31 August 2024

Di Negara Thailand Terdapat Etnis Jawa yang Hidup Layaknya Negara Sendiri, Ternyata Semua Ini Berawal Dari.... Bahkan tidak hanya mendiami dan berkembang saja, dikutip Bondowoso Network dari akun YouTube Catatan Ini, keberadaan etnis Jawa ternyata mendapat tempat dihati sang Raja di negara tersebut. Artinya bahwa Raja tersebut sangat menyayangi orang-orang yang memiliki darah keturunan dari etnis Tanah Jawa. Negara apa yang dimaksud? Ya negara di Asia Tenggara yang begitu menghormati dan menyayangi orang Jawa yang kebetulan mendiami daerah nya adalah negara Thailand. Memang benar adanya jika negara gajah putih, julukan dari negara Thailand, sangat begitu menghormati dan menyayangi akan keberadaan orang Jawa. Jika flashback ke belakang, ternyata dibalik begitu banyaknya orang Jawa yang beranak pinak mendiami suatu daerah di negara Thailand ada kaitannya dengan zaman pendudukan Jepang di Indonesia tempo dulu. Orang-orang ini tampaknya memperoleh darah Jawa dari leluhur mereka dari nusantara yang dibawa Jepang sebagai romusha untuk mengerjakan sebuah proyek. Namun demikian, ada yang pulang kembali saat Indonesia akhirnya merdeka dan jadi negara bebas, tapi banyak pula yang memilih untuk hidup disana. Hingga akhirnya daerah Sathorn Bangkok dikenal sebagai mini Jawa Tengah Thailand. Para Raja Thailand zaman dahulu menghormati keturunan Jawa di sana.*** #history #tempodulu #jawa #thailand #info

 Di Negara Thailand Terdapat Etnis Jawa yang Hidup Layaknya Negara Sendiri, Ternyata Semua Ini Berawal Dari....


Bahkan tidak hanya mendiami dan berkembang saja, dikutip Bondowoso Network dari akun YouTube Catatan Ini, keberadaan etnis Jawa ternyata mendapat tempat dihati sang Raja di negara tersebut.



Artinya bahwa Raja tersebut sangat menyayangi orang-orang yang memiliki darah keturunan dari etnis Tanah Jawa.


Negara apa yang dimaksud? Ya negara di Asia Tenggara yang begitu menghormati dan menyayangi orang Jawa yang kebetulan mendiami daerah nya adalah negara Thailand.


Memang benar adanya jika negara gajah putih, julukan dari negara Thailand, sangat begitu menghormati dan menyayangi akan keberadaan orang Jawa.


Jika flashback ke belakang, ternyata dibalik begitu banyaknya orang Jawa yang beranak pinak mendiami suatu daerah di negara Thailand ada kaitannya dengan zaman pendudukan Jepang di Indonesia tempo dulu.


Orang-orang ini tampaknya memperoleh darah Jawa dari leluhur mereka dari nusantara yang dibawa Jepang sebagai romusha untuk mengerjakan sebuah proyek.


Namun demikian, ada yang pulang kembali saat Indonesia akhirnya merdeka dan jadi negara bebas, tapi banyak pula yang memilih untuk hidup disana.


Hingga akhirnya daerah Sathorn Bangkok dikenal sebagai mini Jawa Tengah Thailand. Para Raja Thailand zaman dahulu menghormati keturunan Jawa di sana.***


#history #tempodulu #jawa #thailand #info

Mengenal Apa Itu Gowok, Wanita Pelatih S3ksual Pria Jawa Zaman Dulu Indonesia terdiri memiliki beragam suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Setiap suku di Indonesia memiliki tradisi, budaya, dan adat istiadat masing-masing. Dari beragam tradisi tersebut ada yang masih dilakukan oleh masyarakat, namun banyak juga yang sudah ditinggalkan. Salah satunya yakni tradisi Gowok dari Jawa. Tradisi ini sudah lama tidak dipraktikkan lagi oleh masyarakat karena dianggap tabu. Gowok adalah sebutan untuk perempuan dalam kebudayaan Jawa yang disewa untuk mengajarkan perihal rumah tangga dan seksualitas kepada laki-laki berusia remaja atau sebelum menikah. Keluarga mempelai laki-laki menyewakan gowok untuk anak mereka sebelum menikah. Gowok akan mengajarkan salah satunya tentang memuaskan istri dan memperkenalkan tubuh perempuan. Calon mempelai laki-laki akan tinggal di rumah gowok selama beberapa hari untuk kemudian menerapkan ilmu yang sudah diperoleh kepada istrinya ketika sudah menikah. Tugas inti dari seorang gowok pada intinya memang mempersiapkan perjaka yang berkualitas pada malam pengantin. Akan tetapi ini bukan hanya soal seks saja, termasuk juga untuk urusan rumah tangga. Diketahui, lamanya masa pergowokan ini biasanya berlangsung hanya beberapa hari saja dan maksimal selesai dalam satu minggu. Sejarah Gowok Dilansir dari koropak.co.id, berdasarkan sejarahnya, tradisi pergowokan di daratan Jawa pada awalnya diperkenalkan oleh wanita asal Tiongkok bernama Goo Wok Niang yang datang ke Jawa bersama dengan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1415-an. Dalam waktu yang tak lama itu, praktik tersebut pada akhirnya dikenal banyak masyarakat Jawa hingga menjadi tradisi di kemudian harinya. Istilah Gowok diambil untuk mengenang Goo Wok Niang, namun karena orang Jawa sulit melafalkan dialek Cina maka lama kelamaan nama Goo Wok Niang hanya disebut Gowok saja. Disebutkan bahwa praktik Gowok ini terakhir marak di daerah Purworejo dan Banyumas, namun mulai hilang di era 1960-an, lantaran memang tradisinya melanggar norma dan agama. Sumber : harianmuba.com https://harianmuba.disway.id/amp/647469/mengenal-apa-itu-gowok-wanita-pelatih-seksual-pria-jawa-zaman-dulu #history #tempodulu #budaya #jawa

 Mengenal Apa Itu Gowok, Wanita Pelatih S3ksual Pria Jawa Zaman Dulu


Indonesia terdiri memiliki beragam suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Setiap suku di Indonesia memiliki tradisi, budaya, dan adat istiadat masing-masing.


Dari beragam tradisi tersebut ada yang masih dilakukan oleh masyarakat, namun banyak juga yang sudah ditinggalkan.



Salah satunya yakni tradisi Gowok dari Jawa. Tradisi ini sudah lama tidak dipraktikkan lagi oleh masyarakat karena dianggap tabu.


Gowok adalah sebutan untuk perempuan dalam kebudayaan Jawa yang disewa untuk mengajarkan perihal rumah tangga dan seksualitas kepada laki-laki berusia remaja atau sebelum menikah. 


Keluarga mempelai laki-laki menyewakan gowok untuk anak mereka sebelum menikah. 


Gowok akan mengajarkan salah satunya tentang memuaskan istri dan memperkenalkan tubuh perempuan. 


Calon mempelai laki-laki akan tinggal di rumah gowok selama beberapa hari untuk kemudian menerapkan ilmu yang sudah diperoleh kepada istrinya ketika sudah menikah.


Tugas inti dari seorang gowok pada intinya memang mempersiapkan perjaka yang berkualitas pada malam pengantin. 


Akan tetapi ini bukan hanya soal seks saja, termasuk juga untuk urusan rumah tangga. Diketahui, lamanya masa pergowokan ini biasanya berlangsung hanya beberapa hari saja dan maksimal selesai dalam satu minggu.


 Sejarah Gowok


Dilansir dari koropak.co.id, berdasarkan sejarahnya, tradisi pergowokan di daratan Jawa pada awalnya diperkenalkan oleh wanita asal Tiongkok bernama Goo Wok Niang yang datang ke Jawa bersama dengan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1415-an.


Dalam waktu yang tak lama itu, praktik tersebut pada akhirnya dikenal banyak masyarakat Jawa hingga menjadi tradisi di kemudian harinya.


Istilah Gowok diambil untuk mengenang Goo Wok Niang, namun karena orang Jawa sulit melafalkan dialek Cina maka lama kelamaan nama Goo Wok Niang hanya disebut Gowok saja.


Disebutkan bahwa praktik Gowok ini terakhir marak di daerah Purworejo dan Banyumas, namun mulai hilang di era 1960-an, lantaran memang tradisinya melanggar norma dan agama.


Sumber : harianmuba.com


https://harianmuba.disway.id/amp/647469/mengenal-apa-itu-gowok-wanita-pelatih-seksual-pria-jawa-zaman-dulu


#history #tempodulu #budaya #jawa

Asal Usul Rumah Gadang Rumah Gadang berasal dari Provinsi Sumatera Barat yang merupakan rumah adat khas Minangkabau. Seperti warisan budaya lainnya, Rumah Gadang pun memiliki legenda dan maknanya tersendiri. Bagian paling mencolok dari rumah gadang adalah atapnya yang berbentuk tanduk runcing. Kabarnya sih, bentuk tanduk kerbau tersebut merupakan simbol kemenangan adu kerbau raja Minangkabau melawan kerbau raja di Jawa. Sejak saat itu, tanduk kerbau menjadi penanda kejayaan Minangkabau. Selain cerita tersebut, versi lain menyebutkan kalau atap berbentuk tanduk di Rumah adat minangkabau ini terinspirasi dari bentuk kapal “Lancang” yang melintasi Sungai Kampar. Saat tiba di muara sungai, kapal diangkat ke daratan dan diberikan atap dengan menggunakan tiang layar yang diikat dengan tali. Namun karena bebannya berat, maka tiang pun menjadi miring dan melengkung yang serupa dengan gojong (bagian lancip di atap Rumah Gadang). Nah, akhirnya, kapal pun berubah fungsi menjadi Rumah Gadang yang kini menjadi kediaman bagi orang-orang Minang.. 📷📌 Lembah Harau .......

 Asal Usul Rumah Gadang


Rumah Gadang berasal dari Provinsi Sumatera Barat yang merupakan rumah adat khas Minangkabau.


Seperti warisan budaya lainnya, Rumah Gadang pun memiliki legenda dan maknanya tersendiri. Bagian paling mencolok dari rumah gadang adalah atapnya yang berbentuk tanduk runcing. Kabarnya sih, bentuk tanduk kerbau tersebut merupakan simbol kemenangan adu kerbau raja Minangkabau melawan kerbau raja di Jawa. Sejak saat itu, tanduk kerbau menjadi penanda kejayaan Minangkabau.



Selain cerita tersebut, versi lain menyebutkan kalau atap berbentuk tanduk di Rumah adat minangkabau ini terinspirasi dari bentuk kapal “Lancang” yang melintasi Sungai Kampar. Saat tiba di muara sungai, kapal diangkat ke daratan dan diberikan atap dengan menggunakan tiang layar yang diikat dengan tali.


Namun karena bebannya berat, maka tiang pun menjadi miring dan melengkung yang serupa dengan gojong (bagian lancip di atap Rumah Gadang). Nah, akhirnya, kapal pun berubah fungsi menjadi Rumah Gadang yang kini menjadi kediaman bagi orang-orang Minang..


📷📌 Lembah Harau


.......

SUKU KALANG MAJAPAHIT Kerajaan Majapahit seperti yang kita ketahui sangat berambisi menyatukan nusantara, dimana salah satunya adalah tanah Borneo. Majapahit sangat berambisi untuk menguasai tanah Borneo karena melalui informasi telik sandinya mengabarkan ada dua kerajaan yang sangat makmur di sana. Dua kerajaan tersebut adalah Tanjung Puri dan Nan Sarunai, sehingga pada 1356 M Majapahit mengirim ekspedisi militer pertamanya ke Borneo. Penyerangan pertama di tanah Borneo oleh Majapahit pada 1309 M, dengan 40.000 yang menyerang kerajaan Nan Sarunai. Akan tetapi penyerangan pertama mengalami kegagalan, disini peran Suku Kalang atau Wong Kalang terlihat. Dilansir melalui jurnal yang berjudul Asal Muasal Wong Jonegoro: Tinjauan Historis Hubungan Wong Kalang dan Masyarakat Samin Bojonegoro, yang di tulis oleh Firza Azzam Fadilla dan Agus Danugroho, kisah tentang kehadiran komunitas masyarakat kuno Kalang ternyata juga pernah termaktub dalam kitab paling sohor dari era Kerajaan Majapahit, Kitab Negarakertagama. Suku Kalang yang ditugaskan menjaga hutan dari serangan musuh, mereka mereka sendiri sudah lama dikenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. Mereka bermukim di Pulau Jawa terkhusus di wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, contohnya di Kabupaten Blora dan Rembang di Jawa Tengah, serta di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur. Dalam perang melawan Dayak suku Kalang membawa kemenangan hebat bagi Majapahit, sehibgga memberikan kegembiraan. Pasukan dayak tunduk pada Wong kalang pasalnya kemampuan pasukan Kalang sangat luar biasa di medan pertempuran. Selain itu, dengan kesaktiannya, mereka juga dipekerjakan sebagai pembuat candi, suku ini merupakan pasukan Majapahit yang kuat namun sayangnya mereka bar - bar. Konon, Wong Kalang mampu mengangkat batu yang sangat besar, ketika berperang melawan suku Dayak yang dikenal sakti pun Majapahit banyak membawa tentara Kalang, sehingga akhirnya memperoleh kemenangan besar. ~ (Padepokan Tunggul wulung Pagar Alam) #sukukalang #sukusamin #blora #tentarakalang #fbpro #fyp

 SUKU KALANG MAJAPAHIT 


Kerajaan Majapahit seperti yang kita ketahui sangat berambisi menyatukan nusantara, dimana salah satunya adalah tanah Borneo.


