagai hetaira atau pelacur. Peran hetaira tidak hanya menyediakan seks, tetapi juga pendampingan intelektual, percakapan, dan dukungan emosional.


Hal ini berarti bahwa banyak hetaira termasuk wanita paling berpendidikan tinggi di Athena, dan beberapa di antaranya memperoleh kekayaan dan kekuasaan politik yang besar.


Skandal Hubungan Aspasia dan Pericles


Hubungan Pericles dengan Aspasia dari Miletus, wanita dengan kecerdasan dan karisma yang tinggi memainkan peran penting dalam hidupnya. 


Aspasia, sering digambarkan sebagai rekan dan orang kepercayaannya, adalah seorang penduduk asing di Athena. Sosoknya dikenal karena hubungannya dengan orang-orang terkemuka di Athena.


Hubungan mereka tidak lazim pada saat itu, mengingat asal usulnya yang bukan orang Athena. Bersama-sama, mereka memiliki seorang putra bernama Pericles the Younger.


Aspasia sendiri merupakan sosok yang unik dan berpengaruh dalam masyarakat Athena.


Dia sering dianggap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Pericles, terutama dalam pandangan dan kebijakannya mengenai perempuan dan budaya.


Rumahnya merupakan pusat diskusi intelektual, menarik para filsuf dan negarawan, termasuk Socrates di sejarah Yunani kuno.


Meski menghadapi kritik dan pengawasan sosial, hubungan mereka bertahan hingga kematian Pericles. 


Sepanjang hidupnya, Pericles dikenal karena sikapnya yang berhati-hati di depan umum dan menghindari kesombongan pribadi.


Dia mempertahankan gaya hidup yang pendiam dan sederhana, sadar akan citra publiknya dan pengawasan yang datang dari posisinya.


Pribadi yang disiplin, memiliki kesopanan terlepas dari statusnya yang kuat, adalah sifat-sifat yang membuatnya dihormati di antara orang-orang sezamannya.


Aspasia menjalin hubungan jangka panjang dengan Pericles. Karena Aspasia adalah orang luar, maka perkawinan mereka tidak dapat diakui secara hukum, sehingga perkawinan tersebut tidak sah.


Namun demikian, hubungan jangka panjang Aspasia dengan Pericles mungkin telah memberinya perlindungan dan akses ke masyarakat kelas atas Athena.


Dia bertemu dengan filsuf Socrates, yang menurut catatan Plato, menganggapnya sebagai gurunya. 


Satu hal yang jelas dari catatan kontemporer adalah bahwa Aspasia adalah sosok yang kontroversial, begitu pula hubungannya dengan Pericles. Baik dia maupun Pericles sering menjadi sasaran kritik dan serangan.


Penulis drama Aristophanes bahkan menyalahkannya, tanpa sedikit bukti atas pecahnya perang Peloponnesia.


Pada 429 SM, wabah penyakit melanda Athena. Pericles menyaksikan banyak anggota keluarganya meninggal, dan kemudian dia pun menyerah. 


Sepeninggal Pericles, Aspasia terus tinggal di Athena. Namun nampaknya setelah kematian pasangannya, dia semakin menjauh dari pusat kekuasaan. 


Pengetahuan kita tentang kehidupannya di kemudian hari sama tidak pasti dan kaburnya dengan pengetahuan yang kita miliki tentang kehidupan awalnya.


Kemungkinan besar dia meninggal sekitar tahun 401 SM, beberapa tahun sebelum kematian Socrates.


Aspasia, Ahli Retorika di Sejarah Yunani kuno


Aspasia terkenal terutama sebagai ahli retorika. Menurut Aristoteles, retorika adalah seni untuk mendengar melalui penggunaan logika, etika dan emosi.


Menurut tradisi, Aspasia adalah seorang pembicara yang sangat persuasif sehingga dia mengajari Pericles, jenderal militer yang hebat.


Kemudian Socrates sang filsuf besar, cara berbicara secara persuasif hingga memenangkan hati orang lain.


Dalam dialog Plato yang disebut Menexenus, Socrates berkata, 'Saya kebetulan tidak punya guru pidato yang kejam' — dan guru itu adalah Aspasia.


Socrates adalah seorang filsuf moral. Dia tidak tertarik pada matematika atau sains tetapi peduli dengan kualitas jiwanya dan kualitas orang lain.


Filsafat Socrates mengkaji bagaimana kita seharusnya hidup. Hal ini membawanya pada diskusi tentang berbagai kebajikan, seperti kebijaksanaan, keadilan, keberanian dan  kesalehan.


Beliau mengajarkan bahwa manusia hendaknya tidak terlalu memedulikan tubuh dan harta benda mereka.


Namun lebih memperhatikan jiwa mereka, dengan mengatakan, “kekayaan tidak mendatangkan kebaikan, tetapi kebaikan mendatangkan kekayaan.”


Karena itu, dia yakin dia melayani kota Athena dan warganya dengan menyoroti pemikiran mereka yang salah.


Di Yunani Kuno, gagasan retorika selalu dicurigai. Apalagi ahli retorika perempuan. Argumen yang menentang retorika adalah bahwa jika kita cukup terampil, kita dapat meyakinkan orang tentang apa pun—baik itu benar atau tidak—sehingga retorika merupakan alat yang ambivalen. Anggapan paling buruk, retorika merupakan ancaman nyata terhadap perdebatan yang masuk akal.


Namun argumen tandingannya, yang juga dibuat oleh Aristoteles adalah retorika merupakan keterampilan penting, yang melengkapi pencarian kita akan kebenaran.


Jika Anda mengetahui sesuatu itu benar, tetapi tidak mampu meyakinkan orang lain, maka pengetahuan ini sulit digunakan.


Dalam pandangan kedua ini, retorika penting dalam penalaran dan perdebatan publik. Kebenaran tidak ada gunanya jika kita tidak dapat meyakinkan siapa pun tentang kebenaran tersebut.


Jika Aspasia memang guru retorika Socrates, jelas bahwa dia berhasil. Dialog Plato memberikan banyak bukti tentang gaya debat dan argumentasi Socrates yang sangat persuasif.


Namun kisah Aspasia di sejarah Yunani kuno juga mengingatkan kita akan peran perempuan yang seringkali tersembunyi dalam tradisi filosofis dunia.


Kesulitan besar yang kita hadapi dalam meluruskan kisahnya adalah konsekuensi dari suara perempuan yang sering terdistorsi dan dikucilkan dari tradisi.

La Aka, Raja Muna ke - 26 ( 1861 - 1864 M ) ________________________________________________ La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.

 La Aka, Raja Muna ke - 26 ( 1861 - 1864 M )

________________________________________________



La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.


29 January 2024

Candi Borobudur

 Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram), monumen ini dikaitkan dengan kesialan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat tabu yang melarang orang untuk mengunjungi monumen ini, "Sang Pangeran datang mengunjungi satria yang terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu situs ini. Meskipun secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini tidak terurus dan ditutupi semak belukar, tempat ini pernah menjadi sarang wabah penyakit seperti demam berdarah atau malaria.


Rujukan : 

Soekmono/Chandi Borobudur: a monument of mankind, (1976)




====

Foto asli hitam putih, pewarnaan oleh AI (copyright) sejarahjogya. 


Foto 1 - Jepretan fotografer kesultanan, Kassian Chepas KITLV 1882

.

Foto 2 - Jepretan beberapa tahun sesudahnya oleh putra Kassian Chepas yaitu Sem Chepas KITLV 1910

Ken Dedes

 Melacak Nasab Ken Dedes

Saya mencoba mengumpulkan berbagai sumber informasi, termasuk dari Wikipedia, tentang nasab Ken Dedes yang merupakan ibu yang menurunkan para raja Singasari (setelah Ken Arok) dan para raja Majapahit. 

Ketemu sebagai berikut:

Ken Dedes merupakan putri seorang brahmana bernama Mpu Purwanatha bin Mpu Wiradnyana bin Mpu Gni Jaya bin Mpu Tunuhan bin Mpu Bajrasatwa bin Sri Mahadewa bin Ida Hyang Gnijaya bin Ida Hyang Pasupati. Ida Hyang Pasupati ini merupakan brahmana berasal dari India. 

Karena juga timbul pertanyaan: Apakah mungkin mualaf Hindu di Jawa atau Bali zaman dahulu bisa menjadi brahmana, jika bukan keturunan Brahmana? 

Dikutip dalam lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, disebutkan bahwa Sang Hyang Pasupati membawa potongan Gunung Mahameru dari Jambhu Dwipa (India).

(dari prasasti Dadya Bandesa Manik Mas Kanginan Ungasan, Pararaton dan sumber lainnya).

Jika pelacakan nasab Ken Dedes ini keliru, mohon diluruskan, tapi dengan suatu sumber, entah itu sumber primer ataupun lainnya.

Penulis : Hassan Samsuri



Namanya Jang Mat bin Mat Suroh, usia 18 tahun di tahun 1987. Kerjaannya sebagai gembala dari kerbau-kerbau milik ayah angkatnya. Ayah angkatnya bernama Haji Ranim. Mat tinggal di rumah ayah angkatnya yang tak jauh dari rumah Ibunya. Orang tua Mat sudah bercerai. Ibunya dengan 4 anak plus 3 menantu dan 10 cucu tinggal di rumah berdinding bambu berukuran 9X6 m persegi. Ibu Mat sendiri bekerja sebagai buruh serabutan. Rumah ibunya dan rumah ayah angkatnya tak jauh dari rel kereta api, hanya sekitar 20 meter. Setiap hari ketika pergi dan pulang menggembala, Mat selalu menelusuri jalur kereta. Mat sampai tahu kapan kereta lewat. Lebaran tahun 1988 dari hasil tabungan menggembala, ia membeli sebuah jam tangan di pasar . Dengan jam tangannya selain ia tahu jam menggembala kerbau, juga tahu jam-jam kereta api lewat. Kebiasaan Mat, pergi sholat Subuh berjamaah di Surau. Ia selalu selalu mengenakan satu-satunya pakaian terbaik berupa kaus merah & celana panjang, yang dibelinya lebaran tahun lalu seharga Rp.3000 rumah dari seorang pedagang keliling. Dari surau ia buru-buru berangkat ke rumah ayah angkatnya untuk menggembalakan kerbau. Ia juga harus segera berganti pakaian dengan pakaian dinas gembala yang robek-robek. Jalanan dari surau ke rumah ayahnya berada sepanjang rel kereta api, tepatnya di kampung Jatungeun Wetan, Desa Mekar Sari Kecamatan Tigaraksa Tangerang. Ia melihat angka di jam tangannya menunjukkan jam 5.30, saat tiba-tiba matanya melihat ada satu kelainan di rel yang ditelusurinya. Sebuah rel patah, melesak dan terpisah sejarak lima senti meter, terlepas dari ikatan relnya (Pandroll). “Ini bahaya, sebenar lagi ada KA 225 akan lewat” pikirnya. Kenangan akan KA 225 masih tebal di ingatannya, karena sebulan sebelumnya, 19 Oktober 1987, rangkaian KA nomor ini tabrakan dahsyat dengan KA 220 dari arah Tanah Abang di Bintaro. 139 jiwa melayang dalam peristiwa itu. Kini, 20 November, ada rel patah yang bisa menyebabkan KA terguling bila lewat dengan kecepatan tingi. Baru saja kepikiran akan melapor keadaan rel ke stasiun kecil, Daru, 750 meter dari tempat rel patah. Namun dari tempat ia berdiri sudah bisa merasakan dari getaran halus rel itu sendiri meski KA itu sendiri belum muncul dari tikungan. Ia masih berdiri, ketika lok kuning BB 306 mulai muncul dari tikungan sejarak 350 meter dari tempatnya berdiri. Masinis membunyikan peluit karena ada seseorang di atas rel. Jang Mat langsung melepas baju kaos merah yang dikenakannya, dengan telanjang dada, ia melambai-lambaikan kaosnya sambil satu tangannya menunjuk ke rel yang patah. Beberapa saat kemudian masinis menarik rem karena ia mengira ada remaja putus asa dan mau bunuh diri. Kereta api itu tak langsung berhenti. Baru pada jarak dua meter dari Mat berdiri mendadak kereta berhenti. Banyak penumpang yang khawatir peristiwa Bintaro terulang, ketika rem mendadak ditarik, banyak penumpang yang berhamburan keluar gerbong. Sesudah diberi tahu kepada masinis bahwa ada rel yang patah. Masinis memeriksa rel yang ditunjuk oleh Jang Mat. Lalu ia memandang mata remaja itu, berkata “Terima kasih, aduh terima kasih. Jang kamu ngasih tau”. Masinis semula akan mengundurkan kembali rangkai KA itu ke stasiun Daru tetapi setelah berunding dengan awak KA, niat itu dibatalkannya. Pak Haji Ranim ayah angkat Mat dan Mat sendiri mendapat ide, mencangkul batu ballast di bawah rel, kemudian dicari balok untuk mengganjal sehingga rel yang patah itu bisa lurus kembali. Lebih dari satu jam kemudian rel bermerek Carnege et USA 1921 itu baru bisa duduk dengan sempurna, sehingga KA bisa lewat dengan kecepatan sangat rendah. Jam tangan Mat menunjukkan angka 7.07 ketika rangkaian gerbong terakhir bisa lewat dengan selamat. Semua penumpang bergembira dan mereka mengajak Mat naik KA itu ke Parungpanjang. Mat naik di gerbong belakang dan semua penumpang di ujung gerbong menyalaminya. Ia pun berjalan dari ujung gerbong belakang ke gerbong depan, menerima ucapan selamat dari penumpang secara spontan dan haru. Hari itu, ia dianggap pahlawan penyelamat penumpang KA. Sumber: Kompas, 1-12-1987 hal 1. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team) #penyelamat #kereta-api #transportasi #peristiwa

 Namanya Jang Mat bin Mat Suroh, usia 18 tahun di tahun 1987. Kerjaannya sebagai gembala dari kerbau-kerbau milik ayah angkatnya. Ayah angkatnya bernama Haji Ranim. Mat tinggal di rumah ayah angkatnya yang tak jauh dari rumah Ibunya. Orang tua Mat sudah bercerai.  Ibunya  dengan 4 anak plus 3 menantu dan 10 cucu tinggal di rumah berdinding bambu berukuran 9X6 m persegi. Ibu Mat sendiri bekerja sebagai buruh serabutan.


