15 April 2024

Sangat kontras sekali, wilayah Mataram bernama Panaragan ini menempatkan keris pada bagian depan badan. Sedangkan Mataram area keraton keris ditempatkan pada belakang badan. Keberlangsungan ini Sehingga menjadi identitas pada wilayah Mataram keraton dan Panaragan, bahkan disebutkan Panaragan dipaksa menjadi budaya Mataraman. Dalam kultur Jawa pada berbagai penelitian, termasuk hasil penelitian profesor UNEJ Jember setidaknya terdapat beberapa sub suku Jawa seperti berikut: - Jawa Mataraman keraton (Yogyakarta & Surakarta) - Jawa Mataram brang wetan (plat AE & plat AG) - Jawa ngapak (vocal serba A, berbatasan suku sunda) - Jawa Tengger (vocal Serba A, mendiami pegunungan sekitar Bromo/semeruu) - Jawa Aneman (berakhiran -em, pesisir Utara Jawa) - Jawa Arekan (plat L, Plat S, Plat W) - Jawa Panaragan (Plat AE) - Jawa Bawean (trah pejabat Giri Kedaton di Pulo Bawean) Kemudian Jawa campuran, seperti: - Jawa Cirebon (Jawa dengan Sunda) - Jawa Cilegon (Jawa dengan Sunda/Betawi) - Jawa Osing (sisa-sisa Jawa Blambangan dengan Bali) - Jawa Pendalungan (Jawa dengan Madura) - Jawa Jaton (Jawa dengan Minahasa) Lantas bagaimana dengan Samin? Dan kalang? Yang sering diangkat media sebagai suku Samin dan suku kalang? Samin sendiri merupakan sebuah pergerakan era kolonial Belanda tidak berbeda dengan sarekat Islam dan Budi Utomo, yang dimana awal pemikiran Samin berasal dari Samin sepuh (putra bupati sumoroto, Ponorogo) dan Samin Anom (cucu putra bupati sumoroto, Ponorogo) menggunakan siasat pola pikir masyarakat panaragan meski saat ini lebih melebur menjadi sub Jawa Aneman. Sedangkan sub Jawa kalang sendiri yang tersebar diberbagai wilayah Jawa turut melebur menjadi sub Jawa yang ditempati. Sebagai contoh suku kalang di Magetan yang kekuatannya digunakan oleh Belanda untuk menaklukkan pembangkang diberbagai wilayah di karesidenan Madiun kini mengikuti sub Jawa Panaragan. sedangkan di kalang di kota Gede mengikuti sub Jawa Mataram keraton. Kaum Panaragan bukan seharusnya dalam tata budaya Mataram terlihat dari tradisi, budaya, dialek yang sangat berbeda dan kontras dengan budaya Mataraman. Karena Panaragan atau wengker dianggap jowo tuek/tua karena telah ada sebelum Mataraman (modern) itu ada. Seperti reog dadak merak dan reog thek (jaranan) yang merupakan budaya asli Panaraga, tidak akan bisa dirubah menjadi dan mengikuti pakem tari keraton, dialeknya pun begitu keras dan tegas, termasuk penempatan keris pada depan badan karena mengikuti pakaian adat Panaragan (Penadon) yang tidak dapat diletakan pada bagian belakang, tidak seperti beskap keraton dengan modifikasi khusus pola pakaian yang memberi ruang keris pada belakang badan. Meski demikian, kini kaum Panaragan menjadi rebutan antara Mataram keraton Yogyakarta dengan Surakarta, kedua keraton ini pernah diselamatkan oleh pasukan Panaragan. Namun yang sangat kontras dan agresif untuk merubah budaya panaragan menjadi Mataraman ialah Surakarta, dengan memberikan berbagai penghargaan kepada budayawan, sejarah Panaragan dengan demikian merubah kebiasaan seperti menggunakan Blangkon tanpa mondol/perbawan, sedangkan Panaragan memiliki blangkon dengan mondol yang lebih besar dari blangkon Yogyakarta. Kemudian penempatan keris dari depan menjadi belakang dengan mengganti pakaian Penadon dengan beskap Surakarta sehingga keris dapat diletakan pada bagian belakang badan. Padahal, panaragan sendiri memiliki beskap Panaragan sendiri dengan penempatan keris didepan (cek foto 2 orang kiri bawah).

