19 September 2022

Sejarah Jawa

 Para sejarawan di Indonesia telah menyepakati bahwa masa akhir prasejarah di pulau Jawa itu terjadi dikisaran awal abad Masehi, seiring ditemukannya bukti arkeologi berupa Prasasti pada zaman Tarumanagara yang berbahasa Sanskerta beraksara Pallawa. Kronologi sejarah di Nuhsantara dibagi berdasarkan masa, Prasejarah - Klasik Kerajaan (Hindu - Budha) - Kesultanan (Islam) - Hindia Belanda - NKRI.


Tarumanagara didirikan oleh Jayasingawarman yang memerintah antara tahun 358 – 382 M. Menjadi sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Jayasingawarman adalah seorang Maha Resi dari Dinasti Calankayana di India yang berekspansi ke Nuhsantara. Tarumanagara menjadi penanda berakhirnya masa prasejarah di pulau Jawa. 


Oleh sebagian pendapat disebut, bahwa Jayasingawarman adalah menantu Raja Dewawarman VIII, raja Salakanagara (Darmawan, Joko; Astuti, Rita Wigira. Sandyakala: Kejayaan & Kemashyuran Kerajaan Nusantara). Namun hingga saat ini Salakanagara yang dimaksud sebagai sebuah Kerajaan yang berada di paling barat pulau Jawa tidak meninggalkan prasasti apapun kepada para arkeolog untuk bisa dilakukan penelitian lebih lanjut. Sumber mengenai keberadaan Salakanagara hanya berdasarkan Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara bagian dari Naskah Wangsakerta, yang itu pun masih menjadi kontroversi para sejarawan.


Menurut sumber tersebut dikatakan, Salakanagara berdiri antara 130-362 Masehi beribu kota di Rajatapura (Teluk Lada, Kab. Pandeglang). Didirikan oleh Dewawarman I seorang Duta Pallawa India yang saat itu berekspansi ke wilayah "Yawadwipa" (salah satu pulau di Nusantara). Memerintah antara tahun 130-168 Masehi atau tahun 1-38 Saka (sistem penanggalan kalender Bangsa India di Nuhsantara), ia digelari sebagai "Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara" atau Orang Jawa saat ini mengenalnya sebagai "Aji Saka". 


Menurut Kitab Raja Purwa yang ditulis oleh Ronggowarsito, pernah terjadi sebuah peristiwa dahsyat meletusnya "Gunung Kapi" pada tahun 416 Masehi atau tahun 338 Saka. Para geografer (ahli ilmu kebumian) berpendapat, bahwa yang terjadi saat itu adalah meletusnya Gunung Krakatau Purba. Peristiwa itu mengakibatkan tenggelamnya sebagian daratan disekitarnya, dan menjadikan terbelahnya semenanjung sisa dari daratan Sunda pasca mencairnya zaman es ribuan tahun sebelum Masehi. Semenanjung yang menjuntai dari paling barat Sumatera (saat ini) hingga ke wilayah bagian timur Jawa (saat ini). Peristiwa meletusnya Gunung Krakatau Purba telah menjadikannya pulau Sumatera dan pulau Jawa yang terpisahkan oleh Selat Sunda. 


Jika benar kejadian tersebut telah meluluh-lantahkan daratan disekitar Gunung Krakatau Purba, maka besar kemungkinan peradaban yang dibangun oleh Salakanagara (Bangsa India) pada masa awal ekspansinya di Nuhsantara pun dipastikan berakhir hancur dan keberadaannya menjadi sebuah mitos. Hal itu lantas berdampak kepada Tarumanagara yang berada disebelah timur Salaka menjadi lebih berkembang dan maju. Tarumanegara merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.


Terlepas fakta atau mitos keberadaan Salakanagara, namun hal penting yang patut kita garis bawahi baik Salakanaga maupun Tarumanagara, itu didirikan oleh Dinasti Calankayana dari India yang saat itu bermigrasi secara besar-besaran dan akhirnya menetap di pulau Jawa ke negerinya Bangsa Ras Melayu. Menancapkan pengaruh ajaran, tradisi serta budaya India ketengah penduduk aseli Nuhsantara pada saat itu dan melalui kekuasaan Tarumanagara. Tercatat dengan jelas dalam sejarah Indonesia hari ini, bahwa Tarumanagara merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan-kerajaan lain di pulau Jawa, baik yang berada di bagian tengah hingga ke bagian timur pulau Jawa. Mereka datang ke Nuhsantara dengan membawa pengetahuan dalam pengembangan sistem sosial politik mendirikan sistem pemerintahan Kerajaan pada era zaman Klasik. Mereka menguasai sistem pemerintahan, mereka membangun peradaban awal masa Klasik pasca zaman prasejarah. Mereka mengenalkan sistem baca tulis di Nuhsantara, aksara Pallawa bahasa Sanskerta.


