15 March 2024

Tata Boga Mughal: Mengungkap Sejarah Misterius Masakan para Kaisar ________________________________________________ Di puncak kejayaannya, Kekaisaran Mughal dikenal akan pencapaiannya di berbagai bidang, mulai dari budaya, arsitektur, hingga militer. Hal ini tentu menarik banyak sejarawan modern untuk mempelajarinya. Meskipun demikian, masih banyak misteri yang belum terpecahkan. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana kekuasaan mereka di India telah mengubah cita rasa lokal dan praktik kuliner. Menurut Chandrahas Choudhury, seorang penulis sekaligus jurnalis dari India, tak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai kuliner Mughal. “Tidak seperti arsitektur, yang sering kali bertahan selama ratusan tahun, dan fesyen, yang digambarkan dalam gambar-gambar dengan detail yang rumit, makanan merupakan subjek yang jauh lebih sulit dipahami oleh para sejarawan,” kata Choudhury. Para juru masak pada saat itu tidak memiliki catatan dan bekerja bukan dari buku-buku resep, tetapi dengan menyerap pengetahuan praktis di dapur. “Sumber-sumber tekstual yang menggambarkan makanan cenderung berasal dari mereka yang memakannya, bukan memasaknya,” imbuhnya. Bahkan pesta Mughal yang terlihat dalam lukisan-lukisan zaman itu bisa saja menipu. Apakah ini makanan sehari-hari atau hanya makanan perayaan? Gambaran realitas atau gambaran ideal yang dimaksudkan untuk memproyeksikan kekuasaan dan kemegahan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin menyibak karya Salma Husain, “The Mughal Feast”, pilihan yang tepat. Selain dikenal sebagai sejarawan dan cendikiawan Persia, Salma juga mendapat reputasi sebagai seorang ahli masakan Mughal. The Mughal Feast disusun berdasarkan salah satu sumber utama dari periode ini, “Nuskha-e-Shahjahani” (resep-resep dari zaman Shah Jahan), sebuah buku yang ditulis oleh pengarang yang tidak dikenal dalam bahasa Persia. Masa pemerintahan Shah Jahan dalam banyak hal merupakan periode yang ideal untuk mempelajari masakan Mughal. Raja kelima dari Mughal yang agung ini memerintah antara tahun 1627 dan 1658, yang disebut Husain sebagai "masa damai dan berlimpah". Ini adalah masa dimana seni kreatif berkembang–dan tidak ada yang lebih baik daripada di dapur. Shah Jahan adalah seorang pencinta makanan yang hebat, tulis Husain dalam sebuah esai pengantar. Waktu bersantapnya–yang selalu dihabiskan bersama ratu dan selirnya, kecuali pada jamuan resmi–disiapkan dan disajikan oleh staf yang jumlahnya mencapai ratusan orang, dan sering kali berlangsung berjam-jam. Makanan ini "dimasak dengan air hujan yang dicampur dengan air dari Sungai Gangga untuk mendapatkan rasa yang terbaik". Makanan utama dari makanan Mughal, buku ini menjelaskan, adalah nasi dan daging, yang dimasak dalam tiga atau empat gaya yang berbeda dan dalam lusinan kombinasi yang menarik. Ini juga bukan daging biasa, karena hewan ternak juga makan layaknya bangsawan. "Domba, kambing, dan unggas dipelihara di dapur," tulis Husain, "dan diberi makanan khusus yang dicampur dengan rempah-rempah aromatik, perak, emas, mutiara, marmer kunyit yang dicampur dengan gula, rumput yang wangi untuk mendapatkan daging yang harum. Sapi-sapi diberi makan biji kapas, tebu, pala, kelapa, kayu manis, kacang-kacangan, telur ayam hutan, dan daun bambu." Husain mengatakan bahwa di bawah Mughal-lah, memasak nasi di anak benua ini bertransformasi menjadi sebuah seni. Nuskha-e-Shahjahani membuktikan hal tersebut. Terdapat lebih dari 30 resep dalam buku ini untuk berbagai jenis pulao–hidangan nasi dalam satu panci yang menggabungkan daging, sayuran dan rempah-rempah. Instruksi yang sering diulang-ulang dalam buku ini adalah "akhiri dengan dum". Dum berarti kukus, dan gaya memasak ini masih dipraktekkan di seluruh dapur dan restoran di seluruh India. Dum merupakan tahap akhir dari proses memasak dengan api kecil di dalam panci yang ditutup dengan adonan. Para juru masak kemudian memberikan panas pada dasar panci dan bagian atasnya dengan menggunakan arang panas. Bahan-bahan tersebut kemudian dibiarkan matang dengan sendirinya, memperkuat rasa dan menghasilkan aroma yang tajam saat adonan dikupas. Menurut Choudhury, hal menarik lainnya yang dapat ditemukan dalam resep-resep lawas Kekaisaran Mughal adalah penggunaan rempah-rempah yang minimal untuk rasa. “Terdapat banyak sekali buah-buahan dan kacang-kacangan segar dan kering di dalam resep-resep ini. Kismis, almond dan pistachio sering kali digiling untuk membuat kuah yang kaya rasa, dan kunyit digunakan untuk menambahkan aroma dan warna,” kata Coudhury. Beberapa resep yang begitu lezat, jelas hanya bisa disajikan di meja kaisar. Salah satunya adalah pukhtan-e-qaaz atau angsa panggang utuh yang dibumbui rempah-rempah. Kaisar Mughal menyukai rasa manis dan asam. Banyak hidangan utama berbahan daging yang dimasak dengan sirup gula, jeruk, dan mangga. Namun semua ini berakhir ketika konflik suksesi berkecamuk. Di tahun-tahun terakhirnya, Shah Jahan dijebloskan oleh anaknya sendiri, Aurangzeb. Dia dikenal akan watak kerasnya dan membenci segala sesuatu yang berlebihan. Menurut legenda, Shah Jahan dikutuk oleh putranya untuk hanya makan satu makanan pokok saja. Dia memilih buncis karena banyak cara untuk memasaknya.

