30 October 2023

JAKA TINGKIR

 PERJALANAN RADEN JAKA TINGKIR


Enggal Marènana Matun Gaga,

Nuli Asuwitaa,

Maring Dêmak Sira Kulup,

Sira Uga Bakale Dadi Ratu.


( Sekar Asmaradana Pupuh 41, Dawuh Sunan Kalijaga marang Mas Karebet )



Tanggal 18 Jumadilakhir Tahun Dal Mongso Kawolu, menjelang subuh tepat seusai pertunjukan wayang beber yang digelar di Pendopo Kraton Pengging, lahirlah seorang bayi laki laki dengan paras menawan. Putra Ki Ageng Kebo Kenanga dari garwanya Rara Alit.

Setelah bayi mungil disucikan, oleh Ki Ageng Kebo Kenanga bayi tersebut dibawa ke pendopo Kraton diberikan kepada Ki Ageng Tingkir yang saat itu selesai mendalang dengan tujuan mohon doa & restu. Setelah dipangkuan Ki Ageng Tingkir bayi mungil dibacakan doa doa kebaikan dan terakhir beliau memberikan nama Mas Karebet, terinspirasi dari suara kemrebet wayang beber karena tiupan angin.

Ki Ageng Kebo Kenanga sangat bahagia dengan kelahiran putranya tersebut, apalagi dahulu beliau pernah mendapat wisik bahwa kelak putranya tersebut akan mukti atau jadi Ratu.

Saat itu usia Mas Karebet menginjak dua tahun ketika prahara menyerang Kraton Pengging. Ayahanda beliau Ki Ageng Kebo Kenanga wafat dalam pertarungan melawan Sunan Kudus utusan dari Kerajaan Demak Bintara. Ki Ageng Kebo Kenanga dianggap bersalah atau memberontak karena tidak pernah mau menghadap ke Kraton Demak. Ki Ageng Kebo Kenanga tertusuk keris Sunan Kudus.

Kesedihan Kraton Pengging belum usai, empat puluh hari sejak wafatnya Ki Ageng Kebo Kenanga, Nyai Ageng Kebo Kenanga Ibunda Mas Karebet wafat. Kini Mas Karebet hidup sebatang kara. Sehari hari beliau dirawat oleh para abdi Kraton Pengging yang sudah tidak memiliki Raja. Hingga pada suatu hari janda Ki Ageng Tingkir menjemput Mas Karebet dan berkenan menjadikan anak angkatnya dan membawanya pulang ke Dukuh Tingkir. Nyai Ageng Tingkir adalah seorang yang kaya raya karena sawah peninggalan Ki Ageng Tingkir yang luas.

Setelah tinggal dan besar di Dukuh Tingkir akhirnya Mas Karebet dikenal teman temannya dengan julukan Jaka Tingkir.

Meski berkecukupan, dalam keseharian Jaka Tingkir lebih suka menyepi ke gunung, jurang, dipinggir sungai, kadang bertapa di gua juga berendam ( kungkum ) di Sendang atau mata air. Sendang petilasan Joko Tingkir terkenal dengan nama Sendang Sanjaya. Sepuluh hari kemudian baru pulang kerumah .

Hingga pada suatu hari ketika Joko Tingkir sedang menyepi di gunung Telamaya ( Gunung Merbabu ) beliau tertidur dan bermimpi Rembulan di atas langit tiba tiba jatuh kepangkuannya dipeluknya erat erat, bulan terasa keras sekeras kentos biji salak. ketika terbangun terdengar suara gemuruh dari dari puncak Gunung Telamaya. Kemudian Raden Jaka Tingkir turun pulang kerumahnya. Dan mimpi tersebut diceritakan kepada ibunya.

Nyai Ageng Tingkir sebenarnya khawatir melihat putranya yang sering menyepi ke tempat tempat sunyi, beliau berharap  Jaka Tingkir mendapat pengajaran agama dan kanuragan dari seorang guru.  Kemudian pada suatu hari Nyai Ageng Tingkir mengirim Raden Jaka Tingkir untuk berguru kepada Ki Ageng Selo. Setiap sepuluh atau dua puluh hari , Jaka Tingkir pulang ke Dukuh Tingkir menemui Ibunya.