Rumah ibunya dan rumah ayah angkatnya tak jauh dari rel kereta api, hanya sekitar 20 meter. Setiap hari ketika pergi dan pulang menggembala, Mat selalu menelusuri jalur kereta. Mat sampai tahu kapan kereta lewat. Lebaran tahun 1988 dari hasil tabungan menggembala, ia membeli sebuah jam tangan di pasar . Dengan jam tangannya selain ia tahu jam menggembala kerbau, juga tahu jam-jam kereta api lewat.


Kebiasaan Mat, pergi sholat Subuh berjamaah di Surau. Ia selalu selalu mengenakan satu-satunya pakaian terbaik berupa kaus merah & celana panjang, yang dibelinya lebaran tahun lalu seharga Rp.3000 rumah dari seorang pedagang keliling. Dari surau ia buru-buru berangkat ke rumah ayah angkatnya untuk menggembalakan kerbau. Ia juga harus segera berganti pakaian dengan pakaian dinas gembala yang robek-robek.  



Jalanan dari surau ke rumah ayahnya berada sepanjang rel kereta api, tepatnya di kampung Jatungeun Wetan, Desa Mekar Sari Kecamatan Tigaraksa Tangerang. Ia melihat angka di jam tangannya menunjukkan jam 5.30, saat tiba-tiba matanya melihat ada satu kelainan di rel yang ditelusurinya. Sebuah rel patah, melesak dan terpisah sejarak lima senti meter, terlepas dari ikatan relnya (Pandroll). “Ini bahaya, sebenar lagi ada KA 225 akan lewat” pikirnya. Kenangan akan KA 225 masih tebal di ingatannya, karena sebulan sebelumnya, 19 Oktober 1987, rangkaian KA nomor ini tabrakan dahsyat dengan KA 220 dari arah Tanah Abang di Bintaro.  139 jiwa melayang dalam peristiwa itu.


Kini, 20 November, ada rel patah yang bisa menyebabkan KA terguling bila lewat dengan kecepatan tingi. Baru saja kepikiran akan melapor keadaan rel ke stasiun kecil, Daru, 750 meter dari tempat rel patah.  Namun dari tempat ia berdiri sudah bisa merasakan dari getaran halus rel itu sendiri meski KA itu sendiri belum muncul dari tikungan. 


Ia masih berdiri, ketika lok kuning BB 306 mulai muncul dari tikungan sejarak 350 meter dari tempatnya berdiri. Masinis membunyikan peluit karena ada seseorang di atas rel. Jang Mat langsung melepas baju kaos merah yang dikenakannya, dengan telanjang dada, ia melambai-lambaikan kaosnya sambil satu tangannya menunjuk ke rel yang patah.  Beberapa saat kemudian masinis menarik rem karena ia mengira ada remaja putus asa dan mau bunuh diri. Kereta api itu tak langsung berhenti. Baru pada jarak dua meter dari Mat berdiri mendadak kereta berhenti. Banyak penumpang yang khawatir peristiwa Bintaro terulang, ketika rem mendadak ditarik, banyak penumpang yang berhamburan keluar gerbong. 


Sesudah diberi tahu kepada masinis bahwa ada rel yang patah.  Masinis memeriksa rel yang ditunjuk oleh Jang Mat. Lalu ia memandang mata remaja itu, berkata “Terima kasih, aduh terima kasih. Jang kamu ngasih tau”.


Masinis semula akan mengundurkan kembali rangkai KA itu ke stasiun Daru tetapi setelah berunding dengan awak KA, niat itu dibatalkannya.  Pak Haji Ranim ayah angkat Mat dan Mat sendiri mendapat ide, mencangkul batu ballast di bawah rel, kemudian dicari balok untuk mengganjal sehingga rel yang patah itu bisa lurus kembali. Lebih dari satu jam kemudian rel bermerek Carnege et USA 1921 itu baru bisa duduk dengan sempurna, sehingga KA bisa lewat dengan kecepatan sangat rendah. Jam tangan Mat menunjukkan angka 7.07 ketika rangkaian gerbong terakhir bisa lewat dengan selamat.


Semua penumpang bergembira dan mereka mengajak Mat naik KA itu ke Parungpanjang. Mat naik di gerbong belakang dan semua penumpang di ujung gerbong menyalaminya.  Ia pun berjalan dari ujung gerbong belakang ke gerbong depan, menerima ucapan selamat dari penumpang secara spontan dan haru. Hari itu, ia dianggap pahlawan penyelamat penumpang KA.


Sumber: Kompas, 1-12-1987 hal 1. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#penyelamat #kereta-api #transportasi #peristiwa

Potret para penggali pasir yang sedang melakukan penyeberangan menggunakan rakit bambu di tahun 1982. Para penggali pasir ini memiliki rakit bambu bersama yang dipergunakan untuk penyeberangan Sungai Cisadane di Desa Bantar Kambing, Semplak-Bogor. Pasir digali dan ditampung di sisi selatan sungai, kemudian diseberangkan ke sisi utara untuk dijual dan dimuat ke truk. Para penggali pasir ini juga sanak keluarga sekampung, masing-masing anggota memperoleh giliran menggali, memikul dan menarik rakit. Penumpang lain pun dilayani tanpa bayaran, asal mau basah dan menanti trayek penyeberangan sesuai jalur para penggali pasir. Sumber: Kompas, 19 Januari 1982 Halaman 1 Kolom 6. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Terjilid Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team)

 Potret para penggali pasir yang sedang melakukan penyeberangan menggunakan rakit bambu di tahun 1982. Para penggali pasir ini memiliki rakit bambu bersama yang dipergunakan untuk penyeberangan Sungai Cisadane di Desa Bantar Kambing, Semplak-Bogor. Pasir digali dan ditampung di sisi selatan sungai, kemudian diseberangkan ke sisi utara untuk dijual dan dimuat ke truk. Para penggali pasir ini juga sanak keluarga sekampung, masing-masing anggota memperoleh giliran menggali, memikul dan menarik rakit. Penumpang lain pun dilayani tanpa bayaran, asal mau basah dan menanti trayek penyeberangan sesuai jalur para penggali pasir.



Sumber: Kompas, 19 Januari 1982 Halaman 1 Kolom 6. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Terjilid Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team)

Galang Rambu Anarki - Bunga - Iwan Fals

 Sang empunya nama sudah tiada kembali keharibaanNYA. Namun namanya seringkali disenandungkan hingga sekarangkarena Sang Ayahanda tercinta mengabadikan namanya ke dalam sebuah lagu berjudul “Galang Rambu Anarki” .  Sebuah ungkapan cinta kasih tulus Ayahanda tercinta. Lagu ini menjadi lagu yang “tak lekang ditelan waktu”.  



Galang rambu anarki anakku

Lahir awal Januari menjelang pemilu

Galang rambu anarki dengarlah

Terompet tahun baru menyambutmu

Galang rambu anarki ingatlah

Tangisan pertamamu ditandai bbm

Membumbung tinggi …


Galang Rambu Anarki pernah membuat grup musik “bunga” Kelompok bunga terdiri dari Galang Rambu Anarki (gitar), Erry (gitar), Danieal (bas), Oka (drum), dan Tony Viali (vocal). Galang meninggal di masa Reformasi, di usianya yang masih sangat muda 15 tahun pada 25 April 1997. Lagu yang sempat diluncurkan grup Bunga ini antara lain “Pok Ame-Ame”. Sebuah lagu anak-anak yang dinyanyikan kembali dalam bentuk music rock


Sumber: Suara Pembaruan 15 Mei 1998 hal 6 kol 1-4. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#musik #rock #artis #penyanyi #IwanFals #reformasi

28 January 2024

Sultan Hadlirin

 Indonesia Tempoe Doeloe Pusat Dokumenter Dan Nostalgia 


Mantingan Tjepara.

Potret lawas makam Sultan Hadlirin Bin 

Sultan Mughayat Syah.



Sultan Hadliri mempunyai Istri yang berasal dari Kesultanan Demak yaitu Putri Sultan Trenggono yang bernama Retna Kencana yang mempunyai gelar Ratu Kalinyamat,yang dikenal memimpin pertempuran selat Malaka.


Sultan 'Ali Alaidin Mughayat Syah Beliau pendiri dan sultan pertama Kesultanan Aceh yang bertakhta dari tahun 1514 sampai meninggal tahun 1530. 


Mulai tahun 1520, beliau memulai kampanye militer untuk menguasai bagian utara Sumatra. Kampanye pertamanya adalah Daya.

Sumber prihal pertempuran: Tomé Pires

Sejarah Magelang - Candi Selogriyo

 Mungkin ini adalah foto terakhir penampakan arca Ganesha Candi Selogriyo yang diambil oleh van Erp di tahun 1902 dimana kepala arca masih nampak utuh seperti laporan yang ditulis van Erp dalam Rapporten in Nederlandsche-Indie voor Oudheidkundig Onderzoek op Java en Madoera edisi 1912.



Van Erp terakhir kali menyambangi candi ini pada 1903 dan menyebutkan bahwa arca Ganesha di relung Selatan dalam keadaan yang rusak namun kepalanya masih menempel pada badan arca. Ketika Tuan Vink mengambil foto candi tersebut sekarang (1911), kepala Ganesha tersebut ternyata sudah menghilang. Menurut penuturan warga setempat bagian kepala arca diambil oleh empat orang serdadu Ambon ke garnisun Magelang. Bukan hanya itu, beberapa batu komponen penyusun Candi Selogriyo yang pernah ada dalam foto tahun 1902, sudah menghilang dalam foto milik Tuan Vink di tahun 1911.


Vandalisme dan pencurian kepala arca pengisi relung - relung candi Selogriyo tidak berhenti disana, pada masa - masa selanjutnya, arca kepala Durga, Mahakala dan Nandiswara ikut terpenggal. Sekarang, hanya menyisakan arca Agastya saja yang masih utuh lengkap dengan kepalanya meskipun terdapat bekas pemotongan sisa pencurian kepala arca yang gagal.

Sunan Asmoro Kondi

 Indonesia Tempoe Doeloe Pusat Dokumenter Dan Nostalgia 



●Foto lawas 1901 Makam ( Soenan Asnmono) Ejaan Lama. Dikenal Sunan Asmoro Kondi. 


●Menurut Babad Tanah Jawi

Syekh Ibrahim Asmoroqondi atau Syekh Ibrahim as-Samarqandi yang dikenal sebagai ayahanda Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel), makamnya terletak di Desa Gesikharjo, Kecamatan Palang, Kabupaten Tuban. Syekh Ibrahim Asmoroqondi diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh kedua abad ke-14.


Jika silap mohon diluruskan.

DEMANG LEHMAN "Dangar-dangar barataan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!” Artinya: Dengarkan semua! Tanah Banjar apabila tidak dibayar dengan air mata darah, selamanya akan digenggam Belanda (Penjajah). Konon, wasiat itu dikobarkan oleh seorang Demang Lehman sebelum napasnya tandas di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan hari eksekusinya. Tiang Gantungan di Martapura 158 tahun silam, sebuah tiang gantungan menjadi babak paling ironik dari perjalanan seorang Demang Lehman. Bertempat di Alun-Alun Martapura, Lelaki Banjar itu meregang nyawa. Tak ada gentar di rautnya, sebagaimana digambarkan H.G.J.L. Meyners dalam tulisannya Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk 1863-1866. Sebelum menjemput ajal, lelaki bergelar Adipati Mangko Nagara tersebut melangkah dari kapal Saijloos ke daratan dengan dagu terangkat dan sorot mata tenang. Hari itu, tepatnya 27 Februari 1869, dalam keadaan tengah berpuasa, ia membelah kerumunan warga Martapura dengan kemantapan. Kendati di tengah lokasi itulah menjuntai temali gantungan yang menantinya. Sebuah dakwaan menjadi ihwal mengapa Demang Lehman dianggap harus dieksekusi. Kala itu, penguasa Belanda menuduhnya melakukan tindakan subversif yang mengancam tampuk kuasa. Selang dua hari usai persidangan, Pemerintah Hindia Belanda pun akhirnya menjatuhi hukuman gantung yang dilaksanakan di Afdeeling Martapoera, oleh Orditur Militer, De Gelder. Padahal Demang Lehman, dalam permintaan terakhirnya meminta agar ia bisa dieksekusi di Banjarmasin, akan tetapi karena pertimbangan pihak Belanda yang ingin memberi efek jera bagi perlawanan pribumi, maka eksekusi itupun digelar di sentra Martapura. Tubuh dan Kepala yang Terpisah Jerat tiang gantungan bukan akhir cerita. Setelah wafat, jenazah Demang Lehman langsung dimakamkan tanpa prosesi keagamaan yang patut. Tragisnya, sebelum dikembumikan, kepalanya pun sengaja ditebas oleh pihak Belanda. Konon cara biadab itu dilakukan lantaran mereka meyakini jika sang pejuang bisa bangkit kembali. Warga yang berduka di saat itu memilih bungkam dan tunduk di bawah bayang-bayang ketakutan ancaman Belanda. Mereka enggan ketahuan memiliki hubungan kekerabatan dengan lelaki yang dituduh pemberontak kelas kakap itu. Fariz Fadhillah https://banjarmasin.apahabar.com/post/kepala-demang-lehman-kembali-belanda-bisa-hilang-muka-l8xssqby

 DEMANG LEHMAN



"Dangar-dangar barataan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!”


Artinya: Dengarkan semua! Tanah Banjar apabila tidak dibayar dengan air mata darah, selamanya akan digenggam Belanda (Penjajah).


Konon, wasiat itu dikobarkan oleh seorang Demang Lehman sebelum napasnya tandas di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan hari eksekusinya.


