05 April 2019

Tentang Sejarah Magelang - Aku Diponegoro

Oleh : Bagus Priyana

CATATAN PENTING DARI ACARA GEMES (GERAKAN MELEK SEJARAH) BERTAJUK "AKU DIPONEGORO" 28-31 MARET 2019 (1)
BENARKAH, MEJA KURSI PERUNDINGAN DE KOCK DAN DIPONEGORO ITU ASLI?
"Jika anda dari Magelang naik bis menuju Surabaya. Tetapi bis yang anda naiki ternyata membawa anda ke arah barat. Dan anda menyadarinya ketika anda sudah sampai di Cirebon. 
Apa yang akan anda lakukan?
Meneruskan perjalanan atau balik kanan menuju ke Surabaya?"
Sebuah pertanyaan yang bagi saya sangat simpel jawabannya, tetapi sekaligus menghentak hati saya. Roni Sodewo, ketua PATRA PADI (Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro) mengatakannya kepada saya Kamis malam (28/3) di ruang belakang gedung eks Residen Kedu di Magelang.
Ketika ribuan masyarakat Magelang tumpah ruah menyaksikan pentas teater tari "Aku Diponegoro" di halaman depan gedung itu, saya bersama mas Roni Sodewo, Sunaryo (pemandu Museum Diponegoro) dan John Manggala berdiskusi cukup tajam tentang sebuah peristiwa sejarah 189 tahun yang lalu di gedung ini.
Bahkan karena saking asyiknya mengungkap sejarah, kami sendiri malah tidak menyaksikan acara pentas teater tari karya Landung Simatupang itu yang ditampilkan selama 2 jam tersebut.
Awalnya, saya terpancing ketika mas Roni Sodewo yang mengatakan jika meja kursi yang ada di dalam Museum Diponegoro di ruang depan sisi kiri gedung eks Residen Kedu itu bukanlah meja kursi yang asli dan dipergunakan untuk perundingan antara Jenderal De Kock dengan Pangeran Diponegoro. 
Sebagaimana diketahui bahwa di Museum Diponegoro terdapat 1 set meja kursi yang diyakini sebagai tempat perundingan tersebut. Perundingan dan penangkapan Diponegoro tersebut mengakhiri Perang Jawa yang berkobar pada tahun 1825-1830.
Saya coba menelisik lebih jauh, bagaimana cerita sebenarnya dari versi keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro tersebut. Mas Roni mengatakan bahwa meja kursi yang ada di dalam Museum Diponegoro tersebut berasal dari keluarga ndalem Pujokusuman di Jogja yang pada tahun 1970-an, diminta oleh Pangdam Diponegoro untuk mengisi museum tersebut.
Keluarga Pujokusuman adalah trah dari Pangeran Diponegoro dari garis Mertonegoro yang mana saat peristiwa itu terjadi (penyerahan meja kursi), sebuah jubah peninggalan Pangeran Diponegoro yang dimiliki oleh keluarga ini, diminta dan diserahkan juga kepada Pangdam Diponegoro.
Eyang Surti salah saksi yang hingga kini masih hidup. Tak dapat dipungkiri jika jubah inipun menjadi koleksi favorit museum tersebut, selain meja kursi itu tentunya.
Dan menurut mas Roni Sodewo, meja kursi yang diserahkan itu merupakan meja kursi untuk minum teh, bukan untuk perundingan.
Jawaban ini tentu saja makin membuat saya terheran-heran, tetapi belum bisa memuaskan hati saya. Bahkan mas Roni Sodewo menantang saya jika tidak percaya, bisa langsung mewawancarai Eyang Surti di ndalem Pujokusuman di Jogja dan di rekam dengan kamera video. Mumpung beliau masih hidup dan mas Roni siap mengantarkannya, begitu kata mas Roni.
Bahkan ada sebuah cerita menarik tentang jubah peninggalan Pangeran Diponegoro yang dimiliki oleh keluarga Pujokusuman itu. Konon, jubah itu pernah 'berkurang' pada bagian bawahnya karena dipotong-potong dengan gunting untuk dibuat sebagai jimat.
