01 October 2019

Tentang Sejarah Magelang - Menyeret Candu di Tanah Kedu : Mengenang Opium di Magelang

Me-nyeret Candu di Tanah Kedu : Mengenang Opium di Magelang (1)
Candu atau Opium sudah lama beredar di Jawa jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Ketika para pelaut Belanda pertama mendarat di Jawa pada abad ke-16, opium sudah menjadi komoditas penting didalam perdagangan sehari - hari di Jawa. Konon, para pedagang Arablah yang pertama kali memperkenalkan candu dari Turki pada orang - orang Jawa. Opium baru benar - benar menjadi barang monopoli VOC pasca perjanjian dengan Amangkurat II yang berisi penyerahan daerah pesisir utara Jawa beserta bandar - bandar pelabuhannya. Rata - rata opium mentah yang masuk ke Jawa sejak berlakunya perjanjian itu hingga kejatuhan VOC pada 1799 adalah sekitar 56 ton pertahun. Dari kota - kota pesisir inilah candu - candu itu mulai masuk dan menyesapi masyarakat Jawa yang tinggal jauh dipedalaman selatan, tak terkecuali Karesidenan Kedu, dan Magelang pada khususnya.
Pasca berakhirnya Perang Jawa, semakin stabilnya keamanan dan ekonomi serta penerapan Sistem Tanam Paksa di Jawa pada 1830, maka pemerintah Kolonial Belanda semakin banyak menawarkan lisensi Pak - Pak Opium Resmi pada para penawar lelang tertinggi. Kebanyakan lelang - lelang pak tersebut jatuh kepada kongsi - kongsi orang Tionghoa. Memang tidak bisa dipungkiri, bisnis dari candu dan pajak hasil dari penjualan candu merupakan salah satu sumber pemasukan kas Belanda yang signifikan sehingga perdagangan candu difasilitasi dengan baik oleh pemerintah kolonial kala itu.
Di Magelang, seorang Tionghoa dari Solo bernama Be Tjok Lok diangkat menjadi seorang Letunant Tionghoa oleh pemerintah Kolonial karena jasanya selama perang. Selain tugasnya sebagai seorang Letnan Tionghoa, Be Tjok Lok juga menggeluti usaha pegadaian dan Pak Candu yang membuat ia menjadi orang Tionghoa kaya raya di Magelang. Ia pernah bernadzar untuk mewakafakan tanahnya disebelah selatan alun - alun Magelang untuk dibuatkan sebuah tempat ibadah berupa Klenteng yang sekarang disebut Liong Hok Bio. Pada bulan Juli 1864, Klenteng Liong Hok Bio sudah mulai diresmikan.
Pak Opium di daerah Magelang, pada 1870 - 1871 juga dinyatakan pernah dikuasai oleh Kongsi Pak milik Tan Tjong Hoay yang memiliki lisensi pak di karesidenan Kedu, Semarang dan Batavia. Namun, karena kesulitan finansial pada kongsi Pak nya, maka ia menunggak hutang dengan total defisit hingga mencapai hampir 750 ribu Gulden. Karena tunggakannya yang menggunung inilah, maka ia terpakasa masuk bui dan menjual semua aset warisan keluarganya. Terlebuh lagi, ia juga diturunkan dari jabatannya sebagai Mayor Tionghoa di Semarang pada 1878.
Keluarga Tionghoa lain yang termasyur adalah keluarga Ho Yam Lo. Ia dan kongsinya menguasai pak candu paling menguntungkan di Jawa Tengah yaitu Pak Semarang, Yogyakarta dan Kedu pada dekade 1880an. Pada tahun 1887, anak dari Ho Tjiauw Ing dingkat sebagai Letnan Tionghoa di Semarang.
Banyaknya konsumen candu yang tersebar di karesidenan - karesidenan di Jawa Tengah, membuat salah satu keluarga Tionghoa paling berkuasa lainnya di Jawa Tengah, yaitu keluarga Be Biauw Tjoan ikut serta dalam usaha - usaha penyelundupan candu secara ilegal. Candu - candu ilegal ini berasal dari bandar - bandar Candu di Singapura yang kemudian diselundupkan lewat “corong opium” di pesisir utara Jawa seperti Lasem. Kapitan Lim Kim Sok adalah salah satu tokoh penyelundup candu dari Lasem yang cukup terkenal karena mampu membawa candu - candu yang dibongkar di pesisir bisa dikirim dan dipasarkan di Magelang.
Bukan hanya candu saja, Be juga menguasai rumah - rumah gadai, serta pak - pak ternak kerbau dan babi. Saking berkuasanya Be Biauw Tjoan dalam dunia percanduan di Jawa Tengah, ia bahkan mampu membuat bangkrut pak candu Surakarta dengan menghujani wilayah kerja pak Surakata dengan opium - opium ilegal hasil selundupan. Be berhasil mengirimkan sang pemilik Pak Surakarta, Tio Siong Mo ke penjara karena tunggakan pajak pak yang luar biasa banyak. Bahkan, saking kayaknya, diperkirakan Be memiliki properti hampir disetiap afdeling di Jawa Tengah.
Tokoh Tionghoa lain yang cukup terkenal di Magelang dalam piramida penjualan Pak Candu adalah Mayor Tituler Kwee An Kie pada 1893. Magelang di bawah Kwee masuk dalam kongsi pak candu milik Be Biauw Tjoan yang bercokol atas Karesidenan Semarang dan Bagelen.
Candu yang menyesap dan memasuki sendi - sendi ke kehidupan orang - orang Jawa seakan - akan bisa bertahan dan terus abadi. Namun pada akhir 1880an, ekonomi dunia memasuki mengalami perlambatan, pergolakan politik di negeri Belanda dan gangguan pada tanaman pangan dan ekspor, Pak Candu yang seakan terus hidup itu pada akhirnya harus mulai mengalami krisis dan cobaan. Bagaimanakah wajah candu di Magelang kala itu? bersambung...
- Chandra Gusta W -

Komentar

No comments:

Post a Comment