 Tata Boga Mughal: Mengungkap Sejarah Misterius Masakan para Kaisar

________________________________________________


Di puncak kejayaannya, Kekaisaran Mughal dikenal akan pencapaiannya di berbagai bidang, mulai dari budaya, arsitektur, hingga militer. Hal ini tentu menarik banyak sejarawan modern untuk mempelajarinya. 


Meskipun demikian, masih banyak misteri yang belum terpecahkan. Salah satu hal yang menarik adalah bagaimana kekuasaan mereka di India telah mengubah cita rasa lokal dan praktik kuliner.


Menurut Chandrahas Choudhury, seorang penulis sekaligus jurnalis dari India, tak banyak informasi yang dapat diperoleh mengenai kuliner Mughal.



“Tidak seperti arsitektur, yang sering kali bertahan selama ratusan tahun, dan fesyen, yang digambarkan dalam gambar-gambar dengan detail yang rumit, makanan merupakan subjek yang jauh lebih sulit dipahami oleh para sejarawan,” kata Choudhury.


Para juru masak pada saat itu tidak memiliki catatan dan bekerja bukan dari buku-buku resep, tetapi dengan menyerap pengetahuan praktis di dapur. 


“Sumber-sumber tekstual yang menggambarkan makanan cenderung berasal dari mereka yang memakannya, bukan memasaknya,” imbuhnya.


Bahkan pesta Mughal yang terlihat dalam lukisan-lukisan zaman itu bisa saja menipu. Apakah ini makanan sehari-hari atau hanya makanan perayaan? Gambaran realitas atau gambaran ideal yang dimaksudkan untuk memproyeksikan kekuasaan dan kemegahan?


Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mungkin menyibak karya Salma Husain, “The Mughal Feast”, pilihan yang tepat. Selain dikenal sebagai sejarawan dan cendikiawan Persia, Salma juga mendapat reputasi sebagai seorang ahli masakan Mughal.


The Mughal Feast disusun berdasarkan salah satu sumber utama dari periode ini, “Nuskha-e-Shahjahani” (resep-resep dari zaman Shah Jahan), sebuah buku yang ditulis oleh pengarang yang tidak dikenal dalam bahasa Persia.