Di Padepokan Ki Ageng Selo, Raden Joko Tingkir belajar ilmu agama Islam, Ilmu kanuragan dan bela diri, Ilmu Dalang, Ilmu Sastra dan Tembang Macapat, Ilmu Bertani.

Terkadang Ki Ageng Selo mengirim  Jaka Tingkir bersama Raden Henis, Bagus Kacung Juga Raden Juru Martani ke Padepokan Sunan Kalijaga di Mantingan.

Raden Joko Tingkir sebagai murid sangat memperhatikan yang diajarkan oleh Ki Ageng Selo maupun Sunan Kalijaga. Termasuk ilmu dalang, Jaka Tingkir fasih mendalang hingga Ki Ageng Sela membelikan wayang kulit berikut perlengkapan dalang komplit. Dan selama di Selo Jaka Tingkir mulai manggung di desa desa sekitar sebagai Dalang Muda.

Jaka Tingkir juga sangat menyukai ilmu sastra dan tembang macapat.


Jaka Tingkir mempunyai kepribadian yang baik, sopan dalam bersikap dan bertutur kata, di Padepokan Ki Ageng Sela semua kawan seperguruan sangat menyukai beliau.


Begitu pula Ki Ageng Selo sangat menyayangi Jaka Tingkir seperti putranya sendiri. Selama di Sela, Jaka Tingkir hampir tidak pernah berpisah dengan Ki Ageng Selo. Ketika Ki Ageng Selo bertapa di hutan, Jaka Tingkir juga ikut bertapa. Termasuk ketika Ki Ageng Selo membuka hutan untuk perluasan tanah pertaniannya, Jaka Tingkir selalu mendampingi dan membantunya. Hingga pada suatu hari, saat itu adalah hari ketujuh Ki Ageng Sela menginap di gubug ditengah hutan setelah seharian membuka hutan.Tepatnya pada hari Jumat Malam, Ki Ageng Selo tidur di dalam gubug. Jaka Tingkir tidur di teras gubug. Ki Ageng Selo bermimpi berangkat ke hutan dengan membawa kampak untuk menebang pohon ternyata sesampai di hutan terlihat Jaka Tingkir sudah menebang beberapa pohon dan menyeret dengan tangan kirinya. Betapa terperanjatnya Ki Ageng Selo hingga beliau terbangun dari tidurnya.

Kemudian Ki Ageng Selo membangunkan Jaka Tingkir dan mengajaknya Sholat Malam dilanjutkan dengan mengaji / berdoa hingga menjelang waktu subuh dengan diterangi nyala lampu senthir. Kemudian setelah istirahat sebentar dilanjutkan sholat subuh.

Kemudian Ki Ageng Selo mengajak Jaka Tingkir untuk duduk santai di teras gubug ditemani nasi ketan dan air putih dari kendi.

Ki Ageng Selo kemudian bertanya kepada Jaka Tingkir : " Anakku, apakah sebelum ke Selo engkau pernah bermimpi yang menurutmu istimewa? " 

Kemudian Jaka Tingkir menjawab: " Duh Romo selama di Tingkir saya sering menyepi ke gunung, jurang, di tepian sungai maupun kungkum di Sendang. Sebulan yang lalu saya berguru kepada Ajar Adirasa, pada suatu malam ketika saya sedang tidur di gunung Telamaya saya bermimpi tiba tiba rembulan dari langit jatuh ke pangkuan saya dan rembulan itu terasa keras seperti kentos biji salak. Ketika saya terbangun terdengar suara bergemuruh dari Gunung Telamaya ( Gunung Merbabu ) "

Menurut Ki Ageng Sela, bermimpi membabad hutan berarti akan mukti menjadi ratu. Demikian pula ditambah mimpi Raden Joko Tingkir, Ki Ageng Selo semakin yakin jika kelak Jaka Tingkir akan menjadi Ratu.