 Sangat kontras sekali, wilayah Mataram bernama Panaragan ini menempatkan keris pada bagian depan badan. Sedangkan Mataram area keraton keris ditempatkan pada belakang badan.




Keberlangsungan ini Sehingga menjadi identitas pada wilayah Mataram keraton dan Panaragan, bahkan disebutkan Panaragan dipaksa menjadi budaya Mataraman.


Dalam kultur Jawa pada berbagai penelitian, termasuk hasil penelitian profesor UNEJ Jember setidaknya terdapat beberapa sub suku Jawa seperti berikut:

- Jawa Mataraman keraton (Yogyakarta & Surakarta)

- Jawa Mataram brang wetan (plat AE & plat AG)

- Jawa ngapak (vocal serba A, berbatasan suku sunda)

- Jawa Tengger (vocal Serba A, mendiami pegunungan sekitar Bromo/semeruu)

- Jawa Aneman (berakhiran -em, pesisir Utara Jawa)

- Jawa Arekan (plat L, Plat S, Plat W)

- Jawa Panaragan (Plat AE)

- Jawa Bawean (trah pejabat Giri Kedaton di Pulo Bawean)


Kemudian Jawa campuran, seperti:

- Jawa Cirebon (Jawa dengan Sunda)

- Jawa Cilegon (Jawa dengan Sunda/Betawi)

- Jawa Osing (sisa-sisa Jawa Blambangan dengan Bali)

- Jawa Pendalungan (Jawa dengan Madura)

- Jawa Jaton (Jawa dengan Minahasa)


Lantas bagaimana dengan Samin? Dan kalang? Yang sering diangkat media sebagai suku Samin dan suku kalang? Samin sendiri merupakan sebuah pergerakan era kolonial Belanda tidak berbeda dengan sarekat Islam dan Budi Utomo, yang dimana awal pemikiran Samin berasal dari Samin sepuh (putra bupati sumoroto, Ponorogo) dan Samin Anom (cucu putra bupati sumoroto, Ponorogo) menggunakan siasat pola pikir masyarakat panaragan meski saat ini lebih melebur menjadi sub Jawa Aneman.


Sedangkan sub Jawa kalang sendiri yang tersebar diberbagai wilayah Jawa turut melebur menjadi sub Jawa yang ditempati. Sebagai contoh suku kalang di Magetan yang kekuatannya digunakan oleh Belanda untuk menaklukkan pembangkang diberbagai wilayah di karesidenan Madiun kini mengikuti sub Jawa Panaragan. sedangkan di kalang di kota Gede mengikuti sub Jawa Mataram keraton.


Kaum Panaragan bukan seharusnya dalam tata budaya Mataram terlihat dari tradisi, budaya, dialek yang sangat berbeda dan kontras dengan budaya Mataraman. Karena Panaragan atau wengker dianggap jowo tuek/tua karena telah ada sebelum Mataraman (modern) itu ada.


Seperti reog dadak merak dan reog thek (jaranan) yang merupakan budaya asli Panaraga, tidak akan bisa dirubah menjadi dan mengikuti pakem tari keraton, dialeknya pun begitu keras dan tegas, termasuk penempatan keris pada depan badan karena mengikuti pakaian adat Panaragan (Penadon) yang tidak dapat diletakan pada bagian belakang, tidak seperti beskap keraton dengan modifikasi khusus pola pakaian yang memberi ruang keris pada belakang badan.


Meski demikian, kini kaum Panaragan menjadi rebutan antara Mataram keraton Yogyakarta dengan Surakarta, kedua keraton ini pernah diselamatkan oleh pasukan Panaragan. Namun yang sangat kontras dan agresif untuk merubah budaya panaragan menjadi Mataraman ialah Surakarta, dengan memberikan berbagai penghargaan kepada budayawan, sejarah Panaragan dengan demikian merubah kebiasaan seperti menggunakan Blangkon tanpa mondol/perbawan, sedangkan Panaragan memiliki blangkon dengan mondol yang lebih besar dari blangkon Yogyakarta. 

Kemudian penempatan keris dari depan menjadi belakang dengan mengganti pakaian Penadon dengan beskap Surakarta sehingga keris dapat diletakan pada bagian belakang badan. Padahal, panaragan sendiri memiliki beskap Panaragan sendiri dengan penempatan keris didepan (cek foto 2 orang kiri bawah).

No comments:

Post a Comment