27 April 2024

Alasan Dibalik Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Jogja dan kembali Ke Jakarta Lagi. 4 Januari 1946. Pemberangkatan dimulai dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur No.56. Sebanyak 15 pasukan khusus disiapkan untuk mengawal para tokoh bangsa. Selama 15 jam perjalanan, pengawalan serta pengamanan diperketat, akhirnya pada Jumat 4 Januari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB rombongan tiba di Yogyakarta dengan selamat. Terkait kepindahan kedua pimpinan Negara tersebut, maka pada malam harinya, Wakil Menteri Penerangan RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dalam siaran RRI mengumumkan secara resmi pemindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Alasan pemindahan ibu kota tersebut karena keadaan Jakarta tidak aman, sementara fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk dijadikan ibu kota, sebab kota ini memiliki sistem pemerintahan yang telah terorganisir cukup baik. Disamping itu pula, secara de facto dan de jure Yogyakarta merupakan wilayah kedaulatan RI. Dengan demikian, sejak tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibu kota Republik, dan perjuangan melawan Belanda diteruskan dari kota ini. Presiden kemudian berkantor di Gedung Agung yang terletak di seberang bekas benteng Kompeni Vredeburg. Kembali Ke Jakarta Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman mengajak pemimpin Republik untuk keluar kota Yogyakarta dan melancarkan perang gerilya. Namun rapat kabinet memutuskan, Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri tetap berada di dalam kota, dengan alasan mereka bisa tetap berhubungan dengan para anggota Komisi Tiga Negara (KTN), komisi yang dibentuk PBB sebagai penengah antara Indonesia dan Belanda. Rapat kabinet memutuskan beberapa pejabat RI tinggal di dalam kota. Presiden Soekarno juga telah mengeluarkan kawat kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, yang berisi mandat untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI), jika Pemerintah Pusat di Yogya oleh karena keadaan tidak dapat menjalankan kewajibannya. Kawat serupa juga dikirimkan kepada Mr. A.A. Maramis dan Dr. Soedarsono yang sedang berada di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan pengasingan (exile government), jika PDRI tidak terbentuk di Sumatera. Pilihan atas negara India sebagai exile government RI, karena negara ini terus mendukung perjuangan Indonesia dan menyiarkan suara Indonesia di luar negeri. Keluarnya kedua mandat itu, karena Presiden Soekarno telah memperkirakan kemungkinan Belanda akan melakukan serangannya kembali. Akibat agresi kedua Belanda tersebut, pusat pemerintahan kembali terancam. Belanda dapat menduduki Yogyakarta, serta menawan dan mengasingkan presiden, wakil presiden, dan beberapa anggota kabinet lainnya ke Bangka. Setelah pendudukan atas Yogyakarta ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama hampir semua kota penting di tanah air jatuh ke tangan Belanda. Dengan pencapaian hasil tersebut, Belanda mengumumkan Republik sudah tidak ada lagi. Namun, agresi militer Belanda kedua ini menuai kritik dunia internasional, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan. Selanjutnya pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Rum Royen, yang salah satu isinya mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta. Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta. Sjarifuddin Prawiranegara pun mengembalikan mandat sebagai pemimpin pemerintahan darurat. Sehari setelah pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 28 Desember 1949, Rombongan Presiden Soekarno kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Dakota milik Garuda Indonesia Airways. Perpindahan ibu kota kembali ke Jakarta ini tertuang dalam UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 yang menyebut: “pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain”. Dengan demikian secara otomatis fungsi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan republik yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun berakhir. Pada 17 Agustus 1950 pemerintahan Republik Indonesia secara penuh kembali ke Jakarta setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 Alasan Dibalik Pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Jogja dan kembali Ke Jakarta Lagi. 4 Januari 1946.


Pemberangkatan dimulai dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur No.56. Sebanyak 15 pasukan khusus disiapkan untuk mengawal para tokoh bangsa. Selama 15 jam perjalanan, pengawalan serta pengamanan diperketat, akhirnya pada Jumat 4 Januari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB rombongan tiba di Yogyakarta dengan selamat.



