25 August 2023

Di pare Blondo tragedi kecelakaan tabrakan dengan bis sumber waras tgl18-08-1981 meninggal 35 orang luka berat 32 orang luka ringan 20 orang

 Di pare Blondo tragedi kecelakaan tabrakan dengan bis sumber waras tgl18-08-1981 meninggal 35 orang luka berat 32 orang luka ringan 20 orang


18 August 2023

TIRAKATAN

 *Malam Tirakatan* 

Oleh : Novo Indarto



Rakyat Indonesia banyak yang melakukan tirakatan malam 17 Agustus 1945 namun tak banyak yang melakukannya di tanggal – tanggal perjuangan lokal mereka.  Sebutlah di Magelang, ada beberapa tanggal dimana terjadi peristiwa heroik yang kini tidak banyak yang masih mengetahuinya.  Dahulu, rakyat Magelang rutin melakukan tirakatan di tanggal – tanggal tersebut. 


*TRAGEDI TIDAR* 

Hari itu adalah tanggal 25 September 1945, genap tujuh hari sejak Wing Commander Tull, komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mendaratkan parasutnya di lapangan Tidar beserta 8 anak buah dan peti – peti kayunya.  


Kemarin, pergolakan besar telah dimulai.  Pemuda melakukan aksi penempelan plakat merah putih di berbagai tempat jalur utama.  Kempeitai yang berjaga di Hotel Nitaka melepas plakat dan merobeknya.  Pemuda yang mengetahui kejadian tersebut sontak berduyun – duyun mengepung hotel.  Kempeitai ciut nyalinya.  RAPWI tak berani merespon.  Akhirnya R.P. Soeroso sang Residen Kedu memimpin rakyat Magelang melakukan konvoi keliling Magelang, mengepung markas Kempeitai, lalu menggeruduk rumah dinas Brigjen Nakamura (komandan tentara Jepang di Jawa Tengah).  Karena tidak didapat penyelesaian, residen menyeru para pemuda untuk bubar dan menyiapkan diri guna melakukan pengibaran bendera esok paginya.  Akan menjadi pengibaran merah putih pertama kali secara terbuka di Magelang.  Pengibaran akan dilakukan di puncak Tidar pukul 05.00 WIB, dengan tujuan mendahului tentara Jepang yang biasa mengibarkan bendera Dai Nipon pukul 06.00 WIB.  


Malamnya, suasana hening.  Namun tidak ada yang tahu kalau di sebuah rumah di Meteseh seorang wanita menjahit bendera merah putih yang diambil dari bendera Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).  Wanita itu adalah Sitti Saemah, istri Raden Kolbioen Djojopramudjo (anggota Volksraad Magelang).  Sebuah tiang telepon milik Kantor Telepon Magelang juga disiapkan jika diperlukan menjadi tiang bendera.  


Pukul 04.00 pagi, awan tebal masih menyelimuti langit Magelang.  Bendera telah siap.  Masyarakat Magelang juga sudah siap.  Sebagian membawa yari.  Siswa sekolah dari tingkat dasar, menengah, dan atas hadir didampingi guru mereka.  Tiang bendera yang dipakai akhirnya adalah tiang bendera dari bambu yang biasa dipakai Jepang.  Tokoh yang disebut hadir pagi itu adalah Tartib Prawirodihardjo, Judodibroto, dan Soetedjo Atmodipoerwo (Kepala SMP Negeri Magelang).  Yang ditunggu – tunggu pun tiba.  Pengibaran bendera merah putih dilakukan dengan lagu Indonesia Raya.  Suasana sangat syahdu.  Banyak warga yang meneteskan air mata, karena pengibaran bendera merah putih di puncak Tidar pagi itu merupakan simbolisasi kemerdekaan rakyat Magelang yang sangat berarti setelah sekian lama dikungkung penjajah.


Usai pengibaran bendera, sebagian membubarkan diri dan sebagian tak beranjak dari lokasi.  Selain memperhatikan kibaran bendera merah putih yang baru pertama kali mereka lihat, mereka juga menikmati matahari terbit yang sangat indah menyeruak dari balik Merapi – Merbabu sisi timur Kota Magelang.  Di sisi barat, Gunung Sumbing mulai terlihat anggun menjulang seakan menyambut terpaan sinar matahari pagi.  Gunung Tidar waktu itu hanya ditumbuhi ilalang sehingga masih memungkinkan pemandangan indah tersebut dinikmati secara leluasa. Kokok ayam hutan sesekali mengiringi pemandangan alam nan syahdu tersebut.


