31 August 2022

Raden Saleh

 Ave Neohistorian!


Raden Saleh Syarif Bustaman dilahirkan pada sekitar tahun 1811 di Terboyo, Semarang, dengan nama asli Saleh bin Yahya. 


Sejak kecil, ia tinggal bersama paman dari pihak ibunya, yakni Bupati Semarang, Raden Said Alaydrus alias Suroadimenggolo V. Berkat koneksi pamannya, ia bisa bersekolah di sekolah Belanda. Di sana, bakat Raden Saleh dalam melukis diperhatikan oleh sebuah keluarga Belanda. Pada akhirnya, di tahun 1828, oleh keluarga tersebut Raden Saleh dibawa ke Belanda untuk belajar lebih lanjut.


Sewaktu di Belanda, Raden Saleh belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman, sedangkan pengetahuan tema pemandangan ia dapatkan dari Andries Schelfhout. Kruseman adalah pelukis istana sehingga ia sering menerima pesanan melukis dari Pemerintah Belanda dan juga keluarga kerajaan. 


Meskipun Raden Saleh dapat menguasai teknik dan gaya lukisan barat, tetapi dalam pergaulan sehari-hari, Raden Saleh masih tetap diperlakukan sebagai seorang anak jajahan oleh orang Belanda. 


Selanjutnya Raden Saleh berkelana ke Jerman. Di sana, beliau menerima penghargaan sepatutnya sebagai seorang manusia dan sebagai seorang Pelukis yang berbakat. Di Jerman, Raden Saleh dielu-elukan sebagai seorang bangsawan dari Jawa dan menjadi tamu kehormatan dari Adipati Ernst August Karl Johann Leopold Alexander Eduard von Sachsen-Coburg-Gotha yang merupakan kakak ipar Ratu Victoria.


Para bangsawan Jerman sangat mengagumi Raden Saleh yang selalu tampil unik dengan tetap mempertahankan budaya dengan berpakaian adat bangsawan Jawa lengkap dengan blangkon. Raden Saleh juga beberapa kali berkunjung ke Paris, salah satunya pada saat berlangsungnya Revolusi Februari 1848. 


Pada tahun 1851, Raden Saleh pulang ke Indonesia yang masih berupa Hindia Belanda. Di Batavia, Raden Saleh melukis potret keluarga keraton dan pemandangan. Raden Saleh juga membangun sebuah rumah di kawasan Cikini, dengan gaya neo-gothic. Salah satu mahakarya beliau adalah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang menunjukkan rasa nasionalismenya.


Penulis : Teuku Alif Ananda

Editor : Veronica Septiana S


Referensi:


Werner Kraus. Raden Saleh & Karyanya. KPG 2018.



Abdoel Moeis ( Abdul Muis )

 Abdoel Moeis (bahasa Arab: عبد المعز 'Abd Al-Mu'iz) (lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.


Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai dari ELS, Abdul Muis melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta.Namun karena sakit, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.


#Kehidupan

Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.


Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.


Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.


Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah ia berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara. Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.


Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal : Salah Asuhan.


Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).


Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung


#Karyanya

Salah Asuhan (novel 1928, difilmkan Asrul Sani 1972), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Robin Susanto dan diterbitkan dengan judul Never the

Twain oleh Lontar Foundation sebagai salah satu seri Modern Library of Indonesia

Pertemuan Jodoh (novel 1933)

Surapati (novel 1950)

Robert Anak Surapati(novel 1953)



30 August 2022

Pembangunan Tembok Besar Tiongkok

 Ave Neohistorian !


Pada Periode Negara Berperang di Tiongkok (475 SM–221 SM), banyak negara yang membangun tembok untuk menjaga perbatasan wilayah dan bertahan dari serangan suku barbar Xiongnu. Pada awalnya, tembok dibuat dari tanah liat yang dipadatkan lalu sisi luarnya ditutupi dengan bebatuan.


Negeri Qin memiliki peran besar dalam pembangunan tembok ini. Ketika Negeri Qin mengalahkan Negeri Wei pada tahun 328 SM, Raja Zhaoxiang memerintahkan pembangunan tembok tinggi di sepanjang wilayah Longxi, Beidi, dan Shangjun.


Saat negeri Qin berhasil mengalahkan negeri-negeri lain dan menyatukan China, Kaisar Qinshihuang memerintahkan agar tembok pembatas wilayah negeri-negeri dihancurkan. Kaisar berencana untuk menyisakan pembatas bagian utara dan kemudian menyatukannya. Setiap 10-30 Li (1 Li sama dengan 500 m) dibuatkanlah pos penjagaan yang dilengkapi dengan pasukan patroli di atasnya. Selain untuk pertahanan, tembok difungsikan juga sebagai jalur pos.


Agar tembok menjadi efektif, kokoh, dan pembangunannya cepat selesai, kurang lebih 5% penduduk China saat itu dikerahkan sebagai tenaga kerja paksa. Namun, karena minimnya teknologi konstruksi, waktu kerja yang berat, dan lingkungan kerja yang ekstrim, pembangunan tersebut telah mengorbankan nyawa jutaan pekerja. Mereka kemudian dikuburkan begitu saja di sekitar proyek pembangunan tembok.


Pembangunan tembok dilanjutkan pada masa Dinasti Sui (581–618), yang justru menjadi salah satu penyebab runtuhnya dinasti tersebut. Ketika masa Dinasti Ming (1368-1644), tembok direnovasi dengan cara yang lebih modern, yaitu menggunakan batu bata yang direkatkan oleh campuran kapur dan beras ketan.


Tembok ini memiliki tinggi antara 7,8 -14 meter, dengan  tebal dinding 5,8 - 6,5 meter, dan panjang total bangunan 21.196 km. Tembok tersebut dikemudian hari disebut sebagai “Tembok Panjang 10.000 Li” atau juga dikenal sebagai “Tembok Raksasa Tiongkok”. Tembok ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia pada tahun 1987.


-Jonathan Vivaldy

Editor : Ruth Regina

  

Source : 

Wicaksono, Michael (2013). Dinasti Qin – Kaisar Terakota. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.



29 August 2022

Sekelompok pria dan wanita sedang foto bersama di Makassar, Sulawesi Selatan, [Hindia Belanda], Ca.1900

 Sekelompok pria dan wanita sedang foto bersama di Makassar, Sulawesi Selatan, [Hindia Belanda], Ca.1900

-----

Sumber Foto 📸 : Nederlands Fotomuseum

Oleh : @potret.sejarahindonesia




Sejarah Magelang - Magelang Dulu

 Magelang Dulu


Oleh : Johanes Cristiono


Batu yoni dan patung Buddha di sebuah lapangan luas dengan hamparan sawah berlatar belakang Gunung Sumbing. Menurut teman-teman pemerhati sejarah, ini sekarang lokasi Museum BPK Magelang tempat Pangeran Diponegoro ditangkap. 

Kondisi ketika foto diabadikan sekitar 1920-30an, tentu jauh berbeda dengan kondisi sekarang terutama perubahan penggunaan lahan. 

Apalagi sekarang, di kaki Gunung Sumbing ini banyak obyek wisata alam yang favorit. 

Foto koleksi troppen, dari post Pak Listijanto .



Sang Alanjung Ahyes di Kerajaan Jenggala

 SANG ALANJUNG AHYES


Pemerintahan Alanjung Ahyes hanya meninggalakan satu bukti sejarah, berupa Prasasti Banjaran tahun 1052.


Prasasti tersebut berisi kisah pelarian Alanjung Ahyes ke hutan Marsma karena ibukota Janggala diserang musuh. Ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran. Serangan musuh tersebut diyakini berasal dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala (catatan: Mapanji Garasakan tidak tewas pada tahun 1052, karena pada tahun 1053, masih mengeluarkan Prasasti Garaman.)


Tidak diketahui dengan pasti kapan akhir pemerintahan Alanjung Ahyes. Prasasti selanjutnya yang ditemukan ialah Prasasti Sumengka tahun 1059, dikeluarkan oleh Samarotsaha, yang mengaku sebagai putra Airlangga dan raja Janggala. Dengan demikian dapat diperkirakan kalau Alanjung Ahyes tidak memiliki keturunan, atau mungkin mati muda, karena takhta Janggala selanjutnya jatuh ke tangan Samarotsaha, pamannya.


Alanjung Ahyes adalah Raja kedua dari Kerajaan Janggala yang berpusat di Ibu Kota Kahuripan memerintah sekitar tahun 1052 - 1059, dengan bergelar abhiseka Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadhanu Sri Ajnajabharitamawakana Pasukala Nawanamanitaniddhita Sastrahetajnadewati.



