27 March 2024

Kotagede (Kutha Gede /Kitha Ageng) sebenarnya bukan berarti Kota besar (big city) karena kata "Kutha" (jawa); "Kota" (melayu) maupun "Cota" (tagalog, c dibaca k) mempunyai arti yg sama yaitu "beteng atau benteng" (fort - english). Barangkali Kotagede mendapatkan namanya karena pembangunan benteng besar baluwarti mengelilingi perdikan mentaok yg diberikan sultan Pajang, oleh Panembahan Senopati sebagai pertanda madheg mardhika, lepas dari Pajang (gambar 1) Menurut bausastra jawi : kutha I [ngoko] kitha [krama] : 1 pagêr bata mubêng, bètèng; 2 nêgara (gêgrombolaning pakampungan, [kosok-baline] desa); kêkutha ak: bêbètèng, gawe nêgara; dikuthani ak: dibètèngi, didêgi kutha. II kw: makutha. Jadi kutha awalnya mengacu pada benteng atau fort. Istilah melayu hingga kini masih memakai kota untuk merujuk benteng pertahanan, sebagaimana tagalog juga demikian. Kota yang bermaksud "city" adalah makna lainnya, sesudah mengalami perkembangan. Benteng Baluwarti sebagai benteng besar sehingga berjuluk "kutha gedhe" ini bekas lokasinya dapat dilihat di peta pamfleat dari UGM. Tidak ada reruntuhan puing atau apapun, hanya berupa bekas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Baluwarti sebelah timur menjadi toponim kampung baluwarti, kotagede. Benteng Cepuri sebenarnya mengitari lokasi kedaton ini, yg sekarang menjadi toponim kampung ndalem, kotagede. Termasuk disini adalah makam hastarengga dan situs watu gilang dan watu gatheng, kampung kedaton kotagede. Reruntuhan cepuri masih terlihat di beberapa tempat. Nb : Menurut catatan Van Mook dalam 1926, nama mentereng saat itu memang bukan Kotagede atau Kutha Gedhe, tetapi sebagaimana tertulis dalam catatan Belanda di awal 1900an, adalah “Pasar Gede” atau “Passar Gedeh” dan masyarakat Yogya biasa menyingkatnya sebagai “Sargede” hingga awal 80an, nama ini masih akrab disebut. Kutha Gedhe merupakan wilayah kejawan (bahasa Jawa krama : kejawen), yang berarti wilayah dimana tidak ada sewa-menyewa tanah kerajaan kepada pengusaha-pengusaha perkebunan bangsa Eropa (Plandan) Plandan berasal dari kata “Pe+Landa+an” atau adanya sewa-menyewa kepada orang Eropa (Walanda/Landa). Secara tradisi Kotagede tidak boleh disewakan atau dijual kepada Bangsa Eropa dan Timur Jauh/Cina. Tradisi ini masih dikekalkan hingga kini. Hingga tahun 1925 kendaraan dilarang lewat jembatan Tegalgendu - akses utama dari kraton - kecuali kendaraan raja berserta keluarganya. Maksudnya akses masuk dari barat (kota Yogya) hanya bisa melewati Tegalgendu tetapi jembatan Tegalgendu rupanya dulu hanya dikhusukan untuk sultan, jadi mungkin kalau memakai mobil harus berhenti di barat jembatan. Narasi Sejarah Jogyakarta

 Kotagede (Kutha Gede /Kitha Ageng) sebenarnya bukan berarti Kota besar (big city) karena kata  "Kutha" (jawa); "Kota" (melayu) maupun "Cota" (tagalog, c dibaca k)  mempunyai arti yg sama yaitu "beteng atau benteng" (fort - english).


Barangkali Kotagede mendapatkan namanya karena pembangunan benteng besar baluwarti mengelilingi perdikan mentaok yg diberikan sultan Pajang, oleh Panembahan Senopati sebagai pertanda madheg mardhika, lepas dari Pajang (gambar 1)



Menurut bausastra jawi  :


kutha I [ngoko] kitha [krama] :

1 pagêr bata mubêng, bètèng; 

2 nêgara (gêgrombolaning pakampungan, [kosok-baline] desa); 


kêkutha ak: bêbètèng, gawe nêgara; 

dikuthani ak: dibètèngi, didêgi kutha. 

II kw: makutha.


Jadi kutha awalnya mengacu pada benteng atau fort. Istilah melayu hingga kini masih memakai kota untuk merujuk benteng pertahanan, sebagaimana tagalog juga demikian. Kota yang bermaksud "city" adalah makna lainnya, sesudah mengalami perkembangan.


Benteng Baluwarti sebagai benteng besar sehingga berjuluk "kutha gedhe" ini bekas lokasinya dapat dilihat di peta pamfleat dari UGM. Tidak ada reruntuhan puing atau apapun, hanya berupa bekas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Baluwarti sebelah timur menjadi toponim kampung baluwarti, kotagede.


Benteng Cepuri sebenarnya mengitari lokasi kedaton ini, yg sekarang menjadi toponim kampung ndalem, kotagede. Termasuk disini adalah makam hastarengga dan situs watu gilang dan watu gatheng, kampung kedaton kotagede. Reruntuhan cepuri masih terlihat di beberapa tempat.


Nb :


Menurut catatan Van Mook dalam 1926, nama mentereng saat itu memang bukan Kotagede atau Kutha Gedhe, tetapi sebagaimana tertulis dalam catatan Belanda di awal 1900an, adalah “Pasar Gede” atau “Passar Gedeh” dan masyarakat Yogya biasa menyingkatnya sebagai “Sargede” hingga awal 80an, nama ini masih akrab disebut.


Kutha Gedhe merupakan wilayah kejawan (bahasa Jawa krama : kejawen), yang berarti wilayah dimana tidak ada sewa-menyewa tanah kerajaan kepada pengusaha-pengusaha perkebunan bangsa Eropa (Plandan)


Plandan berasal dari kata “Pe+Landa+an” atau adanya sewa-menyewa kepada orang Eropa (Walanda/Landa). Secara tradisi Kotagede tidak boleh disewakan atau dijual kepada Bangsa Eropa dan Timur Jauh/Cina. Tradisi ini masih dikekalkan hingga kini.


Hingga tahun 1925 kendaraan dilarang lewat jembatan Tegalgendu - akses utama dari kraton - kecuali kendaraan raja berserta keluarganya.


Maksudnya akses masuk dari barat (kota Yogya) hanya bisa melewati Tegalgendu tetapi jembatan Tegalgendu rupanya dulu hanya dikhusukan untuk sultan, jadi mungkin kalau memakai mobil harus berhenti di barat jembatan.


Narasi Sejarah Jogyakarta

No comments:

Post a Comment