Majapahit sangat berambisi untuk menguasai tanah Borneo karena melalui informasi telik sandinya mengabarkan ada dua kerajaan yang sangat makmur di sana.


Dua kerajaan tersebut adalah Tanjung Puri dan Nan Sarunai, sehingga pada 1356 M Majapahit mengirim ekspedisi militer pertamanya ke Borneo.


Penyerangan pertama di tanah Borneo oleh Majapahit pada 1309 M, dengan 40.000 yang menyerang kerajaan Nan Sarunai.


Akan tetapi penyerangan pertama mengalami kegagalan, disini peran Suku Kalang atau Wong Kalang terlihat. 


Dilansir melalui jurnal yang berjudul Asal Muasal Wong Jonegoro: Tinjauan Historis Hubungan Wong Kalang dan Masyarakat Samin Bojonegoro, yang di tulis oleh Firza Azzam Fadilla dan Agus Danugroho, kisah tentang kehadiran komunitas masyarakat kuno Kalang ternyata juga pernah termaktub dalam kitab paling sohor dari era Kerajaan Majapahit, Kitab Negarakertagama.



Suku Kalang yang ditugaskan menjaga hutan dari serangan musuh, mereka mereka sendiri sudah lama dikenal sebagai orang-orang yang sakti mandraguna. 


Mereka bermukim di Pulau Jawa terkhusus di wilayah perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, contohnya di Kabupaten Blora dan Rembang di Jawa Tengah, serta di Kabupaten Bojonegoro dan Tuban di Jawa Timur.


Dalam perang melawan Dayak suku Kalang membawa kemenangan hebat bagi Majapahit, sehibgga memberikan kegembiraan. 


Pasukan dayak tunduk pada Wong kalang pasalnya kemampuan pasukan Kalang sangat luar biasa di medan pertempuran. 


Selain itu, dengan kesaktiannya, mereka juga dipekerjakan sebagai pembuat candi, suku ini merupakan pasukan Majapahit yang kuat namun sayangnya mereka bar - bar. 


Konon, Wong Kalang mampu mengangkat batu yang sangat besar, ketika berperang melawan suku Dayak yang dikenal sakti pun Majapahit banyak membawa tentara Kalang, sehingga akhirnya memperoleh kemenangan besar. ~  (Padepokan Tunggul wulung Pagar Alam)


#sukukalang #sukusamin #blora  #tentarakalang 

#fbpro

#fyp

KEKHALIFAHAN UMAYYAH Kekhalifahan Umayyah merupakan kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin, dan salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Islam. Kekhalifahan ini didirikan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 661 M setelah berakhirnya Perang Saudara Pertama (Fitnah) dalam sejarah Islam. PERIODE AWAL Kekhalifahan Umayyah didirikan setelah Mu'awiyah, yang sebelumnya merupakan Gubernur Suriah, berhasil mengalahkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mengklaim kepemimpinan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Mu'awiyah memindahkan ibu kota kekhalifahan dari Madinah ke Damaskus, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan dinasti ini. Mu'awiyah dikenal karena keberhasilannya dalam menyatukan dunia Islam yang sebelumnya terpecah akibat konflik internal. Ia juga memulai tradisi dinasti dengan menobatkan putranya, Yazid bin Mu'awiyah, sebagai penerusnya, yang memicu kontroversi dan ketidakpuasan di kalangan umat Islam, terutama dari pendukung Ali (Syiah). PERLUASAN WILAYAH Di bawah pemerintahan Umayyah, wilayah kekhalifahan berkembang pesat. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685–705 M), dinasti ini memperkuat administrasi dan memperkenalkan sistem mata uang Islam yang seragam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705–715 M), kekhalifahan mencapai puncak ekspansinya dengan menaklukkan wilayah-wilayah seperti Spanyol (Al-Andalus), Afrika Utara, dan Asia Tengah. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), yang sering dianggap sebagai salah satu khalifah yang paling adil, terjadi reformasi besar-besaran yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan menyebarkan ajaran Islam secara damai. KEMUNDURAN & KEJATUHAN Meskipun Kekhalifahan Umayyah mencapai puncak kejayaan pada abad ke-8, berbagai faktor menyebabkan kemundurannya. Kebijakan diskriminatif terhadap non-Arab (mawali) yang memeluk Islam, ketegangan sektarian antara Sunni dan Syiah, serta konflik internal di antara anggota keluarga Umayyah, semuanya berkontribusi terhadap melemahnya kekuasaan dinasti ini. Kebangkitan kelompok Abbasiyah, yang dipimpin oleh keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad, akhirnya menggulingkan Kekhalifahan Umayyah. Pada tahun 750 M, Khalifah terakhir Umayyah, Marwan II, dikalahkan dalam Pertempuran Zab oleh pasukan Abbasiyah, yang kemudian mendirikan Kekhalifahan Abbasiyah. Marwan II melarikan diri ke Mesir, tetapi akhirnya ditangkap dan dibunuh. KEKHALIFAHAN UMAYYAH DI SPANYOL Meskipun Kekhalifahan Umayyah di Timur Tengah runtuh, satu cabang keluarga Umayyah berhasil melarikan diri ke Spanyol. Abdurrahman I mendirikan Kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada tahun 756 M, yang bertahan hingga tahun 1031 M. Di Spanyol, dinasti Umayyah mencapai kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya, dan arsitektur, dengan Masjid Cordoba sebagai salah satu peninggalannya yang paling terkenal. DAFTAR KHALIFAH UMAYYAH Berikut adalah daftar nama-nama khalifah yang memerintah Kekhalifahan Umayyah: 1. Mu'awiyah bin Abi Sufyan (661–680 M) 2. Yazid bin Mu'awiyah (680–683 M) 3. Mu'awiyah bin Yazid (683–684 M) 4. Marwan bin al-Hakam (684–685 M) 5. Abdul Malik bin Marwan (685–705 M) 6. Al-Walid bin Abdul Malik (705–715 M) 7. Sulaiman bin Abdul Malik (715–717 M) 8. Umar bin Abdul Aziz (717–720 M) 9. Yazid bin Abdul Malik (720–724 M) 10. Hisyam bin Abdul Malik (724–743 M) 11. Al-Walid bin Yazid (743–744 M) 12. Yazid bin al-Walid (744 M) 13. Ibrahim bin al-Walid (744 M) 14. Marwan bin Muhammad (Marwan II) (744–750 M) Referensi - Hitti, Philip K. "History of the Arabs". - Kennedy, Hugh. "The Prophet and the Age of the Caliphates". - Lewis, Bernard. "The Arabs in History".

 KEKHALIFAHAN UMAYYAH


Kekhalifahan Umayyah merupakan kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin, dan salah satu dinasti terbesar dalam sejarah Islam. Kekhalifahan ini didirikan oleh Mu'awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 661 M setelah berakhirnya Perang Saudara Pertama (Fitnah) dalam sejarah Islam.


PERIODE AWAL

Kekhalifahan Umayyah didirikan setelah Mu'awiyah, yang sebelumnya merupakan Gubernur Suriah, berhasil mengalahkan Khalifah Ali bin Abi Thalib dan mengklaim kepemimpinan umat Islam. Pada masa pemerintahannya, Mu'awiyah memindahkan ibu kota kekhalifahan dari Madinah ke Damaskus, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan dinasti ini.


Mu'awiyah dikenal karena keberhasilannya dalam menyatukan dunia Islam yang sebelumnya terpecah akibat konflik internal. Ia juga memulai tradisi dinasti dengan menobatkan putranya, Yazid bin Mu'awiyah, sebagai penerusnya, yang memicu kontroversi dan ketidakpuasan di kalangan umat Islam, terutama dari pendukung Ali (Syiah).


PERLUASAN WILAYAH

Di bawah pemerintahan Umayyah, wilayah kekhalifahan berkembang pesat. Pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685–705 M), dinasti ini memperkuat administrasi dan memperkenalkan sistem mata uang Islam yang seragam. Pada masa Al-Walid bin Abdul Malik (705–715 M), kekhalifahan mencapai puncak ekspansinya dengan menaklukkan wilayah-wilayah seperti Spanyol (Al-Andalus), Afrika Utara, dan Asia Tengah.



Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717–720 M), yang sering dianggap sebagai salah satu khalifah yang paling adil, terjadi reformasi besar-besaran yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat dan menyebarkan ajaran Islam secara damai.


KEMUNDURAN & KEJATUHAN

Meskipun Kekhalifahan Umayyah mencapai puncak kejayaan pada abad ke-8, berbagai faktor menyebabkan kemundurannya. Kebijakan diskriminatif terhadap non-Arab (mawali) yang memeluk Islam, ketegangan sektarian antara Sunni dan Syiah, serta konflik internal di antara anggota keluarga Umayyah, semuanya berkontribusi terhadap melemahnya kekuasaan dinasti ini.


Kebangkitan kelompok Abbasiyah, yang dipimpin oleh keturunan Abbas, paman Nabi Muhammad, akhirnya menggulingkan Kekhalifahan Umayyah. Pada tahun 750 M, Khalifah terakhir Umayyah, Marwan II, dikalahkan dalam Pertempuran Zab oleh pasukan Abbasiyah, yang kemudian mendirikan Kekhalifahan Abbasiyah. Marwan II melarikan diri ke Mesir, tetapi akhirnya ditangkap dan dibunuh.


KEKHALIFAHAN UMAYYAH DI SPANYOL

Meskipun Kekhalifahan Umayyah di Timur Tengah runtuh, satu cabang keluarga Umayyah berhasil melarikan diri ke Spanyol. Abdurrahman I mendirikan Kekhalifahan Umayyah di Cordoba pada tahun 756 M, yang bertahan hingga tahun 1031 M. Di Spanyol, dinasti Umayyah mencapai kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, budaya, dan arsitektur, dengan Masjid Cordoba sebagai salah satu peninggalannya yang paling terkenal.


DAFTAR KHALIFAH UMAYYAH

Berikut adalah daftar nama-nama khalifah yang memerintah Kekhalifahan Umayyah:

1. Mu'awiyah bin Abi Sufyan (661–680 M)

2. Yazid bin Mu'awiyah (680–683 M)

3. Mu'awiyah bin Yazid (683–684 M)

4. Marwan bin al-Hakam (684–685 M)

5. Abdul Malik bin Marwan (685–705 M)

6. Al-Walid bin Abdul Malik (705–715 M)

7. Sulaiman bin Abdul Malik (715–717 M)

8. Umar bin Abdul Aziz (717–720 M)

9. Yazid bin Abdul Malik (720–724 M)

10. Hisyam bin Abdul Malik (724–743 M)

11. Al-Walid bin Yazid (743–744 M)

12. Yazid bin al-Walid (744 M)

13. Ibrahim bin al-Walid (744 M)

14. Marwan bin Muhammad (Marwan II) (744–750 M)


Referensi

- Hitti, Philip K. "History of the Arabs".

- Kennedy, Hugh. "The Prophet and the Age of the Caliphates".

- Lewis, Bernard. "The Arabs in History".

24 August 2024

Kisah Kesaktian Tombak Kiai Pleret yang Menewaskan Kapten VOC PERTEMPURAN pasukan pahlawan nasional Untung Surapati dengan pasukan VOC berlangsung sengit. Saat itu pasukan kubu Untung Surapati terdesak oleh serangan-serangan dari pasukan penjajah Belanda. Tetapi tombak Kiai Pleret, pusaka milik Kerajaan Mataram yang terkenal sakti membuat semuanya berubah. Tombak sakti itu menewaskan sang kapten VOC akibat tikaman dari pasukan tambahan yang dipimpin oleh Pangeran Puger. Kala itu, Pangeran Puger diperintah oleh Raja Mataram Sultan Amangkurat II untuk membantu Untung Surapati dan pasukannya. Mereka pun berperang bersama-sama melawan VOC, tanpa merasa gentar sedikit pun.

 Kisah Kesaktian Tombak Kiai Pleret yang Menewaskan Kapten VOC 


PERTEMPURAN pasukan pahlawan nasional Untung Surapati dengan pasukan VOC berlangsung sengit. Saat itu pasukan kubu Untung Surapati terdesak oleh serangan-serangan dari pasukan penjajah Belanda.



Tetapi tombak Kiai Pleret, pusaka milik Kerajaan Mataram yang terkenal sakti membuat semuanya berubah.