Di tengah ketidakpuasan saya, mas Roni membuka sebuah catatan tentang BABAD DIPONEGORO di smartphone yang dia miliki. Mas Roni membacakan sebuah kalimat yang menuliskan tentang peristiwa saat perundingan itu terjadi (tahun 1830).
Di mana dituliskan bahwa karena merasa ditipu, Pangeran Diponegoro sangat marah kepada Jenderal De Kock. Saking marahnya, Diponegoro memegang tangan De Kock dan mendudukkannya di sebuah kursi panjang.
Diponegoro sudah siap mengambil keris di pinggangnya untuk membunuh De Kock. Tetapi Diponegoro menyadari dirinya adalah seorang pangeran dan pemimpin agama, tidak mungkin akan melakukan sebuah hal yang begitu nista kepada De Kock.
Penyebutan 'kursi panjang' inilah yang memperkuat fakta jika perundingan itu tidak dilakukan di meja kursi kecil seperti yang ada di museum Diponegoro sekarang ini.
Kami penasaran, apakah masih ada 'kursi panjang' tempat perundingan itu terjadi?
Di ruangan belakang, di tempat kami berdiskusi, terdapat deretan meja kursi tertata rapi membujur Utara ke selatan saling berderet berhadapan. Sedangkan kursi panjang yang saya duduki begitu 'wagu' karena terlalu lebar, tidak nyaman untuk diduduki, khususnya ketika duduk bersandar ke belakang.
Mas Roni menduga, kursi panjang inilah yang dulu dipakai untuk perundingan, karena ukurannya yang lebar, lebih tepat untuk tempat duduk orang Eropa yang tinggi-tinggi tubuhnya dari pada untuk orang Jawa.
Meski bagian bawah sudah diberi busa, tetapi bagian belakang kursi masih beranyam rotan dengan desain yang berbau Eropa.
Saya belum puas terhadap penjelasan dari mas Roni Sodewo tersebut. Saya menanyakan soal adanya 'cuwilan' di bawah lengan kursi yang ada di Museum Diponegoro yang konon dipercaya bekas di cuwil oleh kuku Diponegoro karena saking marahnya Diponegoro karena ditipu dan dikhianati oleh De Kock.
Mas Roni Sodewo mengatakan tidak tahu dari mana cuwilan tersebut berasal, apakah sudah ada sejak di rumah Pujokusuman atau sesudah ditempatkan di museum tersebut.
Yang diketahui oleh mas Roni Sodewo bahwa saat marah karena ditipu dan dikhianati oleh De Kock, Pangeran Diponegoro mencakarkan kuku-kuku jari tangan kanannya di lengan atas kursi, bukan di bagian bawah lengan kursi seperti kursi di museum itu.
Diskusi makin menarik ketika saya menanyakan tentang ruangan untuk perundingan tersebut, apakah di ruangan yang kini menjadi Museum Diponegoro itu atau di ruangan yang lain?
Mas Roni Sodewo kembali membuka catatan sejarah tentang BABAD DIPONEGORO. Ia menjelaskan kepada saya jika di babad tersebut, ruangan perundingan diadakan di ruang 'paseratan'. 
Menurut mas Roni, ruang 'paseratan' artinya adalah ruang untuk menulis (serat) alias ruang kerja. Yang dimaksud ruang kerja di sini adalah ruang kerja dari Jenderal De Kock itu sendiri.
Jika informasi yang beredar selama ini adalah perundingan dilakukan di ruang baca, padahal kata 'baca' dalam bahasa Jawa kromo adalah 'waos'. Jika ruang baca dalam bahasa Jawa kromo adalah 'pawaosan', bukan 'paseratan'.
Mas Roni Sodewo memberikan argumentasi bahwa seorang jenderal dan seorang pemimpin tertinggi tidak akan mungkin menempati ruang kerja di bagian depan dari sebuah bangunan, apalagi sekadar ruang baca.