SPANYOL KE INDONESIA

 Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia


Setidaknya mulai abad 15 Masehi, bangsa-bangsa Eropa mulai berlomba-lomba melakukan pelayaran menjelajahi samudera untuk menemukan dunia baru. Tujuan awal bangsa-bangsa Eropa, termasuk Spanyol, mencari daratan baru itu adalah untuk menemukan kepulauan sumber rempah-rempah.


Saat itu, rempah-rempah menjadi komoditas mahal di Eropa, terutama karena berfungsi sebagai bahan pengawet makanan. Pengawetan makanan penting bagi masyarakat Eropa kala itu untuk mencegah kelaparan ketika musim dingin berlangsung.


Penjelajahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa dilakukan setidaknya karena 2 peristiwa politik penting, yakni kekalahan kerajaan-kerajaan Katolik Eropa di Perang Salib dan jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki Usmani.


Perang Salib memporak-porandakan jalur perdagangan Eropa dan Asia karena berlangsung di perbatasan 2 benua tersebut. Selain jalur perdagangan, keadaan ekonomi kerajaan-kerajaan Eropa pun menjadi terpuruk. Kas mereka menyusut drastis karena besarnya biaya perang.


Berselang 2 abad setelah Perang Salib selesai, kota Konstantinopel (sekarang Istanbul) jatuh ke tangan imperium Turki Usmani (Ottoman). Hal ini adalah kabar buruk bagi kerajaan-kerajaan di Eropa karena kota tersebut menjadi titik penting jalur perdagangan antar-benua (Eropa dan Asia).


Jatuhnya Konstantinopel ke tangan imperium Turki Usmani di tahun 1453 merupakan faktor penting yang paling utama mendorong pelayaran bangsa-bangsa Eropa ke negeri-negeri jauh.


Sejak Konstantinopel dikuasai oleh Turki Usmani, bangsa-bangsa Eropa kesulitan mencari akses perdagangan ke Asia. Sultan Muhammad II melarang pedagang-pedagang dari Eropa masuk ke Konstantinopel (Istanbul).


Padahal, kota itu menjadi pintu masuk ke jalur perdagangan dengan orang-orang Asia, terutama para penyuplai rempah-rempah. Karena itulah, bangsa-bangsa Eropa mengerahkan para pelautnya untuk berlayar mengarungi samudera demi mencari jalur perdagangan baru, sekaligus menemukan kepulauan sumber rempah-rempah.


Di antara bangsa-bangsa Eropa yang paling aktif merintis pelayaran untuk menemukan "dunia baru" itu adalah Spanyol dan Portugis. Namun, keduanya sempat berselisih mengenai jalur pelayaran yang akan ditempuh.


Akhirnya, pada 7 Juni 1449 ditandatangani Perjanjian Tordesilas, yang isinya membagi dunia menjadi dua wilayah kekuasaan dengan garis yang membentang dari Kutub Utara menuju Kutub Selatan.


Berdasar perjanjian Tordesilas, area pelayaran Bangsa Spanyol melewati jalur barat. Salah satu pelayar termasyur yang dimiliki Spanyol adalah Christoper Colombus, yang “menemukan” benua Amerika. Adapun Portugis mendapat jatah area pelayaran melewati jalur timur yang membuat mereka lebih cepat menemukan kepulauan sumber yang menjadi sumber utama rempah-rempah, yakni nusantara.


Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia


Para penjelajah dari Bangsa Spanyol pertama kali datang ke Indonesia (nusantara), tepatnya di Maluku, pada 8 November 1521. Rombongan pertama penjelajah Spanyol yang tiba di Kepulauan Maluku dipimpin oleh Kapten Joan Sbastian El Cano.


Mengutip modul pembelajaran SMA Sejarah Indonesia (2020) terbitan Kemendikbud RI, tujuan dari kedatangan Bangsa Spanyol adalah untuk mewujudkan semangat 3G, yaitu:


Gold, yaitu mencari emas dan mencari kekayaan (dari perdagangan rempah).

Glory, yaitu mencari keharuman nama, kejayaan, dan kekuasaan (wilayah jajahan).

Gospel, yaitu tugas suci menyebarkan agama Katolik.

Namun, kedatangan Bangsa Spanyol di Maluku ditentang oleh Bangsa Portugis yang telah datang terlebih dahulu di kepulauan paling dicari orang-orang Eropa itu. Portugis menuding Spanyol melanggar Perjanjian Tordesillas.


Alhasil, demi memenangkan persaingan dalam perdagangan rempah, orang-orang Spanyol mendekati Kesultanan Tidore, rival Kesultanan Ternate yang sebelumnya menjalin kerja sama dengan Portugis.


Buntut dari koalisi-koalisi ini adalah permusuhan Ternate dan Tidore yang makin memanas, karena telah dibumbui oleh kepentingan Spanyol dan Portugis di belakangnya. Perang pun tak terelakkan. Di pertempuran itu, Ternate yang dibantu Bangsa Portugis keluar sebagai pemenang.


Akibat kekalahan ini, sejak tahun 1535, Bangsa Spanyol mulai tersisih dari persaingan memperebutkan dominasi perdagangan rempah-rempah di Indonesia.


Akan tetapi, kekalahan dalam perang ini tak serta-merta menjadi penyebab utama mundurnya Bangsa Spanyol dari Indonesia. Faktor lain yang membikin Bangsa Spanyol mundur adalah Perjanjian Saragosa tahun 1535.


Perjanjian Saragosa berisi kesepakatan antara Kerajaan Portugis dan Kerajaan Spanyol dalam pembagian wilayah operasi perdagangan di timur jauh.


Berdasar perjanjian Saragosa, Bangsa Spanyol berhak beroperasi kembali di Filipina, sementara Bangsa Portugis di Kepulauan Maluku. Perjanjian Saragosa sekaligus menandai berakhirnya masa pendudukan Bangsa Spanyol di Indonesia yang terbilang singkat.


Sumber referensi


Effendi, Ahmad, edited by: Idhom, M addi. "Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia dan Latar Belakangnya". Tirto id. 27 September 2021. 


~Rahmat




Pasar Malam Sekaten Jogja 1956

 1956

Pasar Malam Sekaten tahun itu cukup meriah konon bersifat internasional. 


Dibuka oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta bersama Sri Sultan HB IX (Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) di alun2 utara. 


Yang agak spesial pada Oktober 1956 ini merupakan peringatan 200 tahun Kota Yogyakarta, yaitu  pindahnya Sultan HB I dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke kraton Ngayogyakarta.

.

ANRi




28 August 2022

Potret studio dua orang wanita muda sedang berpose di Yogyakarta, [Hindia Belanda], sekitar tahun 1900

 Potret studio dua orang wanita muda sedang berpose di Yogyakarta, [Hindia Belanda], sekitar tahun 1900.

-----

Sumber Foto 📸 : Cephas, Kassian 

Oleh : @potret.sejarahindonesia



SEJARAH MAGELANG - ALOON ALOON MAGELANG 1925

 Aloon - Aloon Magelang 1925


Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana


Dari secarik foto tua ini, kita bisa menengok kembali wajah alun-alun Kota Magelang pada masa - masa "The Roaring Twenties". 


Foto ini mengambil objek utama seorang anak laki-laki usia belasan tahun yang memakai baju stelan putih yang sedang duduk di kursi wasit tennis. Tidak mengherankan jika dulu pada dekade 1920an, olahraga tennis menang cukup populer di Magelang sampai - sampai sebuah klub khusus penggemar olahraga ini didirikan dengan nama Magelangsche Tennis Club (MTC). Lapangan tennis sendiri dulu pernah berdiri di sebelah Utara alun - alun, bersisisan dengan Watertoren sisi Timur. Dari foto ini bisa diketahui juga bahwa pagar kawat jaring pernah mengelilingi sisi lapangan tennis ini. 


Pada latar belakang objek foto nampak air mancur alun - alun (waterfontein) yang baru saja selesai diresmikan satu tahun sebelumnya  dalam acara Gewestelijke Tentoonsteling. Tuan J.M.J van Eyck lah sosok yang paling berjasa dalam realisasi pembangunan air mancur ini. Di kejauhan juga nampak jajaran pohon beringin yang mengitari alun-alun yang dibelakangnya nampak juga gedung utama sekolah pendidikan bagi para pangreh praja (Opleiding School Voor Indlandsche Ambtenaren / OSVIA) Magelang.