Tiba – tiba, terdengar suara tembakan.  Kesyahduan pun musnah sudah.  Semua tegang.  Sebagian bergegas mendekati sumber suara.  Sebagian lagi tetap menjaga sang merah putih.  Pengibaran bendera ternyata terlihat dari Markas Kempeitai di kaki Tidar sisi utara.  Dua orang Kempeitai menyusul naik untuk menurunkan sang merah putih. Pemuda yang berpapasan turun menghalangi Kempeitai sehingga terjadi perkelahian. Namun, massa pemuda berduyun – duyun turun bertambah banyak.  Dua orang Kempeitai datang lagi untuk membantu temannya.  Karena kalah jumlah, keempat Kempeitai itu lari kembali ke markas.  Para pemuda mengejar dengan senjata seadanya.  Kempeitai panik karena merasa markasnya diserang sehingga mereka menembakkan senjatanya meskipun pemuda masih berjarak 50 meter dari pagar markas.  Akibatnya, 3 orang pemuda tewas seketika bersimbah darah, sementara 11 orang lainnya mengalami luka parah.  Dua orang diantaranya meninggal 2 hari kemudian. Beberapa pemuda roboh bersimbah darah. Massa ternyata tidak takut namun justru bertambah beringas. Untung saja Residen Kedu R.P. Soeroso dan Kepala Kepolisian Kota Magelang Legowo datang melerai.


Korban meninggal dalam insiden ini adalah :

Koesni  25 September 1945

Djajus  25 September 1945

Soejoed  25 September 1945

Samad  27 September 1945

Slamet  27 September 1945


Untuk mengenang peristiwa Pengibaran Bendera dan tewasnya lima orang pahlawan tersebut, di kemudian hari di utara SMIP didirikan sebuah monumen.  Adapun setahun setelah Tragedi Tidar, tepatnya tanggal 25 September 1946, Bung Tomo didampingi Gubernur Jawa Tengah, Residen Kedu, dan Walikota Magelang, datang ke puncak Tidar untuk meresmikan Tiang Bendera setinggi 15 meter : 


 _“Pada tanggal 25 Sept. sore djam 5 di poentjak goenoeng Tidar, Magelang, dilakoekan oepatjara pemakaian resmi tiang bendera jang tingginja 15 meter sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap 4 orang pahlawan jang telah goegoer satoe tahoen jang laloe karena tembakan mitraljoer Kenpetai Djepang waktu menaikkan bendera Merah Poetih jang pertama kalinja. Oepatjara dipimpin oleh Ketoea Poesat B.P.R.I dan dihadiri oleh Pak Wongso Goebernoer Djawa Tengah, Residen Kedoe, Wali Kota Magelang dan pendoedoek. Pembikinan tiang peringatan ini memerloekan ongkos f 27.000,-"_ 


*PALAGAN MAGELANG* 

Rabu tanggal 31 Oktober 1945, pecah perang di Kota Magelang antara 3/10 Gurkha Rifles yang dipimpin oleh komandan Sekutu Jawa Tengah yaitu Brigadier R.B.W. Bethel (untuk Jawa Timur dipimpin Brigadier Mallaby) melawan pejuang republik dari BKR / TNI dan banyak unsur kelaskaran.  Salah satunya yang fenomenal adalah Bung Tardjo, pemimpin Tentara Rakyat Mataram yang dikenal kebal peluru dan sering berorasi di radio dengan suara persis Bung Tomo.  


Pertempuran berlangsung sengit dengan pusatnya di alun – alun Kota Magelang.  Para pejuang yang gugur di tengah jalan, menurut Sarwo Edhie bahkan tidak bisa diambil selama 2 hari karena siapapun yang terlihat di jalan akan dihujani mitraliur Gurkha.  Pejuang juga dibantu Tanaka, serdadu Jepang yang membela Indonesia.  Ia menghujani Gurkha dengan tembakan mitraliur dari atas Water Toren.  Pertempuran sengit itu dinamakan Palagan Magelang.


Baru juga berjalan setengah hari, Gurkha sudah minta pertolongan melalui radio.  Dua pesawat tempur dari Batavia dikirim ke langit Magelang dan menerjunkan kargo – kargo berisi amunisi dan perbekalan.  Belum cukup, Bethel meminta Bung Karno untuk datang ke Magelang guna menenangkan para pejuang.  Dalihnya adalah Sekutu datang bukan untuk berperang namun hanya untuk menarik para interniran Eropa yang ditahan di berbagai tempat.  