Tombak sakti itu menewaskan sang kapten VOC akibat tikaman dari pasukan tambahan yang dipimpin oleh Pangeran Puger. Kala itu, Pangeran Puger diperintah oleh Raja Mataram Sultan Amangkurat II untuk membantu Untung Surapati dan pasukannya.


Mereka pun berperang bersama-sama melawan VOC, tanpa merasa gentar sedikit pun.

22 August 2024

Sejarah Magelang - KALI TEMPUK Berada di Desa JAMBE WANGI, SECANG Merupakan " tempukan/ pertemuan" antara Saluran Irigasi Manggis berhulu di BENDUNG PLERET SECANG dengan Saluran Irigasi Progo yang berhulu di BENDUNG BADRAN Temanggung. Sehingga nama Sungai Irigasi yg membelah Kota & Kab.Magelang bernama SALURAN IRIGASI PROGO MANGGIS.

 KALI TEMPUK 

Berada di Desa JAMBE WANGI, SECANG

Merupakan " tempukan/ pertemuan" antara Saluran Irigasi Manggis berhulu di BENDUNG PLERET SECANG dengan Saluran Irigasi Progo yang berhulu di BENDUNG BADRAN Temanggung. 

Sehingga nama Sungai Irigasi yg membelah Kota & Kab.Magelang bernama SALURAN IRIGASI PROGO MANGGIS.



Sumber / Penulis : Mas Kustadi

20 August 2024

Potret 3 orang Tentara Belanda memberikan makanan yang kepada anak-anak Pribumi yang meminta-minta lewat jendela pada tahun 1947 di masa perang kemerdekaan. Miris wadah makanan yang di bawa anak-anak itu dari kaleng bekas yang tak layak. 📸 Nationaal Archief

 Potret 3 orang Tentara Belanda memberikan makanan  yang kepada anak-anak Pribumi yang meminta-minta lewat jendela pada tahun 1947 di masa perang kemerdekaan. Miris wadah makanan yang di bawa anak-anak itu dari kaleng bekas yang tak layak.



📸 Nationaal Archief

Apa kamu tahu?..Nama "Indonesia" pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan pada tahun 1850. Ia menggabungkan kata "Indo," yang merujuk pada India, dan "Nesia," yang berarti pulau dalam bahasa Yunani.. Nama ini digunakan untuk menggambarkan kepulauan yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Hindia Belanda.. Nama "Indonesia" kemudian menjadi populer dan diadopsi sebagai identitas nasional saat perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.. #Sejara

 Apa kamu tahu?..Nama "Indonesia" pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli etnologi Inggris bernama James Richardson Logan pada tahun 1850. Ia menggabungkan kata "Indo," yang merujuk pada India, dan "Nesia," yang berarti pulau dalam bahasa Yunani..



Nama ini digunakan untuk menggambarkan kepulauan yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Hindia Belanda..


Nama "Indonesia" kemudian menjadi populer dan diadopsi sebagai identitas nasional saat perjuangan kemerdekaan dari penjajahan Belanda.. #Sejara

14 August 2024

SEJARAH & KRONOLOGI PENEMUAN CANDI BOROBUDUR Candi Borobudur, salah satu mahakarya arsitektur kuno, dibangun pada masa Dinasti Syailendra sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi di bawah pemerintahan Raja Samaratungga. Candi ini terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, dan dikenal sebagai candi Buddha terbesar di dunia. Borobudur dibangun sebagai tempat ibadah dan ziarah umat Buddha, dengan desain yang melambangkan alam semesta dalam ajaran Buddha Mahayana. Struktur candi Borobudur terdiri dari sepuluh tingkat, yang menggambarkan perjalanan manusia dari dunia fana menuju nirwana, yang diwakili oleh stupa terbesar di puncak candi. Selama berabad-abad, Borobudur mengalami masa kejayaan dan kemunduran, sebelum akhirnya terlupakan dan tersembunyi oleh hutan lebat serta tertimbun abu vulkanik. KRONOLOGI PENEMUAN KEMBALI CANDI BOROBUDUR 1. Terlupakan dan Terlupakan (Abad ke-10 hingga Abad ke-19) 1.1 Setelah sekitar dua abad digunakan sebagai tempat ibadah, Candi Borobudur perlahan mulai ditinggalkan. Diperkirakan, gempa bumi besar dan letusan Gunung Merapi menyebabkan daerah sekitar Borobudur ditinggalkan oleh penduduknya, sehingga candi tersebut mulai terkubur dan terlupakan. Pada abad ke-10, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno pun pindah ke Jawa Timur, menjauh dari Borobudur. Hutan dan vegetasi yang tumbuh subur di wilayah ini semakin menutupi candi hingga akhirnya nyaris hilang dari ingatan sejarah. 2. Legenda Ksatria dalam Sangkar 2.1 Selama periode terlupakannya Borobudur, ratusan tahun kemudian, ketika orang mulai membuka hutan untuk ladang dan pemukiman, penduduk menemukan bukit batu yang penuh dengan batu berukir. Bukit batu tersebut disebut Redi Borobudur atau Bukit Borobudur. Salah satu legenda yang terkenal adalah tentang "ksatria dalam sangkar." Konon, di tengah bukit itu terdapat sangkar batu yang mengurung seorang ksatria. Kabar arca ksatria terkurung dalam sangkar itu segera menyebar dan sampai di kalangan bangsawan istana Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Tahun 1758, seorang pangeran dari Kerajaan Mataram Yogyakarta mengunjungi Redi Borobudur ini karena ingin melihat arca ksatria yang terkurung dalam sangkar tersebut. Namun, sepulang dari sana, sang pangeran tersebut meninggal dunia. Kabar meninggalnya sang pengeran semakin membuat Bukit Borobudur angker dan keramat. 3. MASA PENJAJAHAN INGGRIS (1811-1816) 3.1 Candi Borobudur ditemukan kembali pada masa penjajahan Inggris di Jawa. Penemuan ini diawali oleh laporan seorang inspektur Belanda bernama Cornelius, yang mendengar adanya tumpukan batu yang mencurigakan di hutan dekat desa Bumisegoro, Magelang. Atas perintah Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, Cornelius melakukan penyelidikan pada tahun 1814. Ia melakukan pembersihan sebagian dari vegetasi yang menutupi candi dan melaporkan temuannya kepada Raffles. Kisah tentang ksatria dalam sangkar mungkin turut memengaruhi rasa penasaran untuk menelusuri lebih jauh area tersebut. 4. EKSKAVASI AWAL (1835) 4.1 Setelah berakhirnya masa pemerintahan Inggris dan kembalinya Jawa ke tangan Belanda, upaya untuk menggali dan memulihkan Borobudur dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1835, seluruh bagian candi berhasil diekskavasi dan dibersihkan dari tanaman liar. Seorang insinyur Belanda bernama Hartmann melakukan penggalian lebih lanjut dan menemukan bagian-bagian yang lebih tersembunyi dari candi ini. Relief-relief dan stupa-stupa yang mengungkapkan arca Buddha yang tertutup di dalamnya membuat legenda tentang ksatria dalam sangkar menjadi relevan. 5. STUDI & PEMUGARAN AWAL (1907-1911) 5.1 Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menginisiasi proyek pemugaran besar-besaran untuk Candi Borobudur di bawah arahan arkeolog Belanda, Theodoor van Erp. Selama periode 1907 hingga 1911, van Erp memimpin upaya untuk memperbaiki struktur candi yang rusak dan membersihkan relief-reliefnya yang terancam oleh kerusakan akibat erosi dan faktor alam lainnya. Pemugaran ini melibatkan pembongkaran dan penyusunan ulang bagian-bagian candi yang rapuh, serta mengamankan struktur bangunan. 6. PEMUGARAN BESAR (1973-1983) 6.1 Pada tahun 1970-an, Candi Borobudur menghadapi ancaman serius dari kerusakan akibat pelapukan dan pengendapan air. Pemerintah Indonesia, dengan bantuan UNESCO, meluncurkan proyek pemugaran besar yang berlangsung dari tahun 1973 hingga 1983. Pemugaran ini melibatkan pembongkaran seluruh bagian candi, memperbaiki fondasi, dan memasang sistem drainase yang baru untuk mencegah penumpukan air. Setelah sepuluh tahun, Borobudur kembali berdiri dengan megah sebagai situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO. Penemuan kembali Candi Borobudur dan usaha-usaha untuk memugar dan melestarikannya merupakan upaya panjang yang melibatkan banyak pihak. Dari masa penjajahan Inggris hingga proyek besar UNESCO, Borobudur kini berdiri tegak sebagai simbol kebanggaan bangsa Indonesia dan warisan budaya dunia yang tak ternilai. Legenda yang berkembang selama candi ini tersembunyi, seperti kisah ksatria dalam sangkar, menambah dimensi mistis dan budaya dari situs ini. Referensi: 1. Soekmono, R. (1976). "Candi Borobudur: Sejarah dan Pemugarannya". Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. 2. Soedarsono, R.M. (1983). "Legends of Central Java". Jakarta: Balai Pustaka. 3. Raffles, T. S. (1817). "The History of Java". London: Black, Parbury, and Allen. 4. Haryono, J. (2008). "Borobudur: The Complete Guide to the Buddhist Wonder of Indonesia". Yogyakarta: Tuttle Publishing.

 SEJARAH & KRONOLOGI PENEMUAN CANDI BOROBUDUR


Candi Borobudur, salah satu mahakarya arsitektur kuno, dibangun pada masa Dinasti Syailendra sekitar abad ke-8 hingga abad ke-9 Masehi di bawah pemerintahan Raja Samaratungga. Candi ini terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia, dan dikenal sebagai candi Buddha terbesar di dunia. Borobudur dibangun sebagai tempat ibadah dan ziarah umat Buddha, dengan desain yang melambangkan alam semesta dalam ajaran Buddha Mahayana.


Struktur candi Borobudur terdiri dari sepuluh tingkat, yang menggambarkan perjalanan manusia dari dunia fana menuju nirwana, yang diwakili oleh stupa terbesar di puncak candi. Selama berabad-abad, Borobudur mengalami masa kejayaan dan kemunduran, sebelum akhirnya terlupakan dan tersembunyi oleh hutan lebat serta tertimbun abu vulkanik.



KRONOLOGI PENEMUAN KEMBALI CANDI BOROBUDUR

1. Terlupakan dan Terlupakan (Abad ke-10 hingga Abad ke-19)

1.1  Setelah sekitar dua abad digunakan sebagai tempat ibadah, Candi Borobudur perlahan mulai ditinggalkan. Diperkirakan, gempa bumi besar dan letusan Gunung Merapi menyebabkan daerah sekitar Borobudur ditinggalkan oleh penduduknya, sehingga candi tersebut mulai terkubur dan terlupakan. Pada abad ke-10, pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno pun pindah ke Jawa Timur, menjauh dari Borobudur. Hutan dan vegetasi yang tumbuh subur di wilayah ini semakin menutupi candi hingga akhirnya nyaris hilang dari ingatan sejarah.


2.  Legenda Ksatria dalam Sangkar 

2.1  Selama periode terlupakannya Borobudur, 

ratusan tahun kemudian, ketika orang mulai membuka hutan untuk ladang dan pemukiman, penduduk menemukan bukit batu yang penuh dengan batu berukir. Bukit batu tersebut disebut Redi Borobudur atau Bukit Borobudur.

Salah satu legenda yang terkenal adalah tentang "ksatria dalam sangkar." Konon, di tengah bukit itu terdapat sangkar batu yang mengurung seorang ksatria. Kabar arca ksatria terkurung dalam sangkar itu segera menyebar dan sampai di kalangan bangsawan istana Kerajaan Mataram di Yogyakarta. Tahun 1758, seorang pangeran dari Kerajaan Mataram Yogyakarta mengunjungi Redi Borobudur ini karena ingin melihat arca ksatria yang terkurung dalam sangkar tersebut. Namun, sepulang dari sana, sang pangeran tersebut meninggal dunia. 

Kabar meninggalnya sang pengeran semakin membuat Bukit Borobudur angker dan keramat. 


3. MASA PENJAJAHAN INGGRIS (1811-1816)

3.1  Candi Borobudur ditemukan kembali pada masa penjajahan Inggris di Jawa. Penemuan ini diawali oleh laporan seorang inspektur Belanda bernama Cornelius, yang mendengar adanya tumpukan batu yang mencurigakan di hutan dekat desa Bumisegoro, Magelang. Atas perintah Gubernur Jenderal Inggris di Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles, Cornelius melakukan penyelidikan pada tahun 1814. Ia melakukan pembersihan sebagian dari vegetasi yang menutupi candi dan melaporkan temuannya kepada Raffles. Kisah tentang ksatria dalam sangkar mungkin turut memengaruhi rasa penasaran untuk menelusuri lebih jauh area tersebut.


4. EKSKAVASI AWAL (1835)

4.1  Setelah berakhirnya masa pemerintahan Inggris dan kembalinya Jawa ke tangan Belanda, upaya untuk menggali dan memulihkan Borobudur dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1835, seluruh bagian candi berhasil diekskavasi dan dibersihkan dari tanaman liar. Seorang insinyur Belanda bernama Hartmann melakukan penggalian lebih lanjut dan menemukan bagian-bagian yang lebih tersembunyi dari candi ini. Relief-relief dan stupa-stupa yang mengungkapkan arca Buddha yang tertutup di dalamnya membuat legenda tentang ksatria dalam sangkar menjadi relevan.


