19 March 2020

Tentang Sejarah Magelang - PESANGGRAHAN PAGERGUNUNG : Membuka Jalan, Meretas Isolasi Hinterland Jawa (bagian I)

PESANGGRAHAN PAGERGUNUNG :
Membuka Jalan, Meretas Isolasi Hinterland Jawa (bagian I)
Terletak diatas ketinggian 1010 mdpl serta diapit celah lereng Gunung Andong dan Telomoyo, tersebutlah sebuah desa asri nang indah bernama Pagergunung. Dengan iklim yang sejuk dan tanah yang subur, hal tersebut tentu saja membuat Pagergunung sangat cocok bagi berbagai aktivitas perekonomian berbasis tanaman perkebunan hortikultura seperti kopi, tembakau, sayur - sayuran, dan buah - buahan.
Berdasarkan surat kabar de Locomotief, salah satu komoditas penting daerah Pagergunung pada tahun 1897 adalah perkebunan kopi. Pada bulan Desember tahun itu gudang kopi di Pagergunung dikelola oleh Mas Prawiro Sastro. Disebutkan ia mendapatkan upah sebesar 10 gulden perbulan atas jasanya menjaga gudang kopi disana.
Komoditas perkebunan lain yang paling menonjol dari Pagergunung pada tahun - tahun berikutnya adalah Jeruk Keprok atau dengan nama latin Citerus Raticulata yang kaya akan vitamin. Berbagai daerah diwilayah Kabupaten Magelang, Semarang dan Yogyakarta adalah tujuan utama pemasaran dari Jeruk Keprok dan komoditas perkebunan lainnya dari Pagergunung.
Namun, kendala yang dihadapi oleh wilayah Pagergunung adalah akses jalan yang menanjak dan sulit untuk dilintasi bahkan dengan kuda sekalipun. Sebelum tahun 1934, jalan antara Tlogoredjo ke Pagergunung belum bisa dilewati kendaraan. Dengan dibukanya jalan antara kedua wilayah tersebut pada tahun tersebut, maka keterisolasian masyarakat Pagergunung pun sedikit demi sedikit mulai sirna. Kuda dan para pejalan kaki yang hendak menjual hasil perkebunan merekapun bisa relatif lebih cepat sampai ke pasaran.
Pembukaan jalur lintas Pagergunung - Tlogredjo pada tahun 1934 kemudian mengalami perbaikan jalan pada 24 Oktober 1937 dibawah pengawasan Ditektur Pekerjaan Kabupaten, Tuan J.F. Eysma. Jalur lama yang sudah tidak layak dan berbahaya tersebut kemudian mengalami pelebaran, penggalian, peninggian, pemindahan tanah dan pembuatan talud serta tanggul dibeberapa bagian jalan. Perbaikan tersebut meliputi medan jalan dengan panjang 5km dan pelebaran jalan hingga lebih dari 6m.
Akibat dari renovasi jalan tersebut sejumlah pohon, termasuk jeruk keprok ada yang harus ditebang dan dipindahkan ke tempat lainnya dengan kompensasi dari pemerintah. Bahkan, penduduk Pagergunung dengan sukarela menyumbangkan tanahnya baik dikiri dan kanan jalan demi pelebaran jalan tersebut.
Sistem drainase jalan pun tak luput dari perhatian Tuan Eysma. Dibawah jalan utama ditanam bis beton 0,25 meter untuk mengatasi cucuran air hujan yang dulu kerap merusak badan jalan.
Total biaya perbikan jalan tersebut diperkirakan mencapai NLG 1450. Walaupun masih jauh dari kata sempurna, setidaknya perbaikan jalan Pagergunung tersebut juga bermanfaat bagi Kabupaten Semarang. Bupati Semarang dan jajarannya juga berencana untuk membuka akses jalan antara Blantjir - Salaran yang salah satu jalur utama penghubung daerah tersebut adalah jalan Pagergunung.
Berdasarkan surat kabar De Indische Courant, setelah hampir 7 bulan menyelesaikan renovasi jalan Pagergunung akhirnya pada Minggu, 22 Mei 1938 akses jalan penghubung penting tersebut rampung. Jalur lintas antara Magelang - Salatiga - Semarang tersebut berhasil menghidupkan salah satu sentra produksi buah dan sayuran penting di kawasan pedalaman hinterland Jawa. Bersambung...
- Chandra Gusta Wisnuwardana -

No comments:

Post a Comment