28 August 2020

Tentang Sejarah Magelang - KISAH SEORANG TIONGHOA YANG MEMBAGI-BAGI ROTI UNTUK PARA PEJUANG MAGELANG

 

KISAH SEORANG TIONGHOA YANG MEMBAGI-BAGI ROTI UNTUK PARA PEJUANG MAGELANG

Hembusan angin mengibarkan Sang Merah Putih di halaman depan sebuah toko tua berwarna putih gading yang ada di tepian Jl. Akhmad Yani Poncol Kota Magelang. Terlihat 2 buah mobil terparkir di depannya, di tengah hiruk pikuk lalu lintas jalan.

Tak ada plang nama toko di dinding depan bangunan yang mencirikan gaya Indis ini. Cuma ada selembar banner berwarna biru di pintu masuk toko.

Bagian jendela kaca di samping pintu masukpun cuma buka separo. Di bagian dalam toko terdapat etalase untuk menaruh roti dagangan. Di sudut kiri terdapat meja kerja untuk mencatat kiriman paket dan pesanan tiket.

Di pojok belakang terdapat meja dengan timbangan kuno untuk menimbang bahan baku pembuatan roti. Selebihnya hanyalah ruang kosong.

Toko ini adalah Toko Mahkota, sebuah nama baru bagi toko penjual roti, jasa penitipan paket dan penjualan tiket bus. Sebenarnya, nama 'Mahkota' adalah nama baru dari Salon 'Queen' di samping toko ini yang dikelola oleh si istri dari pemilik toko roti itu.

Perubahan nama 'Mahkota' menjadi 'Queen' karena kebijakan Orde Baru di akhir tahun 1980-an. Jadi, nama 'Mahkota' seolah-olah menjadi nama baru dari toko roti di sebelahnya. Iya, toko tua ini dulunya bernama Toko 'Bie Sing Ho', toko tertua dan legendaris di Magelang yang tetap eksis hingga kini.

Toko Bie Sing Ho adalah toko ternama di era Belanda yang khusus menjual es krim dan roti. Sebelumnya di sekitar tahun 1930-an toko ini terletak di Pecinan, baru pada tahun 1938-an berpindah di Grooteweg Noord Pontjol no. 41 (kini Jl. Akhmad Yani no. 41 Poncol.

Toko ini menjadi toko favorit bagi kalangan Eropa yang tinggal di kota ini. Terlebih, di depan toko ini merupakan basis militer Belanda yakni Kaderschool (kini komplek Rindam IV/Diponegoro) dan kawasan Poncol ini adalah pusat hunian masyarakat Eropa di Magelang.

Pemilik toko ini adalah Kwee Siong Djien alias Joni Mulyono (80), generasi kedua dari pemilik Toko 'Bie Sing Ho' Kwee Thwan Hie. Kwee Thwan Hie lahir pada 1910 dan meninggal pada 1998.

Joni mengisahkan jika di masa perjuangan, kondisi tokonya mengalami kesurutan. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat masa tersebut merupakan masa-masa sulit. Bukan cuma untuk tokonya, tetapi untuk semua lini usaha.

Terlebih kondisi Magelang yang juga mengalami porak poranda akibat perang. Bahan baku roti sulit untuk didapatkan. Konsumenpun tiada yang membeli, mengingat pengkonsumsi roti adalah orang Eropa khususnya Belanda.

Ada satu hal yang diingat dari papahnya. Pada sekitar tahun 1949 sesudah pasca Clash kedua, papahnya men-suport logistik para pejuang yang sedang kembali ke kota dari daerah gerilya.

Caranya adalah dengan membagikan kupon-kupon ke pejuang. Kupon-kupon ini dibagikan melalui komandan-komandan laskar pejuang. Oleh para pejuang, kupon ini ditukarkan dengan roti tawar di Toko Bie Sing Ho.

Setiap kupon yang ditukarkan, akan dilubangi sebagai tanda jika roti sudah diambil oleh pejuang. Kupon ini berupa selembar kertas yang dibagi-bagi dalam kotak kecil yang diberi tanggal pengambilan roti. Jatah pengambilan roti adalah setiap pagi. Dan ini berlangsung selama setahun.

Sistem kupon ini dipakai mengingat ketersediaan roti sangat terbatas. Joni Mulyono mengatakan jika gandum sebagai bahan baku roti didapatkan dari para komandan gerilya.
"Komandan gerilya mengirim gandum ke toko, papah saya yang mengolahnya dan membagikannya ke para pejuang," tuturnya.

Belum diketahui dari mana bahan gandum ini didapatkan. Ibaratnya, gandum disuplai dari komandan gerilya, sedangkan Toko Bie Sing Ho yang mengolahnya menjadi roti dan membagikannya kepada para pejuang.

Meskipun cuma men-suplai roti tawar saja, tapi di saat itu sudah terbilang mewah mengingat itu terjadi di masa-masa sulit. Tetapi bagi para pejuang, selembar roti tawar bukan hanya untuk sekadar mengganjal perut saja, tetapi juga menjadi simbol 'pengambilalihan kekuasaan' dari Belanda ke Republik.

Roti adalah simbol 'kebelandaan' karena memang makanan ini menjadi makanan pokok orang Belanda. Simbol kaum Republik adalah 'roti sumbu' alias ketela atau singkong.

Peran Kwee Thwan Hie dalam membagikan selembar roti tawar mungkin dianggap kecil. Mungkin saja perannya tak sehebat orang-orang Tionghoa lainnya yang mengangkat senjata melawan penjajah membela negeri ini.