5. STUDI & PEMUGARAN AWAL (1907-1911)

5.1  Pada awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda menginisiasi proyek pemugaran besar-besaran untuk Candi Borobudur di bawah arahan arkeolog Belanda, Theodoor van Erp. Selama periode 1907 hingga 1911, van Erp memimpin upaya untuk memperbaiki struktur candi yang rusak dan membersihkan relief-reliefnya yang terancam oleh kerusakan akibat erosi dan faktor alam lainnya. Pemugaran ini melibatkan pembongkaran dan penyusunan ulang bagian-bagian candi yang rapuh, serta mengamankan struktur bangunan.


6. PEMUGARAN BESAR (1973-1983)

6.1  Pada tahun 1970-an, Candi Borobudur menghadapi ancaman serius dari kerusakan akibat pelapukan dan pengendapan air. Pemerintah Indonesia, dengan bantuan UNESCO, meluncurkan proyek pemugaran besar yang berlangsung dari tahun 1973 hingga 1983. Pemugaran ini melibatkan pembongkaran seluruh bagian candi, memperbaiki fondasi, dan memasang sistem drainase yang baru untuk mencegah penumpukan air. Setelah sepuluh tahun, Borobudur kembali berdiri dengan megah sebagai situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO.


Penemuan kembali Candi Borobudur dan usaha-usaha untuk memugar dan melestarikannya merupakan upaya panjang yang melibatkan banyak pihak. Dari masa penjajahan Inggris hingga proyek besar UNESCO, Borobudur kini berdiri tegak sebagai simbol kebanggaan bangsa Indonesia dan warisan budaya dunia yang tak ternilai. Legenda yang berkembang selama candi ini tersembunyi, seperti kisah ksatria dalam sangkar, menambah dimensi mistis dan budaya dari situs ini.


Referensi:

1. Soekmono, R. (1976). "Candi Borobudur: Sejarah dan Pemugarannya". Jakarta: Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

2. Soedarsono, R.M. (1983). "Legends of Central Java". Jakarta: Balai Pustaka.

3. Raffles, T. S. (1817). "The History of Java". London: Black, Parbury, and Allen.

4. Haryono, J. (2008). "Borobudur: The Complete Guide to the Buddhist Wonder of Indonesia". Yogyakarta: Tuttle Publishing.

MISTERI MAKHLUK MITOLOGI DALAM SEJARAH & PENAMPAKANNYA Sepanjang sejarah, manusia telah menceritakan kisah tentang makhluk-makhluk mitologi yang penuh dengan misteri dan keajaiban. Beberapa makhluk ini menjadi bagian dari legenda dan budaya berbagai bangsa, bahkan diabadikan dalam ukiran-ukiran kuno yang ditemukan di peninggalan sejarah. Berikut adalah beberapa makhluk mitologi yang paling terkenal dan misteri penampakannya serta kemungkinan ilmiahnya. 1. Nessie (Monster Loch Ness) Nessie adalah makhluk yang diduga menghuni Loch Ness, sebuah danau besar di Skotlandia. Penampakan pertama Nessie tercatat pada tahun 565 M, dan hingga kini, masih banyak laporan mengenai penampakannya. Bentuknya sering digambarkan seperti plesiosaurus, reptil laut prasejarah. Meski berbagai foto dan video telah diambil, bukti keberadaan Nessie masih diragukan. Ilmuwan berspekulasi bahwa penampakan Nessie bisa jadi hanya fenomena alam, seperti gelombang air atau ilusi optik. 2. Garuda Garuda adalah makhluk mitologi Hindu dan Buddha yang digambarkan sebagai burung raksasa dengan tubuh manusia. Ia dianggap sebagai tunggangan Dewa Wisnu dan simbol kekuatan serta kecepatan. Garuda diukir dalam berbagai relief candi di Indonesia, seperti di Candi Prambanan dan Borobudur. Dalam konteks ilmiah, Garuda mungkin terinspirasi oleh burung pemangsa besar yang pernah hidup di masa lalu, meskipun tidak ada bukti fosil yang secara langsung menunjukkan keberadaan burung sebesar Garuda. 3. Naga Naga adalah makhluk mitologi yang hadir dalam banyak budaya di seluruh dunia, dari Tiongkok hingga Eropa. Biasanya digambarkan sebagai makhluk raksasa bersisik yang dapat terbang dan menghembuskan api. Dalam budaya Asia, naga sering dianggap sebagai simbol keberuntungan dan kekuatan alam, sementara di Eropa, naga lebih sering digambarkan sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Penampakan naga mungkin berasal dari penemuan fosil dinosaurus atau buaya purba, yang menimbulkan spekulasi tentang keberadaan makhluk tersebut. 4. Naga Laut Naga Laut atau "sea serpent" adalah makhluk mitologi yang dipercaya menghuni lautan dalam. Penampakan naga laut telah dilaporkan sejak zaman dahulu, terutama oleh para pelaut. Dalam sejarah, banyak pelaut yang mengklaim melihat makhluk besar mirip ular di lautan. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa penampakan naga laut mungkin disebabkan oleh hewan laut seperti oarfish atau cumi-cumi raksasa, yang memiliki ukuran tubuh yang sangat panjang dan sering disalahartikan sebagai naga laut. 5. Unicorn Unicorn atau kuda bertanduk satu adalah makhluk mitologi yang populer di Eropa. Menurut legenda, unicorn adalah makhluk suci yang hanya bisa ditangkap oleh seorang gadis perawan. Meskipun tidak ada bukti fisik keberadaan unicorn, beberapa peneliti menghubungkannya dengan hewan nyata seperti oryx atau badak, yang dilihat dari sisi tertentu bisa tampak memiliki satu tanduk. 6. Yeti dan Bigfoot Yeti, atau "Manusia Salju dari Himalaya," adalah makhluk besar berbulu putih yang dikatakan menghuni pegunungan Himalaya. Sementara itu, Bigfoot adalah makhluk serupa yang dilaporkan muncul di hutan-hutan Amerika Utara. Keduanya sering digambarkan sebagai kera besar berjalan tegak. Banyak laporan penampakan dan jejak kaki yang ditemukan, tetapi tidak ada bukti konklusif yang menguatkan keberadaan mereka. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Yeti dan Bigfoot mungkin adalah misidentifikasi beruang atau kera besar lainnya, atau bahkan hanya hoaks. 7. Ogopogo Ogopogo adalah makhluk mitologi yang konon tinggal di Danau Okanagan, Kanada. Ia digambarkan sebagai makhluk panjang mirip ular dengan ukuran tubuh yang besar. Penampakan Ogopogo telah dilaporkan sejak abad ke-19, dan hingga kini, masih menjadi misteri. Seperti Nessie, beberapa peneliti berpendapat bahwa penampakan Ogopogo mungkin disebabkan oleh gelombang air, batang pohon yang hanyut, atau hewan air besar yang belum diketahui. 8. Makhluk Mitologi Lainnya Selain makhluk-makhluk di atas, masih banyak makhluk mitologi lainnya yang tersebar dalam berbagai budaya, seperti Phoenix, Chupacabra, Kraken, dan Manticore. Meskipun kisah-kisah tentang makhluk ini sering kali luar biasa, kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa mereka adalah hasil dari imajinasi manusia, dipengaruhi oleh penemuan-penemuan fosil, hewan langka, atau fenomena alam yang tidak biasa. Makhluk-makhluk mitologi ini terus memicu rasa penasaran dan spekulasi hingga kini. Meskipun kebanyakan tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat, mereka tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya dan legenda yang menginspirasi berbagai kisah dan pencarian sepanjang sejarah. Referensi : 1. Dinsdale, Tim. "Loch Ness Monster". Routledge, 1982. 2. Kusuma, Widi. "Garuda dalam Mitologi Nusantara". Balai Pustaka, 2001. 3. Knight, Chris. "Dragon Legends and Myths". HarperCollins, 1998. 4. Bindloss, Joe. "The Yeti in Legend and Fact". Lonely Planet, 2015. 5. Coleman, Loren. "Bigfoot! The True Story of Apes in America". Simon and Schuster, 2003.

 MISTERI MAKHLUK MITOLOGI DALAM SEJARAH & PENAMPAKANNYA


Sepanjang sejarah, manusia telah menceritakan kisah tentang makhluk-makhluk mitologi yang penuh dengan misteri dan keajaiban. Beberapa makhluk ini menjadi bagian dari legenda dan budaya berbagai bangsa, bahkan diabadikan dalam ukiran-ukiran kuno yang ditemukan di peninggalan sejarah. Berikut adalah beberapa makhluk mitologi yang paling terkenal dan misteri penampakannya serta kemungkinan ilmiahnya.


1. Nessie (Monster Loch Ness)

Nessie adalah makhluk yang diduga menghuni Loch Ness, sebuah danau besar di Skotlandia. Penampakan pertama Nessie tercatat pada tahun 565 M, dan hingga kini, masih banyak laporan mengenai penampakannya. Bentuknya sering digambarkan seperti plesiosaurus, reptil laut prasejarah. Meski berbagai foto dan video telah diambil, bukti keberadaan Nessie masih diragukan. Ilmuwan berspekulasi bahwa penampakan Nessie bisa jadi hanya fenomena alam, seperti gelombang air atau ilusi optik.


2. Garuda

Garuda adalah makhluk mitologi Hindu dan Buddha yang digambarkan sebagai burung raksasa dengan tubuh manusia. Ia dianggap sebagai tunggangan Dewa Wisnu dan simbol kekuatan serta kecepatan. Garuda diukir dalam berbagai relief candi di Indonesia, seperti di Candi Prambanan dan Borobudur. Dalam konteks ilmiah, Garuda mungkin terinspirasi oleh burung pemangsa besar yang pernah hidup di masa lalu, meskipun tidak ada bukti fosil yang secara langsung menunjukkan keberadaan burung sebesar Garuda.


3. Naga

Naga adalah makhluk mitologi yang hadir dalam banyak budaya di seluruh dunia, dari Tiongkok hingga Eropa. Biasanya digambarkan sebagai makhluk raksasa bersisik yang dapat terbang dan menghembuskan api. Dalam budaya Asia, naga sering dianggap sebagai simbol keberuntungan dan kekuatan alam, sementara di Eropa, naga lebih sering digambarkan sebagai musuh yang harus ditaklukkan. Penampakan naga mungkin berasal dari penemuan fosil dinosaurus atau buaya purba, yang menimbulkan spekulasi tentang keberadaan makhluk tersebut.


4. Naga Laut

Naga Laut atau "sea serpent" adalah makhluk mitologi yang dipercaya menghuni lautan dalam. Penampakan naga laut telah dilaporkan sejak zaman dahulu, terutama oleh para pelaut. Dalam sejarah, banyak pelaut yang mengklaim melihat makhluk besar mirip ular di lautan. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa penampakan naga laut mungkin disebabkan oleh hewan laut seperti oarfish atau cumi-cumi raksasa, yang memiliki ukuran tubuh yang sangat panjang dan sering disalahartikan sebagai naga laut.


5. Unicorn

Unicorn atau kuda bertanduk satu adalah makhluk mitologi yang populer di Eropa. Menurut legenda, unicorn adalah makhluk suci yang hanya bisa ditangkap oleh seorang gadis perawan. Meskipun tidak ada bukti fisik keberadaan unicorn, beberapa peneliti menghubungkannya dengan hewan nyata seperti oryx atau badak, yang dilihat dari sisi tertentu bisa tampak memiliki satu tanduk.


6. Yeti dan Bigfoot

Yeti, atau "Manusia Salju dari Himalaya," adalah makhluk besar berbulu putih yang dikatakan menghuni pegunungan Himalaya. Sementara itu, Bigfoot adalah makhluk serupa yang dilaporkan muncul di hutan-hutan Amerika Utara. Keduanya sering digambarkan sebagai kera besar berjalan tegak. Banyak laporan penampakan dan jejak kaki yang ditemukan, tetapi tidak ada bukti konklusif yang menguatkan keberadaan mereka. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Yeti dan Bigfoot mungkin adalah misidentifikasi beruang atau kera besar lainnya, atau bahkan hanya hoaks.


7. Ogopogo

Ogopogo adalah makhluk mitologi yang konon tinggal di Danau Okanagan, Kanada. Ia digambarkan sebagai makhluk panjang mirip ular dengan ukuran tubuh yang besar. Penampakan Ogopogo telah dilaporkan sejak abad ke-19, dan hingga kini, masih menjadi misteri. Seperti Nessie, beberapa peneliti berpendapat bahwa penampakan Ogopogo mungkin disebabkan oleh gelombang air, batang pohon yang hanyut, atau hewan air besar yang belum diketahui.


