28 January 2024

Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji, Sultan Kasepuhan ke - 5 ( 1773 - 1786 M ) ________________________________________________ Sultan Matangaji sendiri merupakan Sultan Sepuh V yang diperkirakan memimpin keraton pada 1800-an. Ketika Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat masih hidup, pernah disebutkan bahwa Sultan Matangaji merupakan sosok gerilyawan. Bahkan, selama memimpin keraton, Sultan Matangaji lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan keraton. Garis Silsilah Sultan Matangaji adalah tokoh nyata yang menjadi bagian penting bagi sejarah Cirebon. Adalah wajar ketika seorang sultan memiliki banyak peninggalan. Bisa dibandingkan dengan Pangeran Cakrabuwana misalnya, yang memiliki banyak tinggalan (petilisan). Paling tidak namanya disebut-sebut dalam historiografi tradisional atau catatan keluarga. Garis silsilah Sultan Matangaji terhubung hingga kepada Syekh Syarif Hidayatillah atau Sunan Gunung Jati, sebagaimana nasab sultan Cirebon pada umumnya. Nah, garis silsilah Sultan Matangaji yaitu dari Nyi Ratu Tepasari, salah seorang istri Sunan Gunug Jati (memiliki sembilan istri). Dijelaskan dalam manuskrip Pustaka Asal-usul Kasultanan Cirebon, Sultan Matangaji adalah putra Sultan Sepuh Raja Sena. Jumlah putra Sultan Sepuh Raja Sena ada 13: Ratu Sultan Waragang, Ratu Raja Kartanadhi, Ratu Raja Adiningrat, Ratu Raja Wanawati, Ratu Raja Anom, Pangeran Aria Lor, Sultan Matangaji, Sultan Muda, Pangeran Aria Lorpalet, Ratu Raja Ambetkasih, Pangeran Aria Kidul, Pangeran Aria Wetan, dan Pangeran Aria Kulon. Dua dari anak-anak Sultan Sepuh Raja Sena lahir dari ibu yang berbeda. Pertama, Sultan Matangaji lahir dari Ratu Kidul, Pakenden. Kedua, Sultan Muda lahir dari Ratu Turi, Pakenden. Sebagian kalangan menentang nasab ini, karena Sultan Matangaji didudukkan sebagai putra selir. Bahkan ada yang berpendapat Sultan Matangaji mengalami kegilaan menjelang kematiannya. Berbeda dari pendapat di atas, dalam manuskrip Serat Carub Kandha, Sultan Matangaji bukanlah anak dari seorang selir. Sultan Matangaji adalah putra sulung dari lima bersaudara. Kedua, Pangeran Arya Kidul atau Pangeran Jaya Wikarta. Ketiga, Pangeran Arya Panengah, yang memiliki tiga nama lain yaitu Pangeran Suryanegara, Pangeran Suryadilaga, dan Pangeran Suryakusuma. Keempat, Pangeran Arya Kulon. Dan terakhir, Nyi Mas Ratu Moblong, yang menikah dengan Ki Muda atau Sultan Muda. Nah, menurut cerita yang beredar di masyarakat, penerus kekuasaan Sultan Matangaji, semestinya Pangeran Suryanegara. Sebab, pada masa itu, Pangeran Suryanegera dianggap paling sah melanjutkan tahta kekuasaan. Namun, Sultan Muda, rupanya mendapatkan dukungan penuh dari Belanda, sehingga ia menjadi penerus Sultan Matangaji. Dengan demikian, jika pendapat kedua benar adanya, maka pengganti Sultan Matangaji (hingga dua abad lebih), bukanlah trah. Tidak heran jika muncul pemeo, barangkali karena mereka sebagai “the others”, konstruksi sejarah kesultanan Cirebon terus dibuat peteng. Rasa memiliki dan tanggung jawab mereka tidak begitu besar pada tinggalan leluhurnya sendiri, termasuk Situs Matangaji. Jejak Sultan Matangaji Pada manuskrip Babad Darmayu dikisahkan, sekitar akhir abad ke-18, Cirebon mendapatkan serangan dari tentara Batavia. Sultan Matangaji dengan didampingi Pangeran Suryakusuma, Pangeran Martakusuma, Pangeran Pekik, Pangeran