Tetapi peran Toko Bie Sing Ho teramat pantas untuk dicatat dalam lembaran sejarah masa perjuangan di kota ini. Perannya tak bisa dilupakan begitu saja. Bagi Kwee Thwan Hie, meski hanya membagi roti tawar tapi itu adalah simbol kecintaannya bagi negeri ini, Indonesia..

Gambar mungkin berisi: rumah, langit, pohon, mobil dan luar ruangan
Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih, orang berdiri dan dalam ruangan

tentang Sejarah Magelang - Sejarah Plat Nomor Kendaraan di Indonesia, Warisan Raffles Yang Abadi Hingga Kini

 

Sejarah Plat Nomor Kendaraan di Indonesia, Warisan Raffles Yang Abadi Hingga Kini

Mobil kuno di halaman Candi Borobudur sekitar tahun 1929 [foto: Tropenmuseum]

Dua Mobil sedang parkir di halaman Candi Borobudur tahun 1929 (foto: Tropen Museum)

Jumlah kendaraan bermotor semakin lama semakin bertambah. Berbagai merek dari berbagai pabrik menjejali jalanan. Dari kendaraan biasa hingga mewah tumpah ruah tak terhitung jumlahnya.

Bahkan di DKI Jakarta diberlakukan plat nomor ganjil genap untuk mengurangi kemacetan.

Tapi tahukah anda, bagaimana sejarah penggunaan plat nomor?

Sejarah Plat nomor di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan bangsa Inggris di Indonesia.

Tepatnya di tahun 1810, Inggris membawa 15.600 bala tentara dengan menaiki 60 kapal dari daerah koloninya di India yang didatangkan langsung ke Batavia untuk merebut Jawa dari tangan Belanda.

Sejumlah pasukan tersebut terbagi menjadi 26 batalion yang dinamai A-Z. Saat Inggris menduduki Batavia mereka membuat aturan mengenai kendaraan di jalan raya. Inggris kemudian memberi tanda huruf B untuk kereta kuda agar mudah dikenali.

Daftar plat nomor di jaman Belanda tahun 1930-an.

Mengapa huruf B?

Karena wilayah Batavia direbut oleh pasukan batalion B. Penomorannya sama seperti penomoran kendaraan sekarang di mana huruf B di depan diikuti dengan angka.

Setelah Batavia, wilayah yang selanjutnya diduduki pasukan Inggris ini adalah Banten yang dilakukan oleh pasukan batalion A. Kemudian di sana mereka juga menandai wilayah tersebut dengan kode A.

Wilayah selanjutnya yang direbut adalah Surabaya (batalion L) dan Madura (batalion M) pada tanggal 27 Agustus 1811. Wilayah lainnya juga berhasil direbut oleh masing-masing batalion sesuai dengan huruf wilayah plat nomor kendaraan pada jaman sekarang.

Sedangkan Batalion G bergerak menuju Pekalongan sebagai daerah termaju di pantura Jawa Tengah bagian barat,melucuti senjata tentara Belanda dan hingga saat ini penggunaan plat G adalah merujuk pada Batalion G Pasukan Inggris yang mengambil alih kekuasaan di Pekalongan dan sekitarnya.

Mobil bernomor plat AA 6 milik Dokter Bijleveld tahun 1929 di Magelang (foto: KITLV)

Mobil dokter Bijleveld, dokter rumah sakit tentara di Magelang tahun 1929 (foto: KITLV)

Hingga akhirnya keseluruhan pulau Jawa dapat jatuh ke tangan Inggris pada tanggal 18 September 1811.

Di beberapa daerah seperti Magelang (AA), Yogyakarta (AB) dan Solo (AD) memiliki dua abjad.

Mengapa begitu?

Pada saat itu Kesultanan Mataram berdiri sendiri dan belum menjadi wilayah Belanda. Namun pada akhirnya, Kesultanan Mataram menyerah dan bergabung bersama Inggris. Sehingga, di beberapa daerah yang telah disebutkan dibekali batalion A dan batalion B untuk menjaga area Yogyakarta (diberi kode AB). Adapun di area Magelang hanya disediakan batalion A saja sehingga diberi kode AA. Hal serupa juga ditemui di beberapa daerah lainnya.

Setelah Inggris menduduki Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles akhirnya membentuk wilayah administratif atau Karesidenan sesuai kode batalion yang disebutkan sebelumnya.

Raffles

Sir Thomas Stamford Raffles

Bahkan, saat Belanda kembali ke Indonesia di tahun 1816, sistem ini masih terus diterapkan hingga ke beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti halnya Sumatera Selatan, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Kini wilayah Karesidenan tersebut lebih dikenal sebagai Ibu Kota maupun Kabupaten.

Plat nomor kendaraan di berbagai wilayah di Indonesia dibedakan sesuai karesidenan yang dahulunya diputuskan oleh Inggris.

Sebuah mobil melintas di depan kantor pos Magelang tahun 1960-an

Sebuah mobil melintas di depan kantor pos Magelang tahun 1960-an.

Namun perlu menjadi catatan bahwasannya kode C, I, J, O, Q, U, V, W, X, Y dan Z tidak diaplikasikan. Pasalnya batalion dengan kode-kode tersebut hanya menjadi pasukan Back-Up saja atau Reserve Unit kala itu. Khusus kode W dan Z memiliki sisi historisnya sendiri yang kini ternyata diaplikasikan tanpa mengadopsi sistem batalion tersebut.

Ya, kode wilayah W untuk Sidoarjo, dahulu masih satu kesatuan dengan Surabaya berkode L. Namun semenjak tahun 2000, Polres Gresik dan Sidoarjo menetapkan kodefikasi sendiri menggunakan huruf W.