8. Makhluk Mitologi Lainnya

Selain makhluk-makhluk di atas, masih banyak makhluk mitologi lainnya yang tersebar dalam berbagai budaya, seperti Phoenix, Chupacabra, Kraken, dan Manticore. Meskipun kisah-kisah tentang makhluk ini sering kali luar biasa, kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa mereka adalah hasil dari imajinasi manusia, dipengaruhi oleh penemuan-penemuan fosil, hewan langka, atau fenomena alam yang tidak biasa.


Makhluk-makhluk mitologi ini terus memicu rasa penasaran dan spekulasi hingga kini. Meskipun kebanyakan tidak memiliki bukti ilmiah yang kuat, mereka tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya dan legenda yang menginspirasi berbagai kisah dan pencarian sepanjang sejarah.



Referensi :

1. Dinsdale, Tim. "Loch Ness Monster". Routledge, 1982.

2. Kusuma, Widi. "Garuda dalam Mitologi Nusantara". Balai Pustaka, 2001.

3. Knight, Chris. "Dragon Legends and Myths". HarperCollins, 1998.

4. Bindloss, Joe. "The Yeti in Legend and Fact". Lonely Planet, 2015.

5. Coleman, Loren. "Bigfoot! The True Story of Apes in America". Simon and Schuster, 2003.

Potret ketika Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudharmono secara terpisah mencoba telepon saku. Telepon saku buatan Amerika Serikat tersebut rencananya dirakit dan dipasarkan di Indonesia. Telepon saku tersebut dipasarkan oleh PT. Telkom dengan harga Rp 11 juta per unitnya. Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI Sumber : Suara Karya, 15 November 1991 halaman 1 kolom 4-7 (Skala Team) #telepon #teleponsaku #Soeharto #Soedharmono #telkom

 Potret ketika Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudharmono secara terpisah mencoba telepon saku. Telepon saku buatan Amerika Serikat tersebut rencananya dirakit dan dipasarkan di Indonesia. Telepon saku tersebut dipasarkan oleh PT. Telkom dengan harga Rp 11 juta per unitnya. 



Koleksi Layanan Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI

Sumber : Suara Karya, 15 November 1991 halaman 1 kolom 4-7 (Skala Team)


#telepon #teleponsaku #Soeharto #Soedharmono #telkom

10 August 2024

Bapak penemu Pondasi Cakar Ayam ‼️ Tahun 1961, Prof. Dr. Ir. Sedijatmo menemukan sistem Pondasi Cakar Ayam sebagai alternatif pemecahan masalah tanah di bawah pondasi yang terlalu lembek. Sejak saat itu penggunaan Pondasi Cakar Ayam semakin banyak, baik sebagai pondasi landasan pacu pesawat terbang maupun sebagai pondasi bangunan bertingkat. #kreatifkreasi #pondasi #cakarayam #tukangbangunan #renovasirumah

 Bapak penemu Pondasi Cakar Ayam ‼️


Tahun 1961, Prof. Dr. Ir. Sedijatmo menemukan sistem Pondasi Cakar Ayam sebagai alternatif pemecahan masalah tanah di bawah pondasi yang terlalu lembek. 



Sejak saat itu penggunaan Pondasi Cakar Ayam semakin banyak, baik sebagai pondasi landasan pacu pesawat terbang maupun sebagai pondasi bangunan bertingkat.

#kreatifkreasi #pondasi #cakarayam #tukangbangunan #renovasirumah

07 August 2024

SEJARAH ANGKA ROMAWI DARI ZAMAN KUNO HINGGA DI ERA MODERN Angka Romawi adalah sistem penomoran yang digunakan dalam peradaban Romawi Kuno dan masih dikenal hingga saat ini. Sistem ini menggunakan kombinasi huruf Latin untuk mewakili angka. Meski sekarang jarang digunakan dalam perhitungan sehari-hari, angka Romawi masih sering terlihat pada jam, monumen, dan dalam penomoran urutan seperti bab buku atau acara tahunan. Berikut ini adalah sejarah dan perkembangan angka Romawi dari zaman kuno hingga modern. ASAL-USUL & PERKEMBANGAN 1. Zaman Kuno Angka Romawi pertama kali muncul sekitar abad ke-6 SM. Sistem ini diyakini berasal dari sistem penomoran Etruskan, yang kemudian disempurnakan oleh bangsa Romawi. Angka Romawi terdiri dari tujuh simbol dasar: I (1), V (5), X (10), L (50), C (100), D (500), dan M (1000). Kombinasi dari simbol-simbol ini digunakan untuk membentuk angka lainnya. 2. Prinsip Dasar Prinsip dasar dari angka Romawi adalah penjumlahan dan pengurangan. Misalnya, II adalah dua (1+1), sedangkan IV adalah empat (5-1). Begitu juga, VI adalah enam (5+1) dan IX adalah sembilan (10-1). Untuk angka yang lebih besar, simbol ditempatkan berdampingan dan dijumlahkan. Contohnya, VIII adalah delapan (5+3) dan XX adalah dua puluh (10+10). 3. Penggunaan dalam Sejarah Pada puncaknya, angka Romawi digunakan dalam berbagai aspek kehidupan Romawi, mulai dari penomoran bab dalam dokumen hukum hingga penanggalan. Kalender Julian, yang diperkenalkan oleh Julius Caesar, menggunakan angka Romawi untuk menandai tahun. Selain itu, batu nisan, monumen, dan bangunan publik sering kali dihiasi dengan angka Romawi. PENGGUNAAN MODERN 1. Penomoran Bab dan Acara Dalam literatur modern, angka Romawi sering digunakan untuk penomoran bab dalam buku dan bagian dalam dokumen resmi. Ini memberikan kesan formal dan tradisional. Acara tahunan seperti Olimpiade dan Super Bowl juga menggunakan angka Romawi untuk menunjukkan urutannya, misalnya, Olimpiade XXXII atau Super Bowl LV. 2. Jam dan Monumen Banyak jam klasik, terutama jam tangan dan jam dinding bergaya vintage, menggunakan angka Romawi untuk menunjukkan waktu. Monumen dan bangunan publik yang dibangun pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga sering menampilkan angka Romawi untuk menandai tahun pembangunannya. 3. Simbolisme dan Estetika Angka Romawi juga digunakan karena nilai simbolis dan estetisnya. Mereka sering muncul dalam desain grafis, seni, dan arsitektur untuk memberikan kesan klasik dan bersejarah. Penggunaan angka Romawi dapat menambahkan elemen artistik yang tidak dimiliki oleh angka modern. Meskipun sistem penomoran Romawi telah digantikan oleh angka Arab atau India yang lebih efisien dalam perhitungan sehari-hari, warisan angka Romawi tetap hidup dalam berbagai aspek budaya dan kehidupan modern. Dari penomoran bab dalam buku hingga simbol pada jam dan monumen, angka Romawi tetap menjadi bagian integral dari warisan budaya kita. Mengetahui sejarah dan perkembangan angka Romawi memberikan kita penghargaan yang lebih dalam terhadap bagaimana sistem ini telah membentuk cara kita melihat dan menomori dunia di sekitar kita. Referensi: - "The History of Roman Numerals." Ancient History Encyclopedia. - "Roman Numerals: A Comprehensive Guide." Math Is Fun. - "Roman Numerals: A Brief History." The Math Forum.

 SEJARAH ANGKA ROMAWI

DARI ZAMAN KUNO HINGGA DI ERA MODERN


Angka Romawi adalah sistem penomoran yang digunakan dalam peradaban Romawi Kuno dan masih dikenal hingga saat ini. Sistem ini menggunakan kombinasi huruf Latin untuk mewakili angka. Meski sekarang jarang digunakan dalam perhitungan sehari-hari, angka Romawi masih sering terlihat pada jam, monumen, dan dalam penomoran urutan seperti bab buku atau acara tahunan. Berikut ini adalah sejarah dan perkembangan angka Romawi dari zaman kuno hingga modern.



ASAL-USUL & PERKEMBANGAN

1. Zaman Kuno

Angka Romawi pertama kali muncul sekitar abad ke-6 SM. Sistem ini diyakini berasal dari sistem penomoran Etruskan, yang kemudian disempurnakan oleh bangsa Romawi. Angka Romawi terdiri dari tujuh simbol dasar: I (1), V (5), X (10), L (50), C (100), D (500), dan M (1000). Kombinasi dari simbol-simbol ini digunakan untuk membentuk angka lainnya.


2. Prinsip Dasar

Prinsip dasar dari angka Romawi adalah penjumlahan dan pengurangan. Misalnya, II adalah dua (1+1), sedangkan IV adalah empat (5-1). Begitu juga, VI adalah enam (5+1) dan IX adalah sembilan (10-1). Untuk angka yang lebih besar, simbol ditempatkan berdampingan dan dijumlahkan. Contohnya, VIII adalah delapan (5+3) dan XX adalah dua puluh (10+10).


3. Penggunaan dalam Sejarah

Pada puncaknya, angka Romawi digunakan dalam berbagai aspek kehidupan Romawi, mulai dari penomoran bab dalam dokumen hukum hingga penanggalan. Kalender Julian, yang diperkenalkan oleh Julius Caesar, menggunakan angka Romawi untuk menandai tahun. Selain itu, batu nisan, monumen, dan bangunan publik sering kali dihiasi dengan angka Romawi.


PENGGUNAAN MODERN

1. Penomoran Bab dan Acara

Dalam literatur modern, angka Romawi sering digunakan untuk penomoran bab dalam buku dan bagian dalam dokumen resmi. Ini memberikan kesan formal dan tradisional. Acara tahunan seperti Olimpiade dan Super Bowl juga menggunakan angka Romawi untuk menunjukkan urutannya, misalnya, Olimpiade XXXII atau Super Bowl LV.


2. Jam dan Monumen

Banyak jam klasik, terutama jam tangan dan jam dinding bergaya vintage, menggunakan angka Romawi untuk menunjukkan waktu. Monumen dan bangunan publik yang dibangun pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga sering menampilkan angka Romawi untuk menandai tahun pembangunannya.


3. Simbolisme dan Estetika

Angka Romawi juga digunakan karena nilai simbolis dan estetisnya. Mereka sering muncul dalam desain grafis, seni, dan arsitektur untuk memberikan kesan klasik dan bersejarah. Penggunaan angka Romawi dapat menambahkan elemen artistik yang tidak dimiliki oleh angka modern.


Meskipun sistem penomoran Romawi telah digantikan oleh angka Arab atau India yang lebih efisien dalam perhitungan sehari-hari, warisan angka Romawi tetap hidup dalam berbagai aspek budaya dan kehidupan modern. Dari penomoran bab dalam buku hingga simbol pada jam dan monumen, angka Romawi tetap menjadi bagian integral dari warisan budaya kita. Mengetahui sejarah dan perkembangan angka Romawi memberikan kita penghargaan yang lebih dalam terhadap bagaimana sistem ini telah membentuk cara kita melihat dan menomori dunia di sekitar kita.


Referensi:

- "The History of Roman Numerals." Ancient History Encyclopedia.

- "Roman Numerals: A Comprehensive Guide." Math Is Fun.

- "Roman Numerals: A Brief History." The Math Forum.

Sejarah Magelang - Toko Lunas, September 2010 Beli raket, jersey bola, senar gitar ya di sini ini. Mau bagaimana pun juga, pecinan lebih syahdu dengan trotoar lama seperti di foto. Umpek2an tapi asik, pas jalan2 malam minggu bisa nyenggoli rombongan cewek dari arah berlawanan 😅 📷 : Soni/Serba-serbi Magelang Sumber/Penulis : Cahyono Edo Santosa

 

Toko Lunas, September 2010

Beli raket, jersey bola, senar gitar ya di sini ini.