Aksara Pallawa merupakan Aksara turunan atau modifikasi dari Aksara Brahmi di India yang notabenenya Aksara Pallawa ini merupakan Induk dari berbagai Aksara lainnya di Nusantara. Diantaranya menurunkan Aksara Kavi atau Kawi (berarti "Pujangga" dalam bahasa Sanskerta) di pulau Jawa. Dalam proses perkembangannya selama berabad-abad Aksara Kawi kemudian menurunkan dua aksara lainnya, Aksara Jawa Kuno juga Aksara Sunda Kuno. Semua itu hanyalah salah satu dari sekian banyaknya pengaruh bangsa India terhadap peradaban di pulau Jawa, belum lagi jika kita mengkaji lebih dalam terkait asimilasi tradisi budaya (Hindu - India) hingga pada pecampuran ras antara ras aseli Nuhsantara dan ras aseli India. Hal tersebut kini telah melekat dan melebur menjadi suatu identitas masyarakat Jawa yang solid seperti saat ini. Berlangsung dengan durasi waktu yang sangat panjang dan peradabannya tersebut dibangun lebih dari 1000 tahun lamanya oleh para generasi penerusnya! Trah India. 


Namun kondisi tersebut justru tidak berjalan mulus ke wilayah bagian barat pulau Jawa, pasca runtuhnya Tarumanagara. Wilayah kekuasaan kerajaan pun terbagi dua menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda dipimpin oleh Sang Tarusbawa seorang Bangsawan Lokal (penduduk aseli Nuhsantara) yang merupakan menantu dari Raja Tarumanagara terakhir yaitu Maharaja Linggawarman (666-669 M). Sementara Kerajaan Galuh dipimpin oleh Sang Wretikendayun yang statusnya sebagai Bangsawan India keturunan dari Maha Guru Manikmaya pendiri Kerajaan Kendan (Vassal Tarumanagara saat itu). Maha Guru Manikmaya merupakan seorang Brahmana yang datang dari India dan menikahi Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara (535-561 M). 


Sejak saat itulah awal mula dinamika politik kekuasaan terjadi, Kerajaan Sunda yang berada di sebelah barat pulau Jawa membangun afiliasi politik dengan Sriwijaya yang saat itu menjadi simbol kekuatan Bangsa Ras Melayu (ras aseli Nuhsantara). Kerajaan Sunda menjadi vassal dari Kedatuan Sriwijaya, sementara Kerajaan Galuh yang berada disebelah timurnua terus melakukan upaya membangun kekuatan politik dinastinya. Pengaruh bangsa India di pulau Jawa pun akhirnya berkembang dan menjadi dominan, mereka mampu menguasai wilayah hingga ke bagian timur pulau Jawa. Sanjaya adalah raja Medang pertama (Mataram Kuno) yang memerintah sekitar tahun 732 - 746 dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya atau Rakeyan Jamri adalah cicit dari Wretikendayun, ayahnya adalah Bratasena sebagai Raja Kerajaan Galuh ke-3.


Tercatat terdapat 3 wangsa atau dinasti yang pernah menguasai Kerajaan Mataram Kuno yaitu Wangsa Sanjaya penganut Hindu (keturunan Dinasti Calankayana, India), kemudian Wangsa Syailendra penganut Budha (keturunan Sriwijaya Melayu, Nuhsantara), dan Wangsa Isyana penganut Hindu - Budha (didirikan oleh Mpu Sindok). Ketika Kedatuan Sriwijaya dipimpin oleh Wangsa Syailendra, Sriwijaya berhasil merangsek menduduki pulau Jawa hingga ke wilayah bagian tengah pulau Jawa termasuk menguasai Kerajaan Sunda, Galuh, Kalingga dan di saat Kedatuan dipimpin oleh Maharaja Balaputradewa, Sriwijaya berhasil menginvasi bumi Mataram Kuno (Medang). Hingga masa kepemimpinan Mpu Sindok yang memerintah Mataram Kuno sekitar tahun 929–947 Masehi. Wilayah Kerajaan Mataram Kuno (Medang) akhirnya posisinya dipindahkan dari Jawa bagian tengah ke wilayah Jawa bagian timur dengan alasan keamanan. 

hingga penyerangan balasan ke Kedatuan Sriwijaya yang dilakukan oleh Mataram Kuno Wangsa Isyana pada tahun 992 Masehi. Dilanjutkan oleh Ekspedisi Pamalayu Singhasari pada tahun 1275 Masehi dan upaya penguasaan Majapahit atas wilayah Sriwijaya melalui Kerajaan Dharmasraya Melayu dibawah komando Adityawarman di tahun 1347 Masehi.





No comments:

Post a Comment