18 December 2023

Perjanjian Cirebon dengan VOC ( 4 Desember 1685 - 8 September 1688 M ) ________________________________________________ Pada tanggal 4 Desember 1685 dibuatlah sebuah perjanjian antara para penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin (Pangeran Martawijaya), Sultan Anom I Badruddin (Pangeran Kartawijaya) dan Pangeran Wangsakerta (Pangeran Depati Tohpati, yang kelak pada tahun 1688 dinobatkan sebagai Gusti Panembahan Cirebon I Nasiruddin) dengan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diwakili oleh pejabat penghubungnya yang bernama François de Tack (pada masa itu yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal adalah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys) Perjanjian Cirebon 1685 dilakukan guna menghindari konflik yang terjadi diantara ketiga penguasa tersebut akibat keinginan untuk menjadi penguasa tunggal di Cirebon. Isi perjanjian Ingkang karihin saprakara ratu katiga sanak kang sampun kocap, ayun patut, urip ing asasanak, dipun mupakat, sarĕng-sareng ing asasanak, karana patut sampun dados cawĕnga ing nagara puniki. Yang pertama, Raja Tiga Bersaudara (Ratu Katiga Sanak) sama-sama harus berjanji, mesti hidup bersama, dengan saling bermufakat (di antara) masing-masing saudara, sebab (perselisihan) telah menjadi biang kebimbangan di negara (Cirebon) ini. Kali prakawis karana puniku Ratu anom, kalayan pangeran Topati, sanake ingkang tuwa, Sultan sĕpuh igi puniku putra panémbahan Girilaya ingkang sĕpuh, prayoga asung ormat uga. Yang kedua, mengingat Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, saudaranya yang tertua yakni Sultan Sepuh yang merupakan putra Panembahan Girilaya yang tertua, maka keduanya layak atau patut menghaturkan hormat (kepada Sultan Sepuh) juga. Tigang prakawis Sultan amangsuli ormat saprayogane kang patut ing sanake anom kali, Ratu anom, pangeran Topati, karana sanake karo iku, dados rencang sarĕng-sarĕng amaretahi nagari Carĕbon. Pasal yang ketiga, Sultan yang paling tua bersama dengan dua saudara mudanya, yaitu Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, berdasarkan (hubungan) persaudaraan itu, menjadikan mereka harus bersama-sama dalam memerintah Negeri Cirebon. Kawan prakawis boya kĕni adodolan saptu amung ing alun-alun ing yunan karaton Sultan sĕpuh, ing ĕgon iku mantri katiga sanak, akumpul ing ĕgon iku, sinaosakén paluguane Ratu kali karihin, Ratu anom kalayan pangeran Topati, angatos tuwan Prasois Tak, sabangsule saking Mataram tĕka ing nagara Carĕbon, pinali tiga, mangka patutah kalayan, sukane ratu katiga sanak, akardi prakara ingkang anyar, utawi prakara liyan. Pasal yang keempat, diperbolehkan untuk berjualan pada hari sabtu di alun-alun depan Kraton Sultan Sepuh. Di tempat itu, mantri dari Ketiga Raja Bersaudara berkumpul. Meskipun kedudukan Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati penting, namun mesti menunggu Tuan François de Tack pulang dari Mataram dan datang ke negara Cirebon (jika mereka akan memutuskan sesuatu). Jika telah lengkap semua maka bisa dilakukan pembahasan bersama Tiga Raja Bersaudara, baik untuk membuat pasal yang baru, ataupun pasal yang lain. Gangsal prakawis supaya aja katingal nagari Carĕbon pinalih tiga mangka patut sakehe orana liyan mung sabandar saking aran ratu katiga, ingkang anglarapakĕn salwir ingkang tĕka saking nagari liyan . . . nulunge adatĕngakĕn, amicarakakĕn, angaturakĕn, ratu katiga sanak. Pasal yang kelima, supaya negeri Cirebon tidak terlihat terbagi ke dalam tiga kekuasaan oleh pihak hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara. atau bangsa lain, maka sebaiknya ketiga pangeran hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara. Ing nĕm prakara lunggu sabadar iku, ginaduhakĕn, ratu katiga sanak kang kocap tumĕnggung Raksanagara, pracaya kadi wong kang bĕnĕr sarta patut, lunggu sabandar. Pasal yang keenam, kedudukan Syahbandar dianugerahkan oleh Ketiga Raja Bersaudara berdasarkan sabdanya kepada Tumenggung Raksanagara, yang dipercaya sebagai orang yang baik serta pantas, dan cocok untuk menduduki jabatan sebagai seorang Syahbandar. Kang pitung prakara, ora kena, tumĕnggung Raksanagara, saking cuke, beya bandar lĕwih kaya mangko karana tumĕnggung iku mupu babagen, iku Sultan sĕpuh, kang kaya ana mangko wontĕn, dening kapitan Cina, amupu babagen, ratu anom kalayan babagen pangeran Topati, babagen, beya cuke, tĕtĕp kados makin, satĕka Kumpeni bali amutusakĕn, karana tiningalan, make puniki ratu katiga sanak weten ing dalem santosa. Pasal yang ketujuh, tidak diperkenankan bagi Tumenggung Raksanagara (mengambil keuntungan) dari (pajak) cuke, dan bea pelabuhan (sehingga ia menjadi) lebih kaya karena tumenggung