Mau bagaimana pun juga, pecinan lebih syahdu dengan trotoar lama seperti di foto. Umpek2an tapi asik, pas jalan2 malam minggu bisa nyenggoli rombongan cewek dari arah berlawanan 



📷 : Soni/Serba-serbi Magelang
Sumber/Penulis : Cahyono Edo Santosa

Dunia persepakbolaan di Provinsi Papua sudah berkembang cukup lama. Di era tahun 70-an sudah banyak pemain sepakbola dari Provinsi paling Timur Indonesia ini bermain di berbagai klub sepakbola tanah air bahkan di timnas. Demikian juga dengan Musik. Di era tahun 1970-an sudah ada grup-grup musik asal Papua. Satu diantaranya “Coconut’s Band. Awalnya grup band ini menamakan diri “Black & White, karena mereka terdiri dari para pemuda berkulit eksotis dan putih. Kemudian berganti nama lagi menjadi “Black Sweet”. Namun nama ini diganti lagi, untuk menghindari anggapan grup musik duplikasi dari “Black Brothers”. Maka jadilah “Coconut’s Band”. Nama ini disesuaikan dengan tempat kelahiran mereka yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Seperti pohon kelapa, grup ini tumbuh secara alamiah tanpa didikan musik yang bersifat formil, dan mereka diberi kebebasan untuk berkreasi. Segi vocal/koor musiknya mendekati grup music ternama dunia yaitu “Chicago” . Lead Vokal/Bassist grup Kelapa ini adalah Jimmy Demianus Tomahu. Ia lahir di Biak, 21 Desember 1951 dengan tinggi badan 1,70 cm. Sifatnya peramah, hobbi melukis dan seorang ahli meterologi dan geofisika. Sebagai leader dipegang ole Agustinus Rumaropen yang biasa dipanggil Agus, lahir di Biak 17 Agustus 1949. Penggemar musik rock ini juga pengagum Goerge Harison, Robert Plan, Ian Gilian, Delly Rollies dan Ian Antono. Selain bermusik, ia juga sebagai pemain sepakbola yang cukup tangguh. Drummer Coconut ini dipercayakan pada Ringgo Frans Kadmaer, seorang pria kelahiran Merauke. Sebelumnya ia berpengalaman selama 14 tahun lebih di bidang musik dengan bergabung bersama band “Varuna’s”. Pernah juga memperkuat band “Kwarta Nada “(Surabaya). Posisi Vokalis ada Agabus Rumwaropen. Selain vokalis dan koor, ia juga memainkan keybord. Agabus lahir di Jayapura pada 29 Agustus 1953. Gaya musiknya lebih ke arah gaya Deep Purple, George Benson dan Ian Gillian. Ini dia tampilan Coconut Band yang keren dan metal. Semoga ada anak-anak muda Papua sekarang yang menjadi penerusnya. Sumber: Harian Mandala, 9-8-1978.Koleksi Surat Kabar Langka Salemba –Perpustakaan Nasional RI (Skala-team) #Papua #musik #Band #Rock

 Dunia persepakbolaan di Provinsi Papua sudah berkembang cukup lama. Di era tahun 70-an sudah banyak pemain sepakbola dari Provinsi paling Timur Indonesia ini bermain di berbagai klub sepakbola tanah air bahkan di timnas. Demikian juga dengan Musik. Di era tahun 1970-an sudah ada grup-grup musik asal Papua.  Satu diantaranya “Coconut’s Band.



Awalnya grup band ini menamakan diri “Black & White, karena  mereka terdiri dari para pemuda berkulit eksotis dan putih. Kemudian berganti nama lagi menjadi “Black Sweet”. Namun nama ini diganti lagi, untuk menghindari anggapan grup musik duplikasi dari “Black Brothers”. Maka jadilah  “Coconut’s Band”. Nama ini disesuaikan dengan tempat kelahiran mereka yang banyak ditumbuhi pohon kelapa.  Seperti pohon kelapa, grup ini tumbuh secara alamiah tanpa didikan musik yang bersifat formil,  dan mereka diberi kebebasan untuk berkreasi.  Segi vocal/koor musiknya mendekati grup music ternama dunia yaitu “Chicago” .


Lead Vokal/Bassist grup Kelapa ini  adalah Jimmy Demianus Tomahu. Ia lahir di Biak, 21 Desember 1951 dengan tinggi badan 1,70 cm. Sifatnya peramah, hobbi melukis dan seorang ahli meterologi dan geofisika.


Sebagai leader dipegang ole Agustinus Rumaropen yang biasa dipanggil Agus, lahir di Biak 17 Agustus 1949. Penggemar musik rock ini juga pengagum Goerge Harison, Robert Plan, Ian Gilian, Delly Rollies dan Ian Antono. Selain bermusik, ia juga sebagai pemain sepakbola yang cukup tangguh.


Drummer Coconut ini dipercayakan pada Ringgo Frans Kadmaer, seorang pria kelahiran Merauke. Sebelumnya ia berpengalaman selama 14 tahun lebih  di bidang musik dengan bergabung bersama band “Varuna’s”. Pernah juga memperkuat band “Kwarta Nada “(Surabaya).


Posisi Vokalis ada Agabus Rumwaropen. Selain vokalis dan koor, ia juga memainkan keybord. Agabus lahir di Jayapura pada 29 Agustus 1953. Gaya musiknya lebih ke arah gaya  Deep Purple, George Benson dan Ian Gillian.


Ini dia tampilan Coconut Band yang keren dan metal. Semoga ada anak-anak muda Papua sekarang yang menjadi penerusnya.


Sumber:  Harian Mandala,  9-8-1978.Koleksi Surat Kabar Langka Salemba –Perpustakaan Nasional RI (Skala-team)


#Papua #musik #Band #Rock

GARUDA SANG RAJA BURUNG DALAM MITOLOGI DAN LAMBANG KEBANGSAAN INDONESIA Garuda (Dewanagari: गरुड़; International Alphabet of Sanskrit Transliteration: Garuḍa) atau Garula dalam bahasa Pāli (Dewanagari: गरुळ; International Alphabet of Sanskrit Transliteration: Garula) adalah salah satu makhluk antropomorfis-mitologis yang memainkan peran penting dalam Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme. Dalam Hinduisme, Garuda adalah wahana Dewa Wisnu, salah satu dari Trimurti atau tiga dewa utama. Garuda digambarkan sebagai makhluk yang setia dan kuat, melambangkan keberanian dan kesetiaan. Ia sering digambarkan bertubuh tertutup bulu emas, dengan wajah putih dan sayap merah. Paruh dan sayapnya mirip dengan burung elang, namun tubuhnya sering kali seperti manusia. Dalam beberapa cerita, Garuda digambarkan sangat besar sehingga bisa menghalangi matahari. Dalam Buddhisme, Garuda dikenal sebagai Dhammapala atau Astasena, penjaga hukum Buddha. Ia dianggap sebagai pelindung yang kuat dan pemberantas kejahatan. Sementara dalam Jainisme, Garuda dikenal sebagai salah satu Yaksa (dewa pelindung) dari Tirthankara Shantinatha. Kisah-kisah tentang Garuda terdapat dalam kitab Mahabharata dan Purana yang berasal dari India. Salah satu cerita yang terkenal adalah bagaimana Garuda mengalahkan naga-naga untuk mendapatkan amrita (air kehidupan) demi membebaskan ibunya dari perbudakan. Garuda tidak hanya dikenal di India, tetapi juga di negara-negara lain. Di Jepang, ada makhluk mirip Garuda yang disebut Karura. Di Thailand, Garuda dikenal sebagai Krut atau Pha Krut. Indonesia bahkan menggunakan Garuda sebagai lambang negaranya, melambangkan kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan. Garuda di Indonesia, dikenal sebagai Garuda Pancasila, adalah lambang negara yang dirancang untuk mewakili semangat dan identitas bangsa. Dipilih sebagai lambang negara karena Garuda dianggap melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan keberanian, serta merupakan simbol yang kuat dari budaya dan sejarah Indonesia. Garuda Pancasila memiliki perisai di dadanya yang menggambarkan lima sila dari Pancasila, ideologi dasar negara Indonesia. Jumlah bulu pada sayap, ekor, dan leher Garuda juga memiliki makna simbolis, melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Dengan tubuhnya yang kuat dan kehadirannya yang agung, Garuda menjadi simbol penting dalam berbagai tradisi budaya dan agama, serta lambang kebanggaan nasional Indonesia. Ia mengingatkan kita akan kekuatan, keberanian, dan kesetiaan yang diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Referensi: 1. Mahabharata 2. Purana 3. Tradisi Hindu, Buddhis, dan Jainis 4. Simbolisme nasional Indonesia dan Thailand 5. Sejarah lambang negara Indonesia

 GARUDA SANG RAJA BURUNG DALAM MITOLOGI DAN LAMBANG KEBANGSAAN INDONESIA


Garuda (Dewanagari: गरुड़; International Alphabet of Sanskrit Transliteration: Garuḍa) atau Garula dalam bahasa Pāli (Dewanagari: गरुळ; International Alphabet of Sanskrit Transliteration: Garula) adalah salah satu makhluk antropomorfis-mitologis yang memainkan peran penting dalam Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme.



Dalam Hinduisme, Garuda adalah wahana Dewa Wisnu, salah satu dari Trimurti atau tiga dewa utama. Garuda digambarkan sebagai makhluk yang setia dan kuat, melambangkan keberanian dan kesetiaan. Ia sering digambarkan bertubuh tertutup bulu emas, dengan wajah putih dan sayap merah. Paruh dan sayapnya mirip dengan burung elang, namun tubuhnya sering kali seperti manusia. Dalam beberapa cerita, Garuda digambarkan sangat besar sehingga bisa menghalangi matahari.


Dalam Buddhisme, Garuda dikenal sebagai Dhammapala atau Astasena, penjaga hukum Buddha. Ia dianggap sebagai pelindung yang kuat dan pemberantas kejahatan. Sementara dalam Jainisme, Garuda dikenal sebagai salah satu Yaksa (dewa pelindung) dari Tirthankara Shantinatha.


Kisah-kisah tentang Garuda terdapat dalam kitab Mahabharata dan Purana yang berasal dari India. Salah satu cerita yang terkenal adalah bagaimana Garuda mengalahkan naga-naga untuk mendapatkan amrita (air kehidupan) demi membebaskan ibunya dari perbudakan.


Garuda tidak hanya dikenal di India, tetapi juga di negara-negara lain. Di Jepang, ada makhluk mirip Garuda yang disebut Karura. Di Thailand, Garuda dikenal sebagai Krut atau Pha Krut. Indonesia bahkan menggunakan Garuda sebagai lambang negaranya, melambangkan kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan.


Garuda di Indonesia, dikenal sebagai Garuda Pancasila, adalah lambang negara yang dirancang untuk mewakili semangat dan identitas bangsa. Dipilih sebagai lambang negara karena Garuda dianggap melambangkan kekuatan, kebijaksanaan, dan keberanian, serta merupakan simbol yang kuat dari budaya dan sejarah Indonesia. Garuda Pancasila memiliki perisai di dadanya yang menggambarkan lima sila dari Pancasila, ideologi dasar negara Indonesia. Jumlah bulu pada sayap, ekor, dan leher Garuda juga memiliki makna simbolis, melambangkan tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.


Dengan tubuhnya yang kuat dan kehadirannya yang agung, Garuda menjadi simbol penting dalam berbagai tradisi budaya dan agama, serta lambang kebanggaan nasional Indonesia. Ia mengingatkan kita akan kekuatan, keberanian, dan kesetiaan yang diperlukan dalam kehidupan kita sehari-hari.


Referensi:

1. Mahabharata

2. Purana

3. Tradisi Hindu, Buddhis, dan Jainis

4. Simbolisme nasional Indonesia dan Thailand

5. Sejarah lambang negara Indonesia

Pangeran Sambernyowo Amangkurat lV Perang Tahta Jawa Kedua yg Memilukan Pada Februari 1719, Susuhunan Pakubuwana I dari Mataram mangkat Penggantinya adalah Mas Suryanata putra ke 13 dari permaisuri Ratu Mas Blitar bergelar Amangkurat IV (1719-1726). Dua kakaknya, Pangeran Purbaya (Mas Sasongko, putra ke 4) dan Pangeran Blitar (Mas Sudhomo, putra ke 11) tidak terima terhadap pengangkatan tersebut dan menyerang Kertasura yang didukung kalangan agama. Sang Paman Arya Mataram dan Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) pun ikut bergabung dengan mereka. Pada saat yang sama di tahun 1719 Pangeran Arya Dipanegara (Mas Papak, putra ke 10) kakak Amangkurat IV yang sedang diberi tugas oleh Pakubuwana I untuk menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya ikut menolak pengangkan tersebut dan bergabung dengan pemberontak Arya Jayapuspita dan mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun (Kelak gelar dan jejaknya diikuti oleh putra HB lll, Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa 1825-1830). Dikisahkan sebelumnya pada tahun 1714 Jayapuspita dari Surabaya menolak menghadap ke Kartasura. Ia menyusun pemberontakan sebagai pembalasan atas kematian Jangrana, kakaknya. Daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan Lamongan jatuh ke tangannya. Pada tahun 1717 gabungan pasukan VOC dan Kartasura berangkat menyerbu Surabaya. Mereka bermarkas di desa Sepanjang. Perang besar terjadi. Jayapuspita mendapat bantuan dari Bali. Dalam perang tahun 1718 adik Jayapuspita, yaitu Ngabehi Jangrana (alias Jangrana III) gugur. Jayapuspita akhirnya menyingkir ke desa Japan (dekat Mojokerto) bersama kedua adiknya yang masih hidup, yaitu panji Surengrana (Bupati Lamongan) dan Panji Kartayuda. Sementara itu di Kartasura, dua kakak Amangkurat IV Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang didukung para tokoh agama melakukan serangan bersama ke istana. Tetapi serangan bersama tersebut berhasil dipukul mundur oleh Garnisun VOC dan memaksa mereka mundur meninggalkan Kartasura. Pangeran Blitar dan kakaknya Pangeran Purbaya berinisiatif membangun kembali kejayaan Kraton Karta, bekas istana Sultan Agung dipinggir tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Karta Sekar atau Kartasari. Adapun Arya Mataram, sang paman memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pesisir. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram mulai bergerak menyerang dan menguasai wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela. Sementara Blora berada dibawah kekuasaan Pangeran Arya Dipanegara yang berpusat di Madiun. Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang dikenal dengan Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah dalam lima kubu. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Purbaya, sebagian memihak Pangeran Arya Dipanegara Madiun dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram di Pati. Dalam perjalanan selanjutnya Pangeran Blitar yang bermarkas di Kerta berhasil menarik hati Jayapuspita (sekutu awal Dipanegara) untuk memihak dan bergabung kepadanya. Jayapuspita justru menggunakan kekuatannta di Mojokerto untuk menggempur kubu Arya Dipanegara di Madiun. Arya Dipanegara berhasil dipukul mundur dan menyingkir ke Baturatna. Di Baturatna ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara memilih bergabung dengan adik dan kakaknya Pangeran Blitar dan Pangeran Blitar di Karta Sekar sebelah barat bekas Kraton Pleret. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya kakaknya sebagai penasihat bergelar Panembahan. Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura yang dibantu VOC bergerak menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Tentara gabungan Kertasura dan VOC akhirnya berhasil memukul mundur dan menangkap sang Paman yang selanjutnya dijatuhi hukuman gantung di Jepara. Selanjutnya Amangkurat IV di Jepara meminta bantuan kepada VOC di Semarang untuk mengirim serdadu tempurnya ke Kartasura musuh terbesarnya di Karta Sekar. Patih Cakrajaya dan Admiral Bergman dikirim Amangkurat IV untuk memimpin pasukan gabungan VOC-Kartasura. Pada bulan November 1720 pasukan koalisi Kartasura-VOC mulai bergerak menyerang Mataram di Karta Sekar. Kota Karta Sekar berhasil dihancurkan pasukan koalisi Kertasura-VOC. Kelompok Pangeran Blitar meninggalkan Karta Sekar ke arah timur. Di tengah hiruk pikuk peperangan Raden Bagus Cemeti saudaranya Raden Bagus Sosro, Tumenggung Suryadi Kusumo dari Kediri dan Mbah Bekel Wijoyo menyingkir ke barat sampai di daerah Srati, Ayah Kebumen Selatan sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di makam Srati diatas Pantai Pecaron Ayah. Perjuangan Jayapuspita yang mengangkat dirinya dengan gelar Adipati Panatagama berakhir ketika ia sakit keras dan meninggal di Japan tahun 1720. Pengganti Jayapuspita yaitu Adipati Natapura bergabung dengan pasukan Pangeran Purbaya. Perang Surabaya berakhir dengan menyerahnya Adipati Natapura pada tahun 1722. Adapun Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar. Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Ia memiliki seorang putri yang kelak diperistri oleh Pakubuwana II putra Amangkurat IV dan menurunkan Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788. Adapun Pangeran Arya Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan diujung paling selatan Benua Afrika. Dalam perjalanan yang sangat melelahkan menuju Tanjung Harapan, dua istri Dipanagara, tiga anaknya, serta dua pengikut meninggal di kapal. Ketika kapalnya menepi di Tanjung Harapan, dia telah kehilangan seluruh anak yang menyertainya. Adapun Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka. Seorang abdi pekatik yang sangat dekat dengan Susuhunan Amangkurat IV bernama Wongso Dipo, karena jasanya telah menyelamatkan nyawa sang Raja ketika terjadi peperangan hebat melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Karta Sekar, akhirnya diangkat menjadi Bupati Grobogan dan bergelar Tumenggung Martopuro. Amangkurat IV kemudian berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura (barat) yang telah berjasa ikut memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang dianggapnya bobrok. Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap Pakubuwana II (Raden Mas Probosuyoso), pengganti Amangkurat IV yang masih berusia 15 tahun. Amangkurat IV sendiri jatuh sakit pada bulan Maret 1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya (konon dilakukan oleh menantunya sendiri Cakraningrat IV), Amangkurat IV lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726 dimakamkan di Imogiri. Kelak pasca wafatnya Amangkurat IV meletus kembali Perang Tahta Jawa ke 3 karena intervensi Belanda dan ketidakpuasan para Pangeran yang pada membelah kekuasan Mararam. Sumber: Amangkurat 1V, keraton.perpusnas.go.id M. Anang Al Faiz, Perang Suksesi Jawa 11 (1719-1723) Siasat Amangkurat 1V Melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya Totok Supriyanto, Blora dalam Babad Kartasura, Joko Noveri, R.A.A Jayapuspita Dalam Perang Surabaya #Pangeransambernyowo #amangkuratIV

 Pangeran Sambernyowo Amangkurat lV

Perang Tahta Jawa Kedua yg Memilukan


Pada Februari 1719,  Susuhunan  Pakubuwana I dari Mataram mangkat Penggantinya adalah Mas Suryanata putra ke 13 dari permaisuri Ratu Mas Blitar bergelar Amangkurat IV (1719-1726). Dua kakaknya, Pangeran Purbaya (Mas Sasongko, putra ke 4) dan Pangeran Blitar (Mas Sudhomo, putra ke 11) tidak terima terhadap pengangkatan tersebut dan menyerang Kertasura yang didukung kalangan agama. Sang Paman Arya Mataram dan Arya Mangkunegara (putra sulung Amangkurat IV) pun ikut bergabung dengan mereka. 



Pada saat yang sama di tahun 1719 Pangeran Arya Dipanegara (Mas Papak, putra ke 10) kakak Amangkurat IV yang sedang diberi tugas oleh Pakubuwana I untuk menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya ikut menolak pengangkan tersebut dan bergabung dengan pemberontak Arya Jayapuspita dan mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun (Kelak gelar dan jejaknya diikuti oleh putra HB lll, Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa 1825-1830). 


Dikisahkan sebelumnya pada tahun 1714 Jayapuspita dari Surabaya menolak menghadap ke Kartasura. Ia menyusun pemberontakan sebagai pembalasan atas kematian Jangrana, kakaknya. Daerah-daerah pesisir seperti Gresik, Tuban, dan  Lamongan  jatuh ke tangannya. 


Pada tahun 1717 gabungan pasukan  VOC dan Kartasura berangkat menyerbu Surabaya. Mereka bermarkas di desa Sepanjang. Perang besar terjadi. Jayapuspita mendapat bantuan dari Bali. Dalam perang tahun 1718 adik Jayapuspita, yaitu Ngabehi Jangrana (alias Jangrana III) gugur. Jayapuspita akhirnya menyingkir ke desa Japan (dekat Mojokerto) bersama kedua adiknya yang masih hidup, yaitu panji Surengrana (Bupati Lamongan) dan Panji Kartayuda. 


Sementara itu di Kartasura, dua kakak Amangkurat IV Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang didukung para tokoh agama melakukan  serangan bersama ke istana. Tetapi serangan bersama tersebut berhasil dipukul mundur oleh Garnisun VOC dan memaksa mereka mundur meninggalkan Kartasura. 


Pangeran Blitar dan kakaknya Pangeran Purbaya berinisiatif membangun kembali kejayaan Kraton Karta, bekas istana Sultan Agung dipinggir tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Karta Sekar atau Kartasari. 


Adapun Arya Mataram, sang paman memilih mengungsi dari Kartasura menuju pesisir utara dan memproklamirkan dirinya sebagai penguasa pesisir. Setelah sampai di Santenan (Cengkal Sewu), pasukan Arya Mataram mulai bergerak menyerang dan menguasai wilayah Grobogan, Warung, Blora dan Sesela. Sementara Blora berada dibawah kekuasaan Pangeran Arya Dipanegara yang berpusat di Madiun. 


Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang dikenal dengan Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah dalam lima kubu. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Purbaya, sebagian memihak Pangeran Arya Dipanegara Madiun dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram di Pati. 


Dalam perjalanan selanjutnya Pangeran Blitar yang bermarkas di Kerta berhasil menarik hati Jayapuspita (sekutu awal Dipanegara) untuk memihak dan bergabung kepadanya. Jayapuspita justru menggunakan kekuatannta di Mojokerto untuk menggempur kubu Arya Dipanegara di Madiun. Arya Dipanegara berhasil dipukul mundur dan menyingkir ke Baturatna. 


Di Baturatna ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara memilih bergabung dengan adik dan kakaknya Pangeran Blitar dan Pangeran Blitar di Karta Sekar sebelah barat bekas Kraton Pleret. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya kakaknya sebagai penasihat bergelar Panembahan. 


Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura yang dibantu VOC bergerak menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Tentara gabungan Kertasura dan VOC akhirnya berhasil memukul mundur dan menangkap sang Paman yang selanjutnya dijatuhi hukuman gantung di Jepara. 


Selanjutnya Amangkurat IV di Jepara meminta bantuan kepada VOC di Semarang untuk mengirim serdadu tempurnya ke Kartasura musuh terbesarnya di Karta Sekar. Patih Cakrajaya dan Admiral Bergman dikirim Amangkurat IV untuk memimpin pasukan gabungan VOC-Kartasura. Pada bulan November 1720 pasukan koalisi Kartasura-VOC mulai bergerak menyerang Mataram di Karta Sekar. 


Kota Karta Sekar berhasil dihancurkan pasukan koalisi Kertasura-VOC. Kelompok Pangeran Blitar meninggalkan Karta Sekar ke arah timur. Di tengah hiruk pikuk peperangan Raden Bagus Cemeti saudaranya Raden Bagus Sosro, Tumenggung Suryadi Kusumo dari Kediri dan Mbah Bekel Wijoyo menyingkir ke barat sampai di daerah Srati, Ayah Kebumen Selatan sampai akhir hayatnya dan dimakamkan di makam Srati diatas Pantai Pecaron Ayah. 


Perjuangan Jayapuspita yang mengangkat dirinya dengan gelar Adipati Panatagama berakhir ketika ia sakit keras dan meninggal di Japan tahun 1720. Pengganti Jayapuspita yaitu Adipati Natapura bergabung dengan pasukan Pangeran Purbaya. Perang Surabaya berakhir dengan menyerahnya Adipati Natapura pada tahun 1722. 


Adapun Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang. Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar. 


Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Ia memiliki seorang putri yang kelak diperistri oleh Pakubuwana II putra Amangkurat IV dan menurunkan Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788. 


Adapun Pangeran Arya Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan diujung paling selatan Benua Afrika. Dalam perjalanan yang sangat melelahkan menuju Tanjung Harapan, dua istri Dipanagara, tiga anaknya, serta dua pengikut meninggal di kapal. Ketika kapalnya menepi di Tanjung Harapan, dia telah kehilangan seluruh anak yang menyertainya. Adapun Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka. 


Seorang abdi pekatik yang sangat dekat dengan Susuhunan Amangkurat IV bernama Wongso Dipo, karena jasanya telah menyelamatkan nyawa sang Raja ketika terjadi peperangan hebat melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Karta Sekar, akhirnya diangkat menjadi Bupati Grobogan dan bergelar Tumenggung Martopuro. 


Amangkurat IV kemudian berselisih dengan Cakraningrat IV  bupati  Madura  (barat) yang telah berjasa ikut memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang dianggapnya bobrok. 


Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap Pakubuwana II (Raden Mas Probosuyoso), pengganti Amangkurat IV yang masih berusia 15 tahun. 


Amangkurat IV sendiri jatuh sakit pada bulan Maret 1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya (konon dilakukan oleh menantunya sendiri Cakraningrat IV), Amangkurat IV lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726 dimakamkan di Imogiri. Kelak pasca wafatnya Amangkurat IV meletus kembali Perang Tahta Jawa ke 3 karena intervensi Belanda dan ketidakpuasan para Pangeran yang pada membelah kekuasan Mararam. 