Logawa, dan Pangeran Penghulu Dulkasim, menyambut kedatangan mereka, tepatnya di Mertasinga. Segerombolan pasukan yang didatangkan dari Batavia kualahan, lari kocar-kacir ke arah timur. Tentara Batavia meminta bantuan kepada Sultan Mataram. Dengan hak preogratifnya, Sultan Mataram pun membatasi ruang gerak bala pasukan Sultan Matangaji, dengan mengurangi luas wilayah Cirebon menjadi (hanya) seribu kilometer per segi. Pada saat itu pula kedudukan dalem ‘bupati’ dihilangkan. Sikap Sultan Matangaji yang dinilai sangat frontal dan keras terhadap Belanda (VOC) beresiko besar bagi keberlangsungan kepemimpinannya, termasuk ancaman dari dalam. Sultan Muda memanfaatkan kesempatan emas ini dengan baik, hingga berhasil membunuh Sultan Matangaji secara licik. Oleh Belanda, Ki Muda dinobatkan sebagai Sultan Sepuh VI dengan gelar Sultan Hasanudin, karena keberanian dan keberahasilannya menyisihkan Sultan Matangaji. Karena tragedi itu Pangeran Suryanegara, penerus sah Sultan Matangaji, hengkang dari keraton dengan membawa sejumlah kitab dan pusaka, lalu membangun kekuatan di wilayah pedalaman (Indramayu). Semestinya Pangeran Suryanegara paling berhak menggantikan saudaranya. Pasca kejadian itu pemberontakan terjadi dimana-mana (awal abad ke-19). Situasi Cirebon begitu mencekam, dan hampir mustahil bisa diredam. Pertama, pemberontakan Bagus Sidong bersama kedua putranya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasam. Pemberontakan dianggap berakhir setelah mereka mengajukan surat tuntutan tertanggal 13 Juli 1806. Pemberontakan ternyata kembali meletup. Bagus Rangin yang mengendalikannya, atau yang dikenal dengan Pemberontakan Bagus Rangin. Selanjutnya, anak keturunan Pangeran Suryanegara berusaha menghindari perselisihan dengan pihak keraton. Tidak sedikit yang mendalami ilmu agama (Islam), seperti Abdul Manan. Ditengarai, Abdul Manan adalah mursyid Tarekat Qadiriyah Wanaqsabandiyah (TQN), yang namanya diabadikan menjadi nama masjid agung di Indramayu: Masjid Islamic Center Abdul Manan Indramayu. Kecenderungan serupa juga dialami oleh Benggala Wiralodra (Bupati Indramayu IV). Karena faktor perebutan tahta, Benggala Wiralodra meninggalkan Dalem Indramayu bersama putranya, Raden Kertawijaya. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar ilmu agama (Islam), berkhalwat di tempat-tempat sunyi, dan taqarub kepada Allah. Demikian pula dengan Kiai Muqayim, keluarga keraton yang namanya kerap kali diidentikan dengan Tarekat Syattariyah. Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep. "Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara." Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda. Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon. "Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati," Rintisan Perlawanan Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786). Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker. "Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda. Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi. Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan. Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang. Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan Matangaji. Terbunuhnya Matangaji Namun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji. Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan. "Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji. Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni). Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818. Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus. Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih 7.000 pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih. Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala. Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon. Sejarah Desa Matangaji Desa ini punya ikatan dengan Sultan Matangaji yang memimpin Kesultanan Cirebon, di awal keberadaannya. Ini adalah salah satu wilayah Kesultanan Cirebon yang berada di kaki Gunung Ciremai, saat ini Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Kisah desa ini, berawal dari sebuah pedukuhan di bawah Kesultanan Cirebon pasca wafatnya Sunan Gunung Jati. Penerusnya yakni Sultan Matangaji pada waktu itu, memimpin sejumlah pedukuhan termasuk di dalamnya daerah yang kini menjadi Desa/Kecamatan Jalaksana. Alkisah, Sultan Matangaji hendak melaksanakan upacara selamatan. Kemudian beliau mengimbau kepada pedukukan untuk membawa daging kidang atau kijang. Namun dari semua pedukuhan yang bertadangan, ada satu menarik perhatian dari Sultan Matangaji karena membawa kijang dalam kondisi masih hidup. Sultan Cirebon waktu itu, mendekati utusan dari pedukuhan itu dan menananyakan nama maupun asalnya. "Saya Ki Guludug dari Pulau Pinggan dan kidang ini akan saya baktikan kepada gusti sultan," sebut Ki Guludug, sebagaimana dikisahkan di portal Pemerintah Desa Jalaksana. Karena senang dengan kijang yang masih hidup itu, Sultan Matangaji lantas memberikan nama kepada Ki Guludud dengan sebutan Wannataka. Desa yang dulu bernama Pulau Pinggan itu pun, diubah menjadi nama Laksana dan ketika itu, Sultan Matangaji pun berkunjung. Kedatangan Sultan Matangaji waktu itu, mendapatkan pengawalan dari para jawara dari Cirebon. Mereka kemudian singgah di sebuah tempat dekat Desa Laksana yang sekarang bernama Pajawan. Salah satu hobi dari Sultan Matangaji waktu itu, setiap datang kunjungan adalah melakukan menyambung ayam. Ternyata dalam pertandingan itu, ayam Sultan Matangaji yang bernama Jalak tidak terkalahkan. Bahkan selama 40 hari dipertandingkan. Setelah selesai agenda sabung ayam itu, Gusti Sultan mengumpulkan para sesepuh desa untuk bermusyawarah dan memberi nama tempat tersebut dengan Tarikolot. Atas kemenangan ayam jalak tersebut, kemudian Sultan Matangaji memberi nama daerah dari Desa Laksana menjadi Jalaksana. Tidak hanya itu, Sultan Matangaji juga memerintahkan para sesepuh desa untuk mengembangkan daerah itu dan bermunculan lah desa lainnya hingga kini ada 21. Menariknya, keberadaan 21 sesepuh Desa Jalaksana tersebut sampai dengan sekarang masih terabadikan dengan adanya pemakaman di Buyut Seikur. Desa Jalaksana kini menjadi salah satu desa penting di Kabupaten Kuningan, apalgi posisinya sangat strategis. Sebelumnya desa ini memiliki pusat keramaian karena berada di perlintasan Jalan Raya Cirebon - Kuningan. Kemudian kini memiliki akses baru lewat Jalan Baru Lingkar Timur (Jalintim) Kuningan, sehingga wilayah yang berada di bagian dalam dapat lebih mudah melakukan mobilisasi. Sejarah mengenai Desa Jalaksana sendiri, belum banyak menemukan sumber tertulis dan kebanyakan bersumber dari tutur dan cerita turun temurun. Sultan Matangaji Pencipta Kuliner Khas Santri Cirebon Ketika berkecamuk perang Cirebon Raya (Perang