itu (tugasnya hanya) mengumpulkan pembagian, yaitu kepada Sultan Sepuh, yang banyaknya setengah pendapatan yang didapatkan. Dari Kapiten Cina, dikumpulkan bagian untuk Sultan Anom dengan bagian Pangeran Tohpati. Pengelolaan lebih lanjut tentang pajak bea cukai ini menjadi (urusan) yang diputuskan oleh Kompeni karena dengan cara seperti ini, maka Tiga Raja Bersaudara dapat hidup damai sentausa. Kawolung prakara, supaya aja papadon, kalayan pitĕna ing prakara sawiji-wiji, ayun agawe pareta sewang-sewangan, dipun patut, ratu katiga sanak, boya kĕna dewek, angukumakĕn, kalayan tani karana iku patut, agawe wicara, maring mantri katiga sanak. Pasal yang kedelapan, supaya tidak terjadi perselisihan, terkait setiap pasal (atau perkara lain) yang ada, maka dibuat instruksi atau ketetapan hukum yang pantas bagi setiap pangeran dari Ketiga Raja Bersaudara untuk lingkungan hukum istana dan rakyat masing-masing pangeran. Dalam menjalankan hukum dan (pengelolaan) petani, para pangeran harus berunding dengan para mantri dari Ketiga Raja. Kasangang prakara, ing kale kang lungguh ing dalem bicara iku wong pipitu, saking Sultan sĕpu titigah saking Ratu anom kakali, saking pangeran Topati kakalih. Yang kesembilan, bahwa yang duduk mengelola dewan humas (hukum) itu adalah orang tujuh (Jaksa Pepitu), yang terdiri dari (orang) Sultan Sepuh (yang berjumlah) tiga orang, dari (orang) Sultan Anom (yang jumlahnya) dua orang, dan dari (orang) Pangeran Tohpati (yang juga berjumlah) dua orang. Sapulu prakara wicara iku, pingkalih sajumangat, amicarakakĕn, ing dina Rĕbo sapisan dina Angad sapisan, ing ayun-ayunan masigit agung iku la ĕnggoning kuna-kuna, amicarakakĕn, sakatahing prakawis. Yang kesepuluh, sidang atau pembicaraan dewan itu, dibicarakan dua kali pada jumat, sedangkan pada hari Rabu dan Ahad (hanya) dibicarakan sekali. (Tempatnya) di alun-alun Mesjid Agung yang dipakai sebagai tempat pertemuan sejak masa lalu untuk membicarakan pelbagai macam keperluan. Kasawĕlas prakara, ĕgon iku amicarakakĕn sarta amĕgat pamicara pradata sahrat Cirĕbon ora kĕna mperekal (?) maning. Perkara yang kesebelas, tempat untuk pengadilan serta memutuskan hukum perdata dan syariat Cirebon tidak boleh berpindah lagi. Rolas prakara yen wontĕn sadalĕming wicara iku prakara ingkang awrat, ora kĕnapinĕgat maka matur sewang-sewangan, ing gustine mantri pipitu, iku kang matur ing gustine. Pasal yang kedua belas, jika ada kasus yang tidak juga dapat diputuskan secara bulat, maka dikembalikan kepada masing-masing gusti dari mantri pepitu (Jaksa Pepitu), yaitu mantri yang telah ditentukan oleh gusti-nya. Tigawĕlas prakara, ing prakawis puniku, mangka Sultan sĕpu angaturi kang rayih karo Ratu anom, kalayan pangeran Topati, maka katuran kang rayi karo ing dalĕme sanake sĕpu kali saking prakara iku, kang ora kĕna pinĕgat, dening mantri pipitu iku kalayan malih saliring kal, kang awrat kadi adangdani abarĕsihi kali, utawi lulurung, ayun mupakat, sarta amĕgat katiga sanak. Pasal yang ketiga belas, tentang persoalan (kebuntuan putusan perkara) itu maka Sultan Sepuh bertemu dengan Sultan Anom, juga Pangeran Tohpati, baik yang muda ataupun yang tua akan mendiskusikan persoalan yang tidak dapat diputuskan oleh para mantri (Jaksa) pepitu itu, serta menangani semuanya dengan serius sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati dan diputuskan oleh Ketiga Raja (Ratu Katiga Sanak). Wontĕn dening salwir prakara ing surat puniki, manira Sultan sĕpuh, Ratu anom, pangeran Topati ajangji anurut, sarta anĕtĕpakĕn lan mali rayat-manira sewang-sewangan, ayun la anurut pareta iku sarta anarima angestokakĕn mangka iku la dados satosa, kalayan mupakat ratu katiga sanak utawi rayat Cirĕbon karana prakara kang kaucapakĕn iku, maka manira ing arĕpan patusan, Pransois Tak angĕcapi sadalĕming surat puniki. Jika ada (perkara penting lain) di luar pasal dalam surat ini, maka Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati berjanji untuk menuruti (Kompeni) serta akan menetapkan (putusan lanjutan) demi rakyatnya masing-masing. Karena jika menuruti serta menerima perintah tersebut, maka para Raja Cirebon akan menjadi sentosa. Kesepakatan Ketiga Raja Bersaudara atau rakyat Cirebon terhadap pasal yang ditulis itu, akan didahului oleh putusan François Tack sebagaimana yang ada di dalam surat ini. Reaksi terhadap perjanjian Perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan François de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut, Perjanjian ini menuntut agar para mantri kesultanan untuk berdialog dengan François de Tack berkenaan dengan persoalan hukum dan pemberlakuan pasal-pasal dalam perjanjian ini, namun hal tersebut belum terlaksana karena