Sedangkan Surabaya masih menerapkan kode L di bawah naungan Polrestabes Surabaya. Sama halnya dengan kode Z yang sebelumnya masih berkode D yang merupakan Eks-Karesidenan Parahyangan.

Sejarah plat nomer begitu panjang, lebih dari 200 tahun sudah warisan dari Raffles menjejali jalanan nusantara. Meski ia warisan penjajah, tak mudah untuk mengubahnya.

(Sumber: wag)

 

Sumber :  http://wartamagelang.com/sejarah-plat-nomor-kendaraan-di-indonesia-warisan-raffles-yang-abadi-hingga-kini.html

tentang Sejarah Magelang - Lesah, Titik Temu Keanekaragaman Budaya Kita

 

Lesah, Titik Temu Keanekaragaman Budaya Kita

Lesah adalah salah satu kuliner kota Magelang yang ada sejak jaman dahulu. Rasa yang khas, lesah sejenis soto yang bisa dinikmati untuk segala cuaca, lezat disantap kala musim hujan, dan segar dinikmati ketika musim panas.

Lesah juga bisa berperan sebagai makanan pembuka sebelum menikmati makanan yang lebih berat, tetapi bisa juga, dengan ditambah nasi, menjadi santapan mandiri yang mengenyangkan sesuai porsi.

Kesegaran kuah lesah berasal dari santan yang pekat tipis dan dinaungi bumbu kuning semacam kari atau soto. Ada terasa rempah-rempah “nggedibel” di lidah tetapi cepat berganti manis, khas masakan masyarakat pedalaman Jawa. Rasa manis yang meledak di mulut cepat hilang dan berganti gurih yang umami.

Rasa lesah tidak ada di masakan daerah lain, hanya ada di pedalaman Jawa seperti Magelang yang berhawa sejuk.

Menyantap lesah bisa bikin kangen dan ketagihan mengulangi. Manis dari gula kelapa pilihan, bukan gula tebu atau perisa yang bisa menimbulkan enek dan “nyethak” di pangkal lidah.

Bicara tentang lesah, barangkali bayangan kita akan terbawa kepada soto, laksa, atau sejenisnya. Kuliner khas ini di samping mirip, bisa jadi memang sejenis soto yang punya beragam varian, sesuai daerah masing-masing. Misalnya soto Kudus, soto Semarang, soto Wonogiri, soto Madura, dan soto Padang.

Ada irisan sejarah lesah dengan soto. Ada yang menyatakan soto akulturasi budaya China, terutama etnis yang mendiami pesisir yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia dengan segala variasinya.

Buku “Nusa Jawa: Silang Budaya” karya Denys Lombard menguatkan hal ini. Disebutkan bahwa soto berasal dari China yang dikenal dengan sebutan caudo atau jau to. Kata dalam dialek Hokkian yang berarti rerumputan jeroan atau jeroan berempah.

Masa akulturasi awal budaya China ini terlacak dalam ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang meninggalkan banyak jejak di berbagai penjuru Nusantara. Cheng Ho atau Zheng He, pelaut dan penjelajah Tiongkok yang ke Nusantara antara 1405 hingga 1433.

Terkait dengan asal-usul soto, ahli sejarah yang juga pensiunan dokter di Amerika Serikat, Anthony Hocktong Tjio, menyatakan pertama-tama perlu menelusuri bengawan riwayat pembentukan bangsa Indonesia, di mana asal-usulnya sampai India, tepatnya Tamil Nadu di India Selatan. Ada pengaruh kebudayaan Hindu di Nusantara ketika terjadi migrasi besar-besaran dari India.

Ahli genetika dari Biomolekular Eijkman Institut, Herawati Sudoyo, dalam makalah bertajuk “Asal Usul Genetika Nenek Moyang Bangsa Indonesia” menyampaikan bahwa secara genetis, migrasi awal bisa jadi jauh lebih lama daripada masa Hindu pada akhir era sebelum Masehi tersebut.

Sekitar 2200 tahun lalu, saat masa Kerajaan Hindhu Kalinga India Selatan, terjadi migrasi besar-besaran ke Nusantara disebabkan peperangan dengan Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka yang menganut Buddhisme.

Ada tiga golongan utama mencapai Nusantara, yakni pertama, ksatria (militer) yang mengolonisasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan Dravidian, seperti Kerajaan Funan di Kamboja dan Kerajaan Kalinga di Sumatera dan Jawa.

Golongan kedua, waisya (pedagang) yang menemukan bahan mineral dan metal mulia di Nusantara sehingga menamakannya suwarnabumi dan suwarnadwipa (bumi dan pulau emas).

Mereka juga mendatangkan rempah-rempah untuk bahan kari. Boleh jadi, rempah-rempah itu juga memiliki riwayat tersendiri, terkait dengan asal-usulnya dari Nusantara. Terjadi arus balik rempah-rempah dalam wujud pemanfaatan atau produk ramuan.

Kari yang semula hanya untuk konsumsi orang sebangsanya dari India Selatan itu, kemudian tersebar dan memengaruhi kuliner Nusantara sampai sekarang.

Golongan ketiga, brahmana (pendeta). Mereka datang dengan misi penyebaran Hinduisme yang membawa kebudayaan dan ritual upacara. Mereka mendirikan candi-candi, memperkenalkan sastra klasik dengan bahasa Sanskerta. Banyak lemanya kemudian menjadi dasar pembentukan bahasa Indonesia.