Tiang Gantungan di Martapura


158 tahun silam, sebuah tiang gantungan menjadi babak paling ironik dari perjalanan seorang Demang Lehman. Bertempat di Alun-Alun Martapura, Lelaki Banjar itu meregang nyawa.


Tak ada gentar di rautnya, sebagaimana digambarkan H.G.J.L. Meyners dalam tulisannya Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk 1863-1866.


Sebelum menjemput ajal, lelaki bergelar Adipati Mangko Nagara tersebut melangkah dari kapal Saijloos ke daratan dengan dagu terangkat dan sorot mata tenang. 


Hari itu, tepatnya 27 Februari 1869, dalam keadaan tengah berpuasa, ia membelah kerumunan warga Martapura dengan kemantapan. Kendati di tengah lokasi itulah menjuntai temali gantungan yang menantinya.


Sebuah dakwaan menjadi ihwal mengapa Demang Lehman dianggap harus dieksekusi. Kala itu, penguasa Belanda menuduhnya melakukan tindakan subversif yang mengancam tampuk kuasa.


Selang dua hari usai persidangan, Pemerintah Hindia Belanda pun akhirnya menjatuhi hukuman gantung yang dilaksanakan di Afdeeling Martapoera, oleh Orditur Militer, De Gelder.


Padahal Demang Lehman, dalam permintaan terakhirnya meminta agar ia bisa dieksekusi di Banjarmasin, akan tetapi karena pertimbangan pihak Belanda yang ingin memberi efek jera bagi perlawanan pribumi, maka eksekusi itupun digelar di sentra Martapura.


Tubuh dan Kepala yang Terpisah


Jerat tiang gantungan bukan akhir cerita. Setelah wafat, jenazah Demang Lehman langsung dimakamkan tanpa prosesi keagamaan yang patut.


Tragisnya, sebelum dikembumikan, kepalanya pun sengaja ditebas oleh pihak Belanda. Konon cara biadab itu dilakukan lantaran mereka meyakini jika sang pejuang bisa bangkit kembali.


Warga yang berduka di saat itu memilih bungkam dan tunduk di bawah bayang-bayang ketakutan ancaman Belanda. Mereka enggan ketahuan memiliki hubungan kekerabatan dengan lelaki yang dituduh pemberontak kelas kakap itu.


Fariz Fadhillah 


https://banjarmasin.apahabar.com/post/kepala-demang-lehman-kembali-belanda-bisa-hilang-muka-l8xssqby

La Ode Bulae/ Sangia Laghada, Raja Muna ke - 25 ( 1830 - 1861 M ) ________________________________________________ La Ode Bulae bergelar Sangia Laghada adalah Putera Raja Muna La Ode Saete (1816 - 1830). Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan La Ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahandanya La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu Laode Bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna menggantikan ayahandanya. Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahun tersebut menjadi dilema karena pada saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh Sarano Wuna (lembaga yang berwenang memilih dan mengangkat raja) sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Belanda terus mengganggu. Dalam situasi yang pelik tersebutlah, maka Sarano Wuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna Namun karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belum cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna menunjuk La Aka ( Bonto balano / Menteri Utama) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara. Lain dengan Belanda, momen mangkatnya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda, tentu melalui sekutunya, Buton. Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda belum cukup mampu melawan maklumat tersebut, dan juga Bonto Balano La Aka y ang hanya seorang pelaksana raja, belum mampu memobilisasi rakyat untuk melakukan perlawanan, Belanda dengan leluasa menunjuk seorang Wali Raja dari Kesultanan Buton untuk menguasai Muna. Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melanjutkan kebijakan Ayahandanya, La Ode Saete, menyerukan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya, Kesultanan Buton. La Ode Bulae menyerukan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda melalui sekutunya Buton. Dalam sebuah perang di tahun 1861, Belanda dan sekutunya, Buton, berhasil menangkap La ode Bulae dan membawanya ke persidangan pengadilan di Makassar. Dalam persidangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan diasingkan di Pulau Nusa Kambangan, kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

 La Ode Bulae/ Sangia Laghada, Raja Muna ke - 25 (  

1830 - 1861 M )

________________________________________________



La Ode Bulae bergelar Sangia Laghada adalah Putera Raja Muna La Ode Saete (1816 - 1830). Pada saat diangkat menjadi Raja Muna, La Ode Bulae baru berusia 12 tahun. Pengangkatan La Ode Bulae sebagai Raja Muna berkenaan dengan mangkatnya ayahandanya La Ode Saete. Karena pada saat mangkat Raja Muna XXV La Ode saete hanya memiliki satu anak laki-laki yang baru berusia 12 tahun yaitu Laode Bulae, maka Saraano Wuna bersepakat mengangkatnya sebagai Raja Muna menggantikan ayahandanya.


Pengangkatan La Ode Bulae yang baru berusia 12 tahun tersebut menjadi dilema karena pada saat penobatannya sebagai Raja La Ode Bulae masih terlalu muda dan dianggap belum cakap mengendalikan pemerintahan. Namun pada saat yang bersamaan Kerajaan Muna membutuhkan seorang pemimpin karena pada saat itu Muna sedang berkonfrontasi dengan Belanda serta sekutunya Buton. Sedangkan untuk melakukan prosedur pengangkatan raja seperti yang telah diatur yaitu melalui pemilihan yang dilakukan oleh Sarano Wuna (lembaga yang berwenang memilih dan mengangkat raja) sangat tidak mungkin karena pasukan koalisi Buton –Belanda terus mengganggu.


Dalam situasi yang pelik tersebutlah, maka Sarano Wuna mengambil keputusan cepat dengan mengangkat La Ode Bulae Putera Raja La Ode Saete sebagai Raja Muna Namun karena Raja La Ode Bulae masih sangat belia dan diangap belum cakap menjalankan pemerintahan, maka Sarano Wuna menunjuk La Aka ( Bonto balano / Menteri Utama) untuk menjalankan pemerintahan, sedangkan La Ode Bulae tetap sebagai kepala negara.


Lain dengan Belanda, momen mangkatnya Raja La Ode Saete dan raja penggantinya yang masih sangat muda dimanfaatkan untuk menguasai pemerintahan kerajaan Muna dengan memaklamatkan secara sepihak bahwa segala urusan pemerintahan Kerajaan Muna berada dalam kendali Pemerintahan Kolonial Belanda, tentu melalui sekutunya, Buton.


Raja La Ode Bulae yang masih begitu muda belum cukup mampu melawan maklumat tersebut, dan juga Bonto Balano La Aka y ang hanya seorang pelaksana raja, belum mampu memobilisasi rakyat untuk melakukan perlawanan, Belanda dengan leluasa menunjuk seorang Wali Raja dari Kesultanan Buton untuk menguasai Muna.


Setelah Dewasa, La Ode Bulae mejalankan pemerintahan melanjutkan kebijakan Ayahandanya, La Ode Saete, menyerukan untuk melakukan konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan Sekutunya, Kesultanan Buton. La Ode Bulae menyerukan perang semesta terhadap Kolonial Belanda dan Buton sehingga terjadi berang besar antara Kerajaan Muna dengan Belanda melalui sekutunya Buton.