Foto ini sendiri diperkirakan diambil pada pagi hari sekitar pukul 08.00 yang bisa dibuktikan dengan letak bayangan yang rendah dibawah kaki kursi wasit yang jatuh ke arah Barat. 


Memang tidak banyak informasi lain yang bisa digali dari selembar foto tua ini. Pun, setidaknya dari sini kita bisa melihat bagaimana kondisi alun-alun Magelang pada tahun 1925. 


- Chandra Gusta Wisnuwardana -




27 August 2022

Usman dan Harun, Marinir Indonesia yang Digantung di Singapura

 Usman dan Harun, Marinir Indonesia yang Digantung di Singapura


Tanggal 18 Maret 1943, Usman Janatin lahir di dusun kecil di Purbalingga, Jawa Tengah. Haji Muhammad Ali Hasan, sang ayah, tentunya tidak pernah mengira anak lelakinya itu kelak menutup mata pada usia yang masih sangat muda. Ya, itulah yang memang kemudian terjadi. Usman tewas di tiang gantungan negeri tetangga saat umurnya belum beranjak dari angka 25 tahun.


Kisah sedih sekaligus miris tersebut bermula dari tahun 1962. Usman yang baru saja lulus sekolah menengah atas langsung mendaftarkan diri ke TNI. Ia ingin menjadi marinir. Tanggal 1 Juni 1962, impian Usman menjadi kenyataan, ia diterima sebagai anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu.


Tahun 1962 itu, Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu, sebutan untuk Malaysia sebelum negeri jiran itu resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.


Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia rupanya tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam, yang terletak di Pulau Borneo alias Kalimantan bagian utara, berdampingan dengan wilayah NKRI.


Menurut Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris (Hellwig & Tagliacozzo, The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, 2009:345).


Sang penyambung lidah rakyat Indonesia itu pun dengan lantang menyerukan gerakan Ganyang Malaysia. Dan nantinya, Usman bakal memainkan peran yang sangat penting.


Bikin Gempar di Negeri Singa

Seruan Ganyang Malaysia atas nama martabat bangsa yang dilantangkan Sukarno tak pelak membuat darah muda Usman Janatin bergolak. Meski belum lama diterima menjadi marinir di KKO, Usman sudah berani mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk dilibatkan dalam operasi militer Komando Mandala Siaga.


Operasi militer itu dipimpin oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara Omar Dhani yang ditunjuk langsung Presiden Sukarno untuk menggantikan Soerjadi Soerjadarma (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013). TNI saat itu membutuhkan 3 sukarelawan. Selain Usman Janatin, ada pula Harun Thohir dan Gani bin Arup.


Tanggal 8 Maret 1965, ketiga sukarelawan tersebut diberikan misi penting, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura. Dari ketiganya, Usman Janatin yang dipilih sebagai komandan (Sri Sutjiatiningsih & Soejanto, Harun, 1982:28). Singapura saat itu menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.


Tugas Usman, Harun, dan Gani sebenarnya adalah memantik ricuh di Singapura dengan mengeksploitasikan perbedaan ras serta merusak instalasi-instalasi penting. Singapura yang dihuni oleh banyak orang keturunan Cina memang berpotensi tinggi menuai konflik jika dibenturkan dengan ras Melayu yang menjadi penduduk asli di sebagian besar wilayah Malaysia.


Berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiganya diperintahkan untuk meledakkan sebuah rumah tenaga listrik. Namun, yang dibom ternyata bukan target semula, melainkan gedung Hong Kong and Shanghai Bank atau MacDonald House di Orchard Road, Central Area, Singapura (Gretchen Liu, The Singapore Foreign Service, 2005:83).


Tanggal 10 Maret 1965 menjelang petang, bangunan di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil itu berguncang hebat. Letusan besar yang berasal dari sebuah tas travel meluluhlantakkan gedung bank yang dibangun sejak 1949 tersebut. Saking hebatnya ledakan itu, semua mobil yang diparkir di halaman gedung turut hancur, juga gedung-gedung lain di sekitarnya.


Tercatat, 3 orang tewas dan tidak kurang dari 33 orang lainnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun ringan (The Fight Against Terror, 2004:19). Korban tewas adalah dua wanita pegawai Hong Kong and Shanghai Bank, Elizabeth Choo (36 tahun) dan Juliet Goh (23 tahun), serta seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun).


Sempat melarikan diri, Usman dan Harun tertangkap tiga hari setelah insiden tersebut terjadi, sementara Gani entah bagaimana caranya berhasil lolos. Usman dan Harun pun diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati.


Garis Tipis Pahlawan Atau Teroris

Bulan-bulan terakhir di tahun 1965 itu, Indonesia sedang diterpa polemik usai terjadinya Gerakan 30 September. Hingga akhirnya, Presiden Sukarno harus merelakan posisinya diambil-alih oleh Soeharto yang sekaligus menandai bergantinya rezim kekuasaan di Indonesia.


Ketika Indonesia sedang sibuk mengurusi guncangan di dalam negeri, Usman Janatin dan Harun Thohir harus menghadapi pengadilan setelah 8 bulan ditahan. Pada 4 Oktober 1964, keduanya dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura dengan dakwaan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.


Di persidangan, baik Usman maupun Harun menolak dakwaan tersebut. Keduanya beralasan, aksi tersebut bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan suatu tindakan yang memang harus dilakukan karena dalam situasi perang. Usman dan Harun pun meminta kepada sidang agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.


Infografik Usman Janatin


Tanggal 15 Oktober 1965, pemerintah Indonesia mengirimkan utusan ke Singapura untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun (Pahlawan Nasional Usman bin Haji Muhamad Ali alias Janatin, 1980:43). Namun, usaha tersebut gagal dan 5 hari berselang, keduanya dijatuhi vonis berat berupa hukuman mati.


Upaya demi upaya dilakukan agar Usman dan Harun bisa terhindar dari maut. Namun, hingga asa terakhir dengan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak, tetap saja tidak membuahkan hasil. Bahkan, permintaan pemerintah Indonesia yang berharap Usman dan Harun bisa dipertemukan dengan keluarga sebelum hukuman mati dilaksanakan, juga tidak dikabulkan.


Dan akhirnya, hari eksekusi datang juga. Pada jam 06.00 pagi waktu Singapura, tanggal 17 Oktober 1968, tepat hari ini 50 tahun lalu, Usman dan Harun dihukum gantung di Penjara Changi. Siang harinya, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.


Ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta mengiringi pemakaman Usman dan Harun dengan rasa duka yang mendalam. Keduanya pun dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bahkan, nama Usman-Harun diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.


Bagi sebagian rakyat Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir barangkali dianggap sebagai pahlawan kusuma bangsa. Namun, label teroris tetap saja sangat sulit untuk diingkari atas aksi nir kemanusiaan yang telah mereka lakukan, sekalipun atas nama perang.


Sumber referensi


- Iswara N Raditya, "Usman dan Harun, Marinir Indonesia yang Digantung di Singapura edited by Ivan Aulia Ahsan: Tirto id. Web: https://tirto.id/usman-dan-harun-marinir-indonesia-yang-digantung-di-singapura-ck1m


~Rahmat




SUPRIYADI - PETA

 SUPRIYADI - 1


Supriyadi lahir di Trenggalek, Jawa Timur, Hindia Belanda. Ia adalah putra sulung dari keluarga bangsawan Bupati Blitar, Raden Darmadi dan ibunya Rahayu yang memiliki gelar bangsawan Raden. Pada saat kelahiran putra sulungnya, R. Darmadi menduduki suatu jabatan di pemerintahan Kabupaten Blitar, yang pada waktu itu termasuk wilayah Trenggalek. Ketika Supriyadi berusia dua tahun, ibunya meninggal karena keguguran. Setahun kemudian, R. Darmadi menikah lagi dengan seorang wanita bernama Susilih, yang melahirkan sebelas anak.


Setelah kematian ibu Supriyadi, kakeknya (ayah Rahayu) memainkan peran penting dalam pengasuhan Supriyadi. Supriyadi memilih hidup dengan kakeknya. Sang Kakek menggemblengnya siang malam secara lahir batin. Kerapkali, untuk merasakan penderitaan rakyat kecil, Supriyadi diperintahkan tidur di depan halaman rumah, berselimutkan bintang-bintang di langit, hanya beralaskan tikar pandan . Pada saat yang sama, hubungan saling percaya antara ibu tiri Supriyadi dan dirinya akhirnya terjalin dari waktu ke waktu. Ketika ia dewasa dan mulai hidup terpisah dari keluarganya, ia memelihara korespondensi dengan ibu tirinya, dimana ia berbagi banyak rencana dan impian dengannya.