" Aku percaya kepadamu anakku, disuatu hari nanti engkau akan mendapat karunia dari Tuhan, berupa kedudukan yang tinggi di dunia.Oleh karena itu hendaklah engkau selalu dekat dengan Tuhan " 

Ucap Ki Ageng Selo memberi wejangan.

Dan untuk selanjutnya untuk membuka tabir mimpi, Ki Ageng Selo memerintahkan  Jaka Tingkir pergi ke Kerajaan Demak untuk menjadi abdi dalem dan mendapatkan posisi yang baik di lingkungan Kraton. Sebelum berangkat Jaka Tingkir diperintahkan menemui Ibu Angkatnya Nyai Ageng Tingkir untuk berpamitan dan mohon doa restu.

Sesampai di Tingkir, jakax Tingkir menceritakan saran Ki Ageng Selo untuk mendaftar menjadi abdi dalem di Demak. Demi mendengar cerita Raden Joko Tingkir, Nyai Ageng Tingkir terkejut juga khawatir mengingat ayahnya, Ki Ageng Kebo Kenanga yang wafat saat melawan utusan Demak. Untuk menutupi kekhawatirannya Nyai Ageng Tingkir meminta Raden Joko Tingkir untuk membantunya mencabuti rumput di sawah ( matun ). Sudah tiga hari Raden Joko Tingkir matun di sawah. Hari itu langit nampak mendung tepatnya menjelang asar tiba tiba Sunan Kalijaga yang pulang dari Dalem Mantingan datang menghampiri Raden Joko Tingkir yang sedang tekun mencabuti rumput / alang alang ( matun ) dengan suara yang rendah Sunan Kalijaga

" Ngger Cucuku, Selesaikan matunmu, segeralah berangkat ke Demak. Kelak engkau akan menjadi Ratu " 

Selesai berkata kemudian Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanan ke arah utara.

Kemudian Raden Joko Tingkir bergegas pulang  dan menceritakan pertemuannya dengan Sunan Kalijaga. Nyai Ageng Tingkir terharu dan mantap melepas dan memberi restu Raden Joko Tingkir berangkat ke Demak.Sebelum berangkat, Nyai Ageng Tingkir berpesan kepada Raden Joko Tingkir untuk menemui saudaranya di Desa Ganjur yang bekerja di Suranata / Mesjid Demak.


Akhirnya berangkatlah Raden Joko Tingkir menuju Demak.Dari Tingkir ke Demak merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan. Selain melewati hutan-hutan lebat, juga menyusuri lereng-lereng bukit dan lembah. Perjalanan dengan naik kuda bisa ditempuh lebih dari satu hari satu malam.


Setibanya di Desa Ganjur, Jaka Tingkir langsung mencari rumah Lurah Ganjur. Setelah bertemu dengan Lurah Ganjur, beliau menyampaikan pesan dari Nyai Ageng Tingkir

Setelah mendengar pesan dari Nyai Ageng Tingkir kemudian Lurah Ganjur memberitahu Joko Tingkir bahwa besok adalah hari Jum’at. Sultan akan sembahyang di Masjid Agung Demak. Jadi besok pagi-pagi Joko Tingkir ikut pergi untuk membersihkan masjid dan menyiapkan segala sesuatu untuk keperluan shalat Jumat. Dengan harapan  Sultan Trenggono akan melihatnya dan berkenan mengangkatnya sebagai abdi dalem atau pengawalnya.


Keesokan harinya pagi-pagi Ki Lurah Ganjur dan para pembantunya serta Jaka Tingkir sudah berada di masjid dan mulai membersihkan lantai dan lingkungan masjid, menimba air untuk mengisi kulah dan gentong, menyiapkan tikar, menyapu halaman dan memotong rumput dan dahan,dan sebagainya.


Jaka Tingkir tampak rajin dan sigap terhadap tugas yang diberikan kepadanya. Saking seriusnya dalam bekerja,sampai-sampai ia tidak menyadari kalau sang Sultan dan rombongan telah tiba dan akan berjalan melewati tempat Jaka bekerja. Seketika itu juga, Jaka merasa kaget. Beliau bingung, jika  pergi begitu saja maka akan membelakangi sang Sultan. Tapi jika tetap diam di tempat itu, tentu akan dilanggar oleh Sultan dan rombongan. Sementara posisi Joko Tingkir sendiri berada di antara dua kolam yang tempatnya sempit. Tanpa berpikir panjang, spontan Joko Tingkir melompat melampaui kolam dengan ilmu kanuragan yang telah dipelajari dari Ki Ageng Sela.


