24 December 2023

Sultan Muhammad Syah dari Aceh ( Sultan Alauddin Muhammad Da'ud Syah I ) Lahir : ? Sultan Aceh Darussalam ke - 31 : 1823 - 1838 M Orang Tua : ♂️Sultan Alauddin Jauhar al-Alam. Saudara : ♂️ Sultan Alauddin Ali Ibrahim Mansur Syah, ♂️Tuanku Abbas, ♂️Tuanku Ibrahim , ♀️Putri Binen, ♀️Putri Chik. Anak : ♂️Sultan Sulaiman Syah. Wafat : tahun 1838 M Makam : Makam Raja Aceh - Bugis, No., Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116. Keterangan : Sultan Muhammad Syah merupakan sultan ketiga puluh satu kesultanan Aceh antara tahun 1823-1838. Dia juga dikenal sebagai Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah I dan merupakan penguasa keenam dari dinasti Bugis. Sultan tua Alauddin Jauhar ul-Alam Syah telah memimpin pemerintahan bergolak dan tidak diakui di seluruh Aceh pada saat kematiannya pada bulan Desember 1823. Saking lemahnya ia bahkan tidak mampu mengendalikan pemerintahan Bandar Aceh. Pada saat kematiannya ia meninggalkan enam anak, dua orang lahir permaisuri utama Puteri Siharibulan dan empat lainnya dari isterinya yang lain. Sebenarnya dalam wasiat (sarakata) sebelum kematiannya ia telah menunjuk seorang putera yang bernama Abdul Muhammad sebagai pengganti. Namun titah ini tidak diterima oleh Panglima Polem yang memimpin daerah XXII Mukim, salah satu dari tiga wilayah sagi utama Aceh. Keengganan Inggris mencampuri urusan internal Aceh tidak terlepas dari mentaati butir-butir Traktat London antara Belanda dan Britania. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan kekuasaan di Eropa, dimana Inggris tidak ingin berseteru dengan Belanda yang mulai menancapkan pengaruh dan kekuasaan kolonialnya di Sumatera. Selain itu juga Inggris dan Belanda berkehendak adanya jaminan keamanan bagi pelayaran kapal-kapal dagang Eropa di perairan Selat Malaka yang selama ini dikuasai bersama oleh Inggris, Belanda bersama kesultanan-kesultanan lain yang merdeka di wilayah maritim utama itu. Perjanjian itu telah mengikat Inggris untuk mengakui kekuasaan Belanda atas beberapa bagian Sumatera sebaliknya Belanda mengakui kedaulatan Inggris di Semenanjung Malaya dan Kalimantan, lalu keduanya juga mengakui kekuasaan Aceh yang merdeka di ujung utara pulau Sumatera. Meski sebenarnya pihak resmi Aceh tidak dilibatkan dalam perjanjian ini, namun isi perjanjian telah menjamin kemerdekaan Aceh hingga tahun 1870. Alauddin Muhammad Daud Syah digambarkan sebagai penguasa yang sangat tidak begitu energik. Dia sakit-sakitan, menghisap opium, dan kekuasaanya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah bayangan oleh wali nya. Meski demikian sejarah mencatat perkembangan dan kemajuan ekonomi yang cukup baik dan stabil pada masa itu. Sebagian besar kebutuhan lada untuk pasar Eropa dan Amerika berhasil diproduksi oleh kesultanan. Pedagang-pedagang dari Inggris dan Amerika mengambil keuntungan yang cukup besar dari hubungan baik dengan kesultanan, namun Belanda akibat naik turunnya krisis dengan Aceh maupun karena ketiadaan barter ekonomi yang tepat tidak memperoleh keuntungan yang menggembirakan dari perdagangan lada di Aceh. Sultan meninggal pada tahun 1838 mewariskan kesultanan kepada anak Tuanku Sulaiman yang masih muda. Namun kekuasaan secara de facto tetap berada di bawah lembaga perwalian yang dikuasai oleh Raja Muda Tuanku Ibrahim sampai 32 tahun berikutnya.

 Sultan Muhammad Syah dari Aceh

( Sultan Alauddin Muhammad Da'ud Syah I )


Lahir : ?

Sultan Aceh Darussalam ke - 31 : 1823 - 1838 M

Orang Tua : ♂️Sultan Alauddin Jauhar al-Alam.

Saudara : ♂️ Sultan Alauddin Ali Ibrahim Mansur Syah, ♂️Tuanku Abbas, ♂️Tuanku Ibrahim , ♀️Putri Binen, ♀️Putri Chik.

Anak : ♂️Sultan Sulaiman Syah.

Wafat : tahun 1838 M

Makam : Makam Raja Aceh - Bugis, No., Jl. Sultan Mahmudsyah No.10, Peuniti, Kec. Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh 23116.



Keterangan : 


Sultan Muhammad Syah merupakan sultan ketiga puluh satu kesultanan Aceh antara tahun 1823-1838. Dia juga dikenal sebagai Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah I dan merupakan penguasa keenam dari dinasti Bugis.


Sultan tua Alauddin Jauhar ul-Alam Syah telah memimpin pemerintahan bergolak dan tidak diakui di seluruh Aceh pada saat kematiannya pada bulan Desember 1823. Saking lemahnya ia bahkan tidak mampu mengendalikan pemerintahan Bandar Aceh. Pada saat kematiannya ia meninggalkan enam anak, dua orang lahir permaisuri utama Puteri Siharibulan dan empat lainnya dari isterinya yang lain.

Sebenarnya dalam wasiat (sarakata) sebelum kematiannya ia telah menunjuk seorang putera yang bernama Abdul Muhammad sebagai pengganti. Namun titah ini tidak diterima oleh Panglima Polem yang memimpin daerah XXII Mukim, salah satu dari tiga wilayah sagi utama Aceh.


Keengganan Inggris mencampuri urusan internal Aceh tidak terlepas dari mentaati butir-butir Traktat London antara Belanda dan Britania. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan kekuasaan di Eropa, dimana Inggris tidak ingin berseteru dengan Belanda yang mulai menancapkan pengaruh dan kekuasaan kolonialnya di Sumatera.


Selain itu juga Inggris dan Belanda berkehendak adanya jaminan keamanan bagi pelayaran kapal-kapal dagang Eropa di perairan Selat Malaka yang selama ini dikuasai bersama oleh Inggris, Belanda bersama kesultanan-kesultanan lain yang merdeka di wilayah maritim utama itu.


Perjanjian itu telah mengikat Inggris untuk mengakui kekuasaan Belanda atas beberapa bagian Sumatera sebaliknya Belanda mengakui kedaulatan Inggris di Semenanjung Malaya dan Kalimantan, lalu keduanya juga mengakui kekuasaan Aceh yang merdeka di ujung utara pulau Sumatera. Meski sebenarnya pihak resmi Aceh tidak dilibatkan dalam perjanjian ini, namun isi perjanjian telah menjamin kemerdekaan Aceh hingga tahun 1870.


Alauddin Muhammad Daud Syah digambarkan sebagai penguasa yang sangat tidak begitu energik. Dia sakit-sakitan, menghisap opium, dan kekuasaanya dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah bayangan oleh wali nya. Meski demikian sejarah mencatat perkembangan dan kemajuan ekonomi yang cukup baik dan stabil pada masa itu.


Sebagian besar kebutuhan lada untuk pasar Eropa dan Amerika berhasil diproduksi oleh kesultanan. Pedagang-pedagang dari Inggris dan Amerika mengambil keuntungan yang cukup besar dari hubungan baik dengan kesultanan, namun Belanda akibat naik turunnya krisis dengan Aceh maupun karena ketiadaan barter ekonomi yang tepat tidak memperoleh keuntungan yang menggembirakan dari perdagangan lada di Aceh.


Sultan meninggal pada tahun 1838 mewariskan kesultanan kepada anak Tuanku Sulaiman yang masih muda. Namun kekuasaan secara de facto tetap berada di bawah lembaga perwalian yang dikuasai oleh Raja Muda Tuanku Ibrahim sampai 32 tahun berikutnya.

Oleh : Naila Syafira

No comments:

Post a Comment