08 September 2024

MELAWAN LUPA: 59 TAHUN G-30-S/PKI -- (8) AIDIT: “KALAU SUDAH SATU SEMUANYA, PANCASILA NDAK PERLU LAGI” Kemunculan Aidit dkk dalam membangun kembali partai yang hancur setelah Peristiwa Madiun 1948, merupakan suatu fenomenal. Sebab dalam tiga tahun, dia bersama kaum komunis muda berhasil menegakkan bendera palu arit di Jakarta, dan kemudian menjalar ke seluruh negeri. Hal ini tidak lepas dengan banyak peristiwa politik yang mengaduk negeri, sehingga pemerintah lebih fokus untuk menegakkan republik, daripada mengurus ‘anak-anak durhaka’. Mengkaji peran Aidit dan Aiditisme, akhirnya mengkaji juga PKI. Sebab Aidit hampir identik dengan PKI. Pikiran dan tindakannya, meski harus melalui rapat partai, tetapi sangatlah mewarnai perjalanan PKI sejak 1950. Aidit melakukan reformasi di dalam partai, dan karena itu pengurus lama PKI dipinggirkan, seperti Alimin, Wikana dan lainnya. Dan partai menampung orang baru yang relatif lebih bersih dari masa lalu (Pemberontakan PKI 1926 dan Pemberontakan 1948), seperti MH Lukman, Nyoto, Sudisman, Sakirman, dan lainnya. Aidit membawa partai lebih luwes, yaitu membentuk front persatuan nasional, dan mengikuti sistem parlementer. Daripada pendapat kelompok garis yang menghendaki perjuangan lewat senjata. Dalam Pemilu 1955, PKI menjadi 4 besar partai yang mengikuti Pemilu, dengan perolehan 6,1 7 juta suara (16%), dengan 39 kursi. Suara PKI lebih besar lagi di DPRD, bahkan PKI mayoritas di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Pada 1965, jumlah anggota PKI suah 3 juta orang. PKI diuntungkan karena mendapat perlindungan Presiden Sukarno. Namun PKI tidak diberikan bagian kekuasaan di Kabinet yang langsung membawahi Departemen Teknis. Selain PKI berdamai dengan sistem Parlementer, Aidit juga mengembangkan doktrin “MKTB” (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan). Yaitu: 1. Perjuangan gerilya bersenjata di desa terutama terdiri dari uruh tani dan tani miskin. 2. Aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota. 3 Pekerjaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata (ABRI). MKTB adalah gerakan di bawah tanah yang diserahkan kepada Biro Khusus. Lembaga inilah yang kemudian bersama Aidit merencanakan G-30-S/PKI. Aidit sangat terkesan dengan perjuangan PKCina di bawah pimpinan Mao Gedong, karena itulah hampir semua buku-buku Bapak Revolusi Cina ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan ada yang diterjemahkan ke bahasa Sunda. Hal ini supaya para petani di desa melek ideologi serta metode perjuangan, Mao dikenal dengan strateginya: Desa mengepung kota. Namun sampai akhir petualangan Aidit di tahun 1965, dia belum yakin dengan peran kaum tani dalam revolusi. Karena itu, dipilih cara kudeta untuk merebut kekuasaan negera yang sah. Petani telah diprovokasi Aidit dalam perjuangan untuk mendapatkan tanah. Karena itu PKI sangat getol memperjuangan Landreform, yang kemudian lahirlah UU Pokok Agraria pada tahun 1960. Radikalisme petani terus digosok, sehingga puncaknya terjadi dalam aksi sepihak. Para petani di desa melakukan penyerobotan tanah milik para tuan tanah dan petani kaya. Imbalan tanah adalah iming-iming yang diberikan PKI bagi perjuangan para petani, seperti Barisan Tani Indonesia dalam semua aksi sepihak mereka. Daerah Klaten Jawa Tengah dijadikan pilot proyek, sehingga banyak terjadi korban di kedua belah pihak. Menjadi ketua CC PKI menjadikan Aidit banyak menulis dan banyak bicara, tetapi hal itu tidak selalu sesuai dengan kemauannya. Sekali waktu dia pernah kepeleset lidah, dan itu fatal sekali. Pada 16 Oktober 1964, Aidit mengemukakan pandangan tentang Pancasila di depan peserta kursus pendidikan kader revolusi. “Dan di situlah sebetulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semuanya Saudara, Pancasila ndak perlu lagi. Sebab Pancasila alat pemersatu, bukan? Kalau sudah satu semuanya, apa yang kita persatukan lagi?” (Bintang Merah, November-Desember 1964, halaman 7). Ramai-ramai orang PKI membantah kutipan itu, tetapi memang bukti tidak terelakkan. Perkaranya diserahkan kepada Pemimpin Besar Revolusi (Sukarno). Karena tidak ada tindakan apa-apa, maka berlalulah kasus ini. Baru pada tahun 1965, Aidit tidak bisa lari dari blunder yang dia ciptakan sendiri. Dia mendapat hukuman mati tembak sebagai dalang G-30-S/PKI. (Bersambung: Tentang aksi sepihak PKI)

 MELAWAN LUPA: 59 TAHUN G-30-S/PKI -- (8)


AIDIT: “KALAU SUDAH SATU SEMUANYA, PANCASILA NDAK PERLU LAGI”


Kemunculan Aidit dkk dalam membangun kembali partai yang hancur setelah Peristiwa Madiun 1948, merupakan suatu fenomenal. Sebab dalam tiga tahun, dia bersama kaum komunis muda berhasil menegakkan bendera palu arit di Jakarta, dan kemudian menjalar ke seluruh negeri. Hal ini tidak lepas dengan banyak peristiwa politik yang mengaduk negeri, sehingga pemerintah lebih fokus untuk menegakkan republik, daripada mengurus ‘anak-anak durhaka’.