Sultan Trenggono dan rombongan amat terkejut sekaligus kagum, begitu juga dengan Ki Lurah Ganjur. Lalu sang Sultan mendekati Ki Lurah Ganjur dan memberi tanda agar Jaka Tingkir menemuinya usai shalat Jum’at. 


Shalat Jum’at pun usai. Tidak berapa lama kemudian, Sultan dan rombongan keluar menemui Jaka Tingkir  yang sudah siap menunggu di pintu keluar masjid. JokoTingkir segera memberi hormat. Jantungnya berdegup kencang kalau-kalau Sultan akan marah kepadanya.

“Siapa namamu anak muda?” sapa Sultan dengan nada ramah dan bersahabat.

“Saya Jaka Tingkir, Gusti.”

“Siapakah orang tuamu?”

“Bapak saya bernama Ki Ageng Tingkir, masih ada hubungan keluarga dengan Ki Lurah Ganjur.”

Sultan Trenggono seperti tersihir melihat sikap Joko Tingkir yang sopan dan mengerti tata krama Keraton.

Singkat cerita, Jaka Tingkir diterima sebagai abdi dalem keraton. Karena beliau pandai, berilmu, dua tahun kemudian beliau diangkat sebagai Lurah Wira Tamtama . Beliau mengadakan perbaikan di tubuh prajurit serta menjadikan prajurit Demak cukup disegani. Sultan merasa senang dan puas atas hasil kerja Jaka Tingkir, sehingga Jaka Tingkir diangkatnya sebagai putra, kemudian Sultan Trenggono memberi tambahan gelar untuk Jaka Tingkir menjadi Rahadyan Jaka Tingkir atau Raden Jaka Tingkir

Sultan Trenggono sangat sayang kepada Raden Jaka Tingkir , setiap Sultan Trenggono berburu ke hutan Raden Jaka Tingkir turut serta bahkan Raden Jaka Tingkir jitu dalam berburu singa maupun macan, ketika Sultan berpesiar naik perahu, Raden Jaka Tingkir mendampingi Sultan. Raden Jaka Tingkir berhasil menundukkan beberapa buaya yang akan menyerang mereka.


Tetapi sayang hubungan baik Raden Jaka Tingkir dengan Sultan Trenggono tidak berlangsung lama. 

Saat itu Kraton Demak sedang menerima / seleksi prajurit baru salah satu ujiannya adalah membunuh banteng. Salah satu peserta seleksi bernama Dadunggawuk, seorang preman yang berperangai buruk yang berhasil memecahkan kepala banteng. Demi melihat Dadung Gawuk berhasil menundukkan banteng, Raden Jaka Tingkir tidak setuju jika calon  pengawal Sultan adalah orang yang akan membahayakan Sultan sendiri. Kemudian Raden Jaka Tingkir turun ke lapangan dan menantang Dadung Gawuk. Akhirnya Dadung Gawuk bertarung melawan Raden Jaka Tingkir. Terjadilah perlawanan sengit dan akhirnya Raden Jaka Tingkir berhasil mengalahkan Dadung Gawuk  dengan tusukan pusaka sadak kinang  ( tusuk konde ) beliau kearah perut Dadung Gawuk dan tewaslah Dadung Gawuk. 

Patih Wonosalam yang melihat Raden Jaka Tingkir membunuh peserta seleksi kemudian melapor ke Sultan Trenggono tanpa bertanya / klarifikasi kepada Raden Jaka Tingkir. Sultan Trenggono mendengar penuturan patihnya sangat marah dan tanpa ampun kemudian memecat Raden Jaka Tingkir dan membuangnya ke hutan. 

