04 April 2024

OPERASI TUMPES KELOR, KEKEJAMAN VOC BELANDA DALAM MENUMPAS KETURUNAN UNTUNG SUROPATI Setelah gugurnya Untung Suropati pada 5 November 1706, perjuangan Untung Surapati masih terus dilanjutkan oleh putra-putranya, Lembu Sura atau Raden Pengantin atas restu Sunan Mas (Amangkurat III) diangkat sebagai pemimpin untuk menggantikan ayahnya. Perjuangan pantang menyerah dari anak cucu Untung Suropati ini dirasakan sangat mengganggu kepentingan VOC di Pulau Jawa, untuk menghentikan perjuangan anak cucu Untung Suropati, VOC Belanda melakukan operasi Tumpes kelor yaitu sebuah operasi yang dilakukan VOC Belanda untuk menumpas keturunan dan anak cucu Untung Suropati secara keseluruhan, baik akar maupun batang. Operasi perburuan keturunan Surapati dilakukan hingga ke Ujung Timur Jawa. Ekspedisi militer Belanda yang dilakukan hingga ke Blambangan Ujung Timur Pulau Jawa ini bertujuan untuk menghabisi para keturunan Untung Surapati dan melenyapkan mereka dari percaturan politik di Pulau Jawa secara permanen. Alkisah tongkat estafet perjuangan melawan VOC Belanda terus dilanjutkan keturunan hingga ke anak cucu dan para pengikut Untung Suropati. Di Lumajang seorang cucu Untung Suropati yang bernama Raden Kartanegara memimpin daerah Lumajang. Seperti halnya kakeknya, Kartanagara juga sangat membenci kompeni Belanda. Bersama saudaranya Bupati Malang, Malayakusuma, Kartanagara memilih bersekutu dengan Pangeran Singasari, atau Prabujaka, anak Amangkurat IV (1719-1726) yang menolak pembagian kerajaan Jawa sesuai Perjanjian Giyanti. Karena usulan membelah kerajaan yang pada tahun 1755-1757 datangnya dari VOC Belanda. Akhirnya Pangeran Singasari tidak puas dan memilih keluar dari istana dan melakukan pemberontakan terhadap Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Sahid (Mangkunegara), dua saudaranya yang didukung oleh VOC Belanda. Raden Mas putranya ikut bergabung ke wilayah timur, untuk berkoalisi dengan Bupati Malang, Malayakusuma. Kolaborasi antara Pangeran Mataram, Singasari dengan keturunan Surapati membuat Belanda panik. Tidak hanya berhadapan dengan pasukan Pangeran Mataram, Pangeran Singasari. Belanda juga akan menghadapi kekuatan trah Surapati yang berkuasa di wilayah Lumajang, Malang, Antang (Ngantang) dan Porong. Gubernur Belanda di Semarang mengirimkan surat kepada Kartanegara melalui Bupati Banger (Sekarang Probolinggo) Raden Puspakusuma, VOC Belanda mencoba membujuk Kartanegara dan menyatakan bersedia melupakan masa lalu dan memberi ampunan atas seluruh pelanggaran yang pernah dilakukan kakek Kartanagara (Untung Surapati). Dengan janji akan diperlakukan dengan baik, Kartanagara juga diminta datang ke benteng Belanda di Pasuruan. Tapi Kartanegara menolak mentah mentah bujukan VOC Belanda. Melihat balasan tegas Kartanegara VOC Belanda murka. Surat kembali dikirim kali ini berisi ultimatum. Jika Kartanagara tidak segera datang ke Pasuruan, maka Lumajang, akan diserang. Mendapat ancaman VOC Belanda, Kartanegara bukannya gentar. Kartanagara justru bersumpah akan memerangi Kompeni jika mereka berani masuk ke wilayahnya. Kartanagara segera menyiapkan pasukan untuk menyambut serangan Kompeni Belanda. Barikade dan jebakan didirikan di sepanjang jalan menuju Lumajang. Para prajurit Lumajang juga diperintahkannya berpatroli di wilayah perbatasan Lumajang-Banger. Bahkan para prajurit Lumajang, menyerang pos terdepan VOC di Adiraga. Seketika itu juga Gubernur Belanda di