Bahasa itu juga dipakai untuk penamaan orang-orang Thailand, Kamboja, dan Jawa, nama tempat dan daerah hingga sekarang. Bahkan, boleh dikatakan hampir semua nenek moyang bangsa Indonesia sekarang berasal dari Tamil India dengan adat istiadat, nama, bahasa, maupun segala kebiasaan makanan. Mereka juga membawa bumbu rempah-rempah, termasuk untuk soto.

Soto, pada dasarnya semacam sup kari ringan khas yang meluas di Madurai, daerah di pertengahan wilayah Tamil Nadu. Sumber lain menyebut sup kari ringan pada umumnya dikatakan berasal dari daerah Nellai di Tirunelveli, sekitar 162 kilometer selatan Madurai, dekat Samudra Hindia di seberang Sri Lanka. Di sana nama sup kari ringan sebagai Sothi.

Beda Sothi asli dari Madurai dengan beragam varian soto di Nusantara hanya di bahannya, salah satunya karena ajaran Hindhu yang tidak makan daging sapi, maka Sothi diganti dengan bahan lain setempat dan lain sebagainya, tetapi masih segaris dalam alur bentuk dan rasanya.

Magelang salah satu daerah atau tempat persinggahan dalam jalur migrasi penduduk dari India ke Nusantara.

Disebutkan dalam buku “Hindu-Javaansche Geschiedenis” karangan Krom, N.J. yang terbit pada 1931, tentang Prasasti Tukmas. Dalam prasasti tertua itu menyebutkan adanya pengaruh budaya Hindu India di sekitar Magelang.

Dengan kata lain, Magelang sebagai titik singgah mempunyai beragam peninggalan budaya, baik bersifat bendawi seperti candi-candi maupun tak bendawi, termasuk aneka resep kuliner.

Contohnya, dari Tamil India Selatan dan Sri Lanka, sup Sothi yang setelah mendapat modifikasi kreatif bangsa, kemudian menjadi makanan rakyat nasional Indonesia yang disebut soto.

Melihat beragam referensi sejarah tersebut, mungkin dimengerti bahwa lesah yang populer di Magelang itu, salah satu jenis soto varian awal, pada masa awal migrasi dan pengaruh kebudayaan Hindu.

Banyak warung menjual lesah di sudut-sudut Kota Magelang. Dari warung dengan tata tempat duduk di kursi sebagaimana resto-resto pada umumnya sampai berupa lesehan di pinggir jalan, bisa ditemukan di berbagai penjuru Magelang.

Sebagaimana diketahui bahwa lesah adalah kosakata bahasa Jawa yang maknanya orang dalam kondisi lelah dan loyo, kemudian duduk santai sejenak supaya tubuh menjadi lebih baik dan segar.

Salah satu yang perlu anda coba adalah lesah di Warung D’Lesah yang ada di kampung Sablongan. Tepatnya di Jl. Kalingga, Rejowinangun Utara, Kota Magelang. Di warung dengan konsep interior jaman dulu ini, lesah disajikan dalam mangkuk khusus dengan ditemani sejumlah lauk pauk yang bisa dipilih oleh pengunjung. Resep yang digunakan di warung ini merupakan resep warisan dari orang tua terdahulu yang diwariskan secara turun temurun kepada pemilik warung sekarang ini.

“Yang membedakan rasa lesah di warung kami dengan yang ada ditempat lain yaitu kami memakai resep warisan dari leluhur kami. Rasanya lebih gurih dan sesuai dengan lidah masyarakat Magelang yang menyukai rasa manis yang pas.” tandas ibu Mimi pemilik sekaligus koki dari Warung D’Lesah ini.

Selagi sempat, saat berada di Magelang, nikmatilah semangkuk lesah, salah satu masakan kuno hasil akulturasi budaya Nusantara. Hingga sekarang. Jejaknya masih terlacak di kota yang bertagline sebagai kota sejuta bunga ini. Bisa jadi dengan semangkuk lesah kita juga bisa merasakan titik temu dari keberagaman adat istiadat dan budaya Nusantara yang berbeda beda.

Tampak depan bangunan lama yang sekarang difungsikan menjadi Warung lesah D’Lesah, populer sebagai warung lesah di kampung Sablongan, Kota Magelang. 21/08/2020. copyright@MN

Rombong khas tempat kuah kuliner lesah di Warung D’Lesah. 21/08/2020 copyright@MN.

 

Sumber : 

 http://wartamagelang.com/lesah-titik-temu-keanekaragaman-budaya-kita.html

Tentang Sejarah Magelang -KIPRAH MASYARAKAT TIONGHOA DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN REPUBLIKEN DI MAGELANG

 

KIPRAH MASYARAKAT TIONGHOA DALAM MENDUKUNG PERJUANGAN REPUBLIKEN DI MAGELANG

Pengantar:
Kisah masa perjuangan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat menarik untuk dikupas. Salah satunya adalah kisah seorang Tionghoa pengusaha cerutu yang membuat senjata api untuk menyokong perjuangan kaum Republik di Magelang.
Bagaimana kisah selengkapnya?
Ikuti kisah berikut ini.

Ko Khoen Gwan yang membantu membuat senjata (foto: keluarga Ko Kwat Ie)

Album foto itu telah usang. Ada jamur tumbuh di beberapa bagian yang terkena lembab. Terlihat dalam salah satu halamannya, tersimpan dengan rapi seseorang dengan sorot mata tajam, berkulit putih, bermata sipit dan seorang Tionghoa. Terlihat, foto-foto itu menampilkan sosok tersebut dari masa kecil hingga berusia paruh baya.

