04 September 2024

HOEGENG, SEAKAN ADA PADAHAL SUDAH LAMA TAK ADA Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Setidaknya, mencari potretmu tergantung di sana. Menyembul di timbunan berkas proses verbal. Di sela bundel biodata. Di lemari buku yang berkarat kuncinya. Di balik arsip perkara yang sudah ditutup dan baru dibuka. Di dinding yang kusam karena asap rokok dan rahasia. Dari kantor polisi sektor sampai markas besar, aku mencarimu, Jenderal. Di sepanjang jalan, di kerumunan anak sekolah yang tawuran, di lapangan upacara yang becek setelah hujan, di labirin kampung ketika malam larut, di layar televisi setelah berita yang memuakkan, di bayangan bendera Agustusan, di pluit polantas dengan bola gabus yang berlompatan, di lipatan pataka berkepinding, di kaus kaki bolong, di balik lencana, dan kotak surat-surat kepada Merry yang kalau tutupnya dibuka terdengar denting Fur Elise berulang kali. Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Mengapa tak ada catatan tentangmu? Bahkan di ensiklopedia. Bahkan di algoritma. Di manakah engkau? Kemanakah engkau? Benarkah engkau ada? Atau cuma mitos saja? Apakah di komik Marvel? Apakah engkau polisi India, yang dalam film drama, selalu kalah diawal cerita? Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Polisi yang suka menyamar, yang suka mengendarai sepeda. Yang bermain musik penenang jiwa. Yang sibuk melukis, setelah dipaksa purna, oleh Soeharto, sang penguasa. Siapakah engkau sebenarnya? Apakah engkau sosok patung di perempatan jalanan kota? Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu. Tapi kayaknya aku takkan pernah ketemu kamu. Karena kamu hanya ada di dalam imajinasi, di dalam impian yang tak pernah kembali. Kenangan yang pudar, sebagian lenyap diganyang rayap, sebagian rusak tak bisa terbaca. Tak ada yang terbaca, meski memakai teropong gerhana! .

 HOEGENG, SEAKAN ADA

PADAHAL SUDAH LAMA TAK ADA


Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Setidaknya, mencari potretmu tergantung di sana. Menyembul di timbunan berkas proses verbal. Di sela bundel biodata. Di lemari buku yang berkarat kuncinya. Di balik arsip perkara yang sudah ditutup dan baru dibuka. Di dinding yang kusam karena asap rokok dan rahasia.



Dari kantor polisi sektor sampai markas besar, aku mencarimu, Jenderal. Di sepanjang jalan, di kerumunan anak sekolah yang tawuran, di lapangan upacara yang becek setelah hujan, di labirin kampung ketika malam larut, di layar televisi setelah berita yang memuakkan, di bayangan bendera Agustusan, di pluit polantas dengan bola gabus yang berlompatan, di lipatan pataka berkepinding, di kaus kaki bolong, di balik lencana, dan kotak surat-surat kepada Merry yang kalau tutupnya dibuka terdengar denting Fur Elise berulang kali.


Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Mengapa tak ada catatan tentangmu? Bahkan di ensiklopedia. Bahkan di algoritma. Di manakah engkau? Kemanakah engkau? Benarkah engkau ada? Atau cuma mitos saja? Apakah di komik Marvel? Apakah engkau polisi India, yang dalam film drama, selalu kalah diawal cerita?


Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu, Jenderal. Polisi yang suka menyamar, yang suka mengendarai sepeda. Yang bermain musik penenang jiwa. Yang sibuk melukis, setelah dipaksa purna, oleh Soeharto, sang penguasa. Siapakah engkau sebenarnya? Apakah engkau sosok patung di perempatan jalanan kota? 


Dari kantor polisi ke kantor polisi aku mencarimu. Tapi kayaknya aku takkan pernah ketemu kamu. Karena kamu hanya ada di dalam imajinasi, di dalam impian yang tak pernah kembali. Kenangan yang pudar, sebagian lenyap diganyang rayap, sebagian rusak tak bisa terbaca. Tak ada yang terbaca, meski memakai teropong gerhana!



.

No comments:

Post a Comment