Semarang, mengeluarkan instruksi menangkap Bupati Lumajang, Kartanagara hidup atau mati. Operasi militer besar-besaran mulai dilakukan. Melalui Gezaghebber Surabaya atau pimpinan tertinggi VOC di Surabaya, diutuslah Kapten Blanke, seorang komandan tentara Belanda di Blambangan untuk mengirim lebih banyak pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan orang Madura. Dengan mengerahkan kekuatan orang-orang Madura, Surabaya, dan tentara Eropa, VOC Belanda mulai membersihkan seluruh keturunan Untung Surapati beserta pengikutnya. Sedikitnya 57-an orang ditangkap. Mereka dibawa ke Semarang, untuk dipenjara. Dalam operasi militer besar-besaran itu, tidak sedikit keturunan Surapati yang tewas. Namun ada juga yang berhasil lolos. Khawatir dengan nasib saudaranya, Bupati Malang, Malayakusuma meminta Kartanagara mengungsi ke Malang. Patih Porong Natayuda, Kartayuda dari Panayungan dan orang Bali Wayan Kutang juga mengungsi ke Malang. Mereka semua adalah para pengikut Bupati Lumajang Kartanagara . Akhir Juni 1776. Belanda berhasil menduduki Lumajang , tanpa perlawanan berarti. Sebuah pos militer langsung didirikan. Sebanyak dua belas orang prajurit Eropa dan seratus pasukan dari Banger (Probolinggo) disiagakan untuk menjaga Lumajang. Operasi militer kemudian langsung diarahkan ke Kabupaten Malang, yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pemberontak. Belanda membuat sayembara. Siapapun yang mampu menangkap Pangeran Singasari dan putranya hidup atau mati dihadiahi 1.000 dollar Spanyol. Sedangkan kepala Bupati Malang, Malayakusuma dan keluarganya dibandrol 500 dollar Spanyol. Perang pun meletus. Malayakusuma mengerahkan 800 pasukan kavaleri yang dipimpin Tirtanagara, saudara termudanya. Mereka menjaga perbatasan Malang dan Lumajang di lereng gunung Semeru. Dalam serangan gerilya di kawasan Gunung Mandaraka, ratusan orang orang Madura dan Surabaya dari pihak Kompeni mati terbunuh. Catatan VOC menyebut Tirtanagara juga terluka. Pundaknya tertembak dan salah seorang anaknya tewas. Namun ia berhasil menyelamatkan diri dengan berkuda. Belanda yang sempat mundur kembali memperkuat pasukan dengan meminta kiriman 600 prajurit Madura dari Panembahan Madura. Kekuatan semakin tidak seimbang di pihak keturunan Untung Surapati . Setelah pertempuran di Gunung Mandaraka, Bupati Malang Malayakusuma beserta seluruh keluarganya meninggalkan Malang. Saudaranya, yakni Bupati Lumajang Kartanagara meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah tempat di sebelah selatan Gunung Semeru. Pasukan Belanda dengan mudah menguasai Malang. Kota Malang nyaris dalam kondisi kosong saat pasukan Kompeni tiba. Sementara Malayakusuma bersembunyi di Wulu Laras. Di tempat yang tidak jauh dari Malang itu ia berharap bisa bergabung dengan pasukan Pangeran Singasari dan Raden Mas, putranya. Kekuatan pasukan yang tidak seimbang membuat kekuatan kolaborasi keturunan Untung Surapati dan Pangeran Singasari kocar-kacir. Mereka terus dikejar-kejar oleh Kompeni Belanda. Sebanyak 186 prajurit Eropa, 500 orang Madura dan 1.600 prajurit Surabaya, Bangil, dan Pasuruan, dikerahkan Kapten Casper Ledowijk Tropponegro untuk memburu mereka. Pertempuran pecah di Rajegwesi (Sekarang Bojonegoro) yang membuat Raden Mas, putra Pangeran Singasari terpaksa harus keluar dari Rajegwesi. Bersama Pangeran Singasari , ayahnya Raden Mas bergeser ke wilayah selatan. Mereka berada di Samperak, utara Lodalem dan bergabung dengan pemberontak