Masa pemerintahan Shah Jahan dalam banyak hal merupakan periode yang ideal untuk mempelajari masakan Mughal.


Raja kelima dari Mughal yang agung ini memerintah antara tahun 1627 dan 1658, yang disebut Husain sebagai "masa damai dan berlimpah". Ini adalah masa dimana seni kreatif berkembang–dan tidak ada yang lebih baik daripada di dapur.


Shah Jahan adalah seorang pencinta makanan yang hebat, tulis Husain dalam sebuah esai pengantar. Waktu bersantapnya–yang selalu dihabiskan bersama ratu dan selirnya, kecuali pada jamuan resmi–disiapkan dan disajikan oleh staf yang jumlahnya mencapai ratusan orang, dan sering kali berlangsung berjam-jam.


Makanan ini "dimasak dengan air hujan yang dicampur dengan air dari Sungai Gangga untuk mendapatkan rasa yang terbaik".


Makanan utama dari makanan Mughal, buku ini menjelaskan, adalah nasi dan daging, yang dimasak dalam tiga atau empat gaya yang berbeda dan dalam lusinan kombinasi yang menarik. Ini juga bukan daging biasa, karena hewan ternak juga makan layaknya bangsawan.


"Domba, kambing, dan unggas dipelihara di dapur," tulis Husain, "dan diberi makanan khusus yang dicampur dengan rempah-rempah aromatik, perak, emas, mutiara, marmer kunyit yang dicampur dengan gula, rumput yang wangi untuk mendapatkan daging yang harum. Sapi-sapi diberi makan biji kapas, tebu, pala, kelapa, kayu manis, kacang-kacangan, telur ayam hutan, dan daun bambu."


Husain mengatakan bahwa di bawah Mughal-lah, memasak nasi di anak benua ini bertransformasi menjadi sebuah seni. 


Nuskha-e-Shahjahani membuktikan hal tersebut. Terdapat lebih dari 30 resep dalam buku ini untuk berbagai jenis pulao–hidangan nasi dalam satu panci yang menggabungkan daging, sayuran dan rempah-rempah.


Instruksi yang sering diulang-ulang dalam buku ini adalah "akhiri dengan dum". Dum berarti kukus, dan gaya memasak ini masih dipraktekkan di seluruh dapur dan restoran di seluruh India.


Dum merupakan tahap akhir dari proses memasak dengan api kecil di dalam panci yang ditutup dengan adonan. Para juru masak kemudian memberikan panas pada dasar panci dan bagian atasnya dengan menggunakan arang panas. 


Bahan-bahan tersebut kemudian dibiarkan matang dengan sendirinya, memperkuat rasa dan menghasilkan aroma yang tajam saat adonan dikupas.


Menurut Choudhury, hal menarik lainnya yang dapat ditemukan dalam resep-resep lawas Kekaisaran Mughal adalah penggunaan rempah-rempah yang minimal untuk rasa.


“Terdapat banyak sekali buah-buahan dan kacang-kacangan segar dan kering di dalam resep-resep ini. Kismis, almond dan pistachio sering kali digiling untuk membuat kuah yang kaya rasa, dan kunyit digunakan untuk menambahkan aroma dan warna,” kata Coudhury.


Beberapa resep yang begitu lezat, jelas hanya bisa disajikan di meja kaisar. Salah satunya adalah pukhtan-e-qaaz atau angsa panggang utuh yang dibumbui rempah-rempah.


Kaisar Mughal menyukai rasa manis dan asam. Banyak hidangan utama berbahan daging yang dimasak dengan sirup gula, jeruk, dan mangga. Namun semua ini berakhir ketika konflik suksesi berkecamuk.


Di tahun-tahun terakhirnya, Shah Jahan dijebloskan oleh anaknya sendiri, Aurangzeb. Dia dikenal akan watak kerasnya dan membenci segala sesuatu yang berlebihan.


Menurut legenda, Shah Jahan dikutuk oleh putranya untuk hanya makan satu makanan pokok saja. Dia memilih buncis karena banyak cara untuk memasaknya.

No comments:

Post a Comment