Terkait kepindahan kedua pimpinan Negara tersebut, maka pada malam harinya, Wakil Menteri Penerangan RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dalam siaran RRI mengumumkan secara resmi pemindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Alasan pemindahan ibu kota tersebut karena keadaan Jakarta tidak aman, sementara fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk dijadikan ibu kota, sebab kota ini memiliki sistem pemerintahan yang telah terorganisir cukup baik. Disamping itu pula, secara de facto dan de jure Yogyakarta merupakan wilayah kedaulatan RI. Dengan demikian, sejak tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibu kota Republik, dan perjuangan melawan Belanda diteruskan dari kota ini. Presiden kemudian berkantor di Gedung Agung yang terletak di seberang bekas benteng Kompeni Vredeburg.


Kembali Ke Jakarta


Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 19 Desember 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman mengajak pemimpin Republik untuk keluar kota Yogyakarta dan melancarkan perang gerilya. Namun rapat kabinet memutuskan, Presiden, Wakil Presiden dan beberapa menteri tetap berada di dalam kota, dengan alasan mereka bisa tetap berhubungan dengan para anggota Komisi Tiga Negara (KTN), komisi yang dibentuk  PBB sebagai penengah antara Indonesia dan Belanda.


Rapat kabinet memutuskan beberapa pejabat RI tinggal di dalam kota. Presiden Soekarno juga telah mengeluarkan kawat kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat, yang berisi mandat untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI), jika Pemerintah Pusat di Yogya oleh karena keadaan tidak dapat menjalankan kewajibannya. Kawat serupa juga dikirimkan kepada Mr. A.A. Maramis dan Dr. Soedarsono yang sedang berada di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan pengasingan (exile government), jika PDRI tidak terbentuk di Sumatera. Pilihan atas negara India sebagai exile government RI, karena negara ini terus mendukung perjuangan Indonesia dan menyiarkan suara Indonesia di luar negeri. Keluarnya kedua mandat itu, karena Presiden Soekarno telah memperkirakan kemungkinan Belanda akan melakukan serangannya kembali.


Akibat agresi kedua Belanda tersebut, pusat pemerintahan kembali terancam. Belanda dapat menduduki Yogyakarta, serta menawan dan mengasingkan presiden, wakil presiden, dan beberapa anggota kabinet lainnya ke Bangka. Setelah pendudukan atas Yogyakarta ini, dalam waktu yang tidak terlalu lama hampir semua kota penting di tanah air jatuh ke tangan Belanda. Dengan pencapaian hasil tersebut, Belanda mengumumkan Republik sudah tidak ada lagi. Namun, agresi militer Belanda kedua ini menuai kritik dunia internasional, yang memaksa Belanda kembali ke meja perundingan.


Selanjutnya pada Mei 1949, Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Rum Royen, yang salah satu isinya mengembalikan pemerintah RI ke Yogyakarta. Pada 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta kembali ke Yogyakarta. Sjarifuddin Prawiranegara pun mengembalikan mandat sebagai pemimpin pemerintahan darurat.


Sehari setelah pengakuan kedaulatan dari Pemerintah Belanda sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 28 Desember 1949, Rombongan Presiden Soekarno kembali ke Jakarta dengan menggunakan pesawat Dakota milik Garuda Indonesia Airways.   Perpindahan ibu kota kembali ke Jakarta ini tertuang dalam UUD Sementara tahun 1950 dalam pasal 46 yang menyebut: “pemerintah berkedudukan di Jakarta, kecuali jika dalam hal darurat pemerintah menentukan tempat yang lain”. Dengan demikian secara otomatis fungsi Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan republik yang berlangsung selama kurang lebih empat tahun berakhir. Pada 17 Agustus 1950 pemerintahan Republik Indonesia secara penuh kembali ke Jakarta setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) membubarkan diri dan kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

No comments:

Post a Comment