lain. Mereka berencana kembali ke Malang. Sementara Malayakusuma, dan Tirtanagara berada di Sambi Geger, barat daya Samperak. Belanda mengerahkan seluruh kekuatan dan sekutunya untuk mengepung dari segala sisi. Dari Srengat, pasukan koalisi Belanda menuju Blitar, berlanjut ke Selagurit untuk langsung menyerang lawan yang dalam posisi terjepit. Dari Kediri, Bupati Kediri juga menyiapkan pasukan, ikut memperkuat Belanda. Belum lagi tambahan pasukan dari Raja Mataram . Pertempuran antara Belanda dengan koalisi keturunan Untung Surapati dan Pangeran Singasari beserta Raden Mas anaknya, berlangsung hampir satu tahun. Pada 16 Juli 1768, Pangeran Singasari atau Parabujaka menyerah di Dapat, tenggara Lodalem, Kabupaten Malang. Pangeran asal Mataram yang menolak pembagian kerajaan itu ditangkap bersama istri, dua anak perempuan dan anak laki-lakinya yang masih kecil. Semua dibawa ke Semarang, dan tiba 5 Agustus 1768. Sementara Raden Mas, putranya yang besar berhasil melarikan diri bersama Tirtanagara. 30 hari setelah ayahnya ditangkap, Raden Mas yang terluka parah terkepung prajurit Kompeni di daerah Rawa (Sekarang Tulungagung). Ia memilih menyerahkan diri kepada prajurit Sultan Mataram, dan langsung dibawa ke Yogyakarta. Belanda membawa Raden Mas ke Semarang, untuk dijebloskan ke penjara . Sementara Pangeran Singasari dibawa ke Batavia bersama dua anak perempuannya serta seorang putra remajanya. Dengan tertangkapnya Pangeran Singasari dan putranya (Raden Mas), pengejaran Belanda terfokus kepada Bupati Malang, Malayakusuma. Perburuan dilakukan di sepanjang pesisir selatan. Sebab melalui telik sandi Belanda mendapat kabar cucu Untung Surapati tersebut hendak menuju Blambangan (Sekarang Banyuwangi). Malayakusuma bersama keluarganya yang sebagian besar wanita dan anak-anak terkepung di Sabak, dekat Lodalem. Malayakusuma menyerah dan dibawa menuju Malang. Di saat beristirahat di pinggir pantai. Malayakusuma tiba-tiba merebut sebatang tombak dan menusuk Kopral Smid Van Stam hingga tewas. Melihat itu, seorang pelayan prajurit Belanda sontak mencabut sebilah keris . Malayakusuma langsung ditikamnya. Cucu Untung Surapati itu pun gugur seketika. Dengan marah si pelayan melempar jasad Malayakusuma ke laut. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan dengan tawanan yang tersisa. Pada 16 November 1768. Tiba di Wanapala, dua anak Malayakusuma yang masih berusia muda dibunuh . Sedangkan enam wanita, satu anak dan seorang pelayan dikirim ke Surabaya. Sementara Tirtanagara, adik Malayakusuma yang termuda ditawan pasukan Kompeni di Antang (Sekarang Ngantang). Buntut dari pemberontakan Malang, dan Lumajang, para keturunan dan pengikut Surapati di Blambangan dan Malang terus diburu dan ditangkap. Hampir seluruh keturunan Untung Surapati dan keluarganya ditawan. Karena dianggap berbahaya, akhirnya mereka semua dijatuhi hukuman mati. Mereka yang selamat dalam pemberontakan Malang, dan Lumajang, bersembunyi di wilayah Sultan Mataram. Namun hal itu tidak bertahan lama, dua tahun kemudian atas perintah otoritas Belanda di Semarang, Sultan melakukan operasi penangkapan terhadap mereka yang teridentifikasi sebagai keturunan Untung Surapati yang terakhir yang berjumlah sekitar 21 orang. Demikianlah akhir cerita dari perjuangan Untung Suropati dan anak cucu serta keturunannya yang tidak pernah menyerah kepada VOC Belanda. Semoga bermanfaat. Disarikan dari beberapa sumber dan kitab Babad Tanah Jawi

