25 October 2019

Tentang Sejarah Magelang - TRAGEDI TABRAKAN MAUT KERETA API DI JEMBATAN KALI ELO

Bagus Priyana
MAGELANG TEMPO DOELOE :
TRAGEDI TABRAKAN MAUT KERETA API DI JEMBATAN KALI ELO
Tuk..tuk..tuk..., tuk..tuk,..tuuuukk...
Tangan berkeriput itu dengan gemetar berusaha mengetukkan jari tangan kanannya di lengan kursi kayu yang didudukinya. Duduk tenang di kursi kayu dengan baju jas yang rapi dan sisiran rambut yang klimis meski sudah mulai pudar memutih.
Nampak keseriusan ketika Soekardjo Mangoenwidjojo menceritakan kenangan puluhan tahun yang lalu kepada saya di kediamannya di Muntilan Magelang.
Waktu itu bulan April 2009, ya sekitar 7,5 tahun yang lalu saya berkesempatan bersilaturahmi dengan Soekardjo, seorang mantan pegawai perusahaan kereta api (dulu DKA/Djawatan Kereta Api, kini PT KAI).
Saat berbincang-bincang itulah beliau "memperagakan" ketukan-ketukan sandi morse untuk mengirim telegram di lengan kayu kursinya.
Lelaki sepuh berusia 70-an tahun ini masih ingat benar dengan sandi morse meski sudah pensiun puluhan tahun yang lalu.
Soekardjo bekerja di DKA dari tahun 1950-an hingga 1970-an. Ayahnya dahulu juga bekerja di perusahaan kereta api di jaman Belanda hingga era Jepang. Pada sekitar tahun 1943-an saat awal Jepang masuk ke Magelang, ayah Soekardjo menjabat sebagai Kepala Stasiun (KS) Blabak Magelang.
Saat itu, Soekardjo masih berusia remaja, belum bekerja di perusahaan kereta api. Ada sebuah peristiwa tragis yang di alami oleh ayah Soekardjo semasa bekerja maupun berdasarkan kesaksian Soekardjo sendiri. Sebuah tragedi besar yang menjadi sejarah kelam perkeretaapian di wilayah Magelang. Peristiwa itu adalah tabrakan maut antara 2 kereta api uap (biasa disebut dengan sepur trutug/kluthuk) di selatan jembatan rel kereta api Kali Elo. Sekitar 1 kilometer selatan dari pertigaan Blondo Magelang (masuk Dusun Pare, Desa Blondo Kec. Mungkid Kab. Magelang.
"Tabrakan maut itu tidak bisa saya lupakan seumur hidup saya, benar-benar memilukan," tutur Soekardjo dengan terbata-bata dengan mata nanar sambil mencoba membuka memori ingatannya.
Tidak tau tepatnya kapan peristiwa itu terjadi, yang pasti di awal periode Jepang menguasai Magelang, mungkin sekitar tahun 1943. Tetapi Soekardjo masih bisa mengingat betul dengan baik kisah tragis tersebut meski puluhan tahun peristiwa itu sudah berlalu.
Soekardjo mengatakan, jika saat itu ada sebuah kereta api gerbong yang mengangkut beras meluncur dari Stasiun Mertoyudan menuju ke arah selatan (arah ke Blabak - Muntilan).
"Ada rangkaian kereta api dengan 7 gerbong yang mengangkut beras berjalan cepat dari Stasiun Mertoyudan melewati Stasiun Blondo mengarah ke jembatan rel Kali Elo," tutur Soekardjo.
Di saat yang sama, sebuah kereta api uap dengan 4 gerbong (1 gerbong barang dan 3 gerbong untuk penumpang) yang mengangkut ratusan penumpang dari Jogja meluncur dari Stasiun Blabak menuju Magelang. Loko uap ini berjalan sesuai jadwal dan sudah memenuhi ketentuan dan perintah dari Kepala Stasiun Blabak.
Seketika kepala stasiun tersadar jika ada sebuah rangkaian kereta api juga meluncur dari Mertoyudan menuju Blabak. Hal ini setelah diberi tau lewat telegram dari Stasiun Mertoyudan. Telegram balasan segera dikirimkan ke Stasiun Mertoyudan agar rangkaian kereta pengangkut beras di hentikan.
"Sudah terlambat !," kata Soekardjo.
Kedua kereta sudah meluncur di rel, jalur dan waktu yang sama pada arah yang saling berlawanan. Terlebih jalur rel menuju ke jembatan Kali Elo dalam kondisi menurun, baik dari arah Blabak-Mertoyudan maupun dari Mertoyudan menuju ke Blabak.
