29 November 2023

Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo IV ( Mas Tumenggung Sumadipuro/ Kanjeng Pangeran Joko Hadiyosodiningrat/ Surodipo/ Raden Bagus Sukapja/ Pangeran Harya Juru ) Lahir : ? Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta ke - 4 : 11 Februari 1847 - 17 November 1879 M. Adipati Kediri. Bupati Japan (Mojokerto). Orang Tua : ♂ Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo III / Pangeran Natadiningrat (Barep Hadiwanaryo / Raden Joyosentiko, Pangeran Joko Hadiyosodiningrat), ♀Gusti Kanjeng Ratu Sasi. Istri : ♀️BRAy Danurejo. Anak : ♀ Kanjeng Mas Hemawati. Wafat : tahun 1884 M Makam : Astana Mlangi, Sebelah Utara Demak Ijo, Sleman, Yogyakarta. Keterangan : Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV pada masa kecil bernama Raden Bagus Sukapja, lantas pada masa dewasanya membawa gelar Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo. Beliau merupakan putra dari Kanjeng Raden Adipati Danurejo II. Selama Perang Jawa (1825-1830), ia menjadi salah satu panglima Diponegoro untuk wilayah Banyumas. Beliau menikah dengan BRAy Danurejo, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan BRAy Retnodiningrum. Danurejo IV mengajukan pengunduran diri setelah hampir 33 tahun mengabdi. Kemudian beliau dikenal dengan nama Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder. Beliau meninggal dunia pada tahun 1884 dan dimakamkan di Astana Mlangi, sebelah utara Demakijo. Pada tanggal 2 Desember 1813 Sumadipura pun diangkat dan dilantik sebagai Pepatih Dalem Danureja IV dan kelak memangku jabatan terhormat itu selama 34 tahun, atau sampai tahun 1847. Seperti yang diperkirakan, sebagai orang luar yang sebelumnya tidak memiliki akses ke wilayah lingkaran dalam kalangan elit istana, pada awal memegang kendali pemerintahan Danureja IV mendapat banyak hambatan dan cibiran dari pejabat lain. Hanya karena jasa Pangeran Dipanegara yang selalu membelanya dan pasang badan sematalah Danurejo IV mampu melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang. Sayangnya ada satu hal yang luput dari pengetahuan Pangeran Diponegoro. Terlepas dari pengaruh dan perlindungan sang Pangeran, Danureja IV justru tidak merasa berhutang budi. Sebaliknya, ia seperti dihinggapi syndrome “kere munggah bale” ini menyembunyikan sebuah luka di dalam hati karena ia merasa hidup dalam bayang-bayang. Semua jasa dan budi baik Diponegoro datang justru serasa taburan garam yang semakin membusukkan luka di jantung. Dia dihinggapi perasaan rendah diri seolah-olah semua mata memandang dengan memandangnya rendah, seolah-olah semua bibir dimencongkan dengan mulut yang kasak-kusuk menggunjingkan dia di belakangnya dan mengatakan bahwa dia bukan siapa-siapa bila bukan karena Pangeran Diponegoro. Danurejo IV bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti apa yang dipikirkan orang. Dia yakin dia bisa, mampu, dan hebat meskipun tanpa campur tangan Sang Pangeran. Ketika pada tahun 1816 Hamengkubuwana III mangkat dan digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot yang masih berusia kanak-kanak menjadi Hamengkubuwana IV, sang Patih yang mata gelap ini mulai menunjukkan kedurjanaannya. Keberadaan Pangeran Diponegoro yang lebih banyak meninggalkan istana dan tinggal di Tegalrejo menjadikannya lancang berani menggantikan pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan mulai menyusun berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Karena merasa pelindung pelindung yang sebelumnya mulai menjauh, diapun mencari sosok pelindung lain yang celakanya ditemukannya pada pemerintah kolonial Belanda, pihak yang sebenarnya hanya berkepentingan memanfaatkan keraton sebagai alat untuk mencapai keuntungannya sendiri. Untuk memuaskan luka hatinya, Danurejo IV rela menggadaikan jiwa menjadi antek pihak asing. Naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang yang tidak baik dan rusak. Dia mendapat julukan “setan kulambi manungsa”, yaitu setan berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, yang menggembar-gemborkan uang rakyat sambil duduk manis di singgasananya. Babad Kedung Kebo mencatat sebuah peristiwa yang menandai anti klimaks dengan sang Pangeran. Pada tahun 1822, Pangeran memanggil Danurejo IV dalam sebuah penghadapan, berkaitan dengan berbagai laporan miring atas kesewenang-wenangannya menindas rakyat. Selaku wali sultan yang masih bocah, Diponegoro menginterogasinya di paseban, di depan banyak pemangku pejabat dan seorang sentono (anggota keluarga sultan). Dulu Pangeran pernah membahas suatu kebijakan bersama ayahnya, sultan Hamengkubuwono III terkait dengan penunjukan petugas resmi polisi pedesaan atau gunung dan peran mereka atas masyarakat pedesaan. Tanpa berkonsultasi, Danurejo IV menunjuk 50 lebih petugas resmi yang digaji langsung dari uang pajak kerajaan dengan tugas khusus mengumpulkan pacumpleng -pajak rumah tangga yang sekaligus petugas penegak hukum. Pangeran menjadi murka ketika Danurejo IV terus saja mengelak dengan berbagai dalih, dan terjadilah sebuah peristiwa heboh ini. Pangeran yang amat disegani semua kalangan itu tiba-tiba berdiri, melepaskan selop alas kakinya dan dengan langkah murka medekati Danurejo IV dan memukulkan selop tersebut ke kepala dan wajah sang patih yang duduk menyembah. Penghinaan itu takkan pernah dilupakan oleh Danureja IV sepanjang hidupnya, meski sesungguhnya dia sangat pantas untuk ditinggali. Insiden besar kedua terjadi ketika dalam sebuah pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan berbagai minuman keras. Lazim pada masa itu pesta-pesta ala barat diadakan di kalangan pemerintahan sehingga Pangeran Diponegoro sampai tidak tahan dan berasumsi bahwa Belanda telah menginjak-injak dan mencemari keraton. Danureja IV bermaksud membalas dendam yang pernah ia alami. Ia tahu bahwa sang Pangeran tidak akan sudi ikut minum, sehingga dengan sengaja menawarkannya sebuah gelas. “Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab”, batinnya. Tak disangka, Pangeran Dipanegara melakukan hal yang kian menyalakan balas dendam Danureja IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah disiram anggur yang dihempaskan oleh Sang Pangeran. Semenjak itu, dengan penuh kedengkian Danurejo IV benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta, orang yang telah berjasa besar mengangkatnya sebagai pejabat administratif tertinggi di Keraton, sebagai orang kedua dalam pemerintahan.

 Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo IV

( Mas Tumenggung Sumadipuro/ Kanjeng Pangeran Joko Hadiyosodiningrat/ Surodipo/ Raden Bagus Sukapja/ Pangeran Harya Juru )


Lahir : ?

Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta ke - 4 : 11 Februari 1847 - 17 November 1879 M.

Adipati Kediri.

Bupati Japan (Mojokerto).

Orang Tua : ♂ Kanjeng Pangeran Adipati Danurejo III / Pangeran Natadiningrat (Barep Hadiwanaryo / Raden Joyosentiko, Pangeran Joko Hadiyosodiningrat), ♀Gusti Kanjeng Ratu Sasi.

Istri : ♀️BRAy Danurejo.

Anak : ♀ Kanjeng Mas Hemawati.

Wafat : tahun 1884 M

Makam : Astana Mlangi, Sebelah Utara Demak Ijo, Sleman, Yogyakarta.


Keterangan : 


Kanjeng Raden Adipati Danurejo IV pada masa kecil bernama Raden Bagus Sukapja, lantas pada masa dewasanya membawa gelar Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo. Beliau merupakan putra dari Kanjeng Raden Adipati Danurejo II. Selama Perang Jawa (1825-1830), ia menjadi salah satu panglima Diponegoro untuk wilayah Banyumas.

 

 

Beliau menikah dengan BRAy Danurejo, putri dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dan BRAy Retnodiningrum. Danurejo IV mengajukan pengunduran diri setelah hampir 33 tahun mengabdi. Kemudian beliau dikenal dengan nama Pangeran Harya Juru atau Pangeran Juru Ridder. Beliau meninggal dunia pada tahun 1884 dan dimakamkan di Astana Mlangi, sebelah utara Demakijo.


Pada tanggal 2 Desember 1813 Sumadipura pun diangkat dan dilantik sebagai Pepatih Dalem Danureja IV dan kelak memangku jabatan terhormat itu selama 34 tahun, atau sampai tahun 1847.


Seperti yang diperkirakan, sebagai orang luar yang sebelumnya tidak memiliki akses ke wilayah lingkaran  dalam kalangan elit istana, pada awal memegang kendali pemerintahan Danureja IV mendapat banyak hambatan dan cibiran dari pejabat lain. Hanya karena jasa Pangeran Dipanegara yang selalu membelanya dan pasang badan sematalah Danurejo IV mampu melewati tahun-tahun pertama jabatannya yang sebenarnya penuh rongrongan dengan prestasi gemilang.


Sayangnya ada satu hal yang luput dari pengetahuan Pangeran Diponegoro. Terlepas dari pengaruh dan perlindungan sang Pangeran, Danureja IV justru tidak merasa berhutang budi. Sebaliknya, ia seperti dihinggapi syndrome “kere munggah bale” ini menyembunyikan sebuah luka di dalam hati karena ia merasa hidup dalam bayang-bayang. Semua jasa dan budi baik Diponegoro datang justru serasa taburan garam yang semakin membusukkan luka di jantung.