Supriyadi menerima pendidikan yang sangat baik untuk orang Indonesia pada tahun-tahun itu. Ia menamatkan sekolah dasar Belanda untuk penduduk asli (Europeesche Lagere School) dan melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs. Ia kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja yang berada di Magelang. Namun, Jepang menyerbu Hindia Belanda sebelum ia lulus yang mengakibatkan studi terakhirnya terganggu. Namun pada tahun berikutnya, Supriyadi akhirnya dapat menyelesaikan pendidikannya dengan mengikuti pelatihan Seimendoyo yang diselenggarakan oleh administrasi pendudukan di Tangerang, Banten. seangkatan dengan Zulkifli Lubis dan Kemal Idris. Setelah itu, ia mengikuti pelatihan instruktur PETA di Bogor. 



Potret seorang wanita Jawa sedang menggendong anaknya dengan selendang, di Suriname Ca 1920

 Potret seorang wanita Jawa sedang menggendong anaknya dengan selendang, di Suriname, Ca.1920

-----

Sumber Foto 📸 : Augusta Curiel/Wereldculturen.

Oleh : @potret.sejarahindonesia




Potret studio seorang wanita muda dengan putranya dari Yogyakarta, Hindia-Belanda, Ca.1900

 Potret studio seorang wanita muda dengan putranya dari Yogyakarta, Hindia-Belanda, Ca.1900

-----

Sumber Foto 📸 : K. Chepas

Oleh : @potret.sejarahindonesia




26 August 2022

Polisi dengan Seorang Tahanan pada Tahun 1880

 Polisi dengan seorang tahanan pada tahun 1880.


Pada masa kolonial Belanda, pembentukan pasukan keamanan diawali oleh pembentukan pasukan-pasukan jaga yang diambil dari orang-orang pribumi untuk menjaga aset dan kekayaan orang-orang Eropa di Hindia Belanda pada waktu itu.


Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan), stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.


#sejarah bali

📸 Leiden University




Agresi Militer Belanda 2 - 20 Desember 1948

 Sebuah foto tanpa keterangan lokasi, hanya tercatat tanggal 20 Desember 1948. Satu hari setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke-dua. 


Seorang pemuda ditahan oleh pasukan Belanda dengan todongan senjata "Lee Enfield". Wajahnya tidak menampakkan ketakutan, meskipun kedua tangannya diangkat. Tidak ada keterangan juga apakah pemuda ini pejuang atau bukan.


Tetapi, Belanda sering sekali menganggap siapapun pemuda Indonesia saat itu sebagai pejuang Republik. Meskipun pemuda tersebut hanyalah pemuda desa biasa, sudah pasti bakalan diperiksa dan ditahan. Bahkan bisa saja pemuda tersebut ditembak mati tanpa pemeriksaan terlebih dahulu. (Cerita ini berdasarkan kesaksian para Veteran yang pernah saya wawancarai).

.

Sumber : Dienst voor Legercontacten Indonesië




Kerajaan Banam

 CIKAL BAKAL KERAJAAN BANAM


Kerajaan Amanuban (Banam) adalah sebuah kerajaan yang terletak di pulau Timor bagian barat, wilayah Indonesia. Di era, kemerdekaan Kerajaan Amanuban bersama Kerajaan Molo (Oenam) dan Kerajaan Amanatun (Onam) membentuk Kabupaten Timor Tengah Selatan (dalam bahasa Belanda disebut Zuid Midden Timor) di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan ibu kota SoE.


Kerajaan Amanuban (Banam) diawali dengan kehadiran Olak Mali, leluhur Raja Nope, dengan istrinya di Gunung Tunbes. Olak Mali mempunyai pengetahuan, kemampuan, dan kekuatan untuk memengaruhi suku-suku yang berada di Gunung Tunbes seperti Nuban, Tenis, Asbanu, Nomnafa untuk mengakuinya sebagai penguasanya. (Norholt,1971).


Dengan kemampuan yang dimiliki oleh Olak Mali dan isterinya yang mampu meyakinkan suku-suku (tsepe) primitif seperti Nuban, Tenis, Asbanu, dan Nubatonis ( Si Nuban yang suka Natoni) di Gunung Tunbes bahwa dia (Olak Mali) adalah penguasa dan Pemimpin Amanuban ( Raja atau Usif). Hal ini dibuktikannya kepada Nubatonis dengan beberapa bukti seperti menanam pohon pisang, menanam tebu, api unggun, memanggil bumi. 'Koe bako mese ma tib mese' sebagai pengesahan pemilihan di Gunung Tunbes, pil nam Tunbes.


Empat kelompok suku yang hidup bermasyarakat di Gunung Tunbes bersama para amaf lain kemudian mengukuhkan Olak Mali menjadi Raja Amanuban ( Banam ) sekaligus peristiwa ini merupakan cikal bakal terbentuknya Kerajaan Amanuban. Bukti fisik yang ada hingga saat ini menunjukkan kehebatan Olak Mali sebagai Raja Amanuban pertama yang mampu menata kehidupan sosial, kemasyarakatan, dan pemukiman masyarakat Tubes secara baik dan teratur. Posisi istana (sonaf) Raja Nope yang berada di tengah dengan pagar batu kokoh sebagai inti (core) yang kemudian dikelilingi dengan pemukiman kelompok suku-suku seperti Tenis, Nuban, Asbanu, Nubatonis, dan Nomnafa menunjukan bahwa istana (sonaf) raja Nope di Gunung Tunbes ini adalah kerajaan Amanuban itu sendiri. Raja Nope di Banam yakni nun ana banam ma let ana banam untuk aman turun temurun on oof ma bilu, he nah sis fafi nalali, he nah mak ane nalali.


Daerah Tunbes sesuai pembagiannya terdiri dari Mnela Ooh ( keempat suku di Tunbes), Kekan ( kawasan lindung), kandang kerbau, Istana (sonaf) dan tempat kuburan raja.Ada empat raja yang dimakamkan di Tunbes.


Awal mula kerajaan Amanuban dipercayai oleh masyarakat karena kerajaan ini memiliki hubungan dengan kerajaan Amanatun dan kerajaan Amarasi, ketiga kerajaan ini dianggap berasal dari tiga orang bersaudara.



25 August 2022

Sejarah Magelang - Harto Sahabat Karib

 HARTO SAHABAT KARIB 


Oleh : Dedy Soeprijadi 


Di Magelang dahulu saya punya teman bernama Soeharto. Biasa saya panggil dengan Harto.

Kalau berbicara gayanya agak cepat .

Rambutnya kaku tegak dan di pipinya ada bintik-bintik hitam yang menjadi ciri khasnya.


Harto tinggal di Sambung

Kala itu Sambung baru saja dibangun perumahan untuk anggota Armed.

Ayah Harto memang seorang anggota Armed.

Hanya harap mengerti itu adalah ayah tiri karena ayah Harto yang sesungguhnya telah meninggal.


Dari ayah yang baru ini Harto punya adik yang baru juga. Tetapi yang jelas memang ibu nya masih muda dan boleh dikata menawan.


 Harto adalah teman karib.

Saya sering diajaknya menginap di rumahnya.

Oleh ayah tiri-nya Harto diberi kamar khusus untuk dia seorang. 

Ada tempat tidur bertingkat yang di alas dengan sprei bersih dan lantai yang selalu bersih cemerlang.

Harto sendiri yang mengepel kamarnya setiap hari

Walau lantai itu dari ubin PC tapi Harto sangat apik dalam membersihkannya.

Kala itu perumahan Armed di- Sambung baru saja dibuka sehingga di kiri kanan perumahan itu masih banyak ladang-ladang kepunyaan rakyat 

Biasanya pulang sekolah berjalan kaki melewati ladang-ladang itu.

Kalau perut lapar kami berdua sering membongkar ladang-ladang itu untuk mencari ubi dan kemudian kami makan mentah-2 sambil berjalan.

Seperti diketahui dari Poncol di mana sekolah kami berada biasanya kami berjalan kaki pulang ke Sambung.


Harto sering mengajak saya untuk menyambangi Setiawati. 

Setiawati tinggal di Plengkung.

Setiawati yang berlesung Pipit dengan rambut ekor kuda itu sangat manis sekali kalau tertawa.

Harto tergila-gila sekali kepada Setiawati.

Saya sering diajaknya sebab Harto sangat takut kalau diketahui ayah Setiawati.

Maklum saja anak SMP pasti masih dianggap masih bocah.

Sebab di sekolah Harto juga takut-takut mendekati Setiawati karena Guru sering memarahinya.