Sosok pria berambut klimis dan parlente tersebut adalah Ko Khoen Gwan. Namanya mungkin terasa asing, tetapi beda dengan papahnya yang bernama Ko Kwat Ie. Iya betul, Ko Khoen Gwan adalah anak ke 4 dari pasangan Ko Kwat Ie si raja cerutu dari Magelang dan Theng Kiok Nio. Ko Khoen Gwan lahir pada 19 Mei 1906 dengan nama lain yakni Kusumo Gondhosubroto.

Ko Khoen Gwan memiliki keahlian di bidang permesinan. Karena itu oleh ayahnya, dia dipercaya untuk menangani permesinan di pabrik cerutu miliknya. Pabrik cerutu “Ko Kwat Ie & Zonen” berdiri sejak tahun 1900 di Batavia. Pada tahun 1908, pabrik itu dipindahkan ke Magelang untuk efisiensi produksi, memudahkan mencari bahan produksi dan tenaga kerja. Pabrik besar didirikan di Jl. Prawirokusuman, tak jauh dari rumah Ko Kwat Ie di Jl. Djuritan Kidul no. 16 (kini Jl. Sriwijaya no. 16) Kota Magelang.

Eks Pabrik cerutu “Ko Kwat Ie & Zonen” di Jl. Tarumanegara Prawirokusuman.

Berkat tangan dingin Ko Kwat Ie yang dibantu oleh anak-anaknya, pabrik ini mengalami kejayaannya antara tahun 1920-1940-an. Bahkan produksinya telah menjelajah hingga Eropa. Tenaga kerjanyapun sekitar 2500 orang, jumlah yang teramat banyak untuk sebuah pabrik cerutu di kota kecil ini.

Pada 28 Februari 1938, Ko Kwat Ie meninggal dunia. Usaha operasional pabrik ini dilanjutkan oleh anak-anaknya, termasuk Ko Khoen Gwan. Pada tahun 1942 hingga 1945 saat Jepang masuk ke wilayah Hindia Belanda dan terjadi Perang Dunia 2 yang juga melanda Eropa, pabrik ini berhenti beroperasi. Tentu saja era ini merupakan masa-masa sulit, mengingat konsumen cerutu mayoritas adalah orang Belanda dan Eropa, baik yang tinggal di wilayah Hindia Belanda maupun yang ada di Belanda dan Eropa.

Masa pasca Jepang dan Perang Dunia 2 yakni antara tahun 1945-1949, kondisi pabrik juga masih sulit. Pabrik belum bisa beroperasi sebagaimana mestinya. Peperangan pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih berlangsung di beberapa daerah termasuk di Magelang. Ko Khoen Gwan bersimpati dengan perjuangan para kaum Republiken di kota ini. Jiwa nasionalismenya tumbuh karena dia menyadari bahwa keluarganya lahir, tumbuh dan hidup di Indonesia.

Sebagai seorang pengusaha cerutu, bentuk simpati Ko Khoen Gwan dalam menyokong perjuangan bangsa ini bukan dengan mengangkat senjata. Tak main-main, Ko Khoen Gwan malah membuat senjata! Iya membuat senjata bung!

Bagaimana mungkin seorang Tionghoa yang pabrik cerutunya berhenti selama perang membuat senjata?

Ko Khoen Gwan adalah seorang ahli mesin. Salah satu keahliannya adalah membuat peralatan berbahan besi dari mesin bubut yang ada di pabrik cerutu miliknya. Saat perang pasca kemerdekaan itulah, keahliannya teramat penting untuk menyokong persenjataan kaum Republiken. Ko Khoen Gwan membuat senjata api jenis PM (Pistol Mitralijun) dari tahun 1947 hingga 1949. Pembuatan senjata jenis ini di bawah pengawasan Kepala Persenjataan STM-KEDU (Brig 9/II) Muh. Tojib. Sedangkan komandan dari STM-KEDU (Brig 9/II) ini di bawah komando Letkol Sarbini.

Informasi tentang perjuangan Ko Khoen Gwan yang disusun oleh anaknya, Rudiyanto (koleksi: keluarga Ko Kwat Ie)

Produksi senjata jenis PM ini sangat membantu para pejuang dalam melawan Belanda. Rupanya produksi persenjataan ini telah diendus oleh intel Belanda pada awal Clash II. Akibatnya Ko Khoen Gwan terancam ditembak mati oleh gerombolan Anjing NICA. Beruntung, Tuhan Yang Maha Kuasa masih memberikan kesempatan pada Ko Khoen Gwan untuk berbakti pada negeri ini. Sebagaimana sejarah mencatat, di era tahun 1947-1949 merupakan masa pergolakkan terpenting di wilayah Magelang. Di berbagai pelosok, pertempuran demi pertempuran melawan Belanda begitu gencarnya.

Ko Khoen Gwan meninggal pada 21 September 1963 dalam usia 57 tahun dan meninggalkan 2 orang anak yakni Ko King Gie alias Rudiyanto, seorang dosen di Akademi militer dan Ko King Tjoen alias Robby Ko, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin yang tinggal di Cisarua Bogor.

Ko Khoen Gwan dimakamkan di TPU Soropadan Pringsurat Temanggung. Karena jasa baktinya, Panglima Kodam VII Mayor Jenderal Surono memberikan surat penghargaan tertanggal 5 Oktober 1969. Dan pada 2 Agustus 2004, sebuah surat resmi ditetapkan yakni sebuah keputusan dari DHD 45 Jawa Tengah untuk memancangkan sebuah bambu runcing dengan Merah Putih di atasnya. Proses pemancangan bambu runcing ini dilaksanakan dengan upacara khusus bagi pejuang kemerdekaan RI yang dimakamkan di luar taman makam pahlawan. Hal ini sebagai bukti dan penghargaan bangsa ini terhadap peran Ko Khoen Gwan.

