12 August 2022

Jejak Pangeran Diponegoro Dalam Tahun Tahun Pengasingan dan Kenatian

 JEJAK PANGERAN DIPONEGORO DALAM TAHUN TAHUN PENGASINGAN DAN KEMATIAN


Mungkin tak banyak yang tahu bahwa Pangeran Diponegoro menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya sebagai orang buangan. Setelah ditangkap pada 28 Maret 1830 oleh pasukan pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, sekaligus mengakhiri kecamuk Perang Jawa (1825-1830) yang amat melelahkan pemerintah kolonial Belanda, beliau beserta sang istri anak dan sejumlah pengikut setianya kemudian dibuang ke Manado.


Tiba pada akhir Mei 1830, rombongan putra sulung Sultan Hamengkubuwono III itu hanya menghabiskan masa di ibu kota Sulawesi Utara tersebut selama empat tahun. Tahun 1834, mereka kemudian dipindahkan ke Makassar. Selama 21 tahun berikutnya, sosok yang lahir dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya tersebut menghabiskan hari-harinya di salah satu sudut penjara Benteng Fort Rotterdam.


Kelima anak yang setia mendampingi sang ayahanda kemudian menikah dengan sejumlah bangsawan dari sejumlah kerajaan yang waktu itu berdiri di Sulawesi Selatan, mulai dari Bone, Soppeng hingga Gowa. Mereka kemudian beranak pinak, memadukan darah biru Ngayogyakarta Hadinigrat Seluruh anak bersama beberapa keturunan langsung turut dikebumikan di area sekitar makam Diponegoro.


Pada pagi hari, 8 Januari 1855, para petugas Belanda di Benteng Rotterdam dibangunkan dini hari dari tidur lelap mereka. Ketika itu terdengar berita kematian: Pangeran Diponegoro telah wafat sekitar pukul 06.30 WIB.


Merujuk tulisan Peter Carey dalam buku Takdir riwayat Pangeran Diponegoro, 1785-1855 menyebutkan kematian Diponegoro disebabkan kondisi fisik yang menurun karena lanjut usia.


Kemudian jenazah Diponegoro dikebumikan pada petang hari di Kampung Melayu bersama keris kesayangannya, Kanjeng Kiai Bondoyudo. Upacara penguburuan itu dilaksanakan secara Islam.


"Dengan hak-hak penuh menurut agama Islam dan dengan penghormatan yang pantas sesuai martabatnya yang terlahir sebagai bangsawan, dan sesuai dengan keinginan almarhum agar dia di makamkan, di dekat pusara putra keduanya," tulis Carey.


Memang pada awal Maret 1849, tragedi menimpa pangeran yang telah diasingkan dari tanah kelahirannya ini, putra keduanya Raden Mas Sakurmo yang masih berusia 14 tahun meninggal dunia akibat penyakit.


Peristiwa ini menyebabkan Diponegoro langsung berpikir agak jauh. Bahwa umurnya ketika itu yang sudah mencapai kepala enam, sementara itu tubuhnya kian melemah karena penderitaan dan hidup melarat di hutan pada akhir perang.


Carey menulis dalam dekade terakhir kehidupan, Diponegoro mulai mempersiapkan kematiannya dengan apa yang disebut dalam tradisi mistik Syaratiah atau dikenal dengan plawanganing pati (membuka pintu gerbang kematian).


Pada akhir 1848, dia meminta kepada Gubernur Jenderal agar diizinkan bertemu dengan kedua putranya, Pangeran Dipokusumo dan Raden Mas Raib yang telah diasingkan ke Ambon tahun 1840, bersama saudara mereka yang telah sakit jiwa, Pangeran Diponingrat.


"Sejak awal Belanda memang tidak ada keinginan untuk mengabulkan keinginan dari Diponegoro untuk bertemu kembali dengan anak cucunya yang juga diasingkan," beber Carey.


Diponegoro pernah begitu bahagia ketika sepucuk surat dari ibunya, Raden Ayu Mangkorowati tiba. Dirinya pun berharap Belanda mengizinkan agar bisa melewatkan sisa-sisa masa hidupnya di Makassar bersama ibunya.


Pangeran menulis kepada ibunya, dia bersama anak-anaknya sering melihat ke pelabuhan, mana tahu Sang Ibunda datang dengan kapal uap yang sering singgah di Teluk Makassar. Tetapi karena usia, Mangkorowati tidak bisa melakukan perjalanan jauh.


Mangkorowati dalam sebuah suratnya hanya berharap anaknya tetap diberi kesehatan dan bisa bertemu di akhirat kelak. Ibu yang begitu disayangi Diponegoro ini kelak meninggal pada 7 Oktober 1852.


Kehidupan pangeran di Pengasingan

Pangeran Diponegoro memulai pengasingan di Minahasa, Manado antara tahun 1830-1833. Ketika itu Diponegoro ditempatkan di sebuah ruangan dengan empat kamar di dalam benteng Fort Nieuw Amsterdam.