Percintaan antara Harto dan Setiawati mencapai puncaknya pada saat Harto berhasil mengajak Setiawati nonton bioskop bersama.

Mau tidak mau saya juga harus ikut nonton sebab nonton berdua merupakan hal yang terlarang waktu itu.


Kami berpisah ketika Harto mengikut orang tuanya pindah ke Tegal . Kemudian kami berulang-ulang bersurat-suratan.

Itu bertahan beberapa tahun.

Surat terakhir yang saya terima dari Harto ialah ketika Ia menceritakan kerusuhan anti cina di Kota Tegal pada tahun 1963.


Pada tahun 60-an persahabatan sudah mirip dengan persaudaraan . Maka ketika Harto berpindah ke kota Tegal ada perasaan kehilangan yang sangat.

Kala itu yang dikatakan sahabat karib adalah segala-galanya di dalam hidup. Karena kepada sahabat karib kita bercerita seluruh kehidupan kita apa adanya.


Lalu bagaimana dengan Setiawati?

Tentu saja Setiawati tetap tinggal di Magelang.

Walau iya cantik dan menawan tetapi sebagai sahabat karib Harto saya tidak akan menghianatinya untuk kemudian juga mencintai Setiawati.


Pada tahun 60-an persahabatan sangat dijunjung tinggi. Bahkan sampai kedua orang tua bisa saling mengenal.

Sejak tahun 1962 kami sudah berpisah dan tidak pernah berjumpa lagi hingga saat ini.

Sebab saat itu tidak ada telepon genggam apalagi internet.


Harto  menjadi sejarah dalam hidup saya bersama Kota Magelang yang indah dan tentram.



Soeharto

 SOEHARTO - 1


Soeharto tidak seperti anak desa lainnya yang harus bekerja di sawah. Dalam usia yang sangat muda, ia disekolahkan oleh Kertosudiro. Tidak ada berita-berita mengenai masa Soeharto di Sekolah Rakyat (setingkat SD). Kesan Soeharto pada masa SD itu hanya pada ingatannya tentang kerbau-kerbaunya. Dunia Soeharto hanya berkutat pada penggembalaan kerbau, jauh dari cerita-cerita anak yang didapat dari buku-buku yang kerap dibaca anak-anak SD. Hal ini berbeda misalnya dengan cerita Soekarno sewaktu dia masih di SD yang banyak berkisah tentang masa sekolahnya dan apa yang dibacanya, begitu juga dengan Hatta dan Sjahrir yang sejak kecil sudah akrab dengan Karl May atau cerita dari novel-novel Charles Dickens.


Masa kecil Soeharto begitu banyak menyimpan kenangan pahit. Bukan hanya pahit, tapi juga menyakitkan hatinya. Seperti yang dialaminya saat SD, Soeharto kerap menjadi korban perundungan dari kawan-kawannya. Kelak, walau sudah berpuluh-puluh tahun perundungan itu masih terekam dikepalanya. Seperti, ejekan "Den Bagus tahi mabul! Den Bagus tahi mabul" dan "Harto sirah gede!". Hal tersebut membuat Soeharto kecil dikenal sebagai siswa yang sangat pendiam dan tertutup, bahkan paling pendiam diantara kawan-kawan sekolahnya pada kala itu. Selain dengan kawan-kawannya, kenangan menyakitkan juga ia alami dengan buyutnya, Mbah Notosudiro yang memperlakukan Soeharto kecil berbeda dari saudara-saudaranya yang lain. Kenangan pahit dan menyakitkan yang dialami Soeharto kecil, membuatnya bertekad keras untuk menjadi orang yang kaya dan berkedudukan tinggi dikemudian hari. 


Ketika semakin besar, Soeharto tinggal bersama kakeknya, Mbah Atmosudiro, ayah dari ibunya. Soeharto sekolah ketika berusia delapan tahun, tetapi sering berpindah. Semula disekolahkan di Sekolah Dasar (SD) di Desa Puluhan, Godean. Lalu, pindah ke SD Pedes (Yogyakarta) lantaran ibu dan ayah tirinya, Pramono, pindah rumah ke Kemusuk Kidul. Kertosudiro kemudian memindahkan Soeharto ke Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Soeharto dititipkan di rumah bibinya yang menikah dengan seorang mantri tani bernama Prawirowihardjo. Soeharto diterima sebagai putra paling tua dan diperlakukan sama dengan putra-putri Prawirowihardjo. Soeharto kemudian disekolahkan dan menekuni semua pelajaran, terutama berhitung. Dia juga mendapat pendidikan agama yang cukup kuat dari keluarga bibinya.


Kegemaran bertani tumbuh selama Soeharto menetap di Wuryantoro. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian. Sepulang sekolah, Soeharto belajar mengaji di langgar bersama teman-temannya, bahkan dilakukan sampai semalam suntuk. Ia juga aktif di kepanduan Hizbul Wathan dan mulai mengenal para pahlawan seperti Raden Ajeng Kartini dan Pangeran Diponegoro dari sebuah koran yang sampai ke desa. Setamat Sekolah Rendah (SR) empat tahun, Soeharto disekolahkan oleh orang tuanya ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Setelah berusia 14 tahun, Soeharto tinggal di rumah Hardjowijono. Hardjowijono adalah teman ayahnya yang merupakan pensiunan pegawai kereta api. Hardjowijono juga seorang pengikut setia Kiai Darjatmo, tokoh agama terkemuka di Wonogiri waktu itu.


Karena sering diajak, Soeharto sering membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional untuk mengobati orang sakit. Pada tahun 1935 Soeharto kembali ke kampung asalnya, Kemusuk, untuk melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Muhammadiyah di Yogyakarta. Itu dilakukannya karena di sekolah itu siswanya boleh mengenakan sarung dan tanpa memakai alas kaki (sepatu).


Setamat SMP pada tahun 1938, Soeharto sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Apa daya, ayah dan keluarganya yang lain tidak mampu membiayai karena kondisi ekonomi. Soeharto pun berusaha mencari pekerjaan ke sana ke mari, tetapi gagal. Ia kembali ke rumah bibinya di Wuryantoro. Di sana, ia diterima sebagai pembantu klerek pada sebuah Bank Desa (Volk-bank). Tidak lama kemudian, dia meminta berhenti. Setelah itu, lebih dari 2 tahun lamanya Soeharto kembali menganggur. Hari-harinya diisi dengan kegiatan gotong-royong, membantu keluarga dan sesekali bekerja serabutan. Ia terus mencoba untuk melamar berbagai pekerjaan, namun selalu gagal.


Suatu hari pada tahun 1940, Soeharto membaca pengumuman penerimaan anggota Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL). KNIL adalah tentara kerajaan Belanda. Ia mendaftarkan diri dan diterima menjadi tentara. Waktu itu, ia hanya sempat bertugas tujuh hari dengan pangkat sersan karena Belanda menyerah kepada Jepang. Sersan Soeharto kemudian pulang ke Dusun Kemusuk. Justru di sinilah, karier militernya dimulai. 



24 August 2022

Pemakaman Etnis Sejarah Magelang - Tionghoa Gremeng Magelang

 PEMAKAMAN ETNIS TIONGHOA GREMENG MAGELANG


Bong atau pemakaman etnis Tionghoa ini, terletak di perbukitan Gremeng, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.


Pemakaman Gremeng nampak begitu jelas terlihat dari pinggir Jalan Raya Magelang-Yogyakarta, karena letaknya di daerah perbukitan.


Tiap tahunnya, tercatat ribuan orang datang berziarah. Mulai dari daerah sekitar, luar daerah, bahkan orang-orang dari luar negeri pun turut datang berziarah ke makam leluhurnya disini, seperti Amerika, Singapura, dan China.


Referensi: borobudurnews


📷: Guus Hotter


#magelang #pemakaman #JendelaJatengDIY




Foto klasik renovasi sebuah Rumah Gadang di Kec. Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sekitar tahun 1895

 Foto klasik renovasi sebuah Rumah Gadang di Kec. Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, sekitar tahun 1895.

Kelihatan sebuah Rumah Gadang yang sudah roboh diperbaiki kembali. Beberapa orang kelihatan duduk mamak dan kemenakan.

Yang berdiri agak terpencil dengan pakaian adat yang cukup lengkap mungkin seorang mamak kepala waris. 

-----

Sumber Foto 📸 : Tropenmuseum, Amsterdam

Oleh : @potret.sejarahindonesia




Mr KRMT Wongsonegoro

 Mr KRMT Wongsonegoro

Oleh : Johanes Christiono

Masyarakat Semarang dewasa ini akrab dengan nama Rumah Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro  di Ketileng. Namun sejatinya tokoh ini sudah sejak lama berkiprah di Semarang sejak masa perjuangan dulu. 