Sebuah informasi berita tentang pemancangan bambu runcing di atas makam Ko Khoen Gwan di Soropadan (koleksi: keluarga Ko Kwat Ie)

Kisah Ko Khoen Gwan hanyalah sedikit contoh dari anak-anak bangsa yang peduli terhadap perjuangan Republiken dalam berjuang melawan penjajah. Mereka menyadari bahwa tumpah darahnya adalah Indonesia.

Mereka menyadari bahwa negara ini membutuhkan bantuannya. Mereka menyadari bahwa ibu pertiwi telah memanggil.

Dan sesungguhnya, mereka menyadari bahwa Indonesia adalah tanah airnya.

 

Sumber :

 http://wartamagelang.com/kiprah-masyarakat-tionghoa-dalam-mendukung-perjuangan-republiken-di-magelang.html

Uniknya & beraninya si Supratman! Bikin lagu dewe, mempertunjukkan di depan kongres pemuda 1928 dengan taruhan nyawa, mempublikasikan sendiri ning koran Sin Po

 

Uniknya & beraninya si Supratman!
Bikin lagu dewe, mempertunjukkan di depan kongres pemuda 1928 dengan taruhan nyawa, mempublikasikan sendiri ning koran Sin Po yang dia sendiri merangkap jadi wartawan di koran itu.
Ada yang salah?
Tidak!.
Dia tau resiko yang akan ditanggungnya! Perjuangan harus diteruskan meski taruhannya nyawanya sekalipun.
Resikonya?
Kantor redaksi Sin Po pun diobrak-abrik oleh PID (polisi Belanda). Dirinya pun diburu oleh polisi Belanda.

Gambar mungkin berisi: 1 orang

Wage Rudolf Supratman

 

Ini jepretan kamera 'Toean SOEPRATMAN!'
Iya Wage Rudolf Supratman bung!
Anda tau siapa dia?
Dia wartawan Sin Po, violis, penulis roman dan......?

(Koran Sinpo tahun 1928)

Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks yang menyatakan 'pe- memang bagoes sekali dan oepaTa orang-orang ketjil Tionghoa bebrapa tanah particulier jang ka- adahannja djaoe dari bagoes seka- taoe „adres" mana iaorang bisa dapet pertoeloengan perdio boeat dapetken maskipoen seringkali ter- ternjata „Persatoean dengen Sun diboeat waktoe propaganda perge- negri sebagi besar Officier-offi lah tida sikep „saja toendjoekan bab ada bertandak gitan kandjen Jang pertama. Sebab ada satoe peman- djaoe. Sun „berba- tida bisa pegang tika kapal kaleboe, tida soeroe orang pegang mono oekoe orang bisa perkatahan Koleksi: Bagus Magelang „Koetika menikah larang „Tjotjok, kaoe!" Hoedt, Goeroe: kaoe potong Moerid: dari Rechts- hoogeschool Batavia. toean Soepratman, dipotong Moerid:'

Demi Kepentingan Nasional, Bagus Lengkapi Koleksi Museum Sumpah Pemuda

 

Demi Kepentingan Nasional, Bagus Lengkapi Koleksi Museum Sumpah Pemuda


- iklan atas berita -

Metro Times (Magelang) Jiwa nasionalisme sangat diutamakan tertanam dalam diri setiap pribadi bangsa Indonesia. Terlebih di tengah gerusan kemajuan zaman yang bisa saja melunturkan jiwa nasionalisme generasi muda penerus bangsa.

Di tengah degradasi nasonalisme saat ini, ada satu pemuda yang patut diteladani oleh generasi muda lain di tanah air. Nasionalime bukan hanya ditunjukkan saat negara terancam bahaya, namun dapat dilakukan kapan saja bahkan di era merdeka saat ini.

Adalah Bagus Priyana, pemuda Kota Magelang ini telah menunjukkan jiwa nasionalisme yang patut diacungi jempol. Betapa tidak? Dia berkenan menyerahkan benda bersejarah koleksi pribadinya untuk kepentingan nasional.

Benda bersejarah dimaksud adalah 1 bendel koran Sin Po yang berisi 15 edisi. Tepatnya koran Sin Po No. 288-291 & No. 293-303 Tahun VI Edisi Oktober 1928 sampai Januari 1929. Bendel koran berusia 92 tahun tersebut diserahkan untuk melengkapi koleksi Museum Sumpah Pemuda yang berlokasi di Jalan Kramat Raya No. 106 Jakarta.

Penyerahan dilakukan Bagus kepada petugas dari Museum Sumpah Pemuda yaitu Eko Septian (Kurator), didampingi Eli Herlina (Registrar) dan Eko Wahyuni (Konservator). Tempat penyerahan koleksi itu di kediaman Bagus, Dukuh I No. 204 RT 4 RW 3 Kelurahan Magelang, Kota Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Menurut Eko Septian, koran Sin Po yang diserahkan Bagus tersebut sangat istimewa. Karena di dalamnya memuat syair lagu asli karya W.R. Soepratman berjudul ‘Indonesia’ yang kini dikenal sebagai Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”. Sin Po merupakan koran berbahasa Melayu yang ikut memelopori penggunaan kata “Indonesia” untuk menggantikan kata “Hindia Belanda” sejak peristiwa Sumpah Pemuda 1928.