Hal ini sangat beresiko terhadap faktor keselamatan dari De Kock itu sendiri.
Seorang jenderal pastinya akan menempati ruangan yang aman dan luas, dan ruangan itu ada di bagian dalam. Dan ruangan depan pastinya untuk para prajurit jaga dan perwira di bawah De Kock.
Jika ada seseorang ingin menemui De Kock, pastinya harus lapor dan minta ijin dulu kepada para prajurit jaga dan perwira di bawah De Kock. Tidak bisa langsung menemui De Kock.
Mas Roni menegaskan bahwa ruangan Museum Diponegoro saat ini terlalu kecil untuk ruangan seorang jenderal. Tidak mungkin ruangan seluas itu dipergunakan untuk perundingan dengan Diponegoro beserta anak, panglima, penasehat agama dan anak buahnya (ada 13 atau 14 orang). Belum termasuk para bawahan De Kock yang terlibat secara langsung dalam perundingan itu.
Mas Roni Sodewo mengajak kami menelusuri setiap ruangan di dalam gedung tersebut. Bahkan untuk meyakinkan argumentasinya, mas Roni memberikan gambaran-gambaran tentang perundingan pada 28 Maret 1830 itu.
Di bagian tengah gedung tersebut terdapat 4 kamar besar dengan sebuah kolam dan taman di tengahnya. Dua kamar di sisi utara dan 2 kamar di selatan. 
Mas Roni merujuk sebuah ruangan besar di sisi selatan yang diperkirakan sebagai ruangan 'paseratan' atau ruang kerja dari Jenderal De Kock yang merupakan tempat perundingan itu terjadi. Kini, ruangan itu sebagai tempat bermalam gubernur Jawa Tengah jika sedang berada di Magelang.
Ruangan ini besarnya 2 kali ukuran dari ruangan Museum Diponegoro. Terdapat pintu yang besar dan dengan jendela besar pula di sisi selatan. Di salah satu sisi dalam terdapat sebuah toilet.
Mas Roni memberikan ilustrasi, jika De Kock ingin ke toilet, tidak perlu keluar ruangan, cukup di dalam ruangan kerjanya saja. Ini artinya De Kock harus terjamin keselamatannya.
Beda halnya dengan di ruangan Museum Diponegoro. Mas Roni menegaskan jika ruang kerja De Kock ada di bagian depan, selain beresiko terhadap faktor keselamatan juga terlalu 'ribet' jika ada urusan ke belakang.
Karena di dalam ruangan itu tidak ada toilet. Logikanya, jika akan ke belakang De Kock harus keluar ruangan dan bisa saja setiap waktu nyawanya terancam.
Jawaban dan penjelasan dari mas Roni sangat menghentak kami. Bahkan Sunaryo (pemandu Museum Diponegoro) begitu 'shock' dengan penjelasan itu. Sunaryo bahkan bertanya kepada mas Roni dan saya, apa yang harus dilakukan olehnya karena selama ini apa yang dia sampaikan kepada pengunjung ternyata tidak benar. Padahal daya tarik museum itu ya di kursi yang cuwil oleh amarah Diponegoro itu dan jubah sang pangeran itu.
Mas Roni cukup bijak bahwa yang keliru adalah para pendahulu Sunaryo yang sudah salah menjelaskan tentang museum tersebut. Jika salah maka sebagaimana pertanyaan mas Roni Sodewo di atas.
"Apa yang akan anda lakukan jika anda naik bis dari Magelang menuju ke Surabaya tetapi bis yang anda naiki menuju ke arah barat. Dan anda menyadarinya sesudah sampai di Cirebon.
Anda meneruskan perjalanan itu atau balik kanan menuju ke Surabaya?"
Beberapa argumentasi dari mas Roni Sodewo itu baru 40% saya percayai, saya harus mencari 60% lagi. Sisanya ada pada sejarawan Diponegoro, Peter Carey dan Eyang Surti dari ndalem Pujokusuman di Jogja.
(Bersambung)
Komentar

No comments:

Post a Comment