Ayah Soekardjo segera mengambil sepeda kayuhnya untuk mengejar loko dan rangkaian kereta api dengan ratusan penumpang yang meluncur dari Blabak ke utara. Dengan terengah-engah dan rasa kekhawatiran yang teramat sangat, ayah Soekardjo berusaha sekuat tenaga untuk menyusul loko tersebut.
Seperti diketahui jika rel kereta api dari Blabak hingga jembatan Kali Elo berdampingan dengan jalan raya Magelang-Blabak-Muntilan-Jogja, menjelang Kali Elo, rel tersebut berbelok ke kiri memutar menjauh dari jalan raya. Hal ini karena jalan menuju ke jembatan kereta api di atas Kali Elo kontur jalan menurun tajam, sehingga jalur kereta api harus sedikit memutar agar landai dan tidak beresiko pada kereta api.
Harapan ayah Soekardjo, loko tersebut bisa terkejar dan dapat memberitahukan si masinis agar mengurangi kecepatan rangkaian kereta apinya. Tentu saja untuk menghindari tabrakan dengan kereta api yang sedang meluncur dari Mertoyudan.
Tapi apa daya, meski ayah Soekardjo sudah mengejar dengan sepeda kayuhnya tetapi sudah terlambat. Tabrakan 2 kereta api tak dapat terelakkan. Persis di selatan jembatan Kali Elo. Ratusan jiwa menjadi korbannya karena tragedi maut ini. Mayat-mayat bergelimpangan baik di dalam maupun diluar gerbong, korban jiwa pun berjatuhan. Muatan beras berkarung-karungpun tumpah ruah.
Ayah Soekardjo merasa bersalah atas tragedi ini. Dan menjadi lembaran hitam dalam pekerjaannya sebagai pegawai kereta api.
Ketika mendengar peristiwa tragedi ini, Soekardjo muda meluncur dari Muntilan menuju lokasi kecelakaan maut ini. Soekardjo menyusul dengan sepeda kayuhnya.
Tak bisa digambarkan, bagaimana pilunya hati Soekardjo ini. Sebuah peristiwa tragis dalam sejarah perkeretaapian di Magelang, terjadi di depan matanya.
Pembacapun bisa melihat dari foto-foto yang saya tampilkan ini. Betapa mengerikan sekali tragedi maut tabrakan 2 kereta api ini. Pada foto tersebut tidak terlihat adanya mayat-mayat korban kecelakaan.
Diduga, pengambilan foto tersebut dilakukan sesudah selesainya penyelamatan (evakuasi) korban-korban kecelakaan. Tetapi berdasarkan informasi dari warga sekitar bahwa sesaat sesudah kecelakaan, masyarakat melakukan pertolongan dengan meletakkan jenazah para korban yang meninggal di sisi rel dan jalan raya. Belum diketahui secara pasti berapa jumlah yang menjadi korban di tragedi ini.
Dan konon, jenazah masinis salah satu loko di makamkan tidak jauh dari lokasi kecelakaan ini.
Foto-foto asli ini baru saya dapatkan pada hari Senin 4 Desember 2016, setelah 73 tahun sejak peristiwa itu terjadi dan 7,5 tahun sesudah Soekardjo Mangoenwidjojo menceritakannya kepada saya. Sebuah bukti otentik dari cerita tragedi yang menjadi lembaran hitam dalam sejarah perkeretaapian di Magelang. Dimana, selama ini masyarakat hanya mendengar peristiwa tersebut secara "tutur tinular" (cerita yang menyebar dari mulut ke mulut) dari generasi yang mengalami langsung peristiwa tersebut.
Dari hasil penelusuran didapatkan bahwa tragedi tersebut terjadi pada tahun 1943 sekitar jam 11 siang. Konon, sesudah tragedi itu terjadi, selama sekian bulan suara-suara rintihan dari para korban kecelakaan tersebut masih terdengar menyayat hati.
Doa kami untuk para korban tragedi maut kecelakaan kereta api di jembatan Kali Elo Magelang. Semoga tidak berulang kembali.
.
Nb :
- Kini Eyang Soekardjo Mangoenwidjojo sudah meninggal sekitar 1-2 tahun yang lalu. Terima kasih yang tiada terhingga kepada beliau atas dedikasi dan cerita di masa lalu tentang kereta api. Saat beliau bercerita, saya mencatatnya dalam buku saya.
- foto : koleksi pribadi.
- ditulis pertama kali pada 4 Desember 2016, diedit dan ditulis ulang pada 5 Januari 2019

No comments:

Post a Comment