Dalam sebuah perang di tahun 1861, Belanda dan sekutunya, Buton, berhasil menangkap La ode Bulae dan membawanya ke persidangan pengadilan di Makassar. Dalam persidangan pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan diasingkan di Pulau Nusa Kambangan, kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji, Sultan Kasepuhan ke - 5 ( 1773 - 1786 M ) ________________________________________________ Sultan Matangaji sendiri merupakan Sultan Sepuh V yang diperkirakan memimpin keraton pada 1800-an. Ketika Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat masih hidup, pernah disebutkan bahwa Sultan Matangaji merupakan sosok gerilyawan. Bahkan, selama memimpin keraton, Sultan Matangaji lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan keraton. Garis Silsilah Sultan Matangaji adalah tokoh nyata yang menjadi bagian penting bagi sejarah Cirebon. Adalah wajar ketika seorang sultan memiliki banyak peninggalan. Bisa dibandingkan dengan Pangeran Cakrabuwana misalnya, yang memiliki banyak tinggalan (petilisan). Paling tidak namanya disebut-sebut dalam historiografi tradisional atau catatan keluarga. Garis silsilah Sultan Matangaji terhubung hingga kepada Syekh Syarif Hidayatillah atau Sunan Gunung Jati, sebagaimana nasab sultan Cirebon pada umumnya. Nah, garis silsilah Sultan Matangaji yaitu dari Nyi Ratu Tepasari, salah seorang istri Sunan Gunug Jati (memiliki sembilan istri). Dijelaskan dalam manuskrip Pustaka Asal-usul Kasultanan Cirebon, Sultan Matangaji adalah putra Sultan Sepuh Raja Sena. Jumlah putra Sultan Sepuh Raja Sena ada 13: Ratu Sultan Waragang, Ratu Raja Kartanadhi, Ratu Raja Adiningrat, Ratu Raja Wanawati, Ratu Raja Anom, Pangeran Aria Lor, Sultan Matangaji, Sultan Muda, Pangeran Aria Lorpalet, Ratu Raja Ambetkasih, Pangeran Aria Kidul, Pangeran Aria Wetan, dan Pangeran Aria Kulon. Dua dari anak-anak Sultan Sepuh Raja Sena lahir dari ibu yang berbeda. Pertama, Sultan Matangaji lahir dari Ratu Kidul, Pakenden. Kedua, Sultan Muda lahir dari Ratu Turi, Pakenden. Sebagian kalangan menentang nasab ini, karena Sultan Matangaji didudukkan sebagai putra selir. Bahkan ada yang berpendapat Sultan Matangaji mengalami kegilaan menjelang kematiannya. Berbeda dari pendapat di atas, dalam manuskrip Serat Carub Kandha, Sultan Matangaji bukanlah anak dari seorang selir. Sultan Matangaji adalah putra sulung dari lima bersaudara. Kedua, Pangeran Arya Kidul atau Pangeran Jaya Wikarta. Ketiga, Pangeran Arya Panengah, yang memiliki tiga nama lain yaitu Pangeran Suryanegara, Pangeran Suryadilaga, dan Pangeran Suryakusuma. Keempat, Pangeran Arya Kulon. Dan terakhir, Nyi Mas Ratu Moblong, yang menikah dengan Ki Muda atau Sultan Muda. Nah, menurut cerita yang beredar di masyarakat, penerus kekuasaan Sultan Matangaji, semestinya Pangeran Suryanegara. Sebab, pada masa itu, Pangeran Suryanegera dianggap paling sah melanjutkan tahta kekuasaan. Namun, Sultan Muda, rupanya mendapatkan dukungan penuh dari Belanda, sehingga ia menjadi penerus Sultan Matangaji. Dengan demikian, jika pendapat kedua benar adanya, maka pengganti Sultan Matangaji (hingga dua abad lebih), bukanlah trah. Tidak heran jika muncul pemeo, barangkali karena mereka sebagai “the others”, konstruksi sejarah kesultanan Cirebon terus dibuat peteng. Rasa memiliki dan tanggung jawab mereka tidak begitu besar pada tinggalan leluhurnya sendiri, termasuk Situs Matangaji. Jejak Sultan Matangaji Pada manuskrip Babad Darmayu dikisahkan, sekitar akhir abad ke-18, Cirebon mendapatkan serangan dari tentara Batavia. Sultan Matangaji dengan didampingi Pangeran Suryakusuma, Pangeran Martakusuma, Pangeran Pekik, Pangeran Logawa, dan Pangeran Penghulu Dulkasim, menyambut kedatangan mereka, tepatnya di Mertasinga. Segerombolan pasukan yang didatangkan dari Batavia kualahan, lari kocar-kacir ke arah timur. Tentara Batavia meminta bantuan kepada Sultan Mataram. Dengan hak preogratifnya, Sultan Mataram pun membatasi ruang gerak bala pasukan Sultan Matangaji, dengan mengurangi luas wilayah Cirebon menjadi (hanya) seribu kilometer per segi. Pada saat itu pula kedudukan dalem ‘bupati’ dihilangkan. Sikap Sultan Matangaji yang dinilai sangat frontal dan keras terhadap Belanda (VOC) beresiko besar bagi keberlangsungan kepemimpinannya, termasuk ancaman dari dalam. Sultan Muda memanfaatkan kesempatan emas ini dengan baik, hingga berhasil membunuh Sultan Matangaji secara licik. Oleh Belanda, Ki Muda dinobatkan sebagai Sultan Sepuh VI dengan gelar Sultan Hasanudin, karena keberanian dan keberahasilannya menyisihkan Sultan Matangaji. Karena tragedi itu Pangeran Suryanegara, penerus sah Sultan Matangaji, hengkang dari keraton dengan membawa sejumlah kitab dan pusaka, lalu membangun kekuatan di wilayah pedalaman (Indramayu). Semestinya Pangeran Suryanegara paling berhak menggantikan saudaranya. Pasca kejadian itu pemberontakan terjadi dimana-mana (awal abad ke-19). Situasi Cirebon begitu mencekam, dan hampir mustahil bisa diredam. Pertama, pemberontakan Bagus Sidong bersama kedua putranya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasam. Pemberontakan dianggap berakhir setelah mereka mengajukan surat tuntutan tertanggal 13 Juli 1806. Pemberontakan ternyata kembali meletup. Bagus Rangin yang mengendalikannya, atau yang dikenal dengan Pemberontakan Bagus Rangin. Selanjutnya, anak keturunan Pangeran Suryanegara berusaha menghindari perselisihan dengan pihak keraton. Tidak sedikit yang mendalami ilmu agama (Islam), seperti Abdul Manan. Ditengarai, Abdul Manan adalah mursyid Tarekat Qadiriyah Wanaqsabandiyah (TQN), yang namanya diabadikan menjadi nama masjid agung di Indramayu: Masjid Islamic Center Abdul Manan Indramayu. Kecenderungan serupa juga dialami oleh Benggala Wiralodra (Bupati Indramayu IV). Karena faktor perebutan tahta, Benggala Wiralodra meninggalkan Dalem Indramayu bersama putranya, Raden Kertawijaya. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar ilmu agama (Islam), berkhalwat di tempat-tempat sunyi, dan taqarub kepada Allah. Demikian pula dengan Kiai Muqayim, keluarga keraton yang namanya kerap kali diidentikan dengan Tarekat Syattariyah. Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. "Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara." Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda. Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon. "Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati," Rintisan Perlawanan Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786). Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker. "Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda. Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi. Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan. Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang. Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan Matangaji. Terbunuhnya Matangaji Namun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji. Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan. "Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji. Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni). Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818. Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus. Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih 7.000 pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih. Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala. Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon. Sejarah Desa Matangaji Desa ini punya ikatan dengan Sultan Matangaji yang memimpin Kesultanan Cirebon, di awal keberadaannya. Ini adalah salah satu wilayah Kesultanan Cirebon yang berada di kaki Gunung Ciremai, saat ini Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kisah desa ini, berawal dari sebuah pedukuhan di bawah Kesultanan Cirebon pasca wafatnya Sunan Gunung Jati. Penerusnya yakni Sultan Matangaji pada waktu itu, memimpin sejumlah pedukuhan termasuk di dalamnya daerah yang kini menjadi Desa/Kecamatan Jalaksana. Alkisah, Sultan Matangaji hendak melaksanakan upacara selamatan. Kemudian beliau mengimbau kepada pedukukan untuk membawa daging kidang atau kijang. Namun dari semua pedukuhan yang bertadangan, ada satu menarik perhatian dari Sultan Matangaji karena membawa kijang dalam kondisi masih hidup. Sultan Cirebon waktu itu, mendekati utusan dari pedukuhan itu dan menananyakan nama maupun asalnya. "Saya Ki Guludug dari Pulau Pinggan dan kidang ini akan saya baktikan kepada gusti sultan," sebut Ki Guludug, sebagaimana dikisahkan di portal Pemerintah Desa Jalaksana. Karena senang dengan kijang yang masih hidup itu, Sultan Matangaji lantas memberikan nama kepada Ki Guludud dengan sebutan Wannataka. Desa yang dulu bernama Pulau Pinggan itu pun, diubah menjadi nama Laksana dan ketika itu, Sultan Matangaji pun berkunjung. Kedatangan Sultan Matangaji waktu itu, mendapatkan pengawalan dari para jawara dari Cirebon. Mereka kemudian singgah di sebuah tempat dekat Desa Laksana yang sekarang bernama Pajawan. Salah satu hobi dari Sultan Matangaji waktu itu, setiap datang kunjungan adalah melakukan menyambung ayam. Ternyata dalam pertandingan itu, ayam Sultan Matangaji yang bernama Jalak tidak terkalahkan. Bahkan selama 40 hari dipertandingkan. Setelah selesai agenda sabung ayam itu, Gusti Sultan mengumpulkan para sesepuh desa untuk bermusyawarah dan memberi nama tempat tersebut dengan Tarikolot. Atas kemenangan ayam jalak tersebut, kemudian Sultan Matangaji memberi nama daerah dari Desa Laksana menjadi Jalaksana. Tidak hanya itu, Sultan Matangaji juga memerintahkan para sesepuh desa untuk mengembangkan daerah itu dan bermunculan lah desa lainnya hingga kini ada 21. Menariknya, keberadaan 21 sesepuh Desa Jalaksana tersebut sampai dengan sekarang masih terabadikan dengan adanya pemakaman di Buyut Seikur. Desa Jalaksana kini menjadi salah satu desa penting di Kabupaten Kuningan, apalgi posisinya sangat strategis. Sebelumnya desa ini memiliki pusat keramaian karena berada di perlintasan Jalan Raya Cirebon - Kuningan. Kemudian kini memiliki akses baru lewat Jalan Baru Lingkar Timur (Jalintim) Kuningan, sehingga wilayah yang berada di bagian dalam dapat lebih mudah melakukan mobilisasi. Sejarah mengenai Desa Jalaksana sendiri, belum banyak menemukan sumber tertulis dan kebanyakan bersumber dari tutur dan cerita turun temurun. Sultan Matangaji Pencipta Kuliner Khas Santri Cirebon Ketika berkecamuk perang Cirebon Raya (Perang Kedondong) Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin. Pada masa Cirebon Dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin Kerajaan Mataram Islam juga sedang terjadi huru-hara Serangan Trunojoyo dari Madura yang berhasil menguasai pusat pemerintahan Mataram yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Amangkurat 1, hingga campur tangannya Belanda pada masa Amangkurat II yang meminta bantuan untuk melawan Trunojoyo dengan iming iming imbalan separuh wilayah Mataram, keadaan huru hara di Pusat kota mengharuskan rakyat yang berada di wilayah Rembang, Brebes, Tegal Lamongan, dan orang orang Cina harus migrasi ke wilayah Cirebon untuk mendapat perlindungan. Kedatangan para pendatang disambut hangat oleh Sultan Cirebon. Sehingga apa pun yang diminta Sultan kepada para saudagar China selalu dipenuhi. Termasuk ketika Sultan membangun Gua Sunyaragi tempat untuk berkhalwat di dekat Laut Utara para saudagar China selalu membantu. Ketika peta politik kepentingan Inggris (Belanda)vs Prancis beradu Cirebon pun terkena dampak. Sama seperti Mataram Islam di Kesultanan Cirebon pun terjadi hegemoni penguasaan keraton hingga mengharuskan Sultan Muhammad Sofiudin yang ditemani Pangeran Suryanegara, Pangeran Atasangin (Bagus Rangin) harus meninggalkan Keraton dan menjadi Santri dibeberapa Kiai, seperti Kiai Syarif Abdul Muhyidin (Buyut Muhyi, Dawuan Tegal Tani atau disebut juga buyut Rancang karena ahli merancang Strategi ketika meletus Perang Kedondong), Kiai Hasanudin (Kiai Jatiro/Atau Kiai Jatira karena di depan padepokan/pesantrennya terdapat pohon jati dua sebagai ciri tempat beliau ketika para santri pejuang akan bekunjung atau meminta nasihat dan doa agar memenangkan peperangan dengan Belanda). Dalam ngangsu kaweruh (menuntut Ilmu agama di pesantren) amanah ayah Sultan Amirzena kepada beliau (Sultan Muhammad Sofiudin) adalah harus bentas mengaji, harus selesai menghatam Al-Qur’an, dan harus matang mengaji memahami Ilmu agama. Maka karena Sultan Muhammad Sofiudin matang dalam mengaji beliau juga digelari Sultan Matangaji. Makanan kesukaan Sultan Matangaji ketika Hidup di kraton adalah ayam bakar dan nasi Kuning. Karena ketika terjadi perang gerilya dan tinggal di pesantren makanan yang dimakan adalah segala yang bersumber dari alam maka makanan yang dimasakan pun semua dari alam, dari hutan belantara, rawa yang ada di sekitar wilayah Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. seperti ubi bakar, pepes jantung pisang, terong bakar, dan makanan yang disuka Sultan Matangaji sendiri ketika tinggal di pesantren adalah "gecok". Masakan kuliner sekaliber gecok adalah makanan yang bahan dasarnya ayam bakar kemudian dicincang kecil-kecil tulangnya dibebek sampai lembut ditaburi kelapa parud yang masih segar, kunyit, jahe, garam. Ini kemudian menjadi makanan favorit santri- santri yang lain hingga ketika ada kunjungan tamu agung biasanya nasi pepes jantung pisang, terong bakar, sambel trasi dan gecok santri menjadi andalan. Hingga kini perpaduan pepes jantung pisang, terong bakar, gecok dan sambel trasi masih diminati oleh para santri Cirebon khususnya dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Bahkan setelah perang Cirebon Raya usai makanan gecok, terong bakar, pepes jantung pisang dan coel sambel trasi masih total diminati bahkan warga rela menu mewah yang ada dirumah ditukar dengan pepes jantung pisang santri.

 Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji, Sultan Kasepuhan ke - 5 ( 1773 - 1786 M )

________________________________________________



Sultan Matangaji sendiri merupakan Sultan Sepuh V yang diperkirakan memimpin keraton pada 1800-an.


Ketika Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat masih hidup, pernah disebutkan bahwa Sultan Matangaji merupakan sosok gerilyawan.


Bahkan, selama memimpin keraton, Sultan Matangaji lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan keraton.


Garis Silsilah


Sultan Matangaji adalah tokoh nyata yang menjadi bagian penting bagi sejarah Cirebon. Adalah wajar ketika seorang sultan memiliki banyak peninggalan. Bisa dibandingkan dengan Pangeran Cakrabuwana misalnya, yang memiliki banyak tinggalan (petilisan). Paling tidak namanya disebut-sebut dalam historiografi tradisional atau catatan keluarga. 


Garis silsilah Sultan Matangaji terhubung hingga kepada Syekh Syarif Hidayatillah atau Sunan Gunung Jati, sebagaimana nasab sultan Cirebon pada umumnya. Nah, garis silsilah Sultan Matangaji yaitu dari Nyi Ratu Tepasari, salah seorang istri Sunan Gunug Jati (memiliki sembilan istri).


Dijelaskan dalam manuskrip Pustaka Asal-usul Kasultanan Cirebon, Sultan Matangaji adalah putra Sultan Sepuh Raja Sena. Jumlah putra Sultan Sepuh Raja Sena ada 13: Ratu Sultan Waragang, Ratu Raja Kartanadhi, Ratu Raja Adiningrat, Ratu Raja Wanawati, Ratu Raja Anom, Pangeran Aria Lor, Sultan Matangaji, Sultan Muda, Pangeran Aria Lorpalet, Ratu Raja Ambetkasih, Pangeran Aria Kidul, Pangeran Aria Wetan, dan Pangeran Aria Kulon.


Dua dari anak-anak Sultan Sepuh Raja Sena lahir dari ibu yang berbeda. Pertama, Sultan Matangaji lahir dari Ratu Kidul, Pakenden. Kedua,  Sultan Muda lahir dari Ratu Turi, Pakenden. Sebagian kalangan menentang nasab ini, karena Sultan Matangaji didudukkan sebagai putra selir. Bahkan ada yang berpendapat Sultan Matangaji mengalami kegilaan menjelang kematiannya.


Berbeda dari pendapat di atas, dalam manuskrip Serat Carub Kandha, Sultan Matangaji bukanlah anak dari seorang selir. Sultan Matangaji adalah putra sulung dari lima bersaudara. Kedua, Pangeran Arya Kidul atau Pangeran Jaya Wikarta. Ketiga, Pangeran Arya Panengah, yang memiliki tiga nama lain yaitu Pangeran Suryanegara, Pangeran Suryadilaga, dan Pangeran Suryakusuma. Keempat, Pangeran Arya Kulon. Dan terakhir, Nyi Mas Ratu Moblong, yang menikah dengan Ki Muda atau Sultan Muda.


Nah, menurut cerita yang beredar di masyarakat, penerus kekuasaan Sultan Matangaji, semestinya Pangeran Suryanegara. Sebab, pada masa itu, Pangeran Suryanegera dianggap paling sah melanjutkan tahta kekuasaan. Namun, Sultan Muda, rupanya mendapatkan dukungan penuh dari Belanda, sehingga ia menjadi penerus Sultan Matangaji. 


Dengan demikian, jika pendapat kedua benar adanya, maka pengganti Sultan Matangaji (hingga dua abad lebih), bukanlah trah. Tidak heran jika muncul pemeo, barangkali karena mereka sebagai “the others”, konstruksi sejarah kesultanan Cirebon terus dibuat peteng. Rasa memiliki dan tanggung jawab mereka tidak begitu besar pada tinggalan leluhurnya sendiri, termasuk Situs Matangaji.


Jejak Sultan Matangaji


Pada manuskrip Babad Darmayu dikisahkan, sekitar akhir abad ke-18, Cirebon mendapatkan serangan dari tentara Batavia. Sultan Matangaji dengan didampingi Pangeran Suryakusuma, Pangeran Martakusuma, Pangeran Pekik, Pangeran Logawa, dan Pangeran Penghulu Dulkasim, menyambut kedatangan mereka, tepatnya di Mertasinga. Segerombolan pasukan yang didatangkan dari Batavia kualahan, lari kocar-kacir ke arah timur. 


Tentara Batavia meminta bantuan kepada Sultan Mataram. Dengan hak preogratifnya, Sultan Mataram pun membatasi ruang gerak bala pasukan Sultan Matangaji, dengan mengurangi luas wilayah Cirebon menjadi (hanya) seribu kilometer per segi. Pada saat itu pula kedudukan dalem ‘bupati’ dihilangkan.


Sikap Sultan Matangaji yang dinilai sangat frontal dan keras terhadap Belanda (VOC) beresiko besar bagi keberlangsungan kepemimpinannya, termasuk ancaman dari dalam. Sultan Muda memanfaatkan kesempatan emas ini dengan baik, hingga berhasil membunuh Sultan Matangaji secara licik. Oleh Belanda, Ki Muda dinobatkan sebagai Sultan Sepuh VI dengan gelar Sultan Hasanudin, karena keberanian dan keberahasilannya menyisihkan Sultan Matangaji.


Karena tragedi itu Pangeran Suryanegara, penerus sah Sultan Matangaji, hengkang dari keraton dengan membawa sejumlah kitab dan pusaka, lalu membangun kekuatan di wilayah pedalaman (Indramayu). Semestinya Pangeran Suryanegara paling berhak menggantikan saudaranya. 


Pasca kejadian itu pemberontakan terjadi dimana-mana (awal abad ke-19). Situasi Cirebon begitu mencekam, dan hampir mustahil bisa diredam. Pertama, pemberontakan Bagus Sidong bersama kedua putranya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasam. Pemberontakan dianggap berakhir setelah mereka mengajukan surat tuntutan tertanggal 13 Juli 1806. Pemberontakan ternyata kembali meletup. Bagus Rangin yang mengendalikannya, atau yang dikenal dengan Pemberontakan Bagus Rangin.