Untuk itu ruangan langsung direnovasi agar cukup elegan dengan dilengkapi buku, meja tulis berupa lacinya dengan lampu minyak besar keluaran terakhir. Diponegoro memang ingin menulis ketika di Manado, dia juga memiliki dua kuda untuk berkeliling.


Dunia Diponegoro kini berubah menyempit menjadi hanya seluas empat kamar di Fort Nieuw Amsterdam. Dirinya juga sudah tidak berminat berkeliling daerah setempat, lingkungan Manado tidak cocok untuk berkuda.


Diponegoro juga suka menabung, salah satunya untuk bisa menunaikan ibadah haji. Tetapi Belanda lantas mencurigai aktivitas pangeran dan kemudian memutuskan untuk mengurangi uang tunjangan.


"Hal ini mengakibatkan kondisi kesejahteraan pangeran terus turun hingga di ambang kemiskinan pada saat kematiannya," tutur Carey.


Carey mencatat bahwa Diponegoro juga tidak diterima baik di ibu kota Minahasa. Pangeran pernah begitu marah atas penghinaan yang diterimanya, lalu dia melemparkan tongkat pusakanya ke tanah yang menyebabkan pasar bergoncang laksana gempa.


Diponegoro juga ditolak ketika ingin melamar seorang putri warga Muslim terkemuka. Ayah gadis itu, Letnan Hasan Latif menyatakan perkawinan itu hanya akan membawa nasib sial kepada putrinya.


Perasaan begitu menderita di Manado, akhirnya berlalu setelah Diponegoro dipindahkan ke Makassar pada tahun 1833. Di sana dirinya akan ditahan di Benteng Fort Rotterdam hingga akhir usianya.


Penjagaan pangeran dan keluarganya di Makassar jauh lebih ketat ketimbang di Manado, mereka tidak diizinkan untuk berkeliaran di luar benteng Fort Rotterdam. Diponegoro hanya diizinkan untuk berolahraga di bawah penjagaan benteng, itu juga hanya boleh di siang hari.


Tetapi berbeda dengan di Manado, di Makassar yang mayoritas beragama Islam, sosok Diponegoro sangat dihormati. Bahkan karena rasa hormat ini, Diponegoro menolak ketika ada keinginan dari Belanda untuk memindahkannya.


Dirinya tetap ingin menghabiskan hidupnya di Makassar. Bahkan dia meminta agar jenazahnya dimakamkan bersebelahan dengan putranya, dibanding di pemakaman raja-raja di Imogiri, bersebelahan dengan istri kesayangannya, Raden Ayu Maduretno.


Dalam masa pengasingan, Diponegoro membuat beragam karya tulisan. Babad Diponegoro dibuatnya ketika diasingkan di Manado, berisi tentang kisah hidup Pangeran Diponegoro.


"Namun betapa hebat naskah yang dihasilkan! Sumber ajaran-ajaran Diponegoro yang anti-Belanda untuk anak-anaknya yang sedang tumbuh di Manado dan Makassar, akan terbukti menjadi salah satu hasil karya sastra besar di era Jawa modern," jelas Carey.


Pada 21 Juni 2013, Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World).


Sementara di Makassar, Diponegoro terlihat lebih produktif, dirinya memang diperbolehkan untuk menulis naskah-naskah Jawa yang disalin baginya dengan biaya pemerintah.


Pangeran Hendrik, putra bungsu Raja Belanda Willem II, ketika kunjungan ke Fort Rotterdam mencatat bahwa Diponegoro menghabiskan banyak waktu untuk menyalin ayat-ayat Al-Qur'an.


Pada tahun 1938, Diponegoro juga mulai menyusun dua naskah lain dengan aksara pegon, berjudul Kisah Ratu Tanah Jawa dan Hikayat Tanah Jawa. Kedua buku ini ditulis dalam bahasa Jawa, tidak seperti irama pada sastra babad karyanya.


Ketika Diponegoro mulai dihormati oleh penduduk Makassar, lebih lagi dikalangan orang nasionalis dan komunis, ternyata keluarga Diponegoro tidak bisa merawat makamnya. Pada 1920 ada kabar bahwa pemakaman itu tidak berurus.


"Bagaikan tumpukan batu-batu kotor berlumut, pagar tembok rendah yang putih kusam retak-retak, dan sisa-sisa tanaman yang telah membusuk," ujar Samuel Kalff dalam Diponegoro Strefdag, Indische Verlofganger.


Akan tetapi setelah masa kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, tempat itu mendapat penghormatan secara nasional. Pada bulan Januari 1955, ketika peringatan 100 tahun kematian Pangeran Diponegoro, situs makam itu dipugar oleh pejabat setempat.


Pidato peringatan disampaikan oleh Presiden Soekarno dan dua menterinya. Kemudian pada 10 November 1973, di era Orde Baru Soeharto, Diponegoro ditetapkan sebagai pahlawan nasional.


"Roda sejarah telah berputar selingkaran penuh. Tahanan negara di Fort Rotterdam yang paling ditakuti Belanda itu kini telah menjadi pahlawan paripurna untuk bangsa dan negara Indonesia modern,


Disunting dari : berbagai sumber




No comments:

Post a Comment