Kepergian Raden Jaka Tingkir di iringi kesedihan para prajurit bawahannya. Sementara Sultan Trenggono akhirnya menyadari, tidak mungkin Raden Jaka Tingkir melakukan hal tersebut tanpa alasan tertentu. Tapi nasi telah menjadi bubur, Raden Jaka Tingkir sudah jauh didalam hutan rimba. 

Sementara Raden Jaka Tingkir sudah jauh didalam hutan dengan perasaan campur aduk antara sedih kecewa marah. Jaka Tingkir berjalan semakin jauh melewati pegunungan Kendheng hingga akhirnya masuk ke hutan dan beristirahat dibawah pohon rimbun. Di saat istirahat di dalam hutan, Raden Jaka Tingkir dikejutkan dengan datangnya seorang kakek menghampirinya. Kakek tersebut  menanyakan kenapa Raden Jaka Tingkir berada dihutan ini dari raut wajahnya kelihatan seakan memendam kesedihan. Kemudian Raden Jaka Tingkir memperkenalkan diri dan menceritakan kenapa beliau sampai di hutan ini. Betapa terkejutnya sang kakek mendengar penuturan Raden Jaka Tingkir, kemudian Kakek memeluk Raden Jaka Tingkir dan menjelaskan bahwa dia adalah Ki Ageng Butuh saudara seperguruan Ki Ageng Kebo Kenanga. Ki Ageng Butuh kemudian menjelaskan siapa jati diri Raden Jaka Tingkir dan juga menceritakan kenapa ramanya wafat. Kemudian Ki Ageng Butuh mengajak Raden Jaka Tingkir ke Padepokannya dipinggir hutan. Sesampai di Padepokan Ki Ageng Butuh memberi tahu Ki Gedhe Ngerang bahwa pemuda yang dihadapannya adalah putra Ki Ageng Kebo Kenanga yang dirawat oleh Nyai Ageng Tingkir. Ki Ageng Butuh menjelaskan kepada Raden Jaka Tingkir bahwa Ki Ageng Kebo Kenanga, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang dahulu adalah kawan seperguruan.    Akhirnya Raden Jaka Tingkir tinggal beberapa waktu di Padepokan tersebut. Disana Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang mengajarkan beberapa ilmu yang bermanfaat kepada Raden Jaka Tingkir. Setelah Raden Jaka Tingkir dirasa mahir menerima ilmu dari mereka kemudian Raden Jaka Tingkir diperintahkan untuk berguru kepada Ki Buyut Banyubiru yang Padepokannya di desa Banyu Biru di pinggir Gunungkidul disebelah timur Getas Aji. Tetapi sebelumnya ke makam ayahandanya Ki Ageng Kebo Kenanga di Pengging. 

Setelah berpamitan kepada Ki Ageng Butuh & Ki Ageng Ngerang, Raden Jaka Tingkir berangkat menuju Pengging ke makam Ki Ageng Kebo Kenanga ayahandanya.Di makam ayahandanya Raden Jaka Tingkir menginap beberapa hari. Raden Jaka Tingkir tidak menyangka kalau dirinya adalah putra seorang Raja. Dalam perenungannya Raden Jaka Tingkir tidak menaruh rasa dendam kepada Sunan Kudus. Karena semua semata mata takdir dari yang Maha Kuasa.


Setelah dari makam leluhurnya di Pengging kemudia Jaka Tingkir melanjutkan perjalanan menuju Desa Banyubiru. Sesampai di desa Banyu Biru kemudian beliau menghadap Ki Buyut Banyu Biru dan menghaturkan salam dari Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang kemudian beliau memperkenalkan diri sebagai putra Ki Ageng Kenanga. Raden Jaka Tingkir kemudian menceritakan maksud tujuannya yaitu ingin menjadi murid Ki Buyut Banyubiru. Akhirnya beliau  diterima sebagai murid oleh Ki Buyut Banyubiru. Di sana telah ada murid yang lain, seperti Mas Manca putra Jabaleka, tamtama dari prajurit Majapahit, juga Wuragil dan Wila yang masih keponakan Ki Buyut Banyubiru sendiri. Jaka Tingkir belajar dengan sangat tekunsehingga dalam waktu  tiga bulan, Beliau sudah dapat menguasai semua ilmu yang diajarkan Ki Buyut Banyubiru dan lulus dalam ujian.


