TOKOH BESAR MILITER INDONESIA
Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution (AH Nasution) adalah salah satu tokoh militer dan politikus Indonesia yang berperan penting dalam sejarah bangsa. Ia Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Nasution dikenal sebagai salah satu dari tiga jenderal bintang lima di Indonesia. Yaitu Soedirman Soeharto Nasution.
(MASA MUDA DAN KARIR MILITER)
AH Nasution lahir dari keluarga petani dan merupakan anak kedua serta putra tertua. Ayahnya adalah seorang pedagang tekstil, karet, dan kopi, serta anggota Sarekat Islam yang sangat religius dan menginginkan putranya belajar di sekolah agama. Namun, ibunya ingin ia belajar kedokteran di Batavia. Setelah lulus sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukittinggi.
Pada tahun 1935, Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi. Minatnya menjadi guru berangsur-angsur memudar seiring dengan tumbuhnya minat pada politik. Ia secara diam-diam membeli buku-buku yang ditulis oleh Sukarno dan membacanya bersama teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, di dekat rumah Sukarno yang sedang diasingkan. Setahun kemudian, ia pindah ke Tanjung Praja, dekat Palembang, di mana ia terus mengajar tetapi beliau semakin tertarik pada politik dan militer.
Pada tahun 1940, setelah Nazi Jerman menduduki Belanda, otoritas kolonial Belanda membentuk korps cadangan perwira yang menerima orang Indonesia. Nasution mendaftar untuk bergabung karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Ia dikirim ke akademi militer Bandung untuk pelatihan, dan pada September 1940, ia dipromosikan menjadi kopral, lalu tiga bulan kemudian menjadi sersan. Dan dia kemudian menjadi perwira di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).
(REVOLUSI NASIONAL)
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, ia diangkat sebagai komandan regional Divisi Siliwangi, yang menjaga keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang kemudian menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia yaitu (TNI).
Pada Januari 1948, setelah Perjanjian Renville, Nasution terpaksa memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah karena wilayah Jawa Barat diduduki Belanda. Pada tahun yang sama, ia diangkat menjadi Wakil Komandan TKR, menjadikannya orang paling berkuasa kedua di TKR setelah Jenderal Sudirman. Nasution berperan dalam reorganisasi pasukan dan menyarankan taktik perang gerilya melawan Belanda. Ia juga terlibat dalam penumpasan Pemberontakan Madiun pada September 1948, meskipun jendral Soedirman awalnya menginginkan negosiasi dengan Belanda.
(ERA DEMOKRASI)
Pada tahun 1950, Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Bersama TB Simatupang, ia mencoba merestrukturisasi dan mereorganisasi ABRI menjadi lebih kecil, modern, dan profesional. Namun, kebijakan ini menimbulkan konflik dengan faksi-faksi dalam militer, terutama antara alumni KNIL dan PETA.
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan untuk mengepung Istana Kepresidenan, menuntut pembubaran DPR karena dianggap mencampuri urusan militer. Peristiwa ini dikenal sebagai "Peristiwa 17 Oktober." Meskipun ia berhasil mengumpulkan dukungan sipil, Soekarno berhasil membujuk pasukan dan warga sipil untuk pulang. Akibatnya, Nasution dan Simatupang kehilangan jabatan mereka dan diberhentikan dari dinas militer pada Desember 1952.
Selama masa "pengasingan" ini, Nasution menulis buku "Fundamentals of Guerrilla Warfare" (Pokok-Pokok Gerilya), yang menjadi salah satu buku paling banyak dipelajari tentang perang gerilya bersama karya Mao Zedong. Pada 27 Oktober 1955, Nasution diangkat kembali sebagai KSAD.
(ERA DEMOKRASI DAN PEMBERONTAK PKI)
Nasution memainkan peran penting dalam mengusulkan konsep "Dwi Fungsi ABRI" pada tahun 1958, yang memungkinkan tentara tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam politik dan ekonomi. Ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan serta merangkap KSAD. Namun, perannya mulai melemah pada tahun 1962 ketika ia diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB), sementara komando Angkatan Darat diberikan kepada Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang lebih dekat dengan Soekarno.
Pada 1 Oktober 1965, Nasution menjadi salah satu target utama dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI). Ia berhasil melarikan diri dari sergapan pasukan Cakrabirawa di kediamannya dengan melompati tembok belakang rumahnya, setelah sempat berdiskusi dengan istrinya. Namun, putrinya, Ade Irma Suryani, dan ajudannya, Letnan Pierre Tendean, menjadi korban dalam peristiwa kejam tersebut.
(TRANSISI ORDER BARU DAN AKHIR HAYAT)
Setelah G30S/PKI, Nasution menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Ia menolak pidato pertanggung jawaban Soekarno (Nawaksara) dan mencabut mandat Soekarno sebagai presiden. Nasution juga berperan dalam mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967 dan Presiden definitif pada 27 Maret 1968.
Namun, hubungan Nasution dengan Soeharto memburuk. Soeharto melihat Nasution sebagai saingan dan membatasi perannya. Dan pada tahun 1971, Nasution dipensiunkan dari militer pada usia 53 tahun, lebih cepat dari jadwal resmi 55 tahun. Meskipun demikian, hubungan mereka mulai membaik pada tahun 1990-an, dan pada 5 Oktober 1997, Nasution dianugerahi pangkat Jenderal Besar oleh TNI.
AH Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada usia 81 tahun. Ia dikenang sebagai salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Sumber : Indonesia Tempo Doeloe