 OPERASI TUMPES KELOR, KEKEJAMAN VOC BELANDA DALAM MENUMPAS KETURUNAN UNTUNG SUROPATI


Setelah gugurnya Untung Suropati pada 5 November 1706, perjuangan Untung Surapati masih terus dilanjutkan oleh putra-putranya, Lembu Sura atau Raden Pengantin atas restu Sunan Mas (Amangkurat III) diangkat sebagai pemimpin untuk menggantikan ayahnya.  Perjuangan pantang menyerah dari anak cucu Untung Suropati ini dirasakan sangat mengganggu kepentingan VOC di Pulau Jawa, untuk menghentikan perjuangan anak cucu Untung Suropati, VOC Belanda melakukan operasi Tumpes kelor yaitu sebuah operasi yang dilakukan VOC Belanda untuk menumpas keturunan dan anak cucu Untung Suropati secara keseluruhan, baik akar maupun batang. Operasi perburuan keturunan Surapati dilakukan hingga ke Ujung Timur Jawa. Ekspedisi militer Belanda yang dilakukan hingga ke Blambangan Ujung Timur Pulau Jawa ini bertujuan untuk menghabisi para keturunan Untung Surapati dan melenyapkan mereka dari percaturan politik di Pulau Jawa secara permanen.



Alkisah tongkat estafet perjuangan melawan VOC Belanda terus dilanjutkan keturunan hingga ke anak cucu dan para pengikut Untung Suropati. Di Lumajang seorang cucu Untung Suropati yang bernama Raden Kartanegara memimpin daerah Lumajang. Seperti halnya kakeknya, Kartanagara juga sangat membenci kompeni Belanda. Bersama saudaranya Bupati Malang, Malayakusuma, Kartanagara memilih bersekutu dengan Pangeran Singasari, atau Prabujaka, anak Amangkurat IV (1719-1726) yang menolak pembagian kerajaan Jawa sesuai Perjanjian Giyanti. Karena usulan membelah kerajaan yang pada tahun 1755-1757 datangnya dari VOC Belanda. Akhirnya Pangeran Singasari tidak puas dan memilih keluar dari istana dan melakukan pemberontakan terhadap Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Sahid (Mangkunegara), dua saudaranya yang didukung oleh VOC Belanda. Raden Mas putranya ikut bergabung ke wilayah timur, untuk berkoalisi dengan Bupati Malang, Malayakusuma. Kolaborasi antara Pangeran Mataram, Singasari dengan keturunan Surapati membuat Belanda panik. Tidak hanya berhadapan dengan pasukan Pangeran Mataram, Pangeran Singasari. Belanda juga akan menghadapi kekuatan trah Surapati yang berkuasa di wilayah Lumajang, Malang, Antang (Ngantang) dan Porong.


Gubernur Belanda di Semarang mengirimkan surat kepada Kartanegara melalui Bupati Banger (Sekarang Probolinggo) Raden Puspakusuma, VOC Belanda mencoba membujuk Kartanegara dan menyatakan bersedia melupakan masa lalu dan memberi ampunan atas seluruh pelanggaran yang pernah dilakukan kakek Kartanagara (Untung Surapati).


Dengan janji akan diperlakukan dengan baik, Kartanagara juga diminta datang ke benteng Belanda di Pasuruan. Tapi Kartanegara menolak mentah mentah bujukan VOC Belanda. Melihat balasan tegas Kartanegara VOC Belanda murka. Surat kembali dikirim kali ini berisi ultimatum. Jika Kartanagara tidak segera datang ke Pasuruan, maka Lumajang, akan diserang. Mendapat ancaman VOC Belanda, Kartanegara bukannya gentar. Kartanagara justru bersumpah akan memerangi Kompeni jika mereka berani masuk ke wilayahnya. Kartanagara segera menyiapkan pasukan untuk menyambut serangan Kompeni Belanda. Barikade dan jebakan didirikan di sepanjang jalan menuju Lumajang. Para prajurit Lumajang juga diperintahkannya berpatroli di wilayah perbatasan Lumajang-Banger. Bahkan para prajurit Lumajang, menyerang pos terdepan VOC di Adiraga. Seketika itu juga Gubernur Belanda di Semarang, mengeluarkan instruksi menangkap Bupati Lumajang, Kartanagara hidup atau mati.