Kangjeng Raden Mas Tumenggung Wongsonegoro lahir di Solo pada 20 April 1897. Ia putra seorang abdi dalem masa Sri Sunan Paku Buwono  X. Ayahnya adalah R Ng Gitodiprojo dengan ibunda RA Soenartinah. Dari garis ibunda, disebutkan masih keturunan Sri Mangkunegoro II.


Masa kecilnya banyak berada dalam lingkungan adat budaya yang kuat. Nama kecilnya adalah RM Soenardi. Ia mengenyam Europesche Lagere School dan MULO. Lalu atas tugas Kraton Surakarta sekolah di Rechts School di Batavia hingga meraih gelar Meester in the Rechten. Ia pada masa-masa itu juga aktif dalam Budi Oetomo..


Tahun 1942 menjadi Bupati Sragen. Ia mendirikan organisasi seni Mardi Budaya. Bukan saja menampung peminat seni namun juga pecinta olah raga pencak silat. Dan adalah beliau yang kelak ikut membidani terbentuknya IPSI pada tahun 1948.


Namun pada masa pendudukan Jepang, Mr KRMT Wongsonegoro berperan penting di Semarang sebagai Fuku Syuutjookan atau Wakil Residen Semarang. Ketika itu ia membacakan pengumuman kemerdekaan Indonesia dan membaca naskah Proklamasi untuk kali pertama di Semarang. Ia juga yang kemudian ikut meredam pertempuran dengan Jepang. Pertempuran Lima Hari di Semarang tak berkepanjangan adalah juga karena ada peran Mr Wongsonegoro.


Ketika di Semarang itu tanpa banyak diketahui orang, bahkan belum disebutkan pada buku-buku sejarah,  ia pernah memimpin surat kabar Sinar Baroe, yang terbit di Semarang. Bahkan setelah Indonesia merdeka juga memimpin Warta Indonesia. 

Koran Sinar Baroe ini pula yang memuat maklumat proklamasi. Ini saya ketahui dari kliping dan tulisan tentang H Hetami yang kemudian memimpin Suara Merdeka tempat saya bergabung mulai 1981. 


Lalu pada beberapa bulan kemudian ia menjabat Gubernur Jawa Tengah. 

Masa-masa berikutnya ia banyak sibuk di Jakarta dalam pemerintahan pusat. Menjadi Menteri Kehakiman masa PM Natsir hingga 1950.

Pada tahun 1953-1955 ia adalah Wakil Perdana Menteri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. Sebelumnya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan . Ia juga bergabung dengan BPUPKI mewakili Surakarta.


Ia meninggal pada 4 Maret 1978 dan dimakamkan di Sukoharjo. 


Pada 17 Januari 2017 nama beliau diabadikan pada RSUD Ketileng. 

(J Christiono)



23 August 2022

Jenderal Soedirman - Revolusi Nasional

 REVOLUSI NASIONAL - 6


Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke Rumah Sakit Umum Panti Rapih dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa perang gerilya, yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November, dan persiapannya ditangani oleh Nasution. Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.


Meskipun ia terus mengeluarkan perintah, Soedirman baru kembali aktif bertugas pada tanggal 17 Desember. Seiring dengan semakin meningkatnya ketegangan antara tentara Indonesia dan Belanda, ia memerintahkan TNI untuk meningkatkan kewaspadaan, ia juga memerintahkan latihan militer skala besar dalam upayanya – yang gagal – untuk meyakinkan Belanda bahwa TNI terlalu kuat untuk diserang. Dua hari kemudian, diumumkan bahwa mereka tak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. 


Pada 19 Desember, Belanda melancarkan Agresi Militer Kedua untuk merebut ibu kota Yogyakarta. Pukul 07.00 Waktu Indonesia Barat, lapangan udara di Maguwo berhasil diambil alih oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten Eekhout. Soedirman, yang telah menyadari serangan itu, memerintahkan stasiun RRI untuk menyiarkan pernyataan bahwa para tentara harus melawan karena mereka telah dilatih – sebagai gerilyawan.


Soedirman kemudian mengunjungi Istana Presiden di Yogyakarta, tempat para pemimpin pemerintahan sedang mendiskusikan ultimatum yang menyatakan bahwa kota itu akan diserbu kecuali para pemimpin menerima kekuasaan kolonial. Soedirman mendesak presiden dan wakil presiden agar meninggalkan kota dan berperang sebagai gerilyawan, namun sarannya ini ditolak. Meskipun dokter melarangnya, Soedirman mendapat izin dari Soekarno untuk bergabung dengan anak buahnya. Pemerintah pusat dievakuasi ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas desakan Sultan Hamengkubuwono IX, namun mereka tertangkap dan diasingkan.




Potret studio seorang pria Eropa sedang duduk di batu dinding sambil membawa tongkat sedangkan seorang pria pribumi duduk bersila dilantai di Jawa (?), Nederlands-Indië, sekitar tahun 1895

 Potret studio seorang pria Eropa sedang duduk di batu dinding sambil membawa tongkat sedangkan seorang pria pribumi duduk bersila dilantai di Jawa (?), Nederlands-Indië, sekitar tahun 1895

-----

Sumber Foto 📸 : Pretenkabinet Leiden - Taggesell, M.

Oleh : @potret.sejarahindonesia




Potret Istana Sultan Ternate, sekitar tahun 1915

 Potret Istana Sultan Ternate, sekitar tahun 1915.

-----

Sumber Foto 📸 : KITLV Leiden

Oleh : @potret.sejarahindonesia




22 August 2022

Suasana shopping Magelang di tahun 1970. Masih banyak becak mangkal di terminal serta tampak stasiun pasar

 Suasana shopping Magelang di tahun 1970. 

Masih banyak becak mangkal di terminal serta tampak stasiun pasar.


Oleh : Cahyono Edo Santosa


📷 : (Repost) Tutut Nurnaningsih




G.J. Resink Membongkar 350 Tahun Penjajahan Belanda

 Bagaimana G.J. Resink Membongkar Mitos 350 Tahun Penjajahan Belanda


Sebuah ramalan begitu populer di Indonesia pada akhir masa pendudukan Jepang. Nujum itu, yang dikeluarkan oleh Jayabaya, penguasa Kerajaan Kediri yang bertakhta pada abad ke-12, menyebutkan bahwa kekuasaan bangsa kulit putih yang menduduki Jawa akan digantikan bangsa kulit kuning bertubuh pendek hanya seumur jagung (3,5 bulan).


Ramalan tersebut tentu saja dengan mudah dikaitkan dengan berakhirnya masa kekuasaan panjang kolonialisme Belanda dan masa pendudukan Jepang yang hanya 3,5 tahun. Pada Agustus 1945, kala Jepang telang lunglai dihajar bom atom Amerika Serikat, rakyat Indonesia seakan-akan tengah menanti "kuasa ramalan" Jayabaya itu.


Nujum Jayabaya hadir bersama mitos historis berskala besar dalam sejarah kolonialisme Belanda di Nusantara. Mitos itu telah menjelma sebagai memori bawah sadar bahwa negeri ini dijajah Belanda selama 350 tahun.


Perdebatan mengenai durasi penjajahan Belanda tidak pernah benar-benar mendapatkan perhatian khusus dari para sejarawan sebelum G.J. Resink, ahli hukum internasional berdarah Belanda-Indonesia, mengangkat tema ini dalam karya monumentalnya, sebuah kumpulan tulisan bertajuk Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968).


Berbeda dengan pendekatan sejarah yang biasa dilakukan para sejarawan Barat kala itu, yang mengandalkan arsip-arsip "resmi" birokrasi kolonial, Resink membedah dokumen-dokumen hukum dan surat-surat perjanjian milik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hasil penelitiannya mengerucut pada kesimpulan bahwa Indonesia tidak dijajah Belanda selama tiga setengah Abad. Latar belakang keilmuannya membuat Resink berhasil memaparkan argumen mengenai hal ini lewat perspektif hukum internasional.


Negeri-negeri Merdeka di Hindia Belanda

Gertrudes Johannes Resink dilahirkan dari pasangan Thomas Gertrudes Johan Resink Sr. dan Annie J. Wilkens di Yogyakarta pada 1911. Pada mulanya ia mempelajari hukum konstitusi dan sempat menjadi guru besar mata kuliah hukum konstitusi di Universitas Indonesia antara 1947 (ketika masih bernama Universiteit van Indonesië) sampai 1976. Ia mengisi posisi yang ditinggalkan Profesor Logemann, akademisi yang juga Menteri Urusan Tanah Jajahan dalam kabinet Schermerhorn.