Selanjutnya, anak keturunan Pangeran Suryanegara berusaha menghindari perselisihan dengan pihak keraton. Tidak sedikit yang mendalami ilmu agama (Islam), seperti Abdul Manan. Ditengarai, Abdul Manan adalah mursyid Tarekat Qadiriyah Wanaqsabandiyah (TQN), yang namanya diabadikan menjadi nama masjid agung di Indramayu: Masjid Islamic Center Abdul Manan Indramayu.


Kecenderungan serupa juga dialami oleh Benggala Wiralodra (Bupati Indramayu IV). Karena faktor perebutan tahta, Benggala Wiralodra meninggalkan Dalem Indramayu bersama putranya, Raden Kertawijaya. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar ilmu agama (Islam), berkhalwat di tempat-tempat sunyi, dan taqarub kepada Allah. Demikian pula dengan Kiai Muqayim, keluarga keraton yang namanya kerap kali diidentikan dengan Tarekat Syattariyah.


Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep.


"Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara."


Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda.


Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.


"Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati,"


Rintisan Perlawanan


Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).


Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.


"Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda.


Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.


Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan.


Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang.


Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan Matangaji.


Terbunuhnya Matangaji


Namun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji.


Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji.


Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan.


"Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji.


Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni).


Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818.


Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus.


Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih 7.000 pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih.


Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala.


Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon.


Sejarah Desa Matangaji


Desa ini punya ikatan dengan Sultan Matangaji yang memimpin Kesultanan Cirebon, di awal keberadaannya. Ini adalah salah satu wilayah Kesultanan Cirebon yang berada di kaki Gunung Ciremai, saat ini Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Kisah desa ini, berawal dari sebuah pedukuhan di bawah Kesultanan Cirebon pasca wafatnya Sunan Gunung Jati.


Penerusnya yakni Sultan Matangaji pada waktu itu, memimpin sejumlah pedukuhan termasuk di dalamnya daerah yang kini menjadi Desa/Kecamatan Jalaksana. Alkisah, Sultan Matangaji hendak melaksanakan upacara selamatan. Kemudian beliau mengimbau kepada pedukukan untuk membawa daging kidang atau kijang.


Namun dari semua pedukuhan yang bertadangan, ada satu menarik perhatian dari Sultan Matangaji karena membawa kijang dalam kondisi masih hidup. Sultan Cirebon waktu itu, mendekati utusan dari pedukuhan itu dan menananyakan nama maupun asalnya.


"Saya Ki Guludug dari Pulau Pinggan dan kidang ini akan saya baktikan kepada gusti sultan," sebut Ki Guludug, sebagaimana dikisahkan di portal Pemerintah Desa Jalaksana. Karena senang dengan kijang yang masih hidup itu, Sultan Matangaji lantas memberikan nama kepada Ki Guludud dengan sebutan Wannataka.


Desa yang dulu bernama Pulau Pinggan itu pun, diubah menjadi nama Laksana dan ketika itu, Sultan Matangaji pun berkunjung.


Kedatangan Sultan Matangaji waktu itu, mendapatkan pengawalan dari para jawara dari Cirebon. Mereka kemudian singgah di sebuah tempat dekat Desa Laksana yang sekarang bernama Pajawan. Salah satu hobi dari Sultan Matangaji waktu itu, setiap datang kunjungan adalah melakukan menyambung ayam.


Ternyata dalam pertandingan itu, ayam Sultan Matangaji yang bernama Jalak tidak terkalahkan. Bahkan selama 40 hari dipertandingkan.


Setelah selesai agenda sabung ayam itu, Gusti Sultan mengumpulkan para sesepuh desa untuk bermusyawarah dan memberi nama tempat tersebut dengan Tarikolot. Atas kemenangan ayam jalak tersebut, kemudian Sultan Matangaji memberi nama daerah dari Desa Laksana menjadi Jalaksana.


Tidak hanya itu, Sultan Matangaji juga memerintahkan para sesepuh desa untuk mengembangkan daerah itu dan bermunculan lah desa lainnya hingga kini ada 21.


Menariknya, keberadaan 21 sesepuh Desa Jalaksana tersebut sampai dengan sekarang masih terabadikan dengan adanya pemakaman di Buyut Seikur.


Desa Jalaksana kini menjadi salah satu desa penting di Kabupaten Kuningan, apalgi posisinya sangat strategis. Sebelumnya desa ini memiliki pusat keramaian karena berada di perlintasan Jalan Raya Cirebon - Kuningan.


Kemudian kini memiliki akses baru lewat Jalan Baru Lingkar Timur (Jalintim) Kuningan, sehingga wilayah yang berada di bagian dalam dapat lebih mudah melakukan mobilisasi.


Sejarah mengenai Desa Jalaksana sendiri, belum banyak menemukan sumber tertulis dan kebanyakan bersumber dari tutur dan cerita turun temurun.


Sultan Matangaji Pencipta Kuliner Khas Santri Cirebon


Ketika berkecamuk perang Cirebon Raya (Perang Kedondong) Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin. Pada masa Cirebon Dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin Kerajaan Mataram Islam juga sedang terjadi huru-hara Serangan Trunojoyo dari Madura yang berhasil menguasai pusat pemerintahan Mataram yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Amangkurat 1, hingga campur tangannya Belanda pada masa Amangkurat II yang meminta bantuan untuk melawan Trunojoyo dengan iming iming imbalan separuh wilayah Mataram, keadaan huru hara di Pusat kota mengharuskan rakyat yang berada di wilayah Rembang, Brebes, Tegal Lamongan, dan orang orang Cina harus migrasi ke wilayah Cirebon untuk mendapat perlindungan.


Kedatangan para pendatang disambut hangat oleh Sultan Cirebon. Sehingga apa pun yang diminta Sultan kepada para saudagar China selalu dipenuhi. 


Termasuk ketika Sultan membangun Gua Sunyaragi tempat untuk berkhalwat di dekat Laut Utara para saudagar China selalu membantu.


Ketika peta politik kepentingan Inggris (Belanda)vs Prancis beradu Cirebon pun terkena dampak. Sama seperti Mataram Islam di Kesultanan Cirebon pun terjadi hegemoni penguasaan keraton hingga mengharuskan Sultan Muhammad Sofiudin yang ditemani Pangeran Suryanegara, Pangeran Atasangin (Bagus Rangin) harus meninggalkan Keraton dan menjadi Santri dibeberapa Kiai, seperti Kiai Syarif Abdul Muhyidin (Buyut Muhyi, Dawuan Tegal Tani atau disebut juga buyut Rancang karena ahli merancang Strategi ketika meletus Perang Kedondong), Kiai Hasanudin (Kiai Jatiro/Atau Kiai Jatira karena di depan padepokan/pesantrennya terdapat pohon jati dua sebagai ciri tempat beliau ketika para santri pejuang akan bekunjung atau meminta nasihat dan doa agar memenangkan peperangan dengan Belanda). 


Dalam ngangsu kaweruh (menuntut Ilmu agama di pesantren) amanah ayah Sultan Amirzena kepada beliau (Sultan Muhammad Sofiudin) adalah harus bentas mengaji, harus selesai menghatam Al-Qur’an, dan harus matang mengaji memahami Ilmu agama. Maka karena Sultan Muhammad Sofiudin matang dalam mengaji beliau juga digelari Sultan Matangaji. 


Makanan kesukaan Sultan Matangaji ketika Hidup di kraton adalah ayam bakar dan nasi Kuning. Karena ketika terjadi perang gerilya dan tinggal di pesantren makanan yang dimakan adalah segala yang bersumber dari alam maka makanan yang dimasakan pun semua dari alam, dari hutan belantara, rawa yang ada di sekitar wilayah Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. seperti ubi bakar, pepes jantung pisang, terong bakar, dan makanan yang disuka Sultan Matangaji sendiri ketika tinggal di pesantren adalah "gecok". Masakan kuliner sekaliber gecok adalah makanan yang bahan dasarnya ayam bakar kemudian dicincang kecil-kecil tulangnya dibebek sampai lembut ditaburi kelapa parud yang masih segar, kunyit, jahe, garam. Ini kemudian menjadi makanan favorit santri- santri yang lain hingga ketika ada kunjungan tamu agung biasanya nasi pepes jantung pisang, terong bakar, sambel trasi dan gecok santri menjadi andalan. Hingga kini perpaduan pepes jantung pisang, terong bakar, gecok dan sambel trasi masih diminati oleh para santri 


Cirebon khususnya dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Bahkan setelah perang Cirebon Raya usai makanan gecok, terong bakar, pepes jantung pisang dan coel sambel trasi masih total diminati bahkan warga rela menu mewah yang ada dirumah ditukar dengan pepes jantung pisang santri.

27 January 2024

Sejarah Mataram - Raden Mas Sandiyo ( Kyai Nur Iman Mlangi )

 RADEN MAS SANDIYO

( KYAI NUR IMAN MLANGI )



RM Sandiyo atau BPH Hangabehi ing  Kartasura terlahir pada tahun 1708. Beliau adalah putra kedua dari Susuhunan Prabu Amangkurat IV setelah KPH Mangkunagoro Kartasura yang lahir pada tahun 1703. RM Sandiyo adalah putra dari garwa RAy Susilowati putri dari Adipati Wironegoro ( Untung Suropati ) bupati Pasuruan. 

Masa kecil RM Sandiyo tidak didalam tembok istana melainkan di Pondok Pesantren Gedangan, tempat ayahandanya dulu menimba ilmu agama sebelum menjadi Raja Amangkurat IV. Seperti dikisahkan ketika remaja ayahandanya pernah menimba ilmu di Ponpes Gedangan asuhan Kyai Abdullah Muhsin dengan berganti nama Muh Ihsan. Pada suatu hari Adipati Wironegoro berkunjung ke ponpes Gedangan, dan kebetulan terpesona dengan seorang santri wan yang  seorang bangsawan kraton Mataram dan wajahnya tidak asing oleh Adipati Wironegoro dialah Pangeran Surya Putra putra dari Susuhunan Pakubuwana I. 


Kemudian Adipati Wironegoro tertarik untuk menikahkan P.Suryaputra dengan putrinya yaitu R Ay Retno Susilowati.Dan akhirnya pernikahan dilaksanakan di Kadipaten Ponorogo, kemudian setelah itu sang istri diboyong ke Ponpes Gedangan. Tidak beberapa lama ketika istrinya hamil Pangeran Suryaputra di jemput untuk pulang ke Kraton Kartasura karena Susuhunan Pakubuwana I sakit keras. Sebelum berangkat ke Kraton Kartasura , Pangeran Suryaputra berpesan jika anaknya lahir laki kelak dinamakan RM Sandiyo, jika perempuan terserah Kyai Abdulah Muhsin untuk memberi nama. Beliau juga berpesan supaya Kyai abdullah Muhsin mengasuhnya dan mendidiknya hingga mumpuni karena kelak  anak tersebut akan dijemputnya pulang ke Kraton Kartasura. Ketika bayi tersebut lahir laki laki, Kyahi Abdullah Muhsin juga memberikan nama pada bayi tersebut Muhammad Nur Iman.


Seiring berjalannya waktu RM Sandiyo atau Muh Nur Iman telah tumbuh dewasa dan menjadi pemuda yang mumpuni dalam ilmu agama dan lainnya. Hingga pada suatu hari datang utusan dari Kraton Kartasura untuk menjemputnya, tetapi RM Sandiyo berkeinginan berangkat sendiri ke Kraton Kartasura. Hingga akhirnya RM Sandiyo didampingi dua sahabatnya dipondok pesantren Gedangan Ponorogo berangkat ke Kraton Kartasura. Perjalanan dari Ponorogo ke Kartasura memakan waktu yang lama, sesuai pesan Kyai A Muhsin supaya dalam perjalannya tidak lupa berdakwah dan menyebarkan agama islam. Oleh sebab itu akhirnya di sepanjang perjalanan yang disinggahi, RM Sandiyo mendirikan Pondok Pesantren , anatara lain di Ponorogo dan Pacitan.


Sesampai di Kraton Kartasura , RM Sandiyo langsung menghadap ayahandanya yang telah menjadi Raja Amangkurat IV. Beliau sembah sungkem kepada Ayahandanya, begitu pula ayahandanya kemudian memeluknya dan memperkenalkan kepada saudara saudaranya. Kemudian  RM Sandiyo  dianugrahi gelar BPH Hangabehi ing Kartasura dan oleh Susuhunan diberikan rumah tinggal di Sukowati Kartasura.


Ketika ayahandanya wafat, dan Kraton kartasura mengalami huru hara, RM Sandiyo lebih memilih keluar dari Kraton meninggalkan hiruk pikuk perebutan kekuasaan  dan berjalan kearah barat sambil berdakwah dan menanamkan rasa patriotisme melawan penjajah kepada masyarakat yang dikunjungi  dan sampailah di Kulon Progo. Di daerah  tersebut Beliau diterima dengan senang hati oleh Demang Hadiwongso dan Ki Demang berkenan untuk menikahkan putrinya yang bernama Mursalah dengan RM Sandiyo.


Ketika  sang mertua wafat, RM Sandiyo dan keluarga berpindah tempat tinggal ke timur Kali Progo tepatnya di desa Krisan.Didesa inilah RM Sandiyo bertemu dengan RM Sujono adiknya yang sekarang telah menjadi Raja Yogyakarta dan bergelar  Sri Sultan Hamengkubuwana I . Sri Sultan meminta RM Sandiyo dan keluarga untuk berdomisili di kraton Yogyakarta dan mengembangkan ajaran Islam di sana..


Bertepatan  pada saat ulang tahun tahta atau Jumenengan Sri Sultan HB I padatahun 1756, Beliau  memberikan tanah perdikan kepada RM Sandiyo, Dan tanah perdikan tersebut oleh RM Sandiyo  dijadikan desa , kemudian pada tahun 1758 RM Sandiyo mendirikan Masjid Mlangi dan serta Pondok Pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam dan tempat untuk mengajar atau “ Mulangi “  para putra Sultan juga kerabat dan rakyat sekitarnya. Desa tersebut kemudian disebut Desa Mlangi berdasar dari kata Mulangi atau mendidik.