Dia dihinggapi perasaan rendah diri seolah-olah semua mata memandang dengan memandangnya rendah, seolah-olah semua bibir dimencongkan dengan mulut yang kasak-kusuk menggunjingkan dia di belakangnya dan mengatakan bahwa dia bukan siapa-siapa bila bukan karena Pangeran Diponegoro.


Danurejo IV bertekad untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti apa yang dipikirkan orang. Dia yakin dia bisa, mampu, dan hebat meskipun tanpa campur tangan Sang Pangeran.


Ketika pada tahun 1816 Hamengkubuwana III mangkat dan digantikan oleh Raden Mas Ibnu Jarot yang masih berusia kanak-kanak menjadi Hamengkubuwana IV, sang Patih yang mata gelap ini mulai menunjukkan kedurjanaannya.


Keberadaan Pangeran Diponegoro yang lebih banyak meninggalkan istana dan tinggal di Tegalrejo menjadikannya lancang berani menggantikan pejabat-pejabat bawahannya dengan para penjilatnya dan mulai menyusun berbagai kebijakan yang merugikan rakyat. Karena merasa pelindung pelindung yang sebelumnya mulai menjauh, diapun mencari sosok pelindung lain yang celakanya ditemukannya pada pemerintah kolonial Belanda, pihak yang sebenarnya hanya berkepentingan memanfaatkan keraton sebagai alat untuk mencapai keuntungannya sendiri.


Untuk memuaskan luka hatinya, Danurejo IV rela menggadaikan jiwa menjadi antek pihak asing.


Naskah Jawa zaman itu mulai menggambarkannya sebagai seorang yang tidak baik dan rusak. Dia mendapat julukan “setan kulambi manungsa”, yaitu setan berbaju manusia, yang “angecu sarwi lenggah”, yang menggembar-gemborkan uang rakyat sambil duduk manis di singgasananya.


Babad Kedung Kebo mencatat sebuah peristiwa yang menandai anti klimaks dengan sang Pangeran. Pada tahun 1822, Pangeran memanggil Danurejo IV dalam sebuah penghadapan, berkaitan dengan berbagai laporan miring atas kesewenang-wenangannya menindas rakyat. Selaku wali sultan yang masih bocah, Diponegoro menginterogasinya di paseban, di depan banyak pemangku pejabat dan seorang sentono (anggota keluarga sultan). Dulu Pangeran pernah membahas suatu kebijakan bersama ayahnya, sultan Hamengkubuwono III terkait dengan penunjukan petugas resmi polisi pedesaan atau gunung dan peran mereka atas masyarakat pedesaan. Tanpa berkonsultasi, Danurejo IV menunjuk 50 lebih petugas resmi yang digaji langsung dari uang pajak kerajaan dengan tugas khusus mengumpulkan pacumpleng -pajak rumah tangga yang sekaligus petugas penegak hukum.


Pangeran menjadi murka ketika Danurejo IV terus saja mengelak dengan berbagai dalih, dan terjadilah sebuah peristiwa heboh ini. Pangeran yang amat disegani semua kalangan itu tiba-tiba berdiri, melepaskan selop alas kakinya dan dengan langkah murka medekati Danurejo IV dan memukulkan selop tersebut ke kepala dan wajah sang patih yang duduk menyembah.


Penghinaan itu takkan pernah dilupakan oleh Danureja IV sepanjang hidupnya, meski sesungguhnya dia sangat pantas untuk ditinggali.


Insiden besar kedua terjadi ketika dalam sebuah pesta bersama Belanda, disajikan anggur dan berbagai minuman keras. Lazim pada masa itu pesta-pesta ala barat diadakan di kalangan pemerintahan sehingga Pangeran Diponegoro sampai tidak tahan dan berasumsi bahwa Belanda telah menginjak-injak dan mencemari keraton. Danureja IV bermaksud membalas dendam yang pernah ia alami. Ia tahu bahwa sang Pangeran tidak akan sudi ikut minum, sehingga dengan sengaja menawarkannya sebuah gelas. “Santri udik itu malam ini akan dipermalukan di tengah pesta orang beradab”, batinnya. Tak disangka, Pangeran Dipanegara melakukan hal yang kian menyalakan balas dendam Danureja IV. Begitu gelas diterima, sang Patih kaget karena wajahnya basah disiram anggur yang dihempaskan oleh Sang Pangeran.


Semenjak itu, dengan penuh kedengkian Danurejo IV benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk menghancurkan kedudukan Pangeran Diponegoro di Keraton Yogyakarta, orang yang telah berjasa besar mengangkatnya sebagai pejabat administratif tertinggi di Keraton, sebagai orang kedua dalam pemerintahan.



No comments:

Post a Comment