19 March 2020

Tentang Sejarah Magelang - SPAANSCHE GRIEP : Amuk Flu Spanyol di Bumi Magelang pada 1918 - 1919 (bagian II)

SPAANSCHE GRIEP : Amuk Flu Spanyol di Bumi Magelang pada 1918 - 1919 (bagian II)
“Oleh karena nenek saya dan ibu - ibu cilik pada sakit pula, mereka diboyong ke rumah Bapak, yang pada saat itu telah menjadi Wedono di Bandongan, sebelah Barat Kali Progo, di kaki gunung Sumbing.”
Catatan milik R. Slamet Iman Santoso tersebut memberikan kita gambaran bagaimana wabah Spaansche Griep ini membuat aktifitas masyarakat di Magelang menjadi terganggu. Hal yang dialami oleh R. Slamet tersebut bisa jadi adalah salah satu contoh evakuasi yang dilakukan keluarga Jawa dalam rangka menghindari wabah flu Spanyol yang ganas menyebar. Mengungsi ke pinggiran Magelang adalah salah satu cara keluarga R. Slamet untuk menjaga keslamatan keluarganya. Padahal berdasarkan surat kabar Bataviaasch Niewsblad yang terbit pada 2 Maret 1918, ayah R. Slamet Iman Santoso sendiri adalah seorang Wedono baru yang bertugas untuk menggantikan Raden Gondoprawiro yang harus pensiun dan berpindah tugas di Landraad Karanganjar. Tentu saja, ayah R. Slamet dituntut untuk tanggap menghadapi situasi pandemi sebagai seorang wedono baru.
Evakuasi dan perpindahan warga dari pusat pemerintahan ke pinggiran bukan satu - satunya dampak yang dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah kolonial di Magelang. Dalam bidang pelayanan masyarakat pun ikut terkena imbasnya. Sebagai contoh jumlah pegawai pemerintahan baik dari korps Indlandsch Bestuur (pegawai pangreh praja) dan Binnenlandsch Bestuur (pegawai Eropa) yang cuti bekerja karena terpapar virus flu Spanyol pun kian bertambah antara tahun 1919 - 1920. Tak kurang 406 pegawai pemerintah cuti karena pageblug ini.
Dampak lain akibat mewabahnya Flu Spanyol juga terasa dalam bidang pendidikan di Magelang. R. Slamet Iman Santoso dalam bukunya “Warna - Warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso” menceritakan perjuangannya ketika ia harus bersekolah ditengah pandemi Flu Spanyol di Magelang,
“ Saban pagi, pukul enam, saya berangkat jalan kaki dari Bandongan ke Magelang, jalan tiga setengah kilometer. Pukul sembilan atau setengah sepuluh pulang lagi, oleh karena sekolah kosong. Oleh karena lamanya penyakit itu menghantui kota Magelang, maka saya dan adik saya pindah dari rumah nenek ke rumah Eyang Mantri Guru Jawa dari Jambon ke Bayeman. Saya tinggal disitu sampai tahun 1923..”
Kala itu R. Slamet sedang mengenyam pendidikan dasar hingga menengah di Magelang yaitu di Hollandsch Indlansch School (HIS) sekarang TK & SD Kanisius Pendowo dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sekarang SMP N 1 Magelang. Kelak, beliau akan menyandang gelar besar sebagai Bapak Psikologi Indonesia.
Bersambung..
- Chandra Gusta Wisnuwardana -

No comments:

Post a Comment