Kyahi Nur Iman adalah seorang guru yang ahli dibidangnya dan sangat mumpuni  dalam mempelajari  ilmu agama dan cara mengajarkan ilmu Agama kepada para santrinya mudah dimengerti . Maka tidak heran jika banyak calon santri Pondok Pesantren Mlangi yang datang dari luar Yogyakarta bahkan ada yang berasal dari luar negeri. Dan para santri lulusan dari sana sebagian besar menularkan ilmunya dengan mendirikan pondok pesantren di daerah asal mereka.  

Kumpulan ajaran  karya Kyahi Nur Iman Mlangi antara lain :

1. KitabTaqwim ( Ringkasan ilmu Nahwu )

2. Kitab Ilmu Sorof


Tradisi peninggalan Kyahi Nur Iman Mlangi yang masih dilestarikan :

1. Ziarah dengan membaca tahlil, Yasin dan Al Quran serta Surat Al Ikhlas dan lain lain

2. Membaca Sholawat Tunjina ( untuk memohon keselamatan di dalam setiap hajatan )

3. Membaca Sholawat Nariyah

4. Membaca kalimat thoyyibah

5. Manakib abdul qodiran

6. Berjanjen

7. Sholawatan.

 


Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana II, RM Sandiyo mengusulkan untuk membangun Masjid di empat penjuru arah guna melengkapi   Masjid yang telah berdiri di kampung Kauman di dekat Kraton. Dan Masjid tersebut dinamakan Masjid Pathok Nagari :

1. Di sebelah barat terletak di Dusun Mlangi

2. Di sebelah timur terletak di Desa Babadan

3. Di sebelah Utara terletak di Desa Plosokuning

4. Di sebelah Selatan terletak di Desa Dongkelan.


Ada satu hal yang menarik dari BPH Hangabehi Sandiyo, Beliau adalah seorang Bangsawan ,putra seorang Raja tetapi Beliau tidak berambisi  untuk  berebut menjadi raja  ataupun  mencari posisi sosial dengan memanfaatkan  darah birunya, beliau lebih memilih hidup sebagai Ulama , hidup sederhana dan merakyat serta menimba ilmu agama dan membagi ilmunya agamanya  untuk masyarakat sekitar.

 

Pada tanggal 15 Suro RM Sandiyo atau KPH Hangabehi ing Kartasura atau yang lebih dikenal dengan nama Kyahi Nur Iman Mlangi wafat dan dimakamkan di belakang Masjid Jami Mlangi. Untuk mengenang dan menghormati jasa Kyai Nur Iman Mlangi, setiap malem tanggal 15 Suro / Muharam diadakan Khaul . Makam Kyai Nur Iman terletak di Dusun Mlangi, Nagatirta Gamping Kabupaten Sleman Yogyakarta.


RM Sandiyo atau KPH Hangabehi ing Kartasura atau Kyahi Nur Iman Mlangi mempunyai istri dan menurunkan putra sbb :


A. Dari Garwa Gegulu berputra :

1. RM Mursada

2. RM Nawawi

3. RM Syafangatun

4. RM Taptoyani  ( Kyai Kedu, Beliau adalah Guru Spiritual P. Diponegoro )

5. RAy Cholifah

6. RAy Muhammad

7. RAy Nur Faqih

8. RAy Muso

9. RM Chasan Bisri

10. RAy Mursilah Abdul Karim


B. Dari Garwa Surati berputra :

1. RAy Muhammad Sholeh

2. RM Salim

3. RAy Jaelani


C. Dari Garwa Kitung berputra :

1. RAy Abu Tohir

2. RAy Mas Tumenggung


D. Dari Garwa Bijanganten berputra

1. RAy Nur Jamin


E. Dari Garwa Putri Champa berputra :

1. RM Mansyur Muchyidinirofingi



Siti Hajar, Ismail dan Zam Zam

 Kisah Siti Hajar dan Ismail, Awal Kemunculan Air Zamzam di Tengah Gurun Pasir

________________________________________________


Kisah Siti Hajar dan Ismail selalu identik dengan sejarah kemunculan mata air Zamzam yang hingga saat ini masih bisa ditemui di Makkah ketika beribadah haji atau umrah. Bagaimana kisah kemunculannya?

Diceritakan dalam buku Spiritualitas Haji oleh Nur Kholis, bahwa Nabi Ibrahim AS belum juga dikaruniai anak dengan istri pertamanya, Siti Sara, hingga umurnya mencapai 80 tahun.


Hingga suatu hari Siti Sara mengusulkan agar suaminya itu meminang perempuan lain untuk dijadikan istri sehingga ia bisa dikaruniai keturunan. Akhirnya, Nabi Ibrahim AS pun menikah dengan seorang wanita bernama Siti Hajar dan dikaruniai putra bernama Ismail.


Setelah Ismail lahir, Siti Sarah merasa khawatir terhadap masa depannya. Ia berkali-kali menginginkan agar Nabi Ibrahim AS mengajak Siti Hajar untuk pergi jauh-jauh dari kehidupannya.


Allah SWT akhirnya memerintahkan Nabi Ibrahim AS untuk membawa Siti Hajar dan putranya Ismail untuk pergi ke tempat yang jauh dari Palestina. Nabi Ibrahim AS pun menaati perintah tersebut.


Setelah berminggu-minggu berjalan di atas padang pasir yang tandus, panas, dan gersang serta dinginnya malam, sampailah mereka di sebuah dataran rendah yang hanya memiliki satu pohon besar.


Nabi Ibrahim AS pun meninggalkan istri dan anaknya yang selama ini ia harapkan itu di sana, sendirian, dan jauh dari peradaban manusia. Namun, inilah kisah awal mula munculnya air Zamzam yang tidak akan pernah kering sampai akhir zaman.


Kisah Siti Hajar dan Ismail Munculkan Air Zamzam

Rizem Aizid dalam Sejarah Terlengkap 25 Nabi menceritakan bahwa ketika ditinggal oleh Nabi Ibrahim AS, perlengkapan dan persediaan makanan Siti Hajar dan Ismail mulai menipis. Sehingga kehidupan mereka lebih bertambah berat.


Keadaan ini menjadi lebih berat ketika saat itu Ismail masih harus menyusu kepada Siti Hajar, padahal air susunya semakin lama semakin mengering karena kekurangan makanan.


Akibatnya, Ismail pun menangis tak henti-hentinya karena kelaparan.


Siti Hajar pun menjadi bingung, panik, dan cemas mendengar anak yang disayanginya menangis menyayat hati. Ia menoleh kesana kemari demi mencari sesuatu yang bisa dimakan atau air yang bisa diminum.


Ibnu Hisyam menceritakan, Siti Hajar mencari makanan dan minuman itu dengan berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali sembari meminta pertolongan kepada Allah SWT.


Allah SWT kemudian mengutus malaikat Jibril untuk menolong Siti Hajar dan Ismail di bumi. Ketika itu, Ismail menangis sembari menghentak-hentakkan kakinya di atas pasir.


Hentakan-hentakan kaki itu kemudian mengakibatkan sebuah mata air muncul di pasir tersebut. Siti Hajar sedikit ketakutan karena kemunculan air itu dibarengi dengan bunyi seperti suara binatang buas.


Namun ternyata itu adalah mata air yang memancar sangat deras sehingga tangannya menggapai air yang mengalir dari tempat Ismail.


Sumber sebelumnya mengatakan, ketika air ini muncul, Siti Hajar mengucapkan kata, "zamzam... zamzam..." yang artinya berkumpul-berkumpul.


Jadilah sumber mata air yang kini kita kenal dengan mata air Zamzam yang airnya tidak pernah kering.


Dikutip dari buku Menengok Kisah 25 Nabi & Rasul oleh Ahmad Fatih, pergerakan Siti Hajar ketika mencari air dan pertolongan sembari berlari-lari kecil ke Bukit Shafa dan Marwah itu adalah asal mula ritual Sa'i pada ibadah haji.



Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 158, bahwasanya,


۞ اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ۗ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًاۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ ١٥٨


Artinya: "Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka, siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri, lagi Maha Mengetahui."

26 January 2024

Cacat Moral Amangkurat 1

 

CACAT MORAL AMANGKURAT I | Pangeran Adipati Anom, demikian gelar Raden Mas Sayyidin sebelum menjadi Sunan Amangkurat I, anak raja gung binathara Sultan Agung Hanyakrakusuma. 


Dalam banyak literatur Amangkurat I (1619-1677), dikenal sebagai raja Mataram yang lalim, kejam. Konon membantai 5000-an lebih ulama. Jejak sejarahnya, memang adigang-adigung-adiguna sejak remaja. Mungkin karena ia anak penguasa. Penguasa tak terbantahkan, karena ia adalah hukum itu sendiri, yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Nggak peduli pantes atau tidak, kalau misal ia mau mengkampanyekan dirinya juga boleh.


Dalam usia 18 tahun, ia menculik isteri Tumenggung Wiraguna, panglima perang dari ayahandanya. Menikahinya diam-diam, di luar pengetahuan Sultan Agung. Para telik sandi mungkin mengetahui, tapi tak berani memberitahukan. Apalagi ketika ada yang memberanikan diri melaporkan, dianggap kurang pikir. Setidaknya, dalam interpretasi Graaf, Sultan Agung khawatir hal itu akan berefek negatif pada elektabilitas putra mahkota.


Beberapa penasihat Sultan Agung hanya menyarankan agar gelar putra mahkota diberikan kepada Pangeran Alit, anak dari isteri satunya lagi. Namun Sultan Agung panggah, dan tetap memberikan tahta Mataram kepada Pangeran Adipati Anom. 

Ada beberapa catatan menunjukkan, Pangeran Adipati Anom ini akrab bergaul dengan beberapa orang Belanda yang menjadi tawanan ayahandanya --setelah penyerbuan Mataram ke Batavia.


Pergaulannya dengan beberapa orang Belanda itu, mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup sang pangeran. Seorang utusan Kompeni, Van Goens dalam catatannya menyatakan sang putra mahkota sebagai sosok yang beringas. Temperamental sejak anak-anak. Dengan rombongan pengawal kerajaan, ia suka bepergian. Mengajak beberapa tawanan Belanda, dan mengadugulatkan mereka dengan rakyat jelantah.


De Graaf menuliskan lebih jauh, “Menjelang dewasa, sewaktu berumur kurang lebih 14 atau 15 tahun, ia sangat tertarik kepada wanita dan dengan keluguan seorang remaja, ia menceritakan petualangan cintanya kepada orang-orang Belanda tersebut.” Itu pula agaknya, setelah pernikahan dengan putri Pangeran Pekik, dia menyeleweng. Menculik isteri Tumenggung Wiraguna, panglima perang kerajaan. Meski dalam kisah lain, kelakuan Sayyidin ini seolah dibalas putranya sendiri, yang jatuh cinta kepada Rara Oyi, perempuan sengkeran (simpanan), yang kelak hendak dinikahi oleh Amangkurat itu sendiri.


Tapi Sultan Agung, agaknya sangat membela sang anak. Karena ulah anak dan pemanjaan bapak itu, situasi kabinet Sultan Agung menjadi kurang harmonis. Konflik diam-diam tak terhindarkan, intrik, dan lahirnya para penjilat dari koalisi ARS (Asal Raja Senang). Hingga muncul pembelotan, lahirnya koalisi liar dan pemberontakan. Semuanya karena Sultan Agung begitu cintanya kepada sang anak. 


Sultan Agung menghukum mati 20-an elite kerajaan, termasuk sanak-saudara sendiri, juga ulama. Membakar 800-an kapal yang dikhawatirkan bakal dipakai para pemberontak melarikan diri. Dan seterusnya. Hingga Raden Mas Sayyidin menggantikan Sultan Agung tanpa ada kekuatan oposisi yang mampu menandingi. 


Kekuasaannya berlangsung lama, meski kalah setahun dengan Soeharto di 'kerajaan' Indonesia. Amangkurat I memimpin dengan tangan besi, antara lain pembantaian ulama yang fenomenal itu. Meski ia dikenal sebagai penguasa yang juga membangun berbagai infrastruktur, juga terlibat dalam banyak proyek-proyek pembangunan ekonomi. Ia memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, entah dengan atau tanpa bansos. Kekuasaannya penuh paradoks dengan selera kosmopolitannya. Sekira sudah ada musik rock, mungkin ia juga akan menyukainya. 


Namun ia tak pandai mengelola kejayaan Mataram yang dengan susah payah dibangun kekuasaan sebelumnya. Amangkurat I menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan atau pemerintahan yang terpusat. Menyingkirkan beberapa pendukung terdekatnya, yang dianggap tak sejalan dengan pandangan politiknya. Ada yang diutus ke medan perang, tapi di tengah jalan justeru dibunuh sendiri lewat utusannya. Memindah ibukota kerajaan ke Plered, yang semula dengan konstruksi kayu ke konsep batu-bata. Proses pemindahan tidak mulus, memunculkan pemberontakan. Salah satunya dari adik sendiri --lain ibu, yang dibantu para ulama. Dari sinilah pembantaian saudara kandung dan ribuan ulama itu bersebab. 


Tapi, setelah 31 tahun kekuasaannya jatuh juga di tangan pemberontak. Amangkurat I melarikan diri, bersama keluarga dan pengikut setia. Dalam pelarian ketika usia tak lagi muda, banyak mengalami kemalangan, termasuk nyaris dirampas gerombolan perampok. Juga ditolak oleh dua putra lainnya ketika hendak meminta perlindungan kerajaan. Hingga mangkatnya pada tahun 1677 di wilayah Banyumas. Namun jasadnya dilarikan ke daerah yang dianggap aman oleh para pengikutnya, di wilayah Tegal, dan dimakamkan di daerah yang pernah menjadi penyangga pangan Mataram pada jaman Sultan Agung. 



