01 April 2013

Tentang Sejarah Magelang - RIWAYAT 3 PLENGKUNG DUA DIRUBAH SATU TIDAK TERAWAT

Oleh : Bagus Priyana

RIWAYAT 3 PLENGKUNG DUA DIRUBAH SATU TIDAK TERAWAT

Plengkung Jalan Piere Tendean Kota Magelang
Air merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan. Dalam usaha mencukupinya berbagai macam sarana dan insfrastuktur pun dibangun. Hal itu pun terjadi di Kota Magelang. Untuk menjukupi kebutuhan air masyarakat maka dibangunlah saluran air lengkap dengan fasilitas yang menjamin air tersebut sampai ke tujuannya.
Sejak zaman kolonial, Kota Magelang memang diproyeksikan menjadi sebuah pemukiman yang nyaman. Untuk mendukung kenyamanan tersebut, maka dibangunlah saluran air kota (Boog Kotta Leiding). Saluran tersebut mengambil air dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara Kota Magelang. Selain dibangun untuk mencukupi kebutuhan air rumah, saluran tersebut juga digunakan untuk membersihkan limbah rumah tangga dari pemukiman warga. Untuk mencapai fungsi itu, maka diperlukan saluran air yang memiliki tekanan. Maka dipilih pemanfaatan energi grafitasi. Saluran air tersebut dibuat mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Untuk itu pemerintah kolonial membuat pipa air dengan panjang sekitar 6,5 km dari kali manggis dan berakhir di Kampung  Jagoan Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan. Pipa tersebut dibuat melayang dengan diletakkan di gundukan tanah yang sengaja dibuat. Gundukan tersebut memanjang sehingga menyerupai sebuah benteng yang berada di tengah kota. Namun tidak ada sumber yang menyebutkan asal tanah, pekerja dan biaya yang diperlukan untuk membuat gundukan tersebut.
Saluran tersebut memanjang dan membelah kota atau sering disebut dengan Fly River atau Aqua Duct. Untuk saluran yang memotong jalan raya, pemerintah Belanda pun membangun sebuah bangunan menyerupai benteng (orang akrab menyebutnya sebagai plengkung). Tercatat hingga saat ini ada 3 plengkung yang rata rata memiliki tingi dan lebar 7 meter. Yaitu Plengkung di Jalan Piere Tendean (1883), di Jalan Daha/Tengkon (1893) dan di Jalan Ade Irma Suryani (1920). Plengkung tersebut masuk sebagai benda cagar budaya yang keberadaannya perlu dilestarikan.
“Plengkung yang pertama di bangun di Jalan Piere Tendean dan terahir dijalan Ade Irma dan orang yang mengenal dengan plengkung baru,” kata pemerhati kota toea Magelang, Bagus Priyatna.
Untuk plengkung di Jalan Piere Tendean dibangun guna membuka akses jalan seiring dibangunnya komplek militer di Taman Badaan (Nievws Officer Kampement) dan tangsi militer (Militair Kompement) di Rindam IV Diponegoro. Berbeda dengan bangunan serupa seperti di Jogyakarta yang berfungsi sebagai benteng. Plengkung yang ada di Kota Magelang berguna untuk tempat saluran air dan membuka akses jalan.
Namun pada saat jaman kemerdekaan, Plengkung ini juga digunakan para pejuang sebagai benteng perjuangan. Mereka kerap naik ke atas plengkung dan sepanjang saluran air dalam konfrontasi bersenjata dengan pemerintah kolonial Belanda.
DIROMBAK
Namun sangat disayangkan, 2 dari 3 Plengkung yang ada telah mengalami perombakan total dan artisektur aslinya hilang. Itu terjadi pada Plengkung di Jalan Piere Tendean. Plenkung ini dulunya dibuat dengan satu gerbang melengkung dengan komposisi batu kali yang ditata. Pada renovasi pada tahun 2008, Dinding yang terbuat dari tatanan batu kali ini ditutup dengan semen dan dilapisi dengan batu taman.
Sedang Plengkung yang berada di Jalan Daha pada saat dibangun terdiri dari satu pintu utama dan dua pintu pendukung di samping kanan dan kirinya. Pada masa Jepang masuk ke Indonesia, dua pintu pendukung tersebut ditutup dengan tanah. Baru pada sekitar tahun 1999 penutup tersebut dihilangkan sehingga kembali seperti aslinya. Namun sangat disayangkan seiring dibangunnya perumahan di sekitar Plengkung tersebut pada tahun 2008. Plengkung tersebut juga mengalami renovasi, namun sayang renovasi yang dilakukan menghilangkan komposisi bangunan lama.
“Itu sangat disayangkan, perombakan mengesampingkan nilai sejarah. Harusnya itu tidak boleh, wong itu masuk benda cagar budaya,” kata Fredi Uwek yang juga salah satu pemerhati kota tua.
Sekarang hanya tersisa Plengkung yang ada di Jalan Ade Irma Suryani, namun kondisinya pun sudah cukup memprihatinkan. Di sana sini bangunan tersebut ditumbuhi lumut. Lumut tersebut tumbuh bubur karena lembab dikarenakan rembesan air. Jika terus dibiarkan struktur bangunan tersebut bisa rusak. Salah satu solusinya dengan melakukan renovasi, namun apakan renovasi Plengkung tersebut akan merubah akan menghilangkan sejarah dengan merubah total stuktur bangunan seperti dua plengkung lainnya. Hal ini sangat tergantung komitmen pemerintah kota untuk tetap menjaga kelestarian benda cagar budaya, salah satu aset yang ada di Kota Magelang.

Sumber :
https://kotatoeamagelang.wordpress.com/2011/03/30/riwayat-3-plengkung-dua-dirubah-satu-tidak-terawat/#more-50

No comments:

Post a Comment