Operasi militer besar-besaran mulai dilakukan. Melalui Gezaghebber Surabaya atau pimpinan tertinggi VOC di Surabaya, diutuslah Kapten Blanke, seorang komandan tentara Belanda di Blambangan untuk mengirim lebih banyak pasukan yang terdiri dari prajurit Eropa dan orang Madura. Dengan mengerahkan kekuatan orang-orang Madura, Surabaya, dan tentara Eropa, VOC Belanda mulai membersihkan seluruh keturunan Untung Surapati beserta pengikutnya. Sedikitnya 57-an orang ditangkap. Mereka dibawa ke Semarang, untuk dipenjara. Dalam operasi militer besar-besaran itu, tidak sedikit keturunan Surapati yang tewas. Namun ada juga yang berhasil lolos. Khawatir dengan nasib saudaranya, Bupati Malang, Malayakusuma meminta Kartanagara mengungsi ke Malang. Patih Porong Natayuda, Kartayuda dari Panayungan dan orang Bali Wayan Kutang juga mengungsi ke Malang. Mereka semua adalah para pengikut Bupati Lumajang Kartanagara . Akhir Juni 1776. Belanda berhasil menduduki Lumajang , tanpa perlawanan berarti. Sebuah pos militer langsung didirikan. Sebanyak dua belas orang prajurit Eropa dan seratus pasukan dari Banger (Probolinggo) disiagakan untuk menjaga Lumajang.


Operasi militer kemudian langsung diarahkan ke Kabupaten Malang, yang dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pemberontak. Belanda membuat sayembara. Siapapun yang mampu menangkap Pangeran Singasari dan putranya hidup atau mati dihadiahi 1.000 dollar Spanyol.


Sedangkan kepala Bupati Malang, Malayakusuma dan keluarganya dibandrol 500 dollar Spanyol. Perang pun meletus. Malayakusuma mengerahkan 800 pasukan kavaleri yang dipimpin Tirtanagara, saudara termudanya. Mereka menjaga perbatasan Malang dan Lumajang di lereng gunung Semeru. Dalam serangan gerilya di kawasan Gunung Mandaraka, ratusan orang orang Madura dan Surabaya dari pihak Kompeni mati terbunuh. Catatan VOC menyebut Tirtanagara juga terluka. Pundaknya tertembak dan salah seorang anaknya tewas. Namun ia berhasil menyelamatkan diri dengan berkuda.


Belanda yang sempat mundur kembali memperkuat pasukan dengan meminta kiriman 600 prajurit Madura dari Panembahan Madura. Kekuatan semakin tidak seimbang di pihak keturunan Untung Surapati . Setelah pertempuran di Gunung Mandaraka, Bupati Malang Malayakusuma beserta seluruh keluarganya meninggalkan Malang. Saudaranya, yakni Bupati Lumajang Kartanagara meninggal dunia dan dimakamkan di sebuah tempat di sebelah selatan Gunung Semeru. Pasukan Belanda dengan mudah menguasai Malang. Kota Malang nyaris dalam kondisi kosong saat pasukan Kompeni tiba. Sementara Malayakusuma bersembunyi di Wulu Laras. Di tempat yang tidak jauh dari Malang itu ia berharap bisa bergabung dengan pasukan Pangeran Singasari dan Raden Mas, putranya. Kekuatan pasukan yang tidak seimbang membuat kekuatan kolaborasi keturunan Untung Surapati dan Pangeran Singasari kocar-kacir. Mereka terus dikejar-kejar oleh Kompeni Belanda.


Sebanyak 186 prajurit Eropa, 500 orang Madura dan 1.600 prajurit Surabaya, Bangil, dan Pasuruan, dikerahkan Kapten Casper Ledowijk Tropponegro untuk memburu mereka. Pertempuran pecah di Rajegwesi (Sekarang Bojonegoro) yang membuat Raden Mas, putra Pangeran Singasari terpaksa harus keluar dari Rajegwesi. Bersama Pangeran Singasari , ayahnya Raden Mas bergeser ke wilayah selatan. Mereka berada di Samperak, utara Lodalem dan bergabung dengan pemberontak lain. Mereka berencana kembali ke Malang. Sementara Malayakusuma, dan Tirtanagara berada di Sambi Geger, barat daya Samperak.


