01 July 2020

Tentang Sejarah Magelang - Dampak Garnizun Terhadap Pola Pembangunan Kota Magelang

Dampak Garnizun Terhadap Pola Pembangunan Kota Magelang
Perkembangan sebuah kota di Jawa sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh segi - segi seperti ekonomi, politik dan keamanan. Bisa dikatakan terdapat dua buah peristiwa besar yang menandai perubahan bentuk dan struktur kota di Jawa. Pertama adalah meletusnya de Java Oorlog (Perang Jawa) antara 1825 - 1830 yang kemudian disusul dengan sistem Cultuurstelsel (Tanam Paksa) dan yang kedua adalah disahkannya Agrarischewet (Undang - Undang Agraria) pada 1870 dan Decentralisatiewet (Undang - Undang Desentralisasi) 1905 pasca diberlakukannya Ethische Politiek. Perkembangan morphologi kota pasca diberlakukannya kedua hal tersebut pada akhirnya bukan hanya mempengaruhi kota - kota besar seperi Batavia, Semarang dan Surabaya, akan tetapi juga kota - kota yang lebih kecil di pedalaman Selatan Jawa seperti Magelang.
MAGELANG KOTA GARNIZUN
Dalam rangka menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya pada masa Java Oorlog, maka pemerintahan militer Belanda melalui Departement van Oorlog mendirikan benteng - benteng pertahanan yang saling terhubung oleh jaringan jalan militer (bentengstelsel) untuk melumpuhkan gerak laju Sang Pangeran. Benteng pertahanan tersebut dulu pernah dibangun dibagian Selatan pusat pemerintahan Magelang. Namun, dengan berhasil ditangkapnya Pangeran Diponegoro pada 1830 serta semakin kondusifnya Jawa setelah itu, maka sekitar tahun 1880an benteng pertahanan tersebut perlahan - lahan mulai ditinggalkan. Pemerintahan militer Belanda pun beralih strategi dangan membentuk sistem pertahanan baru yaitu dengan menempatkan sejumlah besar pasukan yang menetap disuatu daerah. Magelang kemudian dipilih menjadi salah satu kota garnizun besar di Jawa selain Malang untuk Jawa Timur dan Cimahi untuk Jawa Barat.
Perubahan orientasi kebijakan militer Belanda pasca 1880 untuk lebih memfokuskan kesetabilan keamanan dalam negeri dibandingkan invasi dari luar kemudian juga berakibat terhadap pembagian Jawa menjadi 4 teritorium militer yang mana semakin memperkuat citra kota - kota Garnizun tersebut sebagai basis militer. Keempat teritorium tersebut adalah 1e Militaire Afdeeling untuk kawasan Barat meliputi Batavia Buitenzorg dan Serang, 2e Militaire Afdeeling yang meliputi Semarang, Magelang, Yogyakarta dan Solo, 3e Militaire Afdeeling Surabaya, Madiun, Rembang, dan Malang, serta 4e Militaire Afdeeling yang meliputi Bandung, Cimahi, Gombong dan Cilacap.
Pembangunan kompleks tangsi militer di Magelang pada 1880an tersebut belum begitu mempengaruhi kawasan inti pusat pemerintahan lamanya yang ada di sebelah selatan Garnizun. Penduduk yang belum begitu banyak serta masih adanya lahan yang bisa dibangun membuat kehadiran kompleks garnizun tersebut tidak berpengaruh banyak pada perkembangan tata kota antara akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Dampak kehadiran Garnizun Militer di Utara kawasan inti pusat pemerintahan Magelang mulai terasa pada tahun 1920 - 1940an saat jumlah penduduk Eropa yang kian bertambah ditambah lagi dengan sempitnya wilayah kota yang hanya 18,5 km persegi. Pola orientasi pengembangan kota Magelang pun pada akhirnya tidak bisa berkembang ke arah Utara. Maka dari itu, ketika pembangunan lahan pemukiaman di kawasan inti kota semakin tidak memungkinkan pada 1930an, pemerintah Stadsgemeente Magelang pun harus berkompromi dengan ahli tata kota seperti Ir. Herman Thomas Karsten untuk mengubah kawasan curam di Barat kota agar bisa ditata dan layak menjadi kawasan pengembagan kota.
- Chandra Gusta Wisnuwardana -

No comments:

Post a Comment