Sumber: 


Amangkurat 1V, keraton.perpusnas.go.id 


M. Anang  Al Faiz, Perang Suksesi Jawa 11 (1719-1723) Siasat Amangkurat 1V Melawan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya 


Totok Supriyanto, Blora dalam Babad Kartasura, 


Joko Noveri, R.A.A Jayapuspita Dalam Perang Surabaya


#Pangeransambernyowo #amangkuratIV

01 August 2024

Joan Maetsuycker Lahir : Amsterdam, Republik Belanda 14 Oktober 1606 M. Gubernur Sailan Belanda : 1646 – 1650 M. Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-12 : 19 Mei 1653 - 1678 M. Istri : ♀️Haesje Berckmans, ♀️Elisabeth Abbem. Wafat : Batavia, Hindia Belanda 24 Januari 1678 M Makam : ? Keterangan : Joan Maetsuycker (Amsterdam, 14 Oktober 1606 - Batavia, 24 Januari 1678) adalah gubernur Sailan Belanda antara tahun 1646 – 1650 dan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-12. Ia memerintah antara tahun 1653 – 1678. Kehidupan awal Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama Katolik. Maetsuyker lulus dari sekolah hukum di Leuven dan menjadi pengacara di The Hague, kemudian meneruskan kariernya di Amsterdam. Karier di pemerintahan Pada tahun 1635, Maetsuyker ditugaskan di Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1636 dengan menumpang kapal Prins Willem dia meninggalkan Amsterdam dan mendarat pada tanggal 26 September 1636 di Batavia dan menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga di Dewan Keadilan (Raad van Justitie) di kota itu. Pada tahun yang sama juga Maetsuyker menjadi presiden komite yatim piatu, kemudian pada tahun 1637 menjabat presiden dari akademi hukum kelautan. Karier Maetsuyker terus menanjak, pada tahun 1640 dia menjadi ketua dewan keadilan dan juga ketua dari urusan pengawasan dan kependudukan bangsa Cina. Tanggal 13 Agustus 1641, dia diangkat menjadi konsul kehormatan untuk Hindia Belanda. Saat menjabat posisi ini, dia diajak oleh Gubernur Jenderal van Diemen untuk membuat suatu ketetapan hukum dan peraturan untuk penduduk Batavia. Peraturan dan hukum yang ditetapkan ini dikenal dengan istilah Bataviasche Statuten, dan mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 1642. Peraturan ini sendiri berlaku hingga pendudukan Inggris di Indonesia pada tahun 1811, dan juga masih dipakai setelah masa English Interregnum hingga tahun 1828. Tidak lama kemudian tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1642, dia memimpin ekspedisi ke Ceylon yang saat itu merupakan pusat perdagangan Portugis di Asia Selatan. Tujuan dari ekspedisi ini adalah membahas mengenai perbatasan antara wilayah VOC di Ceylon dengan Portugis di sana, termasuk aset-aset di dalamnya. Tahun 1646 hingga tahun 1650, Maetsuyker menjadi Gubernur di Ceylon. Tahun 1650, dia kembali ke Hindia Belanda untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Hindia dan juga sebagai Direktur Jenderal VOC. Menjadi Gubernur Jenderal Pada masa kepemimpinannya, Maetsuyker memiliki ambisi untuk memperluas wilayah VOC di Indonesia, apalagi dia mempunyai dua orang bawahan yang sangat setia, bisa dipercaya dan juga tangguh yaitu Rijkloff van Goens dan Cornelis Speelman. Langkah pertama yang diambil oleh Maetsuyker adalah mengincar Kerajaan Goa di Sulawesi yang selama ini selalu menolak kerjasama dagang dengan VOC tetapi berhubungan dengan Portugis, yang notabene juga merupakan pesaing berat VOC di Indonesia. Untuk memantapkan langkah tersebut, mula-mula adalah mengkondisikan kepulauan Maluku betul-betul 100% dikuasai oleh VOC. Karena itu VOC melakukan pengusiran kepada penduduk di Ambon dan juga pemusnahan tanaman cengkih di Hoamoal, peristiwa ini dilakukan pada tahun 1656. Setahun kemudian VOC melakukan hal yang sama di Pulau Buru, penduduk di pulau itu diusir. Setelah posisi VOC di kepulauan Maluku dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di Manado untuk mengawasi lalulintas dagang antara Spanyol di kepulauan Filipina dengan Tidore. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Banten. Perang Gowa Maetsuyker kembali ke ambisinya semula yaitu mengontrol Gowa. Tindakan awal yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan pantai Gowa yang saat itu dilindungi oleh kapal-kapal Portugis. Serangan dilakukan pada bulan Agustus 1660. VOC akhirnya berhasil meluluhlantakan kapal-kapal Portugis di pelabuhan Makassar. Akibat dari kekalahan ini, raja Gowa saat itu Sultan Hasanuddin dipaksa menerima perjanjian damai dengan VOC. Melihat bahwa Gowa sudah lemah karena angkatan perangnya dikalahkan oleh VOC, pemimpin kerajaan Bone (yang saat itu merupakan jajahan dari kerajaan Gowa) Arung Palakka memberontak kepada Hasanuddin dan memusatkan kekuatannya di Butung. VOC melihat pemberontakan Bone kepada Gowa merupakan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai Gowa secara keseluruhan. Karena itu pada tahun 1663, VOC mengajak Arung Palakka dan pengikutnya untuk pergi ke Batavia. Di Batavia, Arung Palakka dijanjikan bahwa Bone akan berdaulat sepenuhnya jika mau membantu VOC menghancurkan Makassar. Kesepakatan antara Arung Palakka dan Maetsuyker akhirnya disetujui. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dibantu dengan tentara Bugis pimpinan Arung Palaka dan juga tentara Ambon pimpinan dari Kapten Jonker, menyerang Makassar. Tahun 1667, armada Speelman berhasil mendarat di Butung dan menghancurkan tentara Gowa di sana. Dari Butung, Speelman tidak mengarahkan armadanya ke Makassar tetapi langsung menuju Tidore (yang saat itu sudah tidak dilindungi oleh Spanyol) untuk memaksa perjanjian damai dengan VOC. Akibat tekanan yang diberikan oleh VOC Tidore bersedia menerima perjanjian tersebut,dan akhirnya Ternate dan Tidore sepenuhnya berada dalam kekuasaan VOC. Kondisi tersebut diatas sangat menguntungkan VOC karena praktis Gowa tidak akan mendapat bantuan dari manapun, apalagi setelah sebelumnya pos Portugis di Larantuka dihancurkan oleh armada VOC dan akhirnya memaksa Portugis hengkang ke Lifau. Setelah mendarat di Butung, Arung Palakka kembali ke Bone dan mengobarkan revolusi melawan Gowa kepada rakyatnya. Dan pada tahun 1668 Gowa berhasil dikalahkan oleh koalisi VOC dan Bone. Dan pada tanggal 18 November 1668, dilakukan perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya. Isi dari perjanjian tersebut adalah Kerajaan Gowa sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC, dan pengaruh Raja Gowa adalah hanya sekitar kota Makassar dan tidak berhak mengontrol wilayah di luar kota. Perjanjian ini membuat Hasanuddin berang, karena dianggap sangat merugikan kerajaannya. Akhirnya pada awal tahun 1669, dengan kekuatan terakhirnya Gowa melawan tentara VOC. Perlawanan hebat ini berakhir setelah Speelman mendapat bantuan dari Batavia dan berhasil menerobos Benteng terkuat Gowa saat itu, Somba Opu pada tanggal 22 Juni 1669. Akibat dari kekalahan ini, Sultan Hasanuddin akhirnya mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670. Dengan meninggalnya Sultan Hasanuddin, berakhirlah Perang Gowa, dan sejak saat itu Makassar dikuasai oleh VOC. Kemudian sesuai dengan janjinya, VOC pada tahun 1672 mengangkat Arung Palakka sebagai Raja Bone. Pemberontakan Trunojoyo sunting Pada tahun 1671, pemimpin pulau Madura yaitu Trunojoyo memberontak terhadap kekuasaan Mataram di pulau itu. Pemberontakan dimenangkan oleh Trunojoyo dan ia mulai menguasai pulau ini agar terlepas dari pengaruh Mataram. Mataram sendiri tidak begitu serius menanggapi Trunojoyo, karena di tahun-tahun tersebut Gunung Merapi meletus dan dilanjutkan dengan wabah kelaparan pada tahun 1674. Mengetahui bahwa Mataram terkena musibah dan tidak menganggap serius terhadap kekuatan Trunojoyo. Maka pada tahun 1675 Trunojoyo dibantu dengan tentara Makassar yang mengungsi dari Sulawesi mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Trunojoyo dengan memanfaatkan sentimen keagamaan berhasil mengambil simpati penduduk di pesisir utara Jawa. Hingga akhir tahun Trunojoyo berhasil mengambil alih Surabaya, Jepara hingga Cirebon dari tangan Mataram. Mengetahui situasi yang tidak menguntungkan, Raja Mataram Amangkurat I mengutus anaknya Pangeran Puger untuk bertemu dengan Maetsuyker dengan tujuan meminta bantuan VOC menumpas Trunojoyo. Permintaan ini segera dimanfaatkan oleh Maetsuyker untuk memperluas pengaruhnya di Pulau Jawa. Maetsuyker segera memenuhi permintaan itu, kemudian dia mengirimkan Cornelis Speelman untuk menaklukan tentara Trunojoyo di Cirebon dan Jepara. Keberhasilan VOC memaksa pasukan Trunojoyo meninggalkan Cirebon dan Jepara membuat Amangkurat I harus menandatangani perjanjian antara VOC dengan Mataram. Perjanjian dibuat pada tanggal 25 Februari 1677 dengan isi VOC berhak mendirikan pelabuhan dimana saja di wilayah Mataram, Mataram dilarang melakukan hubungan dengan Aceh, Arab atau bangsa lain untuk mendarat di Mataram, seluruh biaya yang timbul akibat peperangan dengan Trunojoyo ditanggung sepenuhnya oleh Mataram. Setelah Mataram bersedia menandatangani perjanjian tersebut, pada bulan Mei 1677, Speelman menyerang Surabaya dan dapat memukul mundur pasukan Trunojoyo. Trunojoyo sendiri langsung bergerak ke ibu kota Mataram yaitu Kraton Plered, untuk membunuh Amangkurat I dan keluarganya, namun ternyata keluarga Amangkuart I sudah mengungsi. Akhirnya Trunojoyo membakar kraton Plered dan membawa seluruh harta peninggalan Amangkurat I lalu bergerak mundur hingga Kediri. Sementara di pengasingannya pada bulan Juli, Amangkurat I meninggal dunia dan digantikan Amangkurat II (bukan Pangeran Puger namun anak dari selir sesuai permintaan VOC) yang tetap meminta bantuan VOC untuk menumpas Trunojoyo. Karena Mataram sudah tidak memiliki harta untuk mendanai perang lagi, akhirnya mereka membuat perjanjian pada tanggal 20 Oktober 1677, dimana isinya Mataram menyerahkan Semarang kepada VOC dan sebagian daerah dudukannya di Parahyangan tepatnya sebelah barat Sungai Citarum dan Cipunagara, namun Amangkurat II tidak menyanggupi penyerahan daerah antara Sungai Citarum dan Cipunagara karena daerah tersebut masuk dalam kendali langsung bupati Sumedang saat itu yaitu Rangga Gempol III. Mataram juga dibebankan penyerahan keuntungan dari hasil perdagangan hingga semua hutang selesai terlunasi. VOC dan Arung Palakka menyerang tentara Trunojoyo di Kediri pada tahun 1678 dan pada tahun 1679 Trunojoyo tertangkap dan dihukum mati. Jasa-Jasa Jasa-jasa Maetsuyker kepada pemerintah Belanda antara lain: Perluasan wilayah Kompeni di Malabar dan Ceylon Penaklukan Makassar Penaklukan Sumatera Barat Ekspedisi pertama ke Mataram

 Joan Maetsuycker


Lahir : Amsterdam, Republik Belanda 14 Oktober 1606 M.

Gubernur Sailan Belanda : 1646 – 1650 M.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-12 : 19 Mei 1653 - 1678 M.

Istri : ♀️Haesje Berckmans, ♀️Elisabeth Abbem.

Wafat : Batavia, Hindia Belanda 24 Januari 1678 M

Makam : ?


Keterangan : 


Joan Maetsuycker (Amsterdam, 14 Oktober 1606 - Batavia, 24 Januari 1678) adalah gubernur Sailan Belanda antara tahun 1646 – 1650 dan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-12. Ia memerintah antara tahun 1653 – 1678.



Kehidupan awal


Berbeda dengan banyak Gubernur-Jenderal lainnya, Maetsuycker diperkirakan beragama Katolik. Maetsuyker lulus dari sekolah hukum di Leuven dan menjadi pengacara di The Hague, kemudian meneruskan kariernya di Amsterdam.


Karier di pemerintahan


Pada tahun 1635, Maetsuyker ditugaskan di Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1636 dengan menumpang kapal Prins Willem dia meninggalkan Amsterdam dan mendarat pada tanggal 26 September 1636 di Batavia dan menjabat sebagai kepala urusan rumah tangga di Dewan Keadilan (Raad van Justitie) di kota itu. Pada tahun yang sama juga Maetsuyker menjadi presiden komite yatim piatu, kemudian pada tahun 1637 menjabat presiden dari akademi hukum kelautan. Karier Maetsuyker terus menanjak, pada tahun 1640 dia menjadi ketua dewan keadilan dan juga ketua dari urusan pengawasan dan kependudukan bangsa Cina.


Tanggal 13 Agustus 1641, dia diangkat menjadi konsul kehormatan untuk Hindia Belanda. Saat menjabat posisi ini, dia diajak oleh Gubernur Jenderal van Diemen untuk membuat suatu ketetapan hukum dan peraturan untuk penduduk Batavia. Peraturan dan hukum yang ditetapkan ini dikenal dengan istilah Bataviasche Statuten, dan mulai berlaku pada tanggal 5 Juli 1642. Peraturan ini sendiri berlaku hingga pendudukan Inggris di Indonesia pada tahun 1811, dan juga masih dipakai setelah masa English Interregnum hingga tahun 1828.


Tidak lama kemudian tepatnya pada tanggal 10 Agustus 1642, dia memimpin ekspedisi ke Ceylon yang saat itu merupakan pusat perdagangan Portugis di Asia Selatan. Tujuan dari ekspedisi ini adalah membahas mengenai perbatasan antara wilayah VOC di Ceylon dengan Portugis di sana, termasuk aset-aset di dalamnya. Tahun 1646 hingga tahun 1650, Maetsuyker menjadi Gubernur di Ceylon. Tahun 1650, dia kembali ke Hindia Belanda untuk menjabat sebagