12 March 2019

Tentang Sejarah Magelang - MAGELANG TEMPO DOELOE: KIPRAH PELUKIS MAGELANG DARI MASA HINDIA BELANDA, JEPANG, REVOLUSI FISIK HINGGA ORDE BARU

Oleh :
Bagus Priyana
MAGELANG TEMPO DOELOE:
KIPRAH PELUKIS MAGELANG DARI MASA HINDIA BELANDA, JEPANG, REVOLUSI FISIK HINGGA ORDE BARU 
Pelukis De Jong, pada tahun 1939-1941 membuka sebuah Studio Atelier atau sanggar seni lukis bertempat di Pecinan (pernah jadi Toko Duta Kencana). De Jong mengumpulkan pelukis-pelukis pribumi, seperti Soediro (Jogja), Soengkono (Solo), Soedrajad, Miin, Hassim, Suhardi, S. Prapto dan Soewito dari Magelang.
Studio tersebut di beri nama "RECONDE" yang merupakan singkatan dari REclame, CONstructie & DEcoratie. Tetapi pada kenyataannya, studio tersebut lebih banyak mengerjakan lukisan seni, seperti: landscape, still life, potret manusia dan taferil. Bukan itu saja, pelukis-pelukis pribumi yang berkarya di Atelier ternyata mengalami 'penindasan' karya dari pemilik studio.
Studio ini banyak menerima pesanan lukisan dari para opsir Belanda serta pejabat sipil Belanda. Sebagaimana diketahui bahwa Magelang memiliki tangsi militer sebagai pusat Divisi III Angkatan Darat Belanda.
Pesanan lukisan itu dilakukan oleh pelukis-pelukis pribumi dengan upah 35% dari harga jual lukisan dengan material lukisan disediakan oleh studio tersebut.
Anehnya, tanda tangan atau inisial yang dibubuhkan di sudut bawah kanvas lukisan diganti dengan nama studio itu, bukan nama pelukisnya itu sendiri. Memang di saat itu tanda tangan atau inisial dari si pelukis asli kurang laku di pasaran mengingat para peminat lukisan lebih banyak orang-orang Eropa. Dan orang-orang Eropa itu lebih menyukai dan meminati lukisan dari bangsanya sendiri dibandingkan lukisan karya pelukis pribumi.
Orang-orang Eropa akan membeli lukisan karya pelukis pribumi jika pelukis tersebut merupakan lulusan dari akademi seni lukis dari Belanda, yang tentu saja jumlah pelukis seperti ini bisa dihitung dengan jari.
Saat itu, di Indonesia belum ada akademi seni lukis. Kebanyakan para pelukis merupakan pelukis otodidak (alamiah) atau belajar dari pelukis yang bertaraf lebih maju. Para pelukis pribumi sangat terdesak oleh pelukis-pelukis Belanda, baik dalam pengembangan seni maupun pada segi ekonomis.
(Bersambung)



Sumber :
https://www.facebook.com/bagus.priyana?__tn__=%2CdC-R-R&eid=ARD6003zl_D6rIjVvrcdUxUVC5B22pHdXMWrFG000tBchk8m7u3SWH1GMrqR3IGZqu488f5TPWbq-YOd&hc_ref=ARQOZ1QqsMYNOEWSGfcKfJi3iGAfuIqUQXgzUUsSeIXgZtGtFseVNs57v4dJFzZ9FsE&fref=nf

No comments:

Post a Comment