Resink juga dikenal sebagai sastrawan karena banyak menghasilkan karya literatur berupa sajak dan syair. Beberapa syairnya yang berbahasa Belanda bahkan sempat diterjemahkan ke bahasa Perancis dan bahasa Indonesia. Untuk urusan yang satu ini, Rob Nieuwenhuys, kritikus sastra Hindia Belanda, menganggap sajak-sajak Resink mengandung magis dan penuh dengan kepercayaan lama dari kebudayaan tempat ia tumbuh. Kumpulan sajaknya terbit dengan judul Kreeft en Steenbok (1963).


Kiprah Resink di dunia kesejarahan dimulai ketika ia meneliti aspek-aspek hukum internasional dan perjanjian perbatasan di wilayah Nusantara. Lewat penelitian itu ia mengkaji ulang beberapa argumen penting yang sudah diulas oleh para akademisi terdahulu.


Tradisi pembagian wilayah, misalnya, sudah dilakukan turun-temurun di Jawa dan pulau-pulau besar lainnya. Pembagian wilayah kerajaan Goa-Tallo juga tak mungkin bisa dilakukan tanpa kesadaran untuk memperjelas perbatasan wilayah. Begitupun yang terjadi pada masa Airlangga di Jawa. Perbatasan wilayah sudah dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi satu-satunya peninggalan mengenai demarkasi dari periode Hindu.


Ketika Hindia Belanda terbentuk pada awal abad ke-19, negara modern ini mewarisi seluruh aset dan urusan VOC lainnya di wilayah Nusantara. Relasi dagang dan politik yang telah dimulai di era VOC juga tetap dilanjutkan. Dokumen sejarah mencatat begitu banyak perjanjian dagang dan pengaturan wilayah kekuasaan dengan mendetail. Beruntung, VOC memiliki dokumen yang sangat lengkap dan rapi mengenai berbagai aspek penting kehidupan masyarakat.


Dokumen-dokumen itu ditemukan dan dipelajari oleh Resink. Dengan detail, ia membeberkan banyak dokumen yang ditulis oleh pihak-pihak yang secara jelas berdiri pada posisi terpisah dari otoritas VOC atau Hindia Belanda.


Salah satu dokumen Hukum Internasional yang menarik perhatiannya adalah masalah bajak laut. Pada 1876 Raja Belanda mengeluarkan dekrit yang mengatur masalah pemberantasan bajak laut. Masalah muncul ketika pengertian pembajakan hanya bisa diberlakukan jika terjadi di wilayah Hindia Belanda yang berupa tepi pantai, pelabuhan, dan muara-muara sungai yang berstatus "laut bebas".


Sementara itu pemerintah Hindia Belanda baru belakangan menyadari bahwa menuntut hak terhadap teritorial laut akan banyak membawa keuntungan bagi mereka. Jadilah mereka kalah jauh dari negara-negara kelautan kecil seperti Sulawesi Selatan, Bali, Riau, Jambi, dan lain-lain yang sudah lama mengandalkan laut sebagai sumber penghidupan.


Resink juga menjelaskan bahwa bendera yang menjadi penanda identitas kapal-kapal baru mendapat peraturan resmi pada 1881, ketika pemerintah mengharuskan bendera Belanda dikibarkan di darat dan di laut. Sebelumnya, para pelaut pribumi terbiasa mengibarkan benderanya masing-masing di laut bebas. Itu dimungkinkan karena wilayah kelautan Nusantara tak pernah seluruhnya jatuh ke dalam satu pemerintahan tunggal. Soal ini, John Butcher dalam artikel bertajuk "Resink revisited: A note on the territorial waters of the self-governing realms of the Netherlands Indies in the late 1800s" (2008) mencatat bahkan hingga 1910 banyak kekuasaan lokal yang "merdeka" dari cengkeraman politik pemerintah Belanda.


Bukti lain yang memperkuat pendapat Resink adalah Regeeringsreglement (peraturan tata pemerintahan) Pasal 25 tahun 1836. Aturan ini menyebutkan bahwa pemerintah Hindia Belanda berhak melakukan perjanjian internasional. Perjanjian ini banyak dibuat untuk mengatur secara jelas wilayah-wilayah yang dikenal dengan sebutan swapraja. Selanjutnya, Pasal 44 tahun 1854 menyatakan wilayah swapraja merupakan kerajaan merdeka yang terletak di dalam lingkungan Hindia Belanda.


Jelaslah, pada paruh kedua abad ke-19 ada sebagian wilayah di Hindia Belanda yang berdiri sendiri secara politis, bahkan secara ketatanegaraan.


Dalam pengantar untuk versi terjemahan Indonesia’s History Between the Myths dalam bahasa Indonesia, Bukan 350 Tahun Dijajah (2012), sejarawan A.B. Lapian menyimpulkan tiga jenis negeri yang memiliki pemerintahan sendiri dan terikat penuh ataupun sebagian dengan Belanda.


Pertama, negeri-negeri kecil yang mengakui Belanda sebagai souverein, yang berarti mereka memiliki sifat hukum internasional. Kedua, negeri-negeri yang mengadakan traktat dengan Belanda yaitu Sambas di Kalimantan dan tujuh negeri di Sulawesi Utara. Ketiga, negeri-negeri yang mengakui Belanda sebagai leenheer (bisa juga diartikan sebagai tuan tanah) tanpa mempersoalkan urusan kedaulatan.


Kesimpulan ini didukung kenyataan bahwa wilayah-wilayah seperti Sulawesi bagian selatan bahkan punya batas-batas geografis yang jelas untuk menandai wilayah. Perbatasan ini sudah sejak lama mereka buat untuk membagi-bagi wilayah kekuasaan raja-raja lokal. Pembagian wilayah ini bahkan diatur dengan detail dalam I La Galigo, sebuah manuskrip yang ditulis pada abad ke-13 hingga ke-15 berdasarkan tradisi oral. Ditambah lagi, ada begitu banyak orang Belanda yang menganggap negeri-negeri di luar daerah mereka menetap sebagai wilayah asing.


Pada 1936, ketika diwawancarai jurnalis Inggris Bruce Lockhart, Gubernur Jenderal Bonifacius Cornelis de Jonge mengeluarkan pernyataan yang gagah-gagahan tentang kekuasaan Belanda. Orang Belanda, katanya, sudah berkuasa di sini sejak 300 tahun lalu dan akan tetap di sini sampai 300 tahun ke depan. Jika yang dimaksudkan dengan “di sini" adalah seluruh wilayah Nusantara, maka, dari perspektif Resink, pernyataan itu keliru dua kali.


G.J. Resink mendapatkan hak untuk menjadi warga negara Indonesia secara resmi pada 1950. Sejak itu, hingga meninggal di Jakarta pada 4 September 1997, tepat hari ini 23 tahun lalu, ia mengisi hari-harinya memikirkan model historiografi yang ideal untuk Indonesia. Sebagai sejarawan "generasi pertama" Indonesia, ia juga turut merumuskan pemikiran tentang metode dan metodologi untuk menggali historiografi yang indonesiasentris. Tapi sumbangan terpentingnya bagi sejarah Indonesia adalah bantahannya terhadap mitos 3,5 abad Pax Neerlandica.


Sumber referensi 


Tirta, Tyson, : Bagaimana G.J. Resink Membongkar Mitos 350 Tahun Penjajahan Belanda . "Tirto.id. 4 Sep 2020 edited by Ivan Aulia Ahsan. Web: https://tirto.id/bagaimana-gj-resink-membongkar-mitos-350-tahun-penjajahan-belanda-f3sv 


- Indonesia’s History Between the Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (1968).


- Kumpulan sajaknya terbit dengan judul Kreeft en Steenbok (1963).


- John Butcher dalam artikel bertajuk "Resink revisited: A note on the territorial waters of the self-governing realms of the Netherlands Indies in the late 1800s" (2008) 


- Indonesia’s History Between the Myths dalam bahasa Indonesia, Bukan 350 Tahun Dijajah (2012), sejarawan A.B. Lapian


~Rahmat




21 August 2022

Potret pasukan Belanda menggunakan sebuah senapan mesin Vickers untuk menyerang para pejuang kemerdekaan pada saat Agresi Militer Belanda I di Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1946

 Potret pasukan Belanda menggunakan sebuah senapan mesin Vickers untuk menyerang para pejuang kemerdekaan pada saat Agresi Militer Belanda I di Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1946.

-----

Sumber Foto 📸 : Naitonaal Archief

Oleh : @potret.sejarahindonesia



Parade Militer Tahun 1948 di Jogjakarta

 Sumber Foto 📸 : Naitonaal Archief

Oleh : @potret.sejarahindonesia


#parademiliter 

#tniad

#pejuangkemerdekaan 

#yogyakarta 

#irsoekarno 

#potretsejarahindonesia



SK Trimurti

 Oleh : Liem Ang Ewoo

Suratri Karma Trimurti atau biasa disebut S K Trimurti merupakan istri dari Sayuti Melik, yang bertugas sebagai Juru ketik naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia.


Surastri Karma Trimurti lahir pada 11 Mei 1912 dan meninggal pada 20 Mei 2008. Dirinya berprofesi sebagai seorang wartawan dan juga guru.


Pernikahannya dengan Sayuti Melik mendapatkan dua orang anak laki-laki yaitu Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro. 

S. K Trimurti lahir di Desa Sawahan Boyolali Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Trimurti memiliki hubungan kekerabatan dengan Keraton Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah.


Ia terlahir dari seorang ibu bernama R.A. Saparinten dan ayahnya adalah seorang asisten wedana bernama R.Ng. Salim Banjaransari Mangunkusumo.


Trimurti diawal pendidikannya dirinya menempuh pendidikan di Normaal School dan AMS di Surakarta. Kemudian melanjutkan studi di Jurusan Ekonomi, Universitas Indonesia (UI). Trimurti akhirnya mendapatkan gelar Doktor dari UI.


S K Trimurti pernah menjadi Menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Syarifuddin I dan Kabinet Amir Syarifuddin II.Nama SK Trimurti tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dan punya tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Putri pasangan R Ngabehi Salim Banjaransari dan RA Saparinten binti Mangunbisomo yang dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, tanggal 11 Mei 1912, itu tertarik masuk ke dunia pergerakan setelah mendengarkan pidato-pidato Bung Karno.


Ia mengikuti kursus kader yang diadakan Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 setelah lulus dari Tweede Indlandche School atau Sekolah Ongko Loro dan sempat mengajar. Bu Tri menjadi pejuang militan, sampai dipenjarakan Belanda di Semarang tahun 1936 karena menyebarkan pamflet antipenjajah.


Ia kembali masuk penjara tahun 1939 karena tulisan-tulisannya di media massa dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Saat itu ia baru setahun menikah dengan Sayuti Melik, tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi, dan mengetik naskah proklamasi.


Anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman (meninggal tahun 2005), lahir dalam penjara. Bu Tri baru keluar dari penjara pada tahun 1943.


Dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.


Hubungan Bu Tri dengan Bung Karno terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Bu Tri dikenal antipoligami. Namun, sikap itu tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.


Tahun 1956 ia memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.


Bu Tri pernah mengalami peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Bu Tri. "Orang menyangka Ibu meninggal saat itu,". Bu Tri dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.


Sebagai mantan menteri, Bu Tri sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar dekat kampung. Bu Tri lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial. 


Bu Tri akhirnya meninggal dunia pada tanggal 20 Mei 2008 pukul 06.20, pada usia 96 tahun, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD), Jakarta setelah dirawat di rumah sakit selama dua minggu.










Hotel der Nederlanden di Rijswijk di Batavia 1922 - 1940

 Hotel der Nederlanden di Rijswijk di Batavia pada tahun 1922-1940 dan lokasi yang sama sekarang: Jalan Ir. H. Juanda di Jakarta. Bangunan tersebut dibongkar pada tahun 1969 dan diganti dengan kantor kepresidenan Bina Graha.⠀

Hotel der Nederlanden aan Rijswijk in Batavia in 1922-1940 en dezelfde locatie nu: Jalan Ir. H. Juanda in Jakarta. Het gebouw werd in 1969 gesloopt en vervangen door het presidentiële kantoor Bina Graha.⠀

Hotel der Nederlanden at Rijswijk in Batavia in 1922-1940 and the same location today: Jalan Ir. H. Juanda in Jakarta. The building was demolished in 1969 and was replaced with the Bina Graha presidential office.⠀

https://goo.gl/maps/vJCGyPQrAh2MHUPT9




Pasar Pisang/Jalan Kalibesar Timur III di Batavia/Jakarta tahun 1900-1940 dan sekarang

 Pasar Pisang/Jalan Kalibesar Timur III di Batavia/Jakarta tahun 1900-1940 dan sekarang.⠀

Pasar Pisang/Jalan Kalibesar Timur III in Batavia/Jakarta in 1900-1940 en heden.⠀

Pasar Pisang/Jalan Kalibesar Timur III in Batavia/Jakarta in 1900-1940 and present.



20 August 2022

Berita HW Terbitan Soerakarta Februari 1939

 Berita HW terbitan Soerakarta Februari.1939


“Nomer Djambore.” karena memuat berita tentang Jambore Kepandoean yang berhasil digelar di Soerakarta.  


Berita utama: “Hari Kemis sore tanggal 26 Januari jl Djambore HW Djawa Tengah jang ke I jang kita toenggoe-toenggoe soedah dimoelai dan bertempat di Partinituin Solo.” 

(taman milik Mangkunegoro VII atau kini disebut Taman Balekambang)


Di halaman 4, pengakuan peserta asal Moentilan: “Basah koejoep badan kita bersama? Tapi apa jang kita takoetkan? Menggigil gigi kita karena dingin. Tapi ta’ mendjadi apa, karena kita seorang … nan setia!” 


Iklan Jam tangan yang bunyinya :

“Sekarang poekoel berapa? Seorang anak pandoe ta’ mengerti? Djikalau begitoe, belilah polshorlege jang speciaal boeat pandoe, jang sangat koeat, schokproef, dan ta’ dapat petjah.” 


Benda itu bisa dibeli di toko Persatoean, beralamat di Keprabon, Solo. 


Juga iklan Toko legendaris :Toko Oen

"Kapan lapar melanda di kegiatan kepandoean?

 “Siapa jang beloem kenal, kita silahkan tjoba, kita poenja roti klapa dan roti kismis bisa disimpen minggoean, rasanja tidak berobah.” 


Artikel penuh kepanduan Indonesia


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=741286203872451&id=100039732349106






Potret dua wanita dari suku Karo (Batak Karo) sedang berpose di depan lumbung padi di Sumatra Utara, Nederlands-Indië, sekitar tahun 1883-1918

 Potret dua wanita dari suku Karo (Batak Karo) sedang berpose di depan lumbung padi di Sumatra Utara, Nederlands-Indië, sekitar tahun 1883-1918

-----

Sumber Foto 📸 : Nederlands Fotomuseum

Oleh : @potret.sejarahindonesia




Potret penjual beras di pasar Fort de Kock/Bukittinggi, Sumatera Barat, sekitar tahun 1933

 Potret penjual beras di pasar Fort de Kock/Bukittinggi, Sumatera Barat, sekitar tahun 1933.

-----

Sumber Foto 📸 : Mansum, C.J. van.

Oleh : @potret.sejarahindonesia



Sejarah Magelang - Sport Handel Tiong Hwa Magelang

 Sport Handel Tiong Hwa Magelang

Oleh : Chandra Gusta Wisnuwardhana

Benda yang berbentuk seperti lionton / medali bertuliskan "SPORT HANDEL TIONG HWA MAGELANG" ini berbentuk perisai atau tameng serta memiliki ukuran yang cukup kecil. Benda ini hanya berukuran lebar 2 cm dan panjang 3 cm. Lionton atau medali ini diwarnai dengan 3 warna utama yaitu emas untuk dasaran serta merah, biru dan hitam untuk warna sosok pemain sepak bola. Tidak ada banyak informasi yang bisa digali untuk sementara ini. Dari penelusuran singkat yang saya lakukan, kata-kata Sport Handel Tiong Hwa di Magelang sendiri bisa ditemukan dalam surat kabar harian de Locomotief terbitan Mei 1932 yang menyebutkan bahwa asosiasi atau organisasi atau toko Sporthandel Tiong Hwa turut serta dalam memeriahkan acara Tennis Wedstrijden (Turnamen Tenis) Panama-Ster-Wisselbeker yang mana Panama Ster sendiri adalah salah satu merek ceritu yang dibuat oleh Sigaren en Sigarettenfabriek Ko Kwat Ie en Zonnen. Dalam acara tersebut, Sporthandel Tiong Hwa turut memberikan hadiah berupa plakat bagi pemenang juara dua kompetisi tersebut.