11 January 2024

Sejarah Magelang - Ada Perselisihan antara Diponegoro dan Kiai Mojo, Mengapa Kiai Mojo Menolak Uang 50 Gulden dari Diponegoro ketika di Minahasa? ________________________________________________ Kekalahan di Gawok pada Oktober 1826 memunculkan perselisihan antara Diponegoro dan Kiai Mojo. Di pembuangan di Minahasa, Diponegoro mencoba memperbaiki hubungan dengan cara memberi Kiai Mojo hadiah uang sebesar 50 gulden. Namun, Kiai Mojo sepertinya menyimpan dendam, sehingga menolak pemberian uang itu. Kiai Mojo juga menolak permintaan Diponegoro untuk mengirimkan kutipan beberapa surah atau Alquran. Dua orang pengikut Kiai Mojo yang sudah sering membantu Diponegoro juga menolak permintaan Diponegoro untuk bergabung dengan Diponegoro. “Mungkin karena tekanan dari Mojo,” tulis Peter Carey. Mojo benar-benar telah menolak berurusan lagi dengan Diponegoro. Apakah perselisihan itu muncul gara-gara perang di Gawok di dekat Surakarta? Perselisihan mereka sebenarnya tak hanya bersumber dari peperangan di Gawok, yang dipaksa oleh Kiai Mojo. Kiai Mojo terus berargumentasi bahwa menyerang Gawok akan melumpuhkan Belanda, sehingga perang tidak akan berlanjut. Diponegoro menolak usulan Kiai Mojo. Merebut Gawok berarti harus berperang melawan orang-orang Mangkunegaran yang membantu Belanda. Namun, akhirnya Diponegoro menyetujui argumentasi Kiai Mojo. Diponegoro membawa 5.000 prajurit pergi ke Gawok. Dalam peperangan ini, Diponegoro mengalami luka parah. Perselisihan Diponegoro dengan Kiai Mojo juga muncul ketika Kiai Mojo mengusulkan pembagian kekuasaan. Diponegoro menolak keinginan Kiai Mojo berkaitan dengan pembagian kekuasaan ini. Usia Kiai Mojo lebih muda tujuh tahun dari usia Diponegoro. Namun, Diponegoro menyebutnya sebagai paman, panggilan penghormatan pada posisi Kiai Mojo sebagai kiai senior yang hafal Quran. Namun menurut Diponegoro, Kiai Mojo mencoba menentang kekuasaan Diponegoro sebagai sultan pemimpjn agama. Kiai Mojo telah mengusulkan kepada Diponegoro agar membagi kekuasaan ratu, wali, dan pandito. Kiai Mojo telah meminta kepada Diponegoro untuk posisi daris alah satu kekuasaan itu. Artinya, jika Diponegoro memilih kekuasaan ratu, maka kekuasaan wali perlu diberikan kepada Kiai Mojo. Diponegoro menolak keinginan Kiai Mojo. Jika Kiai Mojo memegang kekuasaan wali, maka Diponegoro tidak lagi memiliki kekuasaan agama. Diponegoro tak ingin kasus Demak terulang. Saat itu ada 17 ulama Giri yang berkuasa atas Sultan Demak. Dalam pandangan Diponegoro, ulama cukup berfungsi sebagai penghulu seperti yang dijalankan oleh Sunan Kudus sebagai penghulu Sultan Demak. Kiai Mojo tentu saja menolak tawaran Diponegoro untuk menjadi penghulu dengan alasan bukan keturunan penghulu. Permintaan Kiai Mojo menjadi pemilik kekuasaan wali, yang artinya menjalankan kekuasaan agama, dianggap Diponegoro sebagai hal yang berlebihan. Diponegoro menegaskan dirinya yang telah terpilih menjadi kalifah Nabi Allah dalam perang suci. “Dan hanya Yang Maha Kuasa yang tahu kapan amanat itu akan ditarik,” tulis Peter Carey mengutip Babad Diponegoro. Perselisihan mengenai pembagian kekuasaan ini terjadi pada Agustus 1827. Namun Belanda sudah mencium keretakan hubungan keduanya pada Mei 1826. “Sejak awal Mei 1826, ketika Mayor CPJ Elout, putra Menteri Kelautan dan Jajahan yang fasih berbahasa Melayu itu, meneruskan suatu laporan dari Kepala Desa Tempel di Kabupaten Sleman, sudah ada kabar bahwa Diponegoro tidak mau lagi bersama Kiai Mojo seusai bulan puasa,” tulis Peter Carey. Rupanya Kiai Mojo menyimpan dendam kepada Diponegoro hingga di Minahas, tempat awal pembuangan mereka. Ketika Kiai Mojo mengembalikan uang 50 gulden dari Diponegoro, ia melontarkan alasan bahwa tunjangan dari pemerintah untuk dirinya dan pengikutnya sudah lebeih dari cukup. Priyantono Oemar Sumber rujukan: Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012) Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

 Ada Perselisihan antara Diponegoro dan Kiai Mojo, Mengapa Kiai Mojo Menolak Uang 50 Gulden dari Diponegoro ketika di Minahasa?

________________________________________________

Kekalahan di Gawok pada Oktober 1826 memunculkan perselisihan antara Diponegoro dan Kiai Mojo. Di pembuangan di Minahasa, Diponegoro mencoba memperbaiki hubungan dengan cara memberi Kiai Mojo hadiah uang sebesar 50 gulden.


Namun, Kiai Mojo sepertinya menyimpan dendam, sehingga menolak pemberian uang itu. Kiai Mojo juga menolak permintaan Diponegoro untuk mengirimkan kutipan beberapa surah atau Alquran.


Dua orang pengikut Kiai Mojo yang sudah sering membantu Diponegoro juga menolak permintaan Diponegoro untuk bergabung dengan Diponegoro. “Mungkin karena tekanan dari Mojo,” tulis Peter Carey. 


Mojo benar-benar telah menolak berurusan lagi dengan Diponegoro. Apakah perselisihan itu muncul gara-gara perang di Gawok di dekat Surakarta?


Perselisihan mereka sebenarnya tak hanya bersumber dari peperangan di Gawok, yang dipaksa oleh Kiai Mojo. Kiai Mojo terus berargumentasi bahwa menyerang Gawok akan melumpuhkan Belanda, sehingga perang tidak akan berlanjut.


Diponegoro menolak usulan Kiai Mojo. Merebut Gawok berarti harus berperang melawan orang-orang Mangkunegaran yang membantu Belanda. Namun, akhirnya Diponegoro menyetujui argumentasi Kiai Mojo.


Diponegoro membawa 5.000 prajurit pergi ke Gawok. Dalam peperangan ini, Diponegoro mengalami luka parah.


Perselisihan Diponegoro dengan Kiai Mojo juga muncul ketika Kiai Mojo mengusulkan pembagian kekuasaan. Diponegoro menolak keinginan Kiai Mojo berkaitan dengan pembagian kekuasaan ini.


Usia Kiai Mojo lebih muda tujuh tahun dari usia Diponegoro. Namun, Diponegoro menyebutnya sebagai paman, panggilan penghormatan pada posisi Kiai Mojo sebagai kiai senior yang hafal Quran.


Namun menurut Diponegoro, Kiai Mojo mencoba menentang kekuasaan Diponegoro sebagai sultan pemimpjn agama. Kiai Mojo telah mengusulkan kepada Diponegoro agar membagi kekuasaan ratu, wali, dan pandito.


Kiai Mojo telah meminta kepada Diponegoro untuk posisi daris alah satu kekuasaan itu. Artinya, jika Diponegoro memilih kekuasaan ratu, maka kekuasaan wali perlu diberikan kepada Kiai Mojo.


Diponegoro menolak keinginan Kiai Mojo. Jika Kiai Mojo memegang kekuasaan wali, maka Diponegoro tidak lagi memiliki kekuasaan agama.


Diponegoro tak ingin kasus Demak terulang. Saat itu ada 17 ulama Giri yang berkuasa atas Sultan Demak.


Dalam pandangan Diponegoro, ulama cukup berfungsi sebagai penghulu seperti yang dijalankan oleh Sunan Kudus sebagai penghulu Sultan Demak. Kiai Mojo tentu saja menolak tawaran Diponegoro untuk menjadi penghulu dengan alasan bukan keturunan penghulu.


Permintaan Kiai Mojo menjadi pemilik kekuasaan wali, yang artinya menjalankan kekuasaan agama, dianggap Diponegoro sebagai hal yang berlebihan. Diponegoro menegaskan dirinya yang telah terpilih menjadi kalifah Nabi Allah dalam perang suci.


“Dan hanya Yang Maha Kuasa yang tahu kapan amanat itu akan ditarik,” tulis Peter Carey mengutip Babad Diponegoro.


Perselisihan mengenai pembagian kekuasaan ini terjadi pada Agustus 1827. Namun Belanda sudah mencium keretakan hubungan keduanya pada Mei 1826.



“Sejak awal Mei 1826, ketika Mayor CPJ Elout, putra Menteri Kelautan dan Jajahan yang fasih berbahasa Melayu itu, meneruskan suatu laporan dari Kepala Desa Tempel di Kabupaten Sleman, sudah ada kabar bahwa Diponegoro tidak mau lagi bersama Kiai Mojo seusai bulan puasa,” tulis Peter Carey.


Rupanya Kiai Mojo menyimpan dendam kepada Diponegoro hingga di Minahas, tempat awal pembuangan mereka. Ketika Kiai Mojo mengembalikan uang 50 gulden dari Diponegoro, ia melontarkan alasan bahwa tunjangan dari pemerintah untuk dirinya dan pengikutnya sudah lebeih dari cukup.


Priyantono Oemar


 

Sumber rujukan:

Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)



No comments:

Post a Comment