Mengkaji peran Aidit dan Aiditisme, akhirnya mengkaji juga PKI. Sebab Aidit hampir identik dengan PKI. Pikiran dan tindakannya, meski harus melalui rapat partai, tetapi sangatlah mewarnai perjalanan PKI sejak 1950. 



Aidit  melakukan reformasi di dalam partai, dan karena itu pengurus lama PKI dipinggirkan, seperti Alimin, Wikana dan lainnya. Dan partai menampung orang baru yang relatif lebih bersih dari masa lalu (Pemberontakan PKI 1926 dan Pemberontakan 1948), seperti MH Lukman, Nyoto, Sudisman, Sakirman, dan lainnya. 


Aidit membawa partai lebih luwes, yaitu membentuk front persatuan nasional, dan mengikuti sistem parlementer. Daripada pendapat kelompok garis yang menghendaki perjuangan lewat senjata.


Dalam Pemilu 1955, PKI menjadi 4 besar partai yang mengikuti Pemilu, dengan perolehan 6,1 7 juta suara (16%), dengan 39 kursi. Suara PKI lebih besar lagi di DPRD, bahkan PKI mayoritas di Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. 


Pada 1965, jumlah anggota PKI suah 3 juta orang. PKI diuntungkan karena mendapat perlindungan Presiden Sukarno. Namun PKI tidak diberikan bagian kekuasaan di Kabinet yang langsung membawahi Departemen Teknis.


Selain PKI berdamai dengan sistem Parlementer, Aidit juga mengembangkan doktrin “MKTB” (Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan). Yaitu: 1. Perjuangan gerilya bersenjata di desa terutama terdiri dari uruh tani dan tani miskin. 2. Aksi-aksi revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota. 3 Pekerjaan intensif di kalangan kekuatan bersenjata (ABRI). 


MKTB adalah gerakan di bawah tanah yang diserahkan kepada Biro Khusus. Lembaga inilah yang kemudian bersama Aidit merencanakan G-30-S/PKI.


Aidit sangat terkesan dengan perjuangan PKCina di bawah pimpinan Mao Gedong, karena itulah hampir semua buku-buku Bapak Revolusi Cina ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan ada yang diterjemahkan ke bahasa Sunda. 


Hal ini supaya para petani di desa melek ideologi serta metode perjuangan, Mao dikenal dengan strateginya: Desa mengepung kota. Namun sampai akhir petualangan Aidit di tahun 1965, dia belum yakin dengan peran kaum tani dalam revolusi. Karena itu, dipilih cara kudeta untuk merebut kekuasaan negera yang sah.


Petani telah diprovokasi Aidit dalam perjuangan untuk mendapatkan tanah. Karena itu PKI  sangat getol memperjuangan Landreform, yang kemudian lahirlah UU Pokok Agraria pada tahun 1960. 


Radikalisme petani terus digosok, sehingga puncaknya terjadi dalam aksi sepihak. Para petani di desa melakukan penyerobotan tanah milik para tuan tanah dan petani kaya. 


Imbalan tanah adalah iming-iming yang diberikan PKI bagi perjuangan para petani, seperti Barisan Tani Indonesia dalam semua aksi sepihak mereka. Daerah Klaten Jawa Tengah dijadikan pilot proyek, sehingga banyak terjadi korban di kedua belah pihak.


Menjadi ketua CC PKI menjadikan Aidit banyak menulis dan banyak bicara, tetapi hal itu tidak selalu sesuai dengan kemauannya. Sekali waktu dia pernah kepeleset lidah, dan itu fatal sekali. 


Pada 16 Oktober 1964, Aidit mengemukakan pandangan tentang Pancasila di depan peserta kursus pendidikan kader revolusi. “Dan di situlah sebetulnya Pancasila sebagai alat pemersatu. Sebab kalau sudah satu semuanya Saudara, Pancasila ndak perlu lagi. Sebab Pancasila alat pemersatu, bukan? Kalau sudah satu semuanya, apa yang kita persatukan lagi?” (Bintang Merah, November-Desember 1964, halaman 7).


Ramai-ramai orang PKI membantah kutipan itu, tetapi memang bukti tidak terelakkan. Perkaranya diserahkan kepada Pemimpin Besar Revolusi (Sukarno). Karena tidak ada tindakan apa-apa, maka berlalulah kasus ini.


Baru pada tahun 1965, Aidit tidak bisa lari dari blunder yang dia ciptakan sendiri. Dia  mendapat hukuman mati tembak sebagai dalang G-30-S/PKI.


(Bersambung: Tentang aksi sepihak PKI)

No comments:

Post a Comment