Kedondong) Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin. Pada masa Cirebon Dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin Kerajaan Mataram Islam juga sedang terjadi huru-hara Serangan Trunojoyo dari Madura yang berhasil menguasai pusat pemerintahan Mataram yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Amangkurat 1, hingga campur tangannya Belanda pada masa Amangkurat II yang meminta bantuan untuk melawan Trunojoyo dengan iming iming imbalan separuh wilayah Mataram, keadaan huru hara di Pusat kota mengharuskan rakyat yang berada di wilayah Rembang, Brebes, Tegal Lamongan, dan orang orang Cina harus migrasi ke wilayah Cirebon untuk mendapat perlindungan. Kedatangan para pendatang disambut hangat oleh Sultan Cirebon. Sehingga apa pun yang diminta Sultan kepada para saudagar China selalu dipenuhi. Termasuk ketika Sultan membangun Gua Sunyaragi tempat untuk berkhalwat di dekat Laut Utara para saudagar China selalu membantu. Ketika peta politik kepentingan Inggris (Belanda)vs Prancis beradu Cirebon pun terkena dampak. Sama seperti Mataram Islam di Kesultanan Cirebon pun terjadi hegemoni penguasaan keraton hingga mengharuskan Sultan Muhammad Sofiudin yang ditemani Pangeran Suryanegara, Pangeran Atasangin (Bagus Rangin) harus meninggalkan Keraton dan menjadi Santri dibeberapa Kiai, seperti Kiai Syarif Abdul Muhyidin (Buyut Muhyi, Dawuan Tegal Tani atau disebut juga buyut Rancang karena ahli merancang Strategi ketika meletus Perang Kedondong), Kiai Hasanudin (Kiai Jatiro/Atau Kiai Jatira karena di depan padepokan/pesantrennya terdapat pohon jati dua sebagai ciri tempat beliau ketika para santri pejuang akan bekunjung atau meminta nasihat dan doa agar memenangkan peperangan dengan Belanda). Dalam ngangsu kaweruh (menuntut Ilmu agama di pesantren) amanah ayah Sultan Amirzena kepada beliau (Sultan Muhammad Sofiudin) adalah harus bentas mengaji, harus selesai menghatam Al-Qur’an, dan harus matang mengaji memahami Ilmu agama. Maka karena Sultan Muhammad Sofiudin matang dalam mengaji beliau juga digelari Sultan Matangaji. Makanan kesukaan Sultan Matangaji ketika Hidup di kraton adalah ayam bakar dan nasi Kuning. Karena ketika terjadi perang gerilya dan tinggal di pesantren makanan yang dimakan adalah segala yang bersumber dari alam maka makanan yang dimasakan pun semua dari alam, dari hutan belantara, rawa yang ada di sekitar wilayah Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. seperti ubi bakar, pepes jantung pisang, terong bakar, dan makanan yang disuka Sultan Matangaji sendiri ketika tinggal di pesantren adalah "gecok". Masakan kuliner sekaliber gecok adalah makanan yang bahan dasarnya ayam bakar kemudian dicincang kecil-kecil tulangnya dibebek sampai lembut ditaburi kelapa parud yang masih segar, kunyit, jahe, garam. Ini kemudian menjadi makanan favorit santri- santri yang lain hingga ketika ada kunjungan tamu agung biasanya nasi pepes jantung pisang, terong bakar, sambel trasi dan gecok santri menjadi andalan. Hingga kini perpaduan pepes jantung pisang, terong bakar, gecok dan sambel trasi masih diminati oleh para santri Cirebon khususnya dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Bahkan setelah perang Cirebon Raya usai makanan gecok, terong bakar, pepes jantung pisang dan coel sambel trasi masih total diminati bahkan warga rela menu mewah yang ada dirumah ditukar dengan pepes jantung pisang santri.

 Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji, Sultan Kasepuhan ke - 5 ( 1773 - 1786 M )

________________________________________________



Sultan Matangaji sendiri merupakan Sultan Sepuh V yang diperkirakan memimpin keraton pada 1800-an.


Ketika Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat masih hidup, pernah disebutkan bahwa Sultan Matangaji merupakan sosok gerilyawan.


Bahkan, selama memimpin keraton, Sultan Matangaji lebih banyak menghabiskan waktunya di luar lingkungan keraton.


Garis Silsilah


Sultan Matangaji adalah tokoh nyata yang menjadi bagian penting bagi sejarah Cirebon. Adalah wajar ketika seorang sultan memiliki banyak peninggalan. Bisa dibandingkan dengan Pangeran Cakrabuwana misalnya, yang memiliki banyak tinggalan (petilisan). Paling tidak namanya disebut-sebut dalam historiografi tradisional atau catatan keluarga. 


Garis silsilah Sultan Matangaji terhubung hingga kepada Syekh Syarif Hidayatillah atau Sunan Gunung Jati, sebagaimana nasab sultan Cirebon pada umumnya. Nah, garis silsilah Sultan Matangaji yaitu dari Nyi Ratu Tepasari, salah seorang istri Sunan Gunug Jati (memiliki sembilan istri).


Dijelaskan dalam manuskrip Pustaka Asal-usul Kasultanan Cirebon, Sultan Matangaji adalah putra Sultan Sepuh Raja Sena. Jumlah putra Sultan Sepuh Raja Sena ada 13: Ratu Sultan Waragang, Ratu Raja Kartanadhi, Ratu Raja Adiningrat, Ratu Raja Wanawati, Ratu Raja Anom, Pangeran Aria Lor, Sultan Matangaji, Sultan Muda, Pangeran Aria Lorpalet, Ratu Raja Ambetkasih, Pangeran Aria Kidul, Pangeran Aria Wetan, dan Pangeran Aria Kulon.


Dua dari anak-anak Sultan Sepuh Raja Sena lahir dari ibu yang berbeda. Pertama, Sultan Matangaji lahir dari Ratu Kidul, Pakenden. Kedua,  Sultan Muda lahir dari Ratu Turi, Pakenden. Sebagian kalangan menentang nasab ini, karena Sultan Matangaji didudukkan sebagai putra selir. Bahkan ada yang berpendapat Sultan Matangaji mengalami kegilaan menjelang kematiannya.


Berbeda dari pendapat di atas, dalam manuskrip Serat Carub Kandha, Sultan Matangaji bukanlah anak dari seorang selir. Sultan Matangaji adalah putra sulung dari lima bersaudara. Kedua, Pangeran Arya Kidul atau Pangeran Jaya Wikarta. Ketiga, Pangeran Arya Panengah, yang memiliki tiga nama lain yaitu Pangeran Suryanegara, Pangeran Suryadilaga, dan Pangeran Suryakusuma. Keempat, Pangeran Arya Kulon. Dan terakhir, Nyi Mas Ratu Moblong, yang menikah dengan Ki Muda atau Sultan Muda.


Nah, menurut cerita yang beredar di masyarakat, penerus kekuasaan Sultan Matangaji, semestinya Pangeran Suryanegara. Sebab, pada masa itu, Pangeran Suryanegera dianggap paling sah melanjutkan tahta kekuasaan. Namun, Sultan Muda, rupanya mendapatkan dukungan penuh dari Belanda, sehingga ia menjadi penerus Sultan Matangaji. 


Dengan demikian, jika pendapat kedua benar adanya, maka pengganti Sultan Matangaji (hingga dua abad lebih), bukanlah trah. Tidak heran jika muncul pemeo, barangkali karena mereka sebagai “the others”, konstruksi sejarah kesultanan Cirebon terus dibuat peteng. Rasa memiliki dan tanggung jawab mereka tidak begitu besar pada tinggalan leluhurnya sendiri, termasuk Situs Matangaji.


Jejak Sultan Matangaji


Pada manuskrip Babad Darmayu dikisahkan, sekitar akhir abad ke-18, Cirebon mendapatkan serangan dari tentara Batavia. Sultan Matangaji dengan didampingi Pangeran Suryakusuma, Pangeran Martakusuma, Pangeran Pekik, Pangeran Logawa, dan Pangeran Penghulu Dulkasim, menyambut kedatangan mereka, tepatnya di Mertasinga. Segerombolan pasukan yang didatangkan dari Batavia kualahan, lari kocar-kacir ke arah timur. 


Tentara Batavia meminta bantuan kepada Sultan Mataram. Dengan hak preogratifnya, Sultan Mataram pun membatasi ruang gerak bala pasukan Sultan Matangaji, dengan mengurangi luas wilayah Cirebon menjadi (hanya) seribu kilometer per segi. Pada saat itu pula kedudukan dalem ‘bupati’ dihilangkan.


Sikap Sultan Matangaji yang dinilai sangat frontal dan keras terhadap Belanda (VOC) beresiko besar bagi keberlangsungan kepemimpinannya, termasuk ancaman dari dalam. Sultan Muda memanfaatkan kesempatan emas ini dengan baik, hingga berhasil membunuh Sultan Matangaji secara licik. Oleh Belanda, Ki Muda dinobatkan sebagai Sultan Sepuh VI dengan gelar Sultan Hasanudin, karena keberanian dan keberahasilannya menyisihkan Sultan Matangaji.


Karena tragedi itu Pangeran Suryanegara, penerus sah Sultan Matangaji, hengkang dari keraton dengan membawa sejumlah kitab dan pusaka, lalu membangun kekuatan di wilayah pedalaman (Indramayu). Semestinya Pangeran Suryanegara paling berhak menggantikan saudaranya. 


Pasca kejadian itu pemberontakan terjadi dimana-mana (awal abad ke-19). Situasi Cirebon begitu mencekam, dan hampir mustahil bisa diredam. Pertama, pemberontakan Bagus Sidong bersama kedua putranya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasam. Pemberontakan dianggap berakhir setelah mereka mengajukan surat tuntutan tertanggal 13 Juli 1806. Pemberontakan ternyata kembali meletup. Bagus Rangin yang mengendalikannya, atau yang dikenal dengan Pemberontakan Bagus Rangin.


Selanjutnya, anak keturunan Pangeran Suryanegara berusaha menghindari perselisihan dengan pihak keraton. Tidak sedikit yang mendalami ilmu agama (Islam), seperti Abdul Manan. Ditengarai, Abdul Manan adalah mursyid Tarekat Qadiriyah Wanaqsabandiyah (TQN), yang namanya diabadikan menjadi nama masjid agung di Indramayu: Masjid Islamic Center Abdul Manan Indramayu.


Kecenderungan serupa juga dialami oleh Benggala Wiralodra (Bupati Indramayu IV). Karena faktor perebutan tahta, Benggala Wiralodra meninggalkan Dalem Indramayu bersama putranya, Raden Kertawijaya. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk belajar ilmu agama (Islam), berkhalwat di tempat-tempat sunyi, dan taqarub kepada Allah. Demikian pula dengan Kiai Muqayim, keluarga keraton yang namanya kerap kali diidentikan dengan Tarekat Syattariyah.


Filolog Cirebon Rafan S. Hasyim mengatakan, era Sultan Matangaji dianggap merupakan puncak dari perlawanan Cirebon terhadap Belanda. Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep.


"Termasuk Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara."


Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Sang Sultan mengawali perlawanan terhadap Belanda.


Dia menuturkan, Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.


"Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati,"


Rintisan Perlawanan


Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).


Sultan Matangaji secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.


"Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju. Termasuk situs yang dirusak itu jadi pintu keluar Sultan Matangaji saat Gua Sunyaragi dikejar Belanda.


Namun, di tengah membangun kekuatan perlawanan, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda. Singkat cerita Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.


Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji sembari mendirikan pesntren di kawasan Sumber sebagai perlawanan.


Seiring berjalannya waktu terjadilah perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang.


Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda. Opan mengatakan, Ki Muda adalah adik ipar Sultan Matangaji.


Terbunuhnya Matangaji


Namun, ketika perundingan berlangsung, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji.


Beruntung, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan ke V Keraton Kasepuhan itu. Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji.


Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan.


"Sultan Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri. Perjuangan dianggap berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji.


Namun, kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni).


Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818.


Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus.


Pada peperangan itu, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih 7.000 pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih.


Dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala.


Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon.


Sejarah Desa Matangaji


Desa ini punya ikatan dengan Sultan Matangaji yang memimpin Kesultanan Cirebon, di awal keberadaannya. Ini adalah salah satu wilayah Kesultanan Cirebon yang berada di kaki Gunung Ciremai, saat ini Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Kisah desa ini, berawal dari sebuah pedukuhan di bawah Kesultanan Cirebon pasca wafatnya Sunan Gunung Jati.


Penerusnya yakni Sultan Matangaji pada waktu itu, memimpin sejumlah pedukuhan termasuk di dalamnya daerah yang kini menjadi Desa/Kecamatan Jalaksana. Alkisah, Sultan Matangaji hendak melaksanakan upacara selamatan. Kemudian beliau mengimbau kepada pedukukan untuk membawa daging kidang atau kijang.


Namun dari semua pedukuhan yang bertadangan, ada satu menarik perhatian dari Sultan Matangaji karena membawa kijang dalam kondisi masih hidup. Sultan Cirebon waktu itu, mendekati utusan dari pedukuhan itu dan menananyakan nama maupun asalnya.


"Saya Ki Guludug dari Pulau Pinggan dan kidang ini akan saya baktikan kepada gusti sultan," sebut Ki Guludug, sebagaimana dikisahkan di portal Pemerintah Desa Jalaksana. Karena senang dengan kijang yang masih hidup itu, Sultan Matangaji lantas memberikan nama kepada Ki Guludud dengan sebutan Wannataka.


Desa yang dulu bernama Pulau Pinggan itu pun, diubah menjadi nama Laksana dan ketika itu, Sultan Matangaji pun berkunjung.


Kedatangan Sultan Matangaji waktu itu, mendapatkan pengawalan dari para jawara dari Cirebon. Mereka kemudian singgah di sebuah tempat dekat Desa Laksana yang sekarang bernama Pajawan. Salah satu hobi dari Sultan Matangaji waktu itu, setiap datang kunjungan adalah melakukan menyambung ayam.


Ternyata dalam pertandingan itu, ayam Sultan Matangaji yang bernama Jalak tidak terkalahkan. Bahkan selama 40 hari dipertandingkan.


Setelah selesai agenda sabung ayam itu, Gusti Sultan mengumpulkan para sesepuh desa untuk bermusyawarah dan memberi nama tempat tersebut dengan Tarikolot. Atas kemenangan ayam jalak tersebut, kemudian Sultan Matangaji memberi nama daerah dari Desa Laksana menjadi Jalaksana.


Tidak hanya itu, Sultan Matangaji juga memerintahkan para sesepuh desa untuk mengembangkan daerah itu dan bermunculan lah desa lainnya hingga kini ada 21.


Menariknya, keberadaan 21 sesepuh Desa Jalaksana tersebut sampai dengan sekarang masih terabadikan dengan adanya pemakaman di Buyut Seikur.


Desa Jalaksana kini menjadi salah satu desa penting di Kabupaten Kuningan, apalgi posisinya sangat strategis. Sebelumnya desa ini memiliki pusat keramaian karena berada di perlintasan Jalan Raya Cirebon - Kuningan.


Kemudian kini memiliki akses baru lewat Jalan Baru Lingkar Timur (Jalintim) Kuningan, sehingga wilayah yang berada di bagian dalam dapat lebih mudah melakukan mobilisasi.


Sejarah mengenai Desa Jalaksana sendiri, belum banyak menemukan sumber tertulis dan kebanyakan bersumber dari tutur dan cerita turun temurun.