François de Tack kemudian terbunuh dalam pertempuran antara pasukannya dengan pasukan Bali yang dipimpin oleh Surapati di Kartasura. Pada tahun 1688, tepatnya pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan Residen Cirebon Kapten Willem de Ruijter, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata (keluarga Gamel) untuk mewakilinya. Perjanjian ditandatangani pada hari rabu tanggal 18 Dzulkaidah tahun 1100 hijriah atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1688 di keraton Kasepuhan. Isi perjanjian Dalam pasal ini dijanjikan dibuatnya niat jujur dan saling menyanggupi suatu persaudaraan, persahabatan yang murni dan persatuan yang baru tanpa perpecahan dan pembunuhan serta tanpa saling usir, lupa dan tidak diperingatkan. Semua perbedaan pendapat dalam kondisi sebelum ini boleh tetap ada, tetapi sebaliknya agar saling tolong menolong. Dengan ini dibedakan bahwa Sultan Anom dan Panembahan Cirebon akan menghormati saudara tertua Sultan Sepuh sebagai anak pertama dari Panembahan Girilaya. Selain itu, Sultan Sepuh juga akan memperlakukan dan mengizinkan kedua saudaranya Sultan Anom dan Panembahan Cirebon dengan hormat dan santun bahwa mereka harus tetap dianggap sebagai anggota kerajaan Cirebon, mereka harus diberi pangkat dan kedudukan. Dalam rapat, Sultan Sepuh berada di tengah diapit Sultan Anom di sebelah kanan dan Panembahan Cirebon di sebelah kiri. Selanjutnya di alun-alun Cirebon, tiap hari Sabtu akan diadakan kembali tradisi pemunculan raja dengan dua saudaranya diiringi dengan para menteri dan ornamen kerajaannya. Untuk menghindari perselisihan dan pengucilan, telah disetujui bahwa tiga bersaudara itu didudukan bersama di atas satu singgasana : Pangeran Sepuh pada urutan pertama (di sebelah timur), Pangeran Anom pada urutan kedua (di sebelah barat). Sesuai dengan pembagian kerajaan Cirebon oleh susuhunan almarhum, kemudian pada posisi sebelah kanan duduk Pangeran Panembahan di sebelah timur saudara tertua. Selanjutnya para menteri berada dibawahnya. Bila Sultan Anom dan Panembahan tidak dapat hadir harus mengirim utusan pada hari Sabtu pagi kepada Sultan Sepuh untuk mengabarkan hal itu. Bila Sultan Sepuh berhalangan atau sakit, harus memberi kabar kedua pangeran. Hanya Sultan Sepuh yang berhak bersabda dan untuk memberi perintah di alun-alun, bila Sultan Sepuh berhalangan, hak bersabda dan memberi komando berpindah ke tangan Sultan Anom. Bila keduanya berhalangan, Panembahan Cirebon harus mengambil alih tugas tersebut. Bila ketiganya tidak dapat hadir, tugas dapat diambil alih oleh putera tertua dari Sultan Sepuh, dan Sultan Anom. Bila mereka juga tidak hadir, Pangeran Ratu dari Pangeran Anom berhak mengambil alih tugas tersebut. Berdasarkan suasana baru itu, tiga saudara itu bisa memberi perintah-perintah baru untuk menghindari perpecahan dan perselisihan di kerajaan Cirebon. Semua perselisihan yang ada harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, demikian juga surat-surat dan utusan Kompeni. Pertama-tama harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, ia harus segera memberitahu kedua saudaranya. Ia pun harus memberi tahu hal itu di alun-alun. Para utusan dan surat segera dibawa masuk oleh Sahbandar dan seorang mantri. Utusan ditanyai dan surat dibaca. Selanjutnya, pendapat para pangeran dikemukakan, hanya Sultan Sepuh yang berhak menjawab pesan dengan persetujuan ketiganya. Bila Sultan Sepuh berhalangan, Sultan Anom menggantikannya. Segala urusan yang berkenaan dengan kerajaan dan rakyat Cirebon misalnya membuka, membersihkan, membuat, mengubah arah sungai, jalan, kampung dan seterusnya harus ditangani oleh salah seorang dari ketiga pangeran, seandainya tidak ada pihak lain yang mengelolanya. Akan tetapi, Sultan Sepuh akan mengadakan rapat untuk memperbincangkan dan memutuskan masalah itu dengan pemungutan suara. Untuk masalah yang kurang penting boleh diputuskan dalam rapat badan penasehat yang ditunjuk Raja Sepuh, meskipun kedua pangeran lain tidak hadir setelah diberitahu terlebih dahulu, sebagaimana tradisi dengan menghadirkan di alun-alun tiga mantri Raja Sepuh, dua mantri dari pangeran kedua dan dua dari pangeran ketiga. Dalam rapat diputuskan wakil dari para mantri yang harus melaporkan keputusan rapat kepada para pangeran. Selanjutnya waktu rapat Rabu dan Minggu yang ditentukan tidak boleh diubah atau diganti, kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak. Ketiga pangeran masing-masing tidak berhak menghukum yang bukan rakyatnya. Bila hal tersebut terjadi sebelumnya harus diputuskan dalam rapat tujuh mantri dari tiga pangeran. Semua sengketa para pedagang dan orang biasa harus diputuskan dalam rapat yang didasari undang-undang yang berlaku. Tindak pidana seperti pembakaran, pencurian, perampokan, dan seterusnya harus seadil-adilnya diputus dan dihukum menurut undang-undang yang berlaku. Kerugian harus diganti. Tak seorang pun warga negara Cirebon bisa membantah dan menolak vonis dan keputusan badan penasehat tujuh mantri. Bila mereka naik banding, dalam persoalan besar para mantri membuat laporan kepada para pangeran. Sultan Sepuh akan meminta kedua saudaranya untuk memutuskan persoalan tersebut bersama-sama. Untuk menghindari kekacauan dalam membuat stempel dan untuk mencegah perbedaan yang mencolok karena yang satu lebih ringan atau lebih kecil, tak seorang pun belum diperkenankan untuk membuatnya. Maka Raksa Nagara dari Sultan Sepuh dan Suradinata (dari) Pangeran Anom mempertimbangkan seorang tua yang bijak, memutuskan bahwa semua harus membuatnya serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom dan dibuat bulat dengan berat bersih satu kati dua tail, bila tidak bisa didenda dan semua harta bendanya disita. Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom mendapat hak istimewa untuk mengganti pembuat stempel yang ditunjuk Tumenggung Suradinata dan Raksa Nagara. Dan dapat menunjuk orang-orang ahli dengan syarat stempel-stempel itu besar, karakter, dan beratnya sesuai dengan yang sekarang. Semuanya harus sama dan dianggap baik oleh ketiga pangeran. Karena tidak ada masalah yang timbul akibat dibaginya kerajaan Cirebon menjadi tiga, Sahbandar akan bekerja atas ketiga pangeran. Menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Pangeran Sepuh yang diteruskannya kepada pangeran yang lain. Tumenggung Raksa Nagara diangkat menjadi Sahbandar. Tumenggung Raksa Nagara hanya boleh mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih. Pembagian hasil selanjutnya diurus Kompeni. Bila kemudian timbul perbedaan pendapat dan perselisihan hingga seorang Sahbandar dibatalkan, dalam hal ini para pangeran tidak bisa menunjuk Sahbandar baru, tetapi akan mengajukan calon untuk diangkat dan ditempatkan. Tumenggung Raksa Nagara dan pemerintah selanjutnya tidak boleh berjudi, mencampuri urusan orang Cina, pabrik arak, dan yang termasuk dalam urusan pribadi. Semuanya harus diserahkan kepada Cina Sinko yang kini berfungsi sebagai kepala profesi. Hal itu dirujuk Kompeni. Mendiang Sarapada diangkat sebagai kapten Cina dengan syarat Sinko tetap mengurusi pemasukan dari pabrik arak, judi dan hak guna tanah tahunan yang disepakati dengan Pangeran Cirebon seharga seratus ringgit Spanyol. Panembahan Cirebon akan mengurus kesejahteraan rakyat dan menentukan, mengangkat hakim, dan mantri dari ketiga pangeran untuk suatu penyelidikan dengan saran dari Kompeni. Residen akan hadir dalam perundingan yang berjumlah 400 orang. Bila satu pihak berjumlah banyak (mayoritas) sedang yang lain sedikit (minoritas), dalam situasi semacam ini harus dikembalikan kepada panembahan atau dua saudaranya yang lain. Dua pangeran tertua menganugerahi nama panembahan Cirebon kepada Pangeran Adipati Tohpati, setelah dimusyawarahkan dengan komisaris (utusan), dengan syarat bahwa ia harus tetap sebagaimana sekarang dan mempunyai kewajiban sebagai adik termuda. Tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari keduanya. Menjunjung tinggi nama anugerah tersebut. Titel sultan dan panembahan dipergunakan dalam surat dan naskah dari Kompeni. Di luar itu disebut raja atau pangeran Cirebon dan nama asli Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta. Ada perbedaan pandangan antara para pangeran dengan Kompeni dalam rapat dan diluar itu. Karena itu, komisaris (utusan) atas nama kompeni dan tiga pangeran berjanji akan meminta residen sebagai penengah yang akan datang ke rapat dan memberi pertimbangan sebab-sebab perbedaan pendapat. Dengan ini, Kami Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon berjanji bahwa Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Ratu sebagai putera tertua dari Sultan Sepuh akan diserahi tugas untuk selanjutnya mengurus Cirebon. Barangsiapa melanggar perjanjian ini bisa diadukan kepada gubernur jenderal Kompeni di Batavia. Tiga pangeran mengangkat 12 menteri, lima dari Pangeran I, empat dari pangeran II, dan tiga dari pangeran III. Kontrak ini bersifat mengikat, barang siapa melalaikan kewajiban atau melanggar kontrak akan dihukum mati dengan keris di alun-alun oleh dewan menteri. Kontrak ini ditandatangani dan dikuatkan dengan segel. Juga ditandatangani oleh para saksi dan dikuatkan oleh segel Kompeni. Demikian hal itu dilakukan di istana Sultan Sepuh pada hari Rabu 8 September 1688 / 18 Dzulkaidah tahun alif 1100 hijriah. Reaksi terhadap perjanjian namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.

 Perjanjian Cirebon dengan VOC ( 4 Desember 1685 - 8 September 1688 M )

________________________________________________



Pada tanggal 4 Desember 1685 dibuatlah sebuah perjanjian antara para penguasa Cirebon yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin (Pangeran Martawijaya), Sultan Anom I Badruddin (Pangeran Kartawijaya) dan Pangeran Wangsakerta (Pangeran Depati Tohpati, yang kelak pada tahun 1688 dinobatkan sebagai Gusti Panembahan Cirebon I Nasiruddin) dengan Vereenigde Oostindische Compagnie yang diwakili oleh pejabat penghubungnya yang bernama François de Tack (pada masa itu yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal adalah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys)


Perjanjian Cirebon 1685 dilakukan guna menghindari konflik yang terjadi diantara ketiga penguasa tersebut akibat keinginan untuk menjadi penguasa tunggal di Cirebon.


Isi perjanjian


Ingkang karihin saprakara ratu katiga sanak kang sampun kocap, ayun patut, urip ing asasanak, dipun mupakat, sarĕng-sareng ing asasanak, karana patut sampun dados cawĕnga ing nagara puniki.


Yang pertama, Raja Tiga Bersaudara (Ratu Katiga Sanak) sama-sama harus berjanji, mesti hidup bersama, dengan saling bermufakat (di antara) masing-masing saudara, sebab (perselisihan) telah menjadi biang kebimbangan di negara (Cirebon) ini.


Kali prakawis karana puniku Ratu anom, kalayan pangeran Topati, sanake ingkang tuwa, Sultan sĕpuh igi puniku putra panémbahan Girilaya ingkang sĕpuh, prayoga asung ormat uga.


Yang kedua, mengingat Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, saudaranya yang tertua yakni Sultan Sepuh yang merupakan putra Panembahan Girilaya yang tertua, maka keduanya layak atau patut menghaturkan hormat (kepada Sultan Sepuh) juga.


Tigang prakawis Sultan amangsuli ormat saprayogane kang patut ing sanake anom kali, Ratu anom, pangeran Topati, karana sanake karo iku, dados rencang sarĕng-sarĕng amaretahi nagari Carĕbon.


Pasal yang ketiga, Sultan yang paling tua bersama dengan dua saudara mudanya, yaitu Ratu Anom dan Pangeran Tohpati, berdasarkan (hubungan) persaudaraan itu, menjadikan mereka harus bersama-sama dalam memerintah Negeri Cirebon.


Kawan prakawis boya kĕni adodolan saptu amung ing alun-alun ing yunan karaton Sultan sĕpuh, ing ĕgon iku mantri katiga sanak, akumpul ing ĕgon iku, sinaosakén paluguane Ratu kali karihin, Ratu anom kalayan pangeran Topati, angatos tuwan Prasois Tak, sabangsule saking Mataram tĕka ing nagara Carĕbon, pinali tiga, mangka patutah kalayan, sukane ratu katiga sanak, akardi prakara ingkang anyar, utawi prakara liyan.


Pasal yang keempat, diperbolehkan untuk berjualan pada hari sabtu di alun-alun depan Kraton Sultan Sepuh. Di tempat itu, mantri dari Ketiga Raja Bersaudara berkumpul. Meskipun kedudukan Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati penting, namun mesti menunggu Tuan François de Tack pulang dari Mataram dan datang ke negara Cirebon (jika mereka akan memutuskan sesuatu). Jika telah lengkap semua maka bisa dilakukan pembahasan bersama Tiga Raja Bersaudara, baik untuk membuat pasal yang baru, ataupun pasal yang lain.


Gangsal prakawis supaya aja katingal nagari Carĕbon pinalih tiga mangka patut sakehe orana liyan mung sabandar saking aran ratu katiga, ingkang anglarapakĕn salwir ingkang tĕka saking nagari liyan . . . nulunge adatĕngakĕn, amicarakakĕn, angaturakĕn, ratu katiga sanak.


Pasal yang kelima, supaya negeri Cirebon tidak terlihat terbagi ke dalam tiga kekuasaan oleh pihak hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara. atau bangsa lain, maka sebaiknya ketiga pangeran hanya memiliki satu Syahbandar, yang mengemban tugas untuk menyambut pihak yang datang dari negeri lain … membantu mendatangkan, membicarakan, (dan) menghaturkan (para tamu atau pedagang asing), untuk Ketiga Raja Bersaudara.


Ing nĕm prakara lunggu sabadar iku, ginaduhakĕn, ratu katiga sanak kang kocap tumĕnggung Raksanagara, pracaya kadi wong kang bĕnĕr sarta patut, lunggu sabandar.


Pasal yang keenam, kedudukan Syahbandar dianugerahkan oleh Ketiga Raja Bersaudara berdasarkan sabdanya kepada Tumenggung Raksanagara, yang dipercaya sebagai orang yang baik serta pantas, dan cocok untuk menduduki jabatan sebagai seorang Syahbandar.


Kang pitung prakara, ora kena, tumĕnggung Raksanagara, saking cuke, beya bandar lĕwih kaya mangko karana tumĕnggung iku mupu babagen, iku Sultan sĕpuh, kang kaya ana mangko wontĕn, dening kapitan Cina, amupu babagen, ratu anom kalayan babagen pangeran Topati, babagen, beya cuke, tĕtĕp kados makin, satĕka Kumpeni bali amutusakĕn, karana tiningalan, make puniki ratu katiga sanak weten ing dalem santosa.


Pasal yang ketujuh, tidak diperkenankan bagi Tumenggung Raksanagara (mengambil keuntungan) dari (pajak) cuke, dan bea pelabuhan (sehingga ia menjadi) lebih kaya karena tumenggung itu (tugasnya hanya) mengumpulkan pembagian, yaitu kepada Sultan Sepuh, yang banyaknya setengah pendapatan yang didapatkan. Dari Kapiten Cina, dikumpulkan bagian untuk Sultan Anom dengan bagian Pangeran Tohpati. Pengelolaan lebih lanjut tentang pajak bea cukai ini menjadi (urusan) yang diputuskan oleh Kompeni karena dengan cara seperti ini, maka Tiga Raja Bersaudara dapat hidup damai sentausa.


Kawolung prakara, supaya aja papadon, kalayan pitĕna ing prakara sawiji-wiji, ayun agawe pareta sewang-sewangan, dipun patut, ratu katiga sanak, boya kĕna dewek, angukumakĕn, kalayan tani karana iku patut, agawe wicara, maring mantri katiga sanak.


Pasal yang kedelapan, supaya tidak terjadi perselisihan, terkait setiap pasal (atau perkara lain) yang ada, maka dibuat instruksi atau ketetapan hukum yang pantas bagi setiap pangeran dari Ketiga Raja Bersaudara untuk lingkungan hukum istana dan rakyat masing-masing pangeran. Dalam menjalankan hukum dan (pengelolaan) petani, para pangeran harus berunding dengan para mantri dari Ketiga Raja.


Kasangang prakara, ing kale kang lungguh ing dalem bicara iku wong pipitu, saking Sultan sĕpu titigah saking Ratu anom kakali, saking pangeran Topati kakalih.


Yang kesembilan, bahwa yang duduk mengelola dewan humas (hukum) itu adalah orang tujuh (Jaksa Pepitu), yang terdiri dari (orang) Sultan Sepuh (yang berjumlah) tiga orang, dari (orang) Sultan Anom (yang jumlahnya) dua orang, dan dari (orang) Pangeran Tohpati (yang juga berjumlah) dua orang.


Sapulu prakara wicara iku, pingkalih sajumangat, amicarakakĕn, ing dina Rĕbo sapisan dina Angad sapisan, ing ayun-ayunan masigit agung iku la ĕnggoning kuna-kuna, amicarakakĕn, sakatahing prakawis.


Yang kesepuluh, sidang atau pembicaraan dewan itu, dibicarakan dua kali pada jumat, sedangkan pada hari Rabu dan Ahad (hanya) dibicarakan sekali. (Tempatnya) di alun-alun Mesjid Agung yang dipakai sebagai tempat pertemuan sejak masa lalu untuk membicarakan pelbagai macam keperluan.


Kasawĕlas prakara, ĕgon iku amicarakakĕn sarta amĕgat pamicara pradata sahrat Cirĕbon ora kĕna mperekal (?) maning.


Perkara yang kesebelas, tempat untuk pengadilan serta memutuskan hukum perdata dan syariat Cirebon tidak boleh berpindah lagi.


Rolas prakara yen wontĕn sadalĕming wicara iku prakara ingkang awrat, ora kĕnapinĕgat maka matur sewang-sewangan, ing gustine mantri pipitu, iku kang matur ing gustine.


Pasal yang kedua belas, jika ada kasus yang tidak juga dapat diputuskan secara bulat, maka dikembalikan kepada masing-masing gusti dari mantri pepitu (Jaksa Pepitu), yaitu mantri yang telah ditentukan oleh gusti-nya.


Tigawĕlas prakara, ing prakawis puniku, mangka Sultan sĕpu angaturi kang rayih karo Ratu anom, kalayan pangeran Topati, maka katuran kang rayi karo ing dalĕme sanake sĕpu kali saking prakara iku, kang ora kĕna pinĕgat, dening mantri pipitu iku kalayan malih saliring kal, kang awrat kadi adangdani abarĕsihi kali, utawi lulurung, ayun mupakat, sarta amĕgat katiga sanak.


Pasal yang ketiga belas, tentang persoalan (kebuntuan putusan perkara) itu maka Sultan Sepuh bertemu dengan Sultan Anom, juga Pangeran Tohpati, baik yang muda ataupun yang tua akan mendiskusikan persoalan yang tidak dapat diputuskan oleh para mantri (Jaksa) pepitu itu, serta menangani semuanya dengan serius sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati dan diputuskan oleh Ketiga Raja (Ratu Katiga Sanak).


Wontĕn dening salwir prakara ing surat puniki, manira Sultan sĕpuh, Ratu anom, pangeran Topati ajangji anurut, sarta anĕtĕpakĕn lan mali rayat-manira sewang-sewangan, ayun la anurut pareta iku sarta anarima angestokakĕn mangka iku la dados satosa, kalayan mupakat ratu katiga sanak utawi rayat Cirĕbon karana prakara kang kaucapakĕn iku, maka manira ing arĕpan patusan, Pransois Tak angĕcapi sadalĕming surat puniki.


Jika ada (perkara penting lain) di luar pasal dalam surat ini, maka Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Pangeran Tohpati berjanji untuk menuruti (Kompeni) serta akan menetapkan (putusan lanjutan) demi rakyatnya masing-masing. Karena jika menuruti serta menerima perintah tersebut, maka para Raja Cirebon akan menjadi sentosa. Kesepakatan Ketiga Raja Bersaudara atau rakyat Cirebon terhadap pasal yang ditulis itu, akan didahului oleh putusan François Tack sebagaimana yang ada di dalam surat ini.


Reaksi terhadap perjanjian


Perjanjian 4 Desember 1685 tidak berhasil memadamkan perselisihan antara keluarga besar kesultanan Cirebon, hal tersebut dikarenakan François de Tack dianggap lebih memihak Sultan Anom pada penyeleseian perjanjian tersebut,


Perjanjian ini menuntut agar para mantri kesultanan untuk berdialog dengan François de Tack berkenaan dengan persoalan hukum dan pemberlakuan pasal-pasal dalam perjanjian ini, namun hal tersebut belum terlaksana karena François de Tack kemudian terbunuh dalam pertempuran antara pasukannya dengan pasukan Bali yang dipimpin oleh Surapati di Kartasura.


Pada tahun 1688, tepatnya pada masa Gubernur Jenderal Johannes Camphuys dan Residen Cirebon Kapten Willem de Ruijter, terjadi sebuah perjanjian baru antara Belanda dengan para penguasa di Cirebon, pada masa itu Belanda mengirimkan utusan yang bernama Johanes de Hartog untuk menyeleseikan masalah internal di Cirebon, dalam penyeleseian masalah tersebut Sultan Sepuh Syamsuddin diwakili oleh Ki Raksanegara sementara Sultan Anom Badruddin meminta bantuan Pangeran Suradinata (keluarga Gamel) untuk mewakilinya. Perjanjian ditandatangani pada hari rabu tanggal 18 Dzulkaidah tahun 1100 hijriah atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1688 di keraton Kasepuhan.


Isi perjanjian


Dalam pasal ini dijanjikan dibuatnya niat jujur dan saling menyanggupi suatu persaudaraan, persahabatan yang murni dan persatuan yang baru tanpa perpecahan dan pembunuhan serta tanpa saling usir, lupa dan tidak diperingatkan. Semua perbedaan pendapat dalam kondisi sebelum ini boleh tetap ada, tetapi sebaliknya agar saling tolong menolong.


Dengan ini dibedakan bahwa Sultan Anom dan Panembahan Cirebon akan menghormati saudara tertua Sultan Sepuh sebagai anak pertama dari Panembahan Girilaya. Selain itu, Sultan Sepuh juga akan memperlakukan dan mengizinkan kedua saudaranya Sultan Anom dan Panembahan Cirebon dengan hormat dan santun bahwa mereka harus tetap dianggap sebagai anggota kerajaan Cirebon, mereka harus diberi pangkat dan kedudukan.


Dalam rapat, Sultan Sepuh berada di tengah diapit Sultan Anom di sebelah kanan dan Panembahan Cirebon di sebelah kiri. Selanjutnya di alun-alun Cirebon, tiap hari Sabtu akan diadakan kembali tradisi pemunculan raja dengan dua saudaranya diiringi dengan para menteri dan ornamen kerajaannya. Untuk menghindari perselisihan dan pengucilan, telah disetujui bahwa tiga bersaudara itu didudukan bersama di atas satu singgasana : Pangeran Sepuh pada urutan pertama (di sebelah timur), Pangeran Anom pada urutan kedua (di sebelah barat).


Sesuai dengan pembagian kerajaan Cirebon oleh susuhunan almarhum, kemudian pada posisi sebelah kanan duduk Pangeran Panembahan di sebelah timur saudara tertua. Selanjutnya para menteri berada dibawahnya. Bila Sultan Anom dan Panembahan tidak dapat hadir harus mengirim utusan pada hari Sabtu pagi kepada Sultan Sepuh untuk mengabarkan hal itu. Bila Sultan Sepuh berhalangan atau sakit, harus memberi kabar kedua pangeran.


Hanya Sultan Sepuh yang berhak bersabda dan untuk memberi perintah di alun-alun, bila Sultan Sepuh berhalangan, hak bersabda dan memberi komando berpindah ke tangan Sultan Anom. Bila keduanya berhalangan, Panembahan Cirebon harus mengambil alih tugas tersebut. Bila ketiganya tidak dapat hadir, tugas dapat diambil alih oleh putera tertua dari Sultan Sepuh, dan Sultan Anom. Bila mereka juga tidak hadir, Pangeran Ratu dari Pangeran Anom berhak mengambil alih tugas tersebut.


Berdasarkan suasana baru itu, tiga saudara itu bisa memberi perintah-perintah baru untuk menghindari perpecahan dan perselisihan di kerajaan Cirebon. Semua perselisihan yang ada harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, demikian juga surat-surat dan utusan Kompeni. Pertama-tama harus dibawa ke hadapan Sultan Sepuh, ia harus segera memberitahu kedua saudaranya. Ia pun harus memberi tahu hal itu di alun-alun.


Para utusan dan surat segera dibawa masuk oleh Sahbandar dan seorang mantri. Utusan ditanyai dan surat dibaca. Selanjutnya, pendapat para pangeran dikemukakan, hanya Sultan Sepuh yang berhak menjawab pesan dengan persetujuan ketiganya. Bila Sultan Sepuh berhalangan, Sultan Anom menggantikannya.


Segala urusan yang berkenaan dengan kerajaan dan rakyat Cirebon misalnya membuka, membersihkan, membuat, mengubah arah sungai, jalan, kampung dan seterusnya harus ditangani oleh salah seorang dari ketiga pangeran, seandainya tidak ada pihak lain yang mengelolanya. Akan tetapi, Sultan Sepuh akan mengadakan rapat untuk memperbincangkan dan memutuskan masalah itu dengan pemungutan suara.


Untuk masalah yang kurang penting boleh diputuskan dalam rapat badan penasehat yang ditunjuk Raja Sepuh, meskipun kedua pangeran lain tidak hadir setelah diberitahu terlebih dahulu, sebagaimana tradisi dengan menghadirkan di alun-alun tiga mantri Raja Sepuh, dua mantri dari pangeran kedua dan dua dari pangeran ketiga. Dalam rapat diputuskan wakil dari para mantri yang harus melaporkan keputusan rapat kepada para pangeran. Selanjutnya waktu rapat Rabu dan Minggu yang ditentukan tidak boleh diubah atau diganti, kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.


Ketiga pangeran masing-masing tidak berhak menghukum yang bukan rakyatnya. Bila hal tersebut terjadi sebelumnya harus diputuskan dalam rapat tujuh mantri dari tiga pangeran.


Semua sengketa para pedagang dan orang biasa harus diputuskan dalam rapat yang didasari undang-undang yang berlaku. Tindak pidana seperti pembakaran, pencurian, perampokan, dan seterusnya harus seadil-adilnya diputus dan dihukum menurut undang-undang yang berlaku. Kerugian harus diganti.


Tak seorang pun warga negara Cirebon bisa membantah dan menolak vonis dan keputusan badan penasehat tujuh mantri. Bila mereka naik banding, dalam persoalan besar para mantri membuat laporan kepada para pangeran. Sultan Sepuh akan meminta kedua saudaranya untuk memutuskan persoalan tersebut bersama-sama.


Untuk menghindari kekacauan dalam membuat stempel dan untuk mencegah perbedaan yang mencolok karena yang satu lebih ringan atau lebih kecil, tak seorang pun belum diperkenankan untuk membuatnya. Maka Raksa Nagara dari Sultan Sepuh dan Suradinata (dari) Pangeran Anom mempertimbangkan seorang tua yang bijak, memutuskan bahwa semua harus membuatnya serupa dengan yang ada pada Sultan Sepuh dan Sultan Anom dan dibuat bulat dengan berat bersih satu kati dua tail, bila tidak bisa didenda dan semua harta bendanya disita.


Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom mendapat hak istimewa untuk mengganti pembuat stempel yang ditunjuk Tumenggung Suradinata dan Raksa Nagara. Dan dapat menunjuk orang-orang ahli dengan syarat stempel-stempel itu besar, karakter, dan beratnya sesuai dengan yang sekarang. Semuanya harus sama dan dianggap baik oleh ketiga pangeran.


Karena tidak ada masalah yang timbul akibat dibaginya kerajaan Cirebon menjadi tiga, Sahbandar akan bekerja atas ketiga pangeran. Menerima orang-orang asing dan membuat laporan kepada Pangeran Sepuh yang diteruskannya kepada pangeran yang lain. Tumenggung Raksa Nagara diangkat menjadi Sahbandar.


Tumenggung Raksa Nagara hanya boleh mengurus pendapatan hasil tanah. Setengah dari pendapatan bersih diserahkan kepada Sultan Sepuh, kemudian Suradinata mengambil hasil tanah yang lain dari orang Cina (Sinko) untuk Sultan Anom dan Panembahan Cirebon yang mendapat setengah dari hasil bersih. Pembagian hasil selanjutnya diurus Kompeni.


Bila kemudian timbul perbedaan pendapat dan perselisihan hingga seorang Sahbandar dibatalkan, dalam hal ini para pangeran tidak bisa menunjuk Sahbandar baru, tetapi akan mengajukan calon untuk diangkat dan ditempatkan.


Tumenggung Raksa Nagara dan pemerintah selanjutnya tidak boleh berjudi, mencampuri urusan orang Cina, pabrik arak, dan yang termasuk dalam urusan pribadi. Semuanya harus diserahkan kepada Cina Sinko yang kini berfungsi sebagai kepala profesi. Hal itu dirujuk Kompeni. Mendiang Sarapada diangkat sebagai kapten Cina dengan syarat Sinko tetap mengurusi pemasukan dari pabrik arak, judi dan hak guna tanah tahunan yang disepakati dengan Pangeran Cirebon seharga seratus ringgit Spanyol.


Panembahan Cirebon akan mengurus kesejahteraan rakyat dan menentukan, mengangkat hakim, dan mantri dari ketiga pangeran untuk suatu penyelidikan dengan saran dari Kompeni. Residen akan hadir dalam perundingan yang berjumlah 400 orang. Bila satu pihak berjumlah banyak (mayoritas) sedang yang lain sedikit (minoritas), dalam situasi semacam ini harus dikembalikan kepada panembahan atau dua saudaranya yang lain.


Dua pangeran tertua menganugerahi nama panembahan Cirebon kepada Pangeran Adipati Tohpati, setelah dimusyawarahkan dengan komisaris (utusan), dengan syarat bahwa ia harus tetap sebagaimana sekarang dan mempunyai kewajiban sebagai adik termuda. Tidak boleh mengangkat diri lebih tinggi dari keduanya. Menjunjung tinggi nama anugerah tersebut.


Titel sultan dan panembahan dipergunakan dalam surat dan naskah dari Kompeni. Di luar itu disebut raja atau pangeran Cirebon dan nama asli Martawijaya, Kartawijaya dan Wangsakerta.


Ada perbedaan pandangan antara para pangeran dengan Kompeni dalam rapat dan diluar itu. Karena itu, komisaris (utusan) atas nama kompeni dan tiga pangeran berjanji akan meminta residen sebagai penengah yang akan datang ke rapat dan memberi pertimbangan sebab-sebab perbedaan pendapat.


Dengan ini, Kami Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon berjanji bahwa Pangeran Dipati Anom dan Pangeran Ratu sebagai putera tertua dari Sultan Sepuh akan diserahi tugas untuk selanjutnya mengurus Cirebon.


Barangsiapa melanggar perjanjian ini bisa diadukan kepada gubernur jenderal Kompeni di Batavia.


Tiga pangeran mengangkat 12 menteri, lima dari Pangeran I, empat dari pangeran II, dan tiga dari pangeran III. Kontrak ini bersifat mengikat, barang siapa melalaikan kewajiban atau melanggar kontrak akan dihukum mati dengan keris di alun-alun oleh dewan menteri.


Kontrak ini ditandatangani dan dikuatkan dengan segel. Juga ditandatangani oleh para saksi dan dikuatkan oleh segel Kompeni. Demikian hal itu dilakukan di istana Sultan Sepuh pada hari Rabu 8 September 1688 / 18 Dzulkaidah tahun alif 1100 hijriah.


Reaksi terhadap perjanjian


namun perjanjian yang ditandatangani pada 8 September 1688 dengan kesimpulan bahwa kesultanan-kesultanan di Cirebon berada dalam perlindungan Belanda (VOC) tersebut tidak membuahkan hasil.

No comments:

Post a Comment