“Alhamdulillah, setelah 46 tahun Museum Sumpah Pemuda mencari teks asli lagu Indonesia Raya, kami menemukan di Kota Magelang ini,” kata Eko Septian seperti ditirukan Bagus, Selasa pagi (25/8/2020).

Menurut Bagus, bendel koran Sin Po tersebut semula diperoleh dari seorang relasinya pada tahun 2016. Namun dengan keikhlasan hati dilandasi jiwa nasionalisme yang tinggi, benda bersejarah koleksinya diserahkan kepada pihak Museum Sumpah Pemuda.

“Yang saya lakukan demi satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Demi kepentingan yang lebih besar untuk bangsa Indonesia,” kata pemuda yang dikenal masyarakat Magelang sebagai pecinta sejarah ini.

Koordinator KOTA TOEA MAGELANG (KOmoenitas petjinTa dan pelestAri bangoenan TOEA di MAGELANG) ini memang sangat akrab dengan sesuatu yang berbau sejarah. Seperti bangunan tua, petilasan pahlawan, peninggalan bersejarah, serta berbagai even terkait sejarah.

“Saya sering menggelar acara bersama teman-teman Kota Toea Magelang dan para pecinta sejarah. Seperti Djeladjah Kereta Api, Djeladjah Tjandi, Remboeg Sedjarah, bedah buku, dan kegiatan bernuansa tempo doeloe lainnya,” ujar salah satu pemeran film sejarah berjudul ‘Wage’ ini.

Film ‘Wage’ merupakan film yang mengisahkan kiprah Wage Rudolf Soepratman saat peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda 1928. Di mana gedung tempat ikrar Sumpah Pemuda yang disebut Indonesisch Clubgebouw (Gedung Klub Indonesia) di Kramat (Weltevreden) itu kini dijadikan Museum Sumpah Pemuda.
Bagus berharap, dengan menjadi koleksi museum, maka benda tersebut sudah menjadi milik negara yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Terutama bagi generasi muda kini dan masa yang akan datang.

“Saya berharap, benda koleksi tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran penting dan mampu menumbuhkan jiwa nasionalisme bagi masyarakat terutama para generasi muda,” pungkas Bagus Priyana. (wan/rif)

 

Sumber :

 http://wartamagelang.com/dicari-museum-sumpah-pemuda-selama-46-tahun-siapa-sangka-lagu-asli-indonesia-karya-wr-supratman-yang-diterbitkan-1928-ini-ditemukan-di-magelang.html?fbclid=IwAR38-3Jn4SaXHdM8DxBT_wNLGDFbPqAUzJ_5i9_O8B7TAJw5kL2sVa5thAQ

Dicari Selama Puluhan Tahun, Lagu Indonesia Raya Karangan WR Supratman Justru Ditemukan di Magelang

 

Dicari Selama Puluhan Tahun, Lagu Indonesia Raya Karangan WR Supratman Justru Ditemukan di Magelang

WR Supratman sebagai cover sebuah buku berjudul ‘Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya’ oleh Kasansengari tahun 1966.
(foto Dok Bagus Priyana)

-Lagu ‘Indonesia Raya’ jelas bukan lagu kebangsaan yang dipaksakan. Ia dilahirkan bersama-sama dengan sumpah Tri Prasetya ‘Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa’ pada tahun 1928-

Begitulah petikan sambutan Kolonel TNI Soekotjo, Wali Kota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya di buku berjudul ‘Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya’ tahun 1966

JIKA menengok sejarah, lagu kebangsaan Indonesia yaitu ‘Indonesia Raya’ merupakan karya dari WR Supratman. Lagu ini pertama kali berkumandang di acara Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda.

Sesudah lagu itu berkumandang, selang 13 hari kemudian, koran Sin Po menerbitkannya dalam bentuk lirik lagu lengkap dengan partiturnya atau not balok berjudul ‘Indonesia’. Koran Sinpo tersebut terbit pada 10 November 1928 dengan edisi nomer 293. Koran Sin Po menjadi media massa pertama yang memuat lagu tersebut. Kelak lagu ini menjadi lagu kebangsaan negara Indonesia berjudul ‘Indonesia Raya’.

Pada saat itu, melihat situasi yang demikian, pemerintah Belanda menganggap lagu itu membahayakan kepentingan penjajahan dan merugikan politiknya. Maka segeralah, diadakan pelarangan menyanyikan lagu itu. Akibat pelarangan itu, arsip lagu itu menjadi langka. Termasuk koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 itu.

Koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 yang memuat lirik dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman pada sisi kanan halam koran
(Foto Dok Bagus Priyana)

Pada 20 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan sebuah gedung yang dijadikan Museum Sumpah Pemuda. Museum ini merupakan museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Gedung ini dulunya merupakan tempat berlangsungnya Kongres Pemuda II pada tahun1928 silam.

Museum ini memiliki koleksi foto dan benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, serta kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia. Sebagai museum khusus, koleksi museum ini terdiri dari koleksi yang berhubungan dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Pada tahun 2007, keseluruhan koleksi berjumlah 2.867 koleksi, salah satunya adalah biola milik WR Supratman.

Meski sudah berdiri sejak 1974, museum ini berusaha untuk mencari koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 untuk melengkapi koleksinya. Edisi koran ini sangat penting sekali mengingat menjadi bagian penting perjuangan bangsa Indonesia.