Demikian dongeng mengenai fenomena kekuasaan di Jawa pada abad 17. Tak perlu sensi. Nggak usah dikait-kaitkan. Nikmati saja kisah kemanusiaannya.  | Dikutipkan dari de Graaf dan berbagai bacaan lain, oleh Sunardian Wirodono



Penulis : Sunardian Wirodono

Muthia Datau

 Potret Mutiara Datau atau yang lebih akrab dikenal Muthia Datau pada tahun 1979. Beliau adalah mantan pemain sepak bola wanita Indonesia. Muthia tercatat bergabung dalam club sepak bola "Buana Putri" yang bergerak sebagai kiper. Pada era tahun 1970-an, Muthia menjadi salah satu kiper tim nasional sepak bola wanita Indonesia terbaik. 



Adapun club sepak bola Buana Putri ini merupakan club sepak bola wanita yang didirikan oleh Dewi Wibobo di Jakarta. Dalam sejarah, Buana Putri tercatat memiliki atlet-atlet berbakat, salah satunya Muthia Datau ini. 


Buana Putri terbentuk dari kelompok pemudi yang dulu memiliki sebutan RIC (Remaja Indonesia Club). Dalam setiap ajang pertandingan sepakbola putri di Indonesia, Buana Putri selalu berhasil mendominasi permainan. Hingga membuat Buana Putri menjadi Ratu Sepakbola Indonesia pada kurun waktu 1970-an hingga 1990-an akhir.


Sumber: Berita Yudha, 26 Nopember 1979 Halaman 3 Kolom 5. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Terjilid Perpustakaan Nasional RI (SKALA Team)

25 January 2024

Sejarah Kopi

 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐤𝐚𝐡 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐖𝐚𝐫𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐨𝐩𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐚𝐦𝐚 𝐃𝐢 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚...??

Pada abad ke-15, tepatnya tahun 1475, di kota Konstantinopel yang kini dikenal sebagai Istanbul, sebuah kedai kopi bernama Kiva Han muncul sebagai tempat yang sangat istimewa. Kiva Han tidak hanya sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menjadi pusat sosial yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Kiva Han menjadi tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat, membawa bersama cerita-cerita, pandangan politik, diskusi agama, dan peristiwa terkini. Suara tawa, perdebatan seru, dan aroma kopi menyatukan orang-orang dalam lingkungan yang ramah dan akrab. Kiva Han dengan cepat menjadi titik pertemuan utama bagi mereka yang ingin berbagi pengalaman dan wawasan mereka.

Kopi yang disajikan di Kiva Han terkenal karena kekentalannya, warna hitam yang pekat, dan tidak menggunakan filter. Kopi Turki, demikian mereka menyebutnya, bukan hanya sekadar minuman, melainkan suatu bentuk seni dan keterampilan. Para barista di Kiva Han menjadikan proses penyeduhan kopi sebagai sesuatu yang istimewa, dan kopi dianggap sebagai barang premium.

Pentingnya kopi dalam budaya Turki tercermin dalam tradisi dan kebiasaan sehari-hari. Menyajikan kopi dengan benar dianggap sebagai tanda keramahan dan kepedulian terhadap tamu. Bahkan, kopi menjadi begitu penting sehingga dalam budaya Turki pada waktu itu, seorang wanita dapat menceraikan suaminya jika dia tidak dapat menyediakan kopi yang memadai.

Kiva Han bukan hanya sekadar tempat untuk memenuhi dahaga kopi, tetapi juga menjadi saksi perkembangan budaya dan peradaban di sekitarnya. Warung kopi ini melampaui batas-batas tempat kuliner biasa dan menjadi inti dari kehidupan sosial masyarakat Konstantinopel pada masa itu. Dengan demikian, Kiva Han tidak hanya menjadi warung kopi pertama di dunia, tetapi juga menjadi cikal bakal bagi warung kopi modern yang tetap menjadi tempat berkumpul.



Pax Mongolica: Kedamaian Sejarah Abad Pertengahan di Bawah Mongol ________________________________________________ Semua bangsa di Eropa dan Asia tentu mengenal bangsa Mongol. Keberadaan bangsa Mongol disebutkan dalam berbagai catatan sejarah abad pertengahan, bahkan oleh masyarakat Jawa menjelang kebangkitan Majapahit. Kekaisaran Mongol mewarnai abad pertengahan sejak abad ke-13. Setelah didirikan oleh Genghis Khan, Kekaisaran Mongol memperluas kekuasaannya dengan cepat. Hal ini yang membuatnya sebagai salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah. Kekaisaran Mongol kemudian terbentang dari Eropa Timur hingga Tiongkok dalam sejarah abad pertengahan. Mereka juga menguasai Jalur Sutra yang terkenal sebagai penghubung dua dunia untuk pertukaran dagang, budaya, dan ilmu pengetahuan. Meski berikutnya Kekaisaran Mongol terpecah menjadi Kekaisaran Ilkhanat, Gerombolan Emas, Dinasti Yuan, dan Chagatai, tatanan dunia berubah secara stabil. Hal tersebut disebabkan pengaruh berbagai budaya dan jalur perdagangan dunia yang dikuasai Kekaisaran Mongol. Tatanan ini, oleh para ahli sejarah abad pertengahan, disebut sebagai Pax Mongolica (Perdamaian di bawah Mongol). Nama ini meniru frasa Pax Romana (Perdamaian di bawah Romawi). Kenyamanan Jalur Sutra oleh Pax Mongolica Dengan jatuhnya seluruh Jalur Sutra di dalam kekuasaan, Kekaisaran Mongol mendulang kejayaan dengan memaksakan otoritasnya. Otoritas yang diterapkan oleh Kekaisaran Mongol membuat Jalur Sutra yang awalnya dianggap sebagai jalan yang berbahaya bagi pelancong, menjadi terkendali secara keamanan. Tidak jarang, sejak perluasan ke Asia Tengah mengikuti Jalur Sutra, kekaisaran Mongol menempatkan garnisun tentara permanen. Berbagai patroli dilakukan, yang pada awalnya untuk mendukung mobilisasi tentara ke negeri-negeri jauh, membuatnya lebih aman dari bandit dan perampok. Satu-satunya yang sangat signifikan menganggu di Jalur Sutra adalah musim ekstrem. Berkat keamanan yang stabil, perdagangan internasional dalam sejarah abad pertengahan era Pax Mongolica berkembang pesat. Distribusi komoditas eksotis dan mewah tersebar begitu masif antara dunia Timur dan Barat. Hal ini, yang kemudian, mendorong kalangan pedagang bisa menjelajah lebih jauh mencari komoditas. Pada masa Pax Mongolica ini, dalam sejarah abad pertengahan, menghadirkan penjelajah dari negeri jauh untuk mendeskripsikan berbagai peradaban dunia, seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan Bar Sauma. Penjelajahan melintasi Jalur Sutra ini tentunya tidak lepas dari kemasyhuran rute tersebut yang dikontrol oleh Kekaisaran Mongol. Kontrol yang diterapkan adalah dengan sistem tunggal tarif perdagangan dan pajak. Sistem ini berbeda dari masa sebelumnya, ketika berbagai kerajaan dan suku menguasai Jalur Sutra secara terpisah dan mempunya sistem tarif berbeda yang menganggu pedagang. Toleransi umat beragama Sejarah abad pertengahan dipenuhi oleh cerita Perang Salib di mana terdapat perang antara dua agama besar: Islam dan Kekristenan. Konflik yang berfokus di Eropa dan Timur Tengah itu berjilid-jilid hingga beberapa abad. Pada Perang Salib IX (1271–1272), Kekaisaran Mongol di bawah komando Hulagu Khan datang. Desas-desus kekejaman Mongol yang semakin dekat sudah terdengar sejak awal dan menjadi kekhawatiran baik oleh kekristenan Eropa maupun muslim Timur Tengah. Memang, Kekaisaran Mongol cukup keji dalam cerita sejarah abad pertengahan ketika menaklukkan kota dan kerajaan. Kedatangan mereka yang sempat menghancurkan Bagdad pada 1258, menghubungkan Mongol dengan bangsa Ya'juj dan Ma'juj dalam cerita akhir zaman Islam dan Kekristenan. Nyatanya, kehidupan Pax Mongolica tidak semengerikan itu. Kehidupan umat beragama baik muslim dan kristiani dilindungi, walau para pemimpin Mongol beragama Buddha atau Tengrisme (agama tradisional Mongolia). Berkat kekuasaan Mongol pula, Islam bisa menyebar ke Eropa Timur jauh sebelum Kekaisaran Ottoman berdiri. Penyebarannya semakin pesat ketika para pemimpin Gerombolan Emas dan Ilkhanat mualaf. Agama Kristen Nestoria juga mengalami kebangkitan, terlebih keluarga Hulagu Khan juga ada yang memeluk agama ini. Bar Sauma, penjelajah dari Tiongkok yang bisa berjalan ke Eropa Barat juga adalah pemuka agama Kristen Nestoria. Jalur Sutra yang lebih aman juga memungkinkan agama Buddha masuk ke Tiongkok lebih besar pada masa Dinasti Yuan, ketimbang pada masa awal penyebarannya era Dinasti Han. Perpecahan Mongol yang menyurutkan Pax Mongolica Pax Mongolica tidak selamanya berjaya dalam sejarah abad pertengahan. Hal itu disebabkan oleh Jalur Sutra yang pada awalnya adalah penopang Kekaisaran Mongol. Surutnya Pax Mongolica didorong oleh wabah hitam yang merebak pada abad ke-14. Jalur Sutra berperan dalam penyebaran penyakit ini di Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Wabah ini menyebabkan kematian besar-besaran di Eropa dan Asia yang bisa disebut sebagai depopulasi parah. Menjelang naiknya Kubilai Khan yang juga memimpin Dinasti Yuan, Kekaisaran Mongol mengalami perpecahan. Mereka terbagi menjadi empat kekhanan: Ilkhanat, Dinasti Yuan, Chagatai, dan Gerombolan Emas yang pada awalnya adalah pembagian zona militer. Perpecahan ini menyebabkan para pewaris saling berperang dan beraliansi dengan musuh saudara mereka. Misal, Kekaisaran Ilkhanat cenderung beraliansi dengan kerajaan-kerajaan Eropa untuk melawan Gerombolan Emas. Gerombolan Emas sendiri berpihak dengan Kesultanan Mamluk. Dinasti Yuan juga pada penghujung abad ke-14 juga mengalami perpecahan pewaris dan terancam oleh berbagai pemberontakan seperti Pemberontakan Serban Merah. Pada 1468, Dinasti Yuan jatuh di Dadu (nama lawas Beijing) dan digantikan oleh Dinasti Ming.

 Pax Mongolica: Kedamaian Sejarah Abad Pertengahan di Bawah Mongol

________________________________________________


Semua bangsa di Eropa dan Asia tentu mengenal bangsa Mongol. Keberadaan bangsa Mongol disebutkan dalam berbagai catatan sejarah abad pertengahan, bahkan oleh masyarakat Jawa menjelang kebangkitan Majapahit.


Kekaisaran Mongol mewarnai abad pertengahan sejak abad ke-13. Setelah didirikan oleh Genghis Khan, Kekaisaran Mongol memperluas kekuasaannya dengan cepat. Hal ini yang membuatnya sebagai salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah.


Kekaisaran Mongol kemudian terbentang dari Eropa Timur hingga Tiongkok dalam sejarah abad pertengahan. Mereka juga menguasai Jalur Sutra yang terkenal sebagai penghubung dua dunia untuk pertukaran dagang, budaya, dan ilmu pengetahuan.


Meski berikutnya Kekaisaran Mongol terpecah menjadi Kekaisaran Ilkhanat, Gerombolan Emas, Dinasti Yuan, dan Chagatai, tatanan dunia berubah secara stabil. Hal tersebut disebabkan pengaruh berbagai budaya dan jalur perdagangan dunia yang dikuasai Kekaisaran Mongol.


Tatanan ini, oleh para ahli sejarah abad pertengahan, disebut sebagai Pax Mongolica (Perdamaian di bawah Mongol). Nama ini meniru frasa Pax Romana (Perdamaian di bawah Romawi).


Kenyamanan Jalur Sutra oleh Pax Mongolica


Dengan jatuhnya seluruh Jalur Sutra di dalam kekuasaan, Kekaisaran Mongol mendulang kejayaan dengan memaksakan otoritasnya. Otoritas yang diterapkan oleh Kekaisaran Mongol membuat Jalur Sutra yang awalnya dianggap sebagai jalan yang berbahaya bagi pelancong, menjadi terkendali secara keamanan.


Tidak jarang, sejak perluasan ke Asia Tengah mengikuti Jalur Sutra, kekaisaran Mongol menempatkan garnisun tentara permanen. Berbagai patroli dilakukan, yang pada awalnya untuk mendukung mobilisasi tentara ke negeri-negeri jauh, membuatnya lebih aman dari bandit dan perampok. Satu-satunya yang sangat signifikan menganggu di Jalur Sutra adalah musim ekstrem.


Berkat keamanan yang stabil, perdagangan internasional dalam sejarah abad pertengahan era Pax Mongolica berkembang pesat.


Distribusi komoditas eksotis dan mewah tersebar begitu masif antara dunia Timur dan Barat. Hal ini, yang kemudian, mendorong kalangan pedagang bisa menjelajah lebih jauh mencari komoditas.


Pada masa Pax Mongolica ini, dalam sejarah abad pertengahan, menghadirkan penjelajah dari negeri jauh untuk mendeskripsikan berbagai peradaban dunia, seperti Marco Polo, Ibnu Batutah, dan Bar Sauma.


Penjelajahan melintasi Jalur Sutra ini tentunya tidak lepas dari kemasyhuran rute tersebut yang dikontrol oleh Kekaisaran Mongol. Kontrol yang diterapkan adalah dengan sistem tunggal tarif perdagangan dan pajak.


Sistem ini berbeda dari masa sebelumnya, ketika berbagai kerajaan dan suku menguasai Jalur Sutra secara terpisah dan mempunya sistem tarif berbeda yang menganggu pedagang.


Toleransi umat beragama


Sejarah abad pertengahan dipenuhi oleh cerita Perang Salib di mana terdapat perang antara dua agama besar: Islam dan Kekristenan. Konflik yang berfokus di Eropa dan Timur Tengah itu berjilid-jilid hingga beberapa abad.


Pada Perang Salib IX (1271–1272), Kekaisaran Mongol di bawah komando Hulagu Khan datang. Desas-desus kekejaman Mongol yang semakin dekat sudah terdengar sejak awal dan menjadi kekhawatiran baik oleh kekristenan Eropa maupun muslim Timur Tengah.


Memang, Kekaisaran Mongol cukup keji dalam cerita sejarah abad pertengahan ketika menaklukkan kota dan kerajaan. Kedatangan mereka yang sempat menghancurkan Bagdad pada 1258, menghubungkan Mongol dengan bangsa Ya'juj dan Ma'juj dalam cerita akhir zaman Islam dan Kekristenan.


Nyatanya, kehidupan Pax Mongolica tidak semengerikan itu. Kehidupan umat beragama baik muslim dan kristiani dilindungi, walau para pemimpin Mongol beragama Buddha atau Tengrisme (agama tradisional Mongolia).


Berkat kekuasaan Mongol pula, Islam bisa menyebar ke Eropa Timur jauh sebelum Kekaisaran Ottoman berdiri. Penyebarannya semakin pesat ketika para pemimpin Gerombolan Emas dan Ilkhanat mualaf.


Agama Kristen Nestoria juga mengalami kebangkitan, terlebih keluarga Hulagu Khan juga ada yang memeluk agama ini. Bar Sauma, penjelajah dari Tiongkok yang bisa berjalan ke Eropa Barat juga adalah pemuka agama Kristen Nestoria.


Jalur Sutra yang lebih aman juga memungkinkan agama Buddha masuk ke Tiongkok lebih besar pada masa Dinasti Yuan, ketimbang pada masa awal penyebarannya era Dinasti Han.


Perpecahan Mongol yang menyurutkan Pax Mongolica


Pax Mongolica tidak selamanya berjaya dalam sejarah abad pertengahan. Hal itu disebabkan oleh Jalur Sutra yang pada awalnya adalah penopang Kekaisaran Mongol.


Surutnya Pax Mongolica didorong oleh wabah hitam yang merebak pada abad ke-14. Jalur Sutra berperan dalam penyebaran penyakit ini di Eropa, Timur Tengah, dan Tiongkok. Wabah ini menyebabkan kematian besar-besaran di Eropa dan Asia yang bisa disebut sebagai depopulasi parah.


Menjelang naiknya Kubilai Khan yang juga memimpin Dinasti Yuan, Kekaisaran Mongol mengalami perpecahan. Mereka terbagi menjadi empat kekhanan: Ilkhanat, Dinasti Yuan, Chagatai, dan Gerombolan Emas yang pada awalnya adalah pembagian zona militer.



Perpecahan ini menyebabkan para pewaris saling berperang dan beraliansi dengan musuh saudara mereka. Misal, Kekaisaran Ilkhanat cenderung beraliansi dengan kerajaan-kerajaan Eropa untuk melawan Gerombolan Emas. Gerombolan Emas sendiri berpihak dengan Kesultanan Mamluk.


Dinasti Yuan juga pada penghujung abad ke-14 juga mengalami perpecahan pewaris dan terancam oleh berbagai pemberontakan seperti Pemberontakan Serban Merah. Pada 1468, Dinasti Yuan jatuh di Dadu (nama lawas Beijing) dan digantikan oleh Dinasti Ming.

Dulu kesebelasan sepak bola Indonesia pernah lolos masuk Piala Dunia yang berlangsung di Perancis tahun 1936. Sewaktu Indonesia di masa penjajahan Belanda dan bernama Hindia Belanda. Itu pertama kalinya Kesebelasan Hindia Belanda turut melawat ke Eropa. Sayangnya kalah dijegal tim Hongaria. Salah satu pemain yang terpilih bernama Sudarmadji. Sudarmadji terpilih ikut bertanding di Perancis, oleh NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Uni) semacam PSSI sekarang. Yang ikut dibawa NIVU ke kejuaranan dunia antara lain : A. Nawir (kemudian menjadi seorang dokter di Surabaya), Mo Heng, Anwar Lutan, Taihitu, Isaak Pattiwael Samuels, Hukom, Hong Djien, Zomers dan Meeng. NIVU ketika itu menjadi satu-satunya kesebelasan yang mewakili negara dari Asia. Siapakah Sudarmadji? Ia memang sudah gemar main bola sejak masih duduk di HIS (SMP) Sulung, kelas 2. Ketika tinggal di Kampung Pengampon, ia masuk club Abimanyu Yunior. Semangatnya menjadi pemain bola, berkat dorongan keluarga, terutama sang Paman Paklik SIdik yang waktu itu menjadi pengurus SIVB (Surabaiasece Indonesische Voetbal Bond) semacam Persebaya sekarang. Pamannya itu sekaligus menjadi guru bolanya. Sudarmadji memperkuat Kesebelasan SIVB untuk pertama kalinya tahun 1927. Ia masuk bond itu, dari club Cahya Laut yang dibentuk pamannya yang lain bernama Iskandar. Di SIVN, ia dikenal sebagai goal getter dan cukup disegani lawannya. Julukan lainnya “macan bola dan raja drible”. Ketika melanjutkan ke BHS (Burger Ambacht School) Pawiyatan, keranjingan bolanya semakin menjadi-jadi. Setelah lulus sekolah, ia fokus bermain bola. Ia juga ditawari seorang pejabat kantor kereta api Hoydonk, seorang Belanda penggila bola untuk bekerja di jawatan Kereta Api. Sejak tahun 1930, ia bekerja di dinas kereta api. Terakhir ia aktif di grup sepakbola bernama Club HBS (Hand Breaf Stand) yang tergabung dalam bond SVB (Surabaicese Voetbal Bond) yang pemainnya lebih banyak Belanda Totok, Indo, dan orang pribumi Ambon. Sesudah kemerdekaan, Sudarmadji pernah aktif di Persebaya sebagai pelatih dan Eftal Commissie (Komisi kesebelasan) dari tahun 1957-1959. Di masa tuanya ia menjalani masa pensiun karyawan PJKA. Dulu ia tinggal di Komplek PJKA no 12 di sekitar stasiun Kereta api Turi Surabaya. Sumber: Jawa Pos, 13 Agustus 1982 & Deli Courant 2 Mei 1938 hal 2. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team) #tokoh #sepakbola #Surabaya #pialadunia #NIVU

 Dulu kesebelasan sepak bola Indonesia pernah lolos masuk Piala Dunia yang berlangsung di Perancis tahun 1936. Sewaktu Indonesia di masa penjajahan Belanda dan bernama Hindia Belanda.  Itu pertama kalinya Kesebelasan Hindia Belanda turut melawat ke Eropa. Sayangnya kalah dijegal tim Hongaria.


Salah satu pemain yang terpilih bernama Sudarmadji. Sudarmadji terpilih ikut bertanding di Perancis, oleh NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Uni) semacam PSSI sekarang. Yang ikut dibawa NIVU ke kejuaranan dunia antara lain : A. Nawir (kemudian menjadi seorang dokter di Surabaya), Mo Heng, Anwar Lutan, Taihitu, Isaak Pattiwael Samuels, Hukom, Hong Djien, Zomers dan Meeng. NIVU ketika itu menjadi satu-satunya kesebelasan yang mewakili negara dari Asia.


Siapakah Sudarmadji? Ia memang sudah gemar main bola sejak masih duduk di HIS (SMP) Sulung, kelas 2. Ketika tinggal di Kampung Pengampon, ia masuk club Abimanyu Yunior. Semangatnya menjadi pemain bola, berkat dorongan keluarga, terutama sang Paman Paklik SIdik yang waktu itu menjadi pengurus SIVB (Surabaiasece Indonesische Voetbal Bond) semacam Persebaya sekarang. Pamannya itu sekaligus menjadi guru bolanya. 


Sudarmadji memperkuat Kesebelasan SIVB untuk pertama kalinya tahun 1927. Ia masuk bond itu, dari club Cahya Laut yang dibentuk pamannya yang lain bernama Iskandar.  Di SIVN, ia dikenal sebagai goal getter dan cukup disegani lawannya. Julukan lainnya “macan bola dan raja drible”.


Ketika melanjutkan ke BHS (Burger Ambacht School) Pawiyatan, keranjingan bolanya semakin menjadi-jadi. Setelah lulus sekolah, ia fokus bermain bola. Ia juga ditawari seorang pejabat kantor kereta api Hoydonk, seorang Belanda penggila bola untuk bekerja di jawatan Kereta Api. Sejak tahun 1930, ia bekerja di dinas kereta api.


Terakhir ia aktif di grup sepakbola bernama Club HBS (Hand Breaf Stand) yang tergabung dalam bond SVB (Surabaicese Voetbal Bond) yang pemainnya lebih banyak Belanda Totok, Indo, dan orang pribumi Ambon.


Sesudah kemerdekaan, Sudarmadji pernah aktif di Persebaya sebagai pelatih dan Eftal Commissie (Komisi kesebelasan)  dari tahun 1957-1959.


Di masa tuanya ia menjalani masa pensiun karyawan PJKA. Dulu ia tinggal di Komplek PJKA no 12 di sekitar stasiun Kereta api Turi Surabaya.



Sumber: Jawa Pos, 13 Agustus 1982 & Deli Courant 2 Mei 1938 hal 2. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#tokoh #sepakbola #Surabaya #pialadunia #NIVU

Raja Kretek Kudus : M. NITISEMITO

 Kisah runtuhnya kejayaan seorang  konglomerat pengusaha yang terkenal dengan sebutan “Raja  Kretek”. Beliau bernama M. Nitisemito. Lahir di Kudus  sekitar awal tahun 1900 an. Sejak usia 14 tahun, ia sudah mengikuti jejak sang ayah sebagai penjual kain, baju dan lain sebagainya di pasar di Mojokerto Jatim.  Ayahnya berhenti sebagai pedagang ketika menduduki jabatan sebagai kepala desa di kampungnya atas pilihan rakyat. 


Hal ini terjadi juga pada Nitisemito, ketika usianya baru 20 tahun ia dipanggil pulang untuk menduduki jabatan sebagai carik desa. Jabatan carik desa rupanya bukan cita-citanya. M. Nitisemito lebih suka bergelut dengan dunia dagang. Keluar dari carik desa, ia mulai berdagang tembakau melayani para pengusaha rokok yang ada di  kota Kudus. Produksi rokok di Kudus waktu itu masih serupa cerutu, yaitu tembakau rajangan dibalut dengan daun tembakau.  Usaha lain yang digeluti sebagai jagal (tukang potong hewan ternak) dan berdagang daging dalam usaha memperluas usahanya.  


Meskipun usahanya berhubungan dengan perusahaan rokok, ia sendiri lebih suka mengisap rokok buatan sendiri yang disebut tingwe (nglinting dhewe). Rokok hasil lintingannya tak jarang disuguhkan ke para tamu dan kerabat.  Rokok hasil lintingan sungguh dirasa enak, akhirnya para pecandu menyarankan agar ia membuat rokok itu lebih banyak dan bisa dijual kepada para tetangga.


Saran tersebut ia terima, kemudian sedikit demi sedikit, usaha rokok lintingnya terus berkembang, hingga menjadi sebuah pabrik rokok kretek kelobot.  Belum mempergunakan Cap atau merek. Karena semakin laku dan dikenal luas, berkembanglah menjadi rokok cap “Segi Tiga”. Sesudah mendapat pengesahan dari pemerintah Belanda, tiba-tiba mendapat gugatan dari importir rokok “Apollinaris” yang juga menggunakan nama yang sama. Nitisemito mengalah dan mengganti cap rokoknya menjadi cap “Bal Tiga”. Dengan cap ini perusahaanya terus meningkat dan termashur hingga ke mana-mana.


Nitisemito mencapai puncak kesohorannya sejak tahun 1922-1940. Terkenal sebagai raja rokok kretek Kudus yang meliputi Nusantara bahkan sampai Singapura hingga ke Belanda. Produksi setiap harinya mencapai 8 juta batang dengan jumlah buruh sekitar 10 ribu orang. 


Kekayaannya sulit diukur besarannya menurut ukuran waktu itu. Antara lain beberapa gedung di sepanjang jalan raya Kudus, bahkan di beberapa kota lain seperti Solo, Semarang dan beberapa kota lainnya. Gedung yang ditempatinya merupakan gedung terbaik dan termegah. Banyak orang luar Kudus datang ke Kudus hanya ingin menyaksikan kemegahan tempat tinggalnya. Ketika menikahkan anaknya, daerah Kali gelis dekat rumahnya dipergunakan untuk perayaan rakyat. Yang menjadi  buah bibir masyarakat kala itu, M. Nitisemito adalah seorang yang sulit ditemui, lebih mudah menemui pejabat pemerintah. Kekayaannya berupa kendaraan mobil banyak, namun ia lebih sering naik kuda atau bendi. 


Kejayaannya menjadi suram bahkan lambat laun menjadi runtuh, setelah menerima hadiah seekor kuda dari Susuhunan Pakubuwono X di tahun 1936. Percaya atau tidak, setelah ia menerima hadiah kuda yang sangat bagus, tak lama perusahaannya mendapat beban pajak yang sangat besar dan memberatkan hingga perusahaannya mengalami penyusutan dan sulit bangkit. Di zaman pendudukan Jepang, gudang beserta isinya dan semua kendaraan disita Jepang. Seluruhnya musnah lenyap tanpa bekas. Sedang kuda hadiah dari Sri Susuhunan PB X mati akibat dipakai salah seorang opsir Jepang. Sejak itu perusahaan rokok cap Bal Tiga menghentikan kegiatan dan berganti para pengusaha non pribumi mendirikan pabrik-pabrik rokok kretek di mana-mana. Hingga Kudus terkenal sebagai kota kretek.


Dari kisah ini, kita bisa menyimpulkan “Bila hidup sudah berkecukupan”  jangan pernah “menerima”  hadiah atau gratifikasi yang siapa tahu berisi kutukan berupa kebangkrutan.  



Sumber:  Berita  Buana, 13-07-1982. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)


#tokoh #konglomerat #raja #kretek #rokok #Kudus