Lalu Ki Buyut Banyubiru menganjurkan Raden Jaka Tingkir  untuk kembali ke Demak untuk menghadap Sultan. Ki Buyut Banyubiru membekali Raden Jaka Tingkir dengan segenggam tanah dari Siti Sangar untuk dimasukkan ke mulut kerbau Danu yang akan ditemuinya di perjalanan.


“ Selama musim penghujan Sultan Trenggono akan ngedaton di Pesanggrahan Prawata. Kerbau yang engkau masukkan segenggam tanah tadi akan mabuk dan mengamuk, berlari menuju depan pesanggrahan sang Sultan. Kemudian Sultan akan memintamu untuk menangkap binatang itu,” kata Ki Buyut Banyubiru.


Setelah mendapat restu dari Ki Buyut Banyubiru maka dengan menggunakan rakit ditemani tiga orang yaitu Ki Mas Manca, Ki Wuragil dan Ki Wila, Raden Jaka Tingkir meninggalkan Padepokan Banyubiru menyusuri Kali Dengkeng menuju Pesanggrahan Prawata Demak. Ki Mas Manca dengan galah bambu di depan mengemudikan rakit dan Ki Wuragil beserta Ki Wila yang mendayung sementara Mas Karebet duduk  di atas rakit.

Saat itu langit nampak mendung ketika rakit melewati Kedung Srengenge. Sungai tersebut dikenal sangat angker dan banyak buaya.Di sana terkenal sebagai Kerajaan buaya putih dengan Baureksa sebagai rajanya dan Jalumampang patihnya. Dengan membawa 200 buaya mereka menyerang rakit yang ditumpangi empat pemuda. Mereka berhasil melawan pasukan buaya. Raden Jaka Tingkir menceburkan diri ke sungai berhasil membunuh puluhan buaya bahkan Jalumampang patih buaya mati ditangan Raden Jaka Tingkir. Ki Baureksa dipanggul di pundak Raden Jaka Tingkir . Ki Manca dengan tongkat kayunya berhasil membunuh 70 buaya yang lainnya kocar kacir melarikan diri. Dan akhirnya Ki Baureksa menyerah dan bersama 40 buaya yang tersisa ikut mendorong rakit berjalan lebih cepat. Seperti ditulis dalam Sekar Megatruh Babad Tanah Jawi :


sigra milir sang gethek sinangga bajul

(Mengalirlah segera rakit yang didorong buaya)


kawan dasa kang njageni

(Empat puluh yang menjadi penjaganya)


ing ngarsa kalawan pungkur

(Di depan maupun di belakang)


tanapi ing kanan kering

(Juga di sebelah kanan dan kiri)


sang gethek lampahnya alon

(Rakitpun berjalan pelan)


Siang beranjak malam rakit menyusuri panjangnya Kedung Srengenge.Sementara empat pemuda tidur lelap kelelahan sehabis melawan buaya. Tidak terasa rakit sudah sampai di Desa Butuh. Nampak dari kejauhan Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang  sudah menunggu kedatangan Raden Jaka Tingkir, tiba tiba beliau melihat cahaya terang dari arah utara meluncur menuju rakut dan masuk kedalam tubuh Raden Jaka Tingkir yang masih tidur lelap. Kebetulan hari itu adalah Jumat malam. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang bersyukur karena " Wahyu Ratu " sudah turun dan merasuk kedalam tubuh Raden Jaka Tingkir seperti tertulis dalam Sekar Asmaradana pupuh 40:


Cinarita Jumungah marêngi 

Lingsir wêngi saking lèr kang cahya 

nalika wahyu dhawuhe 

muncar kadya andaru 

manjing marang Dyan Jaka Tingkir 

waridah ing karajan 

wus angalih pulung 

pulungira Sultan Dêmak 

nganti sangat mring putrangkat Jaka Tingkir  eca panendranira .


Dan akhirnya rakit menepi di Desa Butuh, Raden Jaka Tingkir mengucapkan terima kasih kepada Ki Baureksa dan 40 buaya putih lainnya.Dan merekapun masuk menyelam kembali ke Kedung Srengenge.