Belanda mengerahkan seluruh kekuatan dan sekutunya untuk mengepung dari segala sisi. Dari Srengat, pasukan koalisi Belanda menuju Blitar, berlanjut ke Selagurit untuk langsung menyerang lawan yang dalam posisi terjepit. Dari Kediri, Bupati Kediri juga menyiapkan pasukan, ikut memperkuat Belanda.


Belum lagi tambahan pasukan dari Raja Mataram . Pertempuran antara Belanda dengan koalisi keturunan Untung Surapati dan Pangeran Singasari beserta Raden Mas anaknya, berlangsung hampir satu tahun. Pada 16 Juli 1768, Pangeran Singasari atau Parabujaka menyerah di Dapat, tenggara Lodalem, Kabupaten Malang. Pangeran asal Mataram yang menolak pembagian kerajaan itu ditangkap bersama istri, dua anak perempuan dan anak laki-lakinya yang masih kecil. Semua dibawa ke Semarang, dan tiba 5 Agustus 1768. Sementara Raden Mas, putranya yang besar berhasil melarikan diri bersama Tirtanagara. 30 hari setelah ayahnya ditangkap, Raden Mas yang terluka parah terkepung prajurit Kompeni di daerah Rawa (Sekarang Tulungagung). Ia memilih menyerahkan diri kepada prajurit Sultan Mataram, dan langsung dibawa ke Yogyakarta. Belanda membawa Raden Mas ke Semarang, untuk dijebloskan ke penjara .


Sementara Pangeran Singasari dibawa ke Batavia bersama dua anak perempuannya serta seorang putra remajanya. Dengan tertangkapnya Pangeran Singasari dan putranya (Raden Mas), pengejaran Belanda terfokus kepada Bupati Malang, Malayakusuma. Perburuan dilakukan di sepanjang pesisir selatan. Sebab melalui telik sandi Belanda mendapat kabar cucu Untung Surapati tersebut hendak menuju Blambangan (Sekarang Banyuwangi). Malayakusuma bersama keluarganya yang sebagian besar wanita dan anak-anak terkepung di Sabak, dekat Lodalem. Malayakusuma menyerah dan dibawa menuju Malang. Di saat beristirahat di pinggir pantai. Malayakusuma tiba-tiba merebut sebatang tombak dan menusuk Kopral Smid Van Stam hingga tewas. Melihat itu, seorang pelayan prajurit Belanda sontak mencabut sebilah keris . Malayakusuma langsung ditikamnya. Cucu Untung Surapati itu pun gugur seketika.


Dengan marah si pelayan melempar jasad Malayakusuma ke laut. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan dengan tawanan yang tersisa. Pada 16 November 1768. Tiba di Wanapala, dua anak Malayakusuma yang masih berusia muda dibunuh . Sedangkan enam wanita, satu anak dan seorang pelayan dikirim ke Surabaya.


Sementara Tirtanagara, adik Malayakusuma yang termuda ditawan pasukan Kompeni di Antang (Sekarang Ngantang). Buntut dari pemberontakan Malang, dan Lumajang, para keturunan dan pengikut Surapati di Blambangan dan Malang terus diburu dan ditangkap. Hampir seluruh keturunan Untung Surapati dan keluarganya ditawan. Karena dianggap berbahaya, akhirnya mereka semua dijatuhi hukuman mati. Mereka yang selamat dalam pemberontakan Malang, dan Lumajang, bersembunyi di wilayah Sultan Mataram.


Namun hal itu tidak bertahan lama, dua tahun kemudian atas perintah otoritas Belanda di Semarang, Sultan melakukan operasi penangkapan terhadap mereka yang teridentifikasi sebagai keturunan Untung Surapati yang terakhir yang berjumlah sekitar 21 orang. Demikianlah akhir cerita dari perjuangan Untung Suropati dan anak cucu serta keturunannya yang tidak pernah menyerah kepada VOC Belanda. Semoga bermanfaat. 


Disarikan dari beberapa sumber dan kitab Babad Tanah Jawi

No comments:

Post a Comment