Setelah proses pencarian selama 46 tahun, koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 akhirnya berhasil diketemukan tim Museum Sumpah Pemuda. Lokasinya justru ada di Magelang. Adalah koleksi milik founder dan koordinator di komunitas sejarah KOTA TOEA MAGELANG, yakni Bagus Priyana.

Tepat pada Selasa Wage 11 Agustus 2020, tim Museum Sumpah Pemuda yang terdiri dari empat orang berkunjung ke Magelang yaitu Eko Septian (Kurator), Eli Herlina (Registrar) dan Setyo Wahyuni (Konservator), dan Hidayatul Wildan (dokumentasi). Proses penyerahan koleksi ke museum tersebut dilakukan di rumah Bagus Kampung Dukuh di Kelurahan Magelang.

Lirik lagu dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman yang dimuat di koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 pada sisi kiri (foto Dok Bagus Priyana)

Bagus Priyana mengatakan, Koran Sin Po sendiri berbentuk majalah, tapi lebih populer disebut dengan koran. Ukurannya sama dengan ukuran majalah sekarang ini. Bentuknya dalam satu bendel berisi 15 edisi dari edisi nomer 288 hingga 303 (minus edisi nomer 292) dengan tanggal terbit dari 6 Oktober 1928 hingga Januari 1929. Sedangkan yang memuat lagu ‘Indonesia’ ada di edisi nomer 293 10 November 1928. Sin Po sendiri terbit setiap 2 mingguan.

Bagus mengaku, dirinya sudah memiliki koran Sin Po itu sekitar tahun 2016. Ia mendapatkannya dari seorang relasinya. Kondisi sampul bendel dilapisi kertas tebal yang sudah berlubang karena dimakan kutu. Tetapi bagian dalamnya masih terjaga dengan baik.

Bagus mengatakan, awalnya, ia kurang begitu paham dengan koran tersebut. Namun karena ketekunan dan kesukaannya mengumpulkan sumber atau data sejarah, koran tersebut pun berhasil dikoleksinya.

“Saya merasa tergugah kesadaran nasionalismenya, ketika museum tersebut justru tidak memiliki sebuah arsip penting tersebut. Intinya, alasan utama saya menyumbangkan koran Sin Po itu adalah demi satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yakni Indonesia,” kata Bagus sambil mengepalkan tangan.

Bagus berharap, dengan menjadi koleksi museum, Koran Sin Po tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran penting bagi masyarakat dan para generasi muda. Juga untuk menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia yang beragam ini.

Apalagi, menurut Bagus, dirinya pun pernah memerankan dr. RCL Senduk, perwakilan Jong Celebes, dalam Kongres pemuda I (1926) dan II (1928) di film biopik berjudul ‘Wage’. Film Wage ini sendiri menceritakan tentang perjuangan WR Supratman.

“Hal inilah yang memperkuat hubungan emosional saya dengan lagu karya WR Supratman itu,” imbuhnya.

Bagus menekankan, walaupun benda bersejarah itu sudah ditemukan, bukan berarti proses menumbuhkan jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia sudah selesai dan tidaklah berhenti begitu saja.

“Proses itu akan terus berjalan karena semua itu demi SATU NUSA, SATU BANGSA dan SATU BAHASA yaitu INDONESIA,” pesannya.

Proses penyerahan bendel koran Sin Po dari Bagus Priyana kepada Museum Sumpah Pemuda Jakarta. Koran Sin Po ini di dalamnya terdapat salah satu edisi yang memuat lirik dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman (Foto Dok Narwan)

Kurator Museum Sumpah Pemuda, Eko Septian mengatakan jika nantinya koran tersebut akan difumigasi terlebih dahulu sebelum didisplay di ruang museum. Dan yang terpenting lagi, menurut Eko, koran Sin Po itu akan diusulkan sebagai benda cagar budaya tingkat nasional.

Eko menambahkan bahwa koran Sin Po ini teramat penting mengingat secara komplit mencantumkan lirik dan partitur (not balok) lagu ‘Indonesia’. Terlebih sesudah Sin Po menerbitkannya, memang ada lagu ‘Indonesia’ yang disebarluaskan, tapi tak lengkap karena tak ada partiturnya.

“Seandainya tidak ada partiturnya, tentu teramat sulit untuk mengetahui seperti apa sebenarnya lagu ini,” imbuhnya.

Eko mengaku, pencarian panjang koran Sin Po edisi 10 November 1928 itu memakan waktu selama 46 tahun sejak museum itu berdiri pada 1974. Dan misal dihitung, kata Eko, memakan waktu 92 tahun sejak awal penerbitannya.

Sementara Kepala Museum Sumpah Pemuda Titik Umi Kurniawati, yang dikutip dari IG Museum Sumpah Pemuda, mengungkapkan, untuk melaunching koran Sin Po ini, museum mengadakan pameran menyambut 75 tahun Indonesia, bertajuk “Dibalik Layar Sumpah Pemuda” yang akan berlangsung mulai 25 Agustus 2020.

“Kami akan melakukan launching koleksi koran Sin Po dimana Sin Po adalah surat kabar yang pertama kali terdapat partitur lagu ‘Indonesia Raya’,” ungkapnya (bgs/aha)

 

Sumber :  http://wartamagelang.com/dicari-museum-sumpah-pemuda-selama-46-tahun-siapa-sangka-lagu-asli-indonesia-karya-wr-supratman-yang-diterbitkan-1928-ini-ditemukan-di-magelang.html?fbclid=IwAR38-3Jn4SaXHdM8DxBT_wNLGDFbPqAUzJ_5i9_O8B7TAJw5kL2sVa5thAQ

Bioskop Arjuna di Muntilan jaman dulu...