Sultan Matangaji Pencipta Kuliner Khas Santri Cirebon


Ketika berkecamuk perang Cirebon Raya (Perang Kedondong) Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin. Pada masa Cirebon Dipimpin oleh Sultan Muhammad Sofiudin Kerajaan Mataram Islam juga sedang terjadi huru-hara Serangan Trunojoyo dari Madura yang berhasil menguasai pusat pemerintahan Mataram yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Amangkurat 1, hingga campur tangannya Belanda pada masa Amangkurat II yang meminta bantuan untuk melawan Trunojoyo dengan iming iming imbalan separuh wilayah Mataram, keadaan huru hara di Pusat kota mengharuskan rakyat yang berada di wilayah Rembang, Brebes, Tegal Lamongan, dan orang orang Cina harus migrasi ke wilayah Cirebon untuk mendapat perlindungan.


Kedatangan para pendatang disambut hangat oleh Sultan Cirebon. Sehingga apa pun yang diminta Sultan kepada para saudagar China selalu dipenuhi. 


Termasuk ketika Sultan membangun Gua Sunyaragi tempat untuk berkhalwat di dekat Laut Utara para saudagar China selalu membantu.


Ketika peta politik kepentingan Inggris (Belanda)vs Prancis beradu Cirebon pun terkena dampak. Sama seperti Mataram Islam di Kesultanan Cirebon pun terjadi hegemoni penguasaan keraton hingga mengharuskan Sultan Muhammad Sofiudin yang ditemani Pangeran Suryanegara, Pangeran Atasangin (Bagus Rangin) harus meninggalkan Keraton dan menjadi Santri dibeberapa Kiai, seperti Kiai Syarif Abdul Muhyidin (Buyut Muhyi, Dawuan Tegal Tani atau disebut juga buyut Rancang karena ahli merancang Strategi ketika meletus Perang Kedondong), Kiai Hasanudin (Kiai Jatiro/Atau Kiai Jatira karena di depan padepokan/pesantrennya terdapat pohon jati dua sebagai ciri tempat beliau ketika para santri pejuang akan bekunjung atau meminta nasihat dan doa agar memenangkan peperangan dengan Belanda). 


Dalam ngangsu kaweruh (menuntut Ilmu agama di pesantren) amanah ayah Sultan Amirzena kepada beliau (Sultan Muhammad Sofiudin) adalah harus bentas mengaji, harus selesai menghatam Al-Qur’an, dan harus matang mengaji memahami Ilmu agama. Maka karena Sultan Muhammad Sofiudin matang dalam mengaji beliau juga digelari Sultan Matangaji. 


Makanan kesukaan Sultan Matangaji ketika Hidup di kraton adalah ayam bakar dan nasi Kuning. Karena ketika terjadi perang gerilya dan tinggal di pesantren makanan yang dimakan adalah segala yang bersumber dari alam maka makanan yang dimasakan pun semua dari alam, dari hutan belantara, rawa yang ada di sekitar wilayah Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu. seperti ubi bakar, pepes jantung pisang, terong bakar, dan makanan yang disuka Sultan Matangaji sendiri ketika tinggal di pesantren adalah "gecok". Masakan kuliner sekaliber gecok adalah makanan yang bahan dasarnya ayam bakar kemudian dicincang kecil-kecil tulangnya dibebek sampai lembut ditaburi kelapa parud yang masih segar, kunyit, jahe, garam. Ini kemudian menjadi makanan favorit santri- santri yang lain hingga ketika ada kunjungan tamu agung biasanya nasi pepes jantung pisang, terong bakar, sambel trasi dan gecok santri menjadi andalan. Hingga kini perpaduan pepes jantung pisang, terong bakar, gecok dan sambel trasi masih diminati oleh para santri 


Cirebon khususnya dan masyarakat Cirebon pada umumnya. Bahkan setelah perang Cirebon Raya usai makanan gecok, terong bakar, pepes jantung pisang dan coel sambel trasi masih total diminati bahkan warga rela menu mewah yang ada dirumah ditukar dengan pepes jantung pisang santri.

No comments:

Post a Comment