Ki Ageng Butuh yang sudah menunggu tidak bisa menahan haru melihat Raden Jaka Tingkir dan memeluknya. 

Raden Jaka Tingkir bersama tiga kawannya melanjutkan perjalanan lewat darat naik kuda milik Ki Ageng Butuh melewati dusun Bulu, desa majenang hingga ke Grobogan sampailah ke kaki Gunung Prawata.


Setelah tiba di kaki Gunung Prawata, mereka melihat seekor kerbau yang sedang merumput. Mereka yakin inilah kerbau Danu yang diceritakan oleh Ki Buyut Banyubiru. Padang rumput ini pula lokasinya dekat dengan Pesanggrahan Sultan Trenggono. Raden  Jaka Tingkir segera mengambil segenggam tanah dalam kantungnya, mendekati kerbau itu, dan kemudian menjejalkan tanah itu ke dalam mulutnya. Beberapa menit kemudian, kerbau itu menggoyang-goyangkan kepalanya, matanya mulai memerah, dan kakinya digaruk-garukkan ke tanah.


Kini, kerbau Danu benar-benar telah mabuk. Dia lari kencang dan menabrak apa saja yang ada di depannya. Ia lari menuju ke halaman pesanggrahan sang Sultan, dan di sana ia mengamuk. Satu pasukan prajurit mencoba menangkapnya, namun gagal. Bahkan beberapa prajurit ada yang terluka. Jaka Tingkir dan kawan-kawan juga mengikuti kerbau Danu hingga ke pesanggrahan.


Melihat kejadian itu, Sang Sultan merasa cemas, kalau kerbau itu semakin ganas dan membuat banyak kerusakan. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Sultan melihat Jaka Tingkir berada di halaman Pesanggrahan. Maka ia mengutus seorang pengawal untuk memanggil Jaka Tingkir untuk menghadapnya.

“Jaka, aku perintahkan kepadamu untuk menangkap kerbau itu. Jika engkau berhasil aku berkenan mengampunimu,” perintah Sultan kepada Jaka Tingkir.

“Baik, Kanjeng Sinuhun.”


Lalu, Jaka mendekati kerbau Danu yang sedang mengamuk itu. Ia mencoba menangkap ekornya beberapa kali gagal, karena kerbau itu lari dengan liar. Jaka tidak patah semangat, ia terus berusaha mengejar kerbau itu dan berusaha menangkap ekornya. Akhirnya Raden Jaka Tingkir berhasil memegang kerbau itu dan tangan kiri menarik ekornya sedangkan tangan kanan memegang tanduknya, tidak lama kemudian keluarlah tanah siti sangar dari mulut kerbau Danu. Tidak lama kemudian kerbau Danu mati seketika. 

Sultan Trenggono menghampiri Raden Jaka Tingkir dan mengucapkan terima atas bantuannya. Raden Jaka Tingkir diminta untuk menghadap Sultan Trenggono di Pesanggrahan Prawata.

Keesokan harinya Raden Jaka Tingkir menghadap Sultan Trenggono. Sultan Trenggono mengumumkan bahwa beliau mengampuni kesalahan Raden Jaka Tingkir dan Jaka Tingkir kembali menduduki jabatannya sebagai Lurah Wira Tamtama Kraton Demak Bintara.

Enam bulan kemudian pangkat Raden Jaka Tingkir dinaikkan menjadi Panglima Demak Bintara. Kemudian Sultan Trenggono berkenan menikahkan Raden Jaka Tingkir dengan putrinya, Ratu Mas Cempaka. Setelah pernikahan, Raden Jaka Tingkir diwisuda menjadi Adipati di Nagari Paos dengan gelar Adipati Pajang.

Kelak ketika Sultan Trenggono wafat, Nagari Paos melepaskan diri dari Demak Bintara dengan nama Kerajaan Pajang. Dan Raden Jaka Tingkir mengganti namanya dengan gelar Sultan Hadiwijaya Ratu Ing Pajang Kedaton.



Sumber : Babad Tanah Jawi.

No comments:

Post a Comment