Bung Karno bermusyawarah di Semarang dan Yogyakarta sebelum datang ke Magelang.  Bethel tidak sabar.  Kamis 1 November 1945, ia mengirim sisa tentara Jepang di Semarang.  Komandan Jepang di Semarang adalah Mayor Kido sehingga pasukan tersebut dinamakan Kido Butai.  Adapun komandan yang memimpin kompi adalah Kapten Yamada.  Kido Butai menyerbu dapur umum di Kampung Tulung dan membantai pribumi yang ada di sana.  Ada yang diberondong peluru, ada yang disabet samurai hingga kaki putus, dan ada yang dibayonet.  Tak pandang bulu, di Botton mereka menusuk ibu – ibu dan balita, serta menembak manula.  Di SMP Negeri Magelang (SMP 1), mereka sedang membariskan para murid dan guru untuk dibantai, saat Prapto Ketjik siswa yang menjadi Tentara Pelajar berniat menyergap.  Nahas, Prapto ditembak Jepang dari belakang.  


Esoknya, usai sholat Jumat tanggal 2 November 1945, diadakanlah Cease Fire.  Badaan Plein Conferentie dihadiri 40 orang dari pihak republik yaitu Presiden RI Ir. Soekarno,   Menteri Sekretaris Negara Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Penerangan RI Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Raden Pandji Soeroso, Mr. Wongsonegoro, Mr. Winarno, Danuatmodjo, Liutenant General Oerip Soemohardjo, Bung Tardjo, Boedi Handoko, Liutenant Colonel Sarbini, Majoor A. Yani, dll.  Pihak Sekutu dihadiri Brigadier Bethel, Liutenant Colonel H.G. Edwards, Majoor Broock, Captain Hoasted, Koreman, Majoor Holmes, Captaint Ball, dan Flight Lieutenant Trigg.  Disepakati gencatan senjata.


Jumat siang hingga malam pukul 21.00 WIB, di bawah rintik hujan, penduduk Magelang berduka.  Mereka hilir mudik mengangkut jenazah para pejuang untuk dimakamkan di Girilojo.  Wing Commander Tull mengklaim bahwa korban tewas dari pihak Indonesia di Magelang adalah 600 orang sementara dari Sekutu hanya satu orang Gurkha saja yang tewas.  Itu adalah sebuah lelucon.  Kenyataannya, pasukan terpilih dan terlatih di medan perang Burma dan Imphal itu harus minta bantuan dari Batavia dan Semarang.  Begitu pun setelah gencatan senjata mereka ingkari, mereka harus lari tunggang langgang dikejar pejuang ke arah utara hingga Ambarawa.  


Palagan Ambarawa tidak akan ada jika tidak ada Palagan Magelang.    


*MALAM TIRAKATAN* 


Dalam dasawarsa pertama kemerdekaan, warga Magelang belum lupa akan Tragedi Tidar tanggal 25 September 1945 dan korban perang Palagan Magelang maupun korban pembantaian Kido Butai tanggal 1 November 1945.  Mereka melakukan malam tirakatan, mengenang dan mendoakan para korban yang di kemudian hari disebut pahlawan agar tenang dan diterima di sisi-Nya.


 _Dicuplik dan disarikan dari beberapa bagian buku Palagan Magelang (Novo Indarto, 2022 : 86 – 91 ; 124 – 203)._

PALAGAN MAGELANG

 *Malam Tirakatan* 

Oleh : Novo Indarto


Rakyat Indonesia banyak yang melakukan tirakatan malam 17 Agustus 1945 namun tak banyak yang melakukannya di tanggal – tanggal perjuangan lokal mereka.  Sebutlah di Magelang, ada beberapa tanggal dimana terjadi peristiwa heroik yang kini tidak banyak yang masih mengetahuinya.  Dahulu, rakyat Magelang rutin melakukan tirakatan di tanggal – tanggal tersebut. 


*TRAGEDI TIDAR* 

Hari itu adalah tanggal 25 September 1945, genap tujuh hari sejak Wing Commander Tull, komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mendaratkan parasutnya di lapangan Tidar beserta 8 anak buah dan peti – peti kayunya.  


Kemarin, pergolakan besar telah dimulai.  Pemuda melakukan aksi penempelan plakat merah putih di berbagai tempat jalur utama.  Kempeitai yang berjaga di Hotel Nitaka melepas plakat dan merobeknya.  Pemuda yang mengetahui kejadian tersebut sontak berduyun – duyun mengepung hotel.  Kempeitai ciut nyalinya.  RAPWI tak berani merespon.  Akhirnya R.P. Soeroso sang Residen Kedu memimpin rakyat Magelang melakukan konvoi keliling Magelang, mengepung markas Kempeitai, lalu menggeruduk rumah dinas Brigjen Nakamura (komandan tentara Jepang di Jawa Tengah).  Karena tidak didapat penyelesaian, residen menyeru para pemuda untuk bubar dan menyiapkan diri guna melakukan pengibaran bendera esok paginya.  Akan menjadi pengibaran merah putih pertama kali secara terbuka di Magelang.  Pengibaran akan dilakukan di puncak Tidar pukul 05.00 WIB, dengan tujuan mendahului tentara Jepang yang biasa mengibarkan bendera Dai Nipon pukul 06.00 WIB.  


Malamnya, suasana hening.  Namun tidak ada yang tahu kalau di sebuah rumah di Meteseh seorang wanita menjahit bendera merah putih yang diambil dari bendera Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).  Wanita itu adalah Sitti Saemah, istri Raden Kolbioen Djojopramudjo (anggota Volksraad Magelang).  Sebuah tiang telepon milik Kantor Telepon Magelang juga disiapkan jika diperlukan menjadi tiang bendera.  


Pukul 04.00 pagi, awan tebal masih menyelimuti langit Magelang.  Bendera telah siap.  Masyarakat Magelang juga sudah siap.  Sebagian membawa yari.  Siswa sekolah dari tingkat dasar, menengah, dan atas hadir didampingi guru mereka.  Tiang bendera yang dipakai akhirnya adalah tiang bendera dari bambu yang biasa dipakai Jepang.  Tokoh yang disebut hadir pagi itu adalah Tartib Prawirodihardjo, Judodibroto, dan Soetedjo Atmodipoerwo (Kepala SMP Negeri Magelang).  Yang ditunggu – tunggu pun tiba.  Pengibaran bendera merah putih dilakukan dengan lagu Indonesia Raya.  Suasana sangat syahdu.  Banyak warga yang meneteskan air mata, karena pengibaran bendera merah putih di puncak Tidar pagi itu merupakan simbolisasi kemerdekaan rakyat Magelang yang sangat berarti setelah sekian lama dikungkung penjajah.


Usai pengibaran bendera, sebagian membubarkan diri dan sebagian tak beranjak dari lokasi.  Selain memperhatikan kibaran bendera merah putih yang baru pertama kali mereka lihat, mereka juga menikmati matahari terbit yang sangat indah menyeruak dari balik Merapi – Merbabu sisi timur Kota Magelang.  Di sisi barat, Gunung Sumbing mulai terlihat anggun menjulang seakan menyambut terpaan sinar matahari pagi.  Gunung Tidar waktu itu hanya ditumbuhi ilalang sehingga masih memungkinkan pemandangan indah tersebut dinikmati secara leluasa. Kokok ayam hutan sesekali mengiringi pemandangan alam nan syahdu tersebut.


Tiba – tiba, terdengar suara tembakan.  Kesyahduan pun musnah sudah.  Semua tegang.  Sebagian bergegas mendekati sumber suara.  Sebagian lagi tetap menjaga sang merah putih.  Pengibaran bendera ternyata terlihat dari Markas Kempeitai di kaki Tidar sisi utara.  Dua orang Kempeitai menyusul naik untuk menurunkan sang merah putih. Pemuda yang berpapasan turun menghalangi Kempeitai sehingga terjadi perkelahian. Namun, massa pemuda berduyun – duyun turun bertambah banyak.  Dua orang Kempeitai datang lagi untuk membantu temannya.  Karena kalah jumlah, keempat Kempeitai itu lari kembali ke markas.  Para pemuda mengejar dengan senjata seadanya.  Kempeitai panik karena merasa markasnya diserang sehingga mereka menembakkan senjatanya meskipun pemuda masih berjarak 50 meter dari pagar markas.  Akibatnya, 3 orang pemuda tewas seketika bersimbah darah, sementara 11 orang lainnya mengalami luka parah.  Dua orang diantaranya meninggal 2 hari kemudian. Beberapa pemuda roboh bersimbah darah. Massa ternyata tidak takut namun justru bertambah beringas. Untung saja Residen Kedu R.P. Soeroso dan Kepala Kepolisian Kota Magelang Legowo datang melerai.


Korban meninggal dalam insiden ini adalah :

Koesni  25 September 1945

Djajus  25 September 1945

Soejoed  25 September 1945

Samad  27 September 1945

Slamet  27 September 1945


Untuk mengenang peristiwa Pengibaran Bendera dan tewasnya lima orang pahlawan tersebut, di kemudian hari di utara SMIP didirikan sebuah monumen.  Adapun setahun setelah Tragedi Tidar, tepatnya tanggal 25 September 1946, Bung Tomo didampingi Gubernur Jawa Tengah, Residen Kedu, dan Walikota Magelang, datang ke puncak Tidar untuk meresmikan Tiang Bendera setinggi 15 meter : 


 _“Pada tanggal 25 Sept. sore djam 5 di poentjak goenoeng Tidar, Magelang, dilakoekan oepatjara pemakaian resmi tiang bendera jang tingginja 15 meter sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap 4 orang pahlawan jang telah goegoer satoe tahoen jang laloe karena tembakan mitraljoer Kenpetai Djepang waktu menaikkan bendera Merah Poetih jang pertama kalinja. Oepatjara dipimpin oleh Ketoea Poesat B.P.R.I dan dihadiri oleh Pak Wongso Goebernoer Djawa Tengah, Residen Kedoe, Wali Kota Magelang dan pendoedoek. Pembikinan tiang peringatan ini memerloekan ongkos f 27.000,-"_ 


*PALAGAN MAGELANG* 

Rabu tanggal 31 Oktober 1945, pecah perang di Kota Magelang antara 3/10 Gurkha Rifles yang dipimpin oleh komandan Sekutu Jawa Tengah yaitu Brigadier R.B.W. Bethel (untuk Jawa Timur dipimpin Brigadier Mallaby) melawan pejuang republik dari BKR / TNI dan banyak unsur kelaskaran.  Salah satunya yang fenomenal adalah Bung Tardjo, pemimpin Tentara Rakyat Mataram yang dikenal kebal peluru dan sering berorasi di radio dengan suara persis Bung Tomo.  


Pertempuran berlangsung sengit dengan pusatnya di alun – alun Kota Magelang.  Para pejuang yang gugur di tengah jalan, menurut Sarwo Edhie bahkan tidak bisa diambil selama 2 hari karena siapapun yang terlihat di jalan akan dihujani mitraliur Gurkha.  Pejuang juga dibantu Tanaka, serdadu Jepang yang membela Indonesia.  Ia menghujani Gurkha dengan tembakan mitraliur dari atas Water Toren.  Pertempuran sengit itu dinamakan Palagan Magelang.


Baru juga berjalan setengah hari, Gurkha sudah minta pertolongan melalui radio.  Dua pesawat tempur dari Batavia dikirim ke langit Magelang dan menerjunkan kargo – kargo berisi amunisi dan perbekalan.  Belum cukup, Bethel meminta Bung Karno untuk datang ke Magelang guna menenangkan para pejuang.  Dalihnya adalah Sekutu datang bukan untuk berperang namun hanya untuk menarik para interniran Eropa yang ditahan di berbagai tempat.  


Bung Karno bermusyawarah di Semarang dan Yogyakarta sebelum datang ke Magelang.  Bethel tidak sabar.  Kamis 1 November 1945, ia mengirim sisa tentara Jepang di Semarang.  Komandan Jepang di Semarang adalah Mayor Kido sehingga pasukan tersebut dinamakan Kido Butai.  Adapun komandan yang memimpin kompi adalah Kapten Yamada.  Kido Butai menyerbu dapur umum di Kampung Tulung dan membantai pribumi yang ada di sana.  Ada yang diberondong peluru, ada yang disabet samurai hingga kaki putus, dan ada yang dibayonet.  Tak pandang bulu, di Botton mereka menusuk ibu – ibu dan balita, serta menembak manula.  Di SMP Negeri Magelang (SMP 1), mereka sedang membariskan para murid dan guru untuk dibantai, saat Prapto Ketjik siswa yang menjadi Tentara Pelajar berniat menyergap.  Nahas, Prapto ditembak Jepang dari belakang.  


Esoknya, usai sholat Jumat tanggal 2 November 1945, diadakanlah Cease Fire.  Badaan Plein Conferentie dihadiri 40 orang dari pihak republik yaitu Presiden RI Ir. Soekarno,   Menteri Sekretaris Negara Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Penerangan RI Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Raden Pandji Soeroso, Mr. Wongsonegoro, Mr. Winarno, Danuatmodjo, Liutenant General Oerip Soemohardjo, Bung Tardjo, Boedi Handoko, Liutenant Colonel Sarbini, Majoor A. Yani, dll.  Pihak Sekutu dihadiri Brigadier Bethel, Liutenant Colonel H.G. Edwards, Majoor Broock, Captain Hoasted, Koreman, Majoor Holmes, Captaint Ball, dan Flight Lieutenant Trigg.  Disepakati gencatan senjata.


Jumat siang hingga malam pukul 21.00 WIB, di bawah rintik hujan, penduduk Magelang berduka.  Mereka hilir mudik mengangkut jenazah para pejuang untuk dimakamkan di Girilojo.  Wing Commander Tull mengklaim bahwa korban tewas dari pihak Indonesia di Magelang adalah 600 orang sementara dari Sekutu hanya satu orang Gurkha saja yang tewas.  Itu adalah sebuah lelucon.  Kenyataannya, pasukan terpilih dan terlatih di medan perang Burma dan Imphal itu harus minta bantuan dari Batavia dan Semarang.  Begitu pun setelah gencatan senjata mereka ingkari, mereka harus lari tunggang langgang dikejar pejuang ke arah utara hingga Ambarawa.  


Palagan Ambarawa tidak akan ada jika tidak ada Palagan Magelang.    


*MALAM TIRAKATAN* 


Dalam dasawarsa pertama kemerdekaan, warga Magelang belum lupa akan Tragedi Tidar tanggal 25 September 1945 dan korban perang Palagan Magelang maupun korban pembantaian Kido Butai tanggal 1 November 1945.  Mereka melakukan malam tirakatan, mengenang dan mendoakan para korban yang di kemudian hari disebut pahlawan agar tenang dan diterima di sisi-Nya.


 _Dicuplik dan disarikan dari beberapa bagian buku Palagan Magelang (Novo Indarto, 2022 : 86 – 91 ; 124 – 203)._

TRAGEDI TIDAR MAGELANG

 *Malam Tirakatan* 

Oleh : Novo Indarto


Rakyat Indonesia banyak yang melakukan tirakatan malam 17 Agustus 1945 namun tak banyak yang melakukannya di tanggal – tanggal perjuangan lokal mereka.  Sebutlah di Magelang, ada beberapa tanggal dimana terjadi peristiwa heroik yang kini tidak banyak yang masih mengetahuinya.  Dahulu, rakyat Magelang rutin melakukan tirakatan di tanggal – tanggal tersebut. 


*TRAGEDI TIDAR* 

Hari itu adalah tanggal 25 September 1945, genap tujuh hari sejak Wing Commander Tull, komandan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) mendaratkan parasutnya di lapangan Tidar beserta 8 anak buah dan peti – peti kayunya.  


Kemarin, pergolakan besar telah dimulai.  Pemuda melakukan aksi penempelan plakat merah putih di berbagai tempat jalur utama.  Kempeitai yang berjaga di Hotel Nitaka melepas plakat dan merobeknya.  Pemuda yang mengetahui kejadian tersebut sontak berduyun – duyun mengepung hotel.  Kempeitai ciut nyalinya.  RAPWI tak berani merespon.  Akhirnya R.P. Soeroso sang Residen Kedu memimpin rakyat Magelang melakukan konvoi keliling Magelang, mengepung markas Kempeitai, lalu menggeruduk rumah dinas Brigjen Nakamura (komandan tentara Jepang di Jawa Tengah).  Karena tidak didapat penyelesaian, residen menyeru para pemuda untuk bubar dan menyiapkan diri guna melakukan pengibaran bendera esok paginya.  Akan menjadi pengibaran merah putih pertama kali secara terbuka di Magelang.  Pengibaran akan dilakukan di puncak Tidar pukul 05.00 WIB, dengan tujuan mendahului tentara Jepang yang biasa mengibarkan bendera Dai Nipon pukul 06.00 WIB.  


Malamnya, suasana hening.  Namun tidak ada yang tahu kalau di sebuah rumah di Meteseh seorang wanita menjahit bendera merah putih yang diambil dari bendera Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).  Wanita itu adalah Sitti Saemah, istri Raden Kolbioen Djojopramudjo (anggota Volksraad Magelang).  Sebuah tiang telepon milik Kantor Telepon Magelang juga disiapkan jika diperlukan menjadi tiang bendera.  


Pukul 04.00 pagi, awan tebal masih menyelimuti langit Magelang.  Bendera telah siap.  Masyarakat Magelang juga sudah siap.  Sebagian membawa yari.  Siswa sekolah dari tingkat dasar, menengah, dan atas hadir didampingi guru mereka.  Tiang bendera yang dipakai akhirnya adalah tiang bendera dari bambu yang biasa dipakai Jepang.  Tokoh yang disebut hadir pagi itu adalah Tartib Prawirodihardjo, Judodibroto, dan Soetedjo Atmodipoerwo (Kepala SMP Negeri Magelang).  Yang ditunggu – tunggu pun tiba.  Pengibaran bendera merah putih dilakukan dengan lagu Indonesia Raya.  Suasana sangat syahdu.  Banyak warga yang meneteskan air mata, karena pengibaran bendera merah putih di puncak Tidar pagi itu merupakan simbolisasi kemerdekaan rakyat Magelang yang sangat berarti setelah sekian lama dikungkung penjajah.


Usai pengibaran bendera, sebagian membubarkan diri dan sebagian tak beranjak dari lokasi.  Selain memperhatikan kibaran bendera merah putih yang baru pertama kali mereka lihat, mereka juga menikmati matahari terbit yang sangat indah menyeruak dari balik Merapi – Merbabu sisi timur Kota Magelang.  Di sisi barat, Gunung Sumbing mulai terlihat anggun menjulang seakan menyambut terpaan sinar matahari pagi.  Gunung Tidar waktu itu hanya ditumbuhi ilalang sehingga masih memungkinkan pemandangan indah tersebut dinikmati secara leluasa. Kokok ayam hutan sesekali mengiringi pemandangan alam nan syahdu tersebut.


Tiba – tiba, terdengar suara tembakan.  Kesyahduan pun musnah sudah.  Semua tegang.  Sebagian bergegas mendekati sumber suara.  Sebagian lagi tetap menjaga sang merah putih.  Pengibaran bendera ternyata terlihat dari Markas Kempeitai di kaki Tidar sisi utara.  Dua orang Kempeitai menyusul naik untuk menurunkan sang merah putih. Pemuda yang berpapasan turun menghalangi Kempeitai sehingga terjadi perkelahian. Namun, massa pemuda berduyun – duyun turun bertambah banyak.  Dua orang Kempeitai datang lagi untuk membantu temannya.  Karena kalah jumlah, keempat Kempeitai itu lari kembali ke markas.  Para pemuda mengejar dengan senjata seadanya.  Kempeitai panik karena merasa markasnya diserang sehingga mereka menembakkan senjatanya meskipun pemuda masih berjarak 50 meter dari pagar markas.  Akibatnya, 3 orang pemuda tewas seketika bersimbah darah, sementara 11 orang lainnya mengalami luka parah.  Dua orang diantaranya meninggal 2 hari kemudian. Beberapa pemuda roboh bersimbah darah. Massa ternyata tidak takut namun justru bertambah beringas. Untung saja Residen Kedu R.P. Soeroso dan Kepala Kepolisian Kota Magelang Legowo datang melerai.


Korban meninggal dalam insiden ini adalah :

Koesni  25 September 1945

Djajus  25 September 1945

Soejoed  25 September 1945

Samad  27 September 1945

Slamet  27 September 1945


Untuk mengenang peristiwa Pengibaran Bendera dan tewasnya lima orang pahlawan tersebut, di kemudian hari di utara SMIP didirikan sebuah monumen.  Adapun setahun setelah Tragedi Tidar, tepatnya tanggal 25 September 1946, Bung Tomo didampingi Gubernur Jawa Tengah, Residen Kedu, dan Walikota Magelang, datang ke puncak Tidar untuk meresmikan Tiang Bendera setinggi 15 meter : 


 _“Pada tanggal 25 Sept. sore djam 5 di poentjak goenoeng Tidar, Magelang, dilakoekan oepatjara pemakaian resmi tiang bendera jang tingginja 15 meter sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap 4 orang pahlawan jang telah goegoer satoe tahoen jang laloe karena tembakan mitraljoer Kenpetai Djepang waktu menaikkan bendera Merah Poetih jang pertama kalinja. Oepatjara dipimpin oleh Ketoea Poesat B.P.R.I dan dihadiri oleh Pak Wongso Goebernoer Djawa Tengah, Residen Kedoe, Wali Kota Magelang dan pendoedoek. Pembikinan tiang peringatan ini memerloekan ongkos f 27.000,-"_ 


*PALAGAN MAGELANG* 

Rabu tanggal 31 Oktober 1945, pecah perang di Kota Magelang antara 3/10 Gurkha Rifles yang dipimpin oleh komandan Sekutu Jawa Tengah yaitu Brigadier R.B.W. Bethel (untuk Jawa Timur dipimpin Brigadier Mallaby) melawan pejuang republik dari BKR / TNI dan banyak unsur kelaskaran.  Salah satunya yang fenomenal adalah Bung Tardjo, pemimpin Tentara Rakyat Mataram yang dikenal kebal peluru dan sering berorasi di radio dengan suara persis Bung Tomo.  


Pertempuran berlangsung sengit dengan pusatnya di alun – alun Kota Magelang.  Para pejuang yang gugur di tengah jalan, menurut Sarwo Edhie bahkan tidak bisa diambil selama 2 hari karena siapapun yang terlihat di jalan akan dihujani mitraliur Gurkha.  Pejuang juga dibantu Tanaka, serdadu Jepang yang membela Indonesia.  Ia menghujani Gurkha dengan tembakan mitraliur dari atas Water Toren.  Pertempuran sengit itu dinamakan Palagan Magelang.


Baru juga berjalan setengah hari, Gurkha sudah minta pertolongan melalui radio.  Dua pesawat tempur dari Batavia dikirim ke langit Magelang dan menerjunkan kargo – kargo berisi amunisi dan perbekalan.  Belum cukup, Bethel meminta Bung Karno untuk datang ke Magelang guna menenangkan para pejuang.  Dalihnya adalah Sekutu datang bukan untuk berperang namun hanya untuk menarik para interniran Eropa yang ditahan di berbagai tempat.  


Bung Karno bermusyawarah di Semarang dan Yogyakarta sebelum datang ke Magelang.  Bethel tidak sabar.  Kamis 1 November 1945, ia mengirim sisa tentara Jepang di Semarang.  Komandan Jepang di Semarang adalah Mayor Kido sehingga pasukan tersebut dinamakan Kido Butai.  Adapun komandan yang memimpin kompi adalah Kapten Yamada.  Kido Butai menyerbu dapur umum di Kampung Tulung dan membantai pribumi yang ada di sana.  Ada yang diberondong peluru, ada yang disabet samurai hingga kaki putus, dan ada yang dibayonet.  Tak pandang bulu, di Botton mereka menusuk ibu – ibu dan balita, serta menembak manula.  Di SMP Negeri Magelang (SMP 1), mereka sedang membariskan para murid dan guru untuk dibantai, saat Prapto Ketjik siswa yang menjadi Tentara Pelajar berniat menyergap.  Nahas, Prapto ditembak Jepang dari belakang.  


Esoknya, usai sholat Jumat tanggal 2 November 1945, diadakanlah Cease Fire.  Badaan Plein Conferentie dihadiri 40 orang dari pihak republik yaitu Presiden RI Ir. Soekarno,   Menteri Sekretaris Negara Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo, Menteri Penerangan RI Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Raden Pandji Soeroso, Mr. Wongsonegoro, Mr. Winarno, Danuatmodjo, Liutenant General Oerip Soemohardjo, Bung Tardjo, Boedi Handoko, Liutenant Colonel Sarbini, Majoor A. Yani, dll.  Pihak Sekutu dihadiri Brigadier Bethel, Liutenant Colonel H.G. Edwards, Majoor Broock, Captain Hoasted, Koreman, Majoor Holmes, Captaint Ball, dan Flight Lieutenant Trigg.  Disepakati gencatan senjata.


Jumat siang hingga malam pukul 21.00 WIB, di bawah rintik hujan, penduduk Magelang berduka.  Mereka hilir mudik mengangkut jenazah para pejuang untuk dimakamkan di Girilojo.  Wing Commander Tull mengklaim bahwa korban tewas dari pihak Indonesia di Magelang adalah 600 orang sementara dari Sekutu hanya satu orang Gurkha saja yang tewas.  Itu adalah sebuah lelucon.  Kenyataannya, pasukan terpilih dan terlatih di medan perang Burma dan Imphal itu harus minta bantuan dari Batavia dan Semarang.  Begitu pun setelah gencatan senjata mereka ingkari, mereka harus lari tunggang langgang dikejar pejuang ke arah utara hingga Ambarawa.  


Palagan Ambarawa tidak akan ada jika tidak ada Palagan Magelang.    


*MALAM TIRAKATAN* 


Dalam dasawarsa pertama kemerdekaan, warga Magelang belum lupa akan Tragedi Tidar tanggal 25 September 1945 dan korban perang Palagan Magelang maupun korban pembantaian Kido Butai tanggal 1 November 1945.  Mereka melakukan malam tirakatan, mengenang dan mendoakan para korban yang di kemudian hari disebut pahlawan agar tenang dan diterima di sisi-Nya.


 _Dicuplik dan disarikan dari beberapa bagian buku Palagan Magelang (Novo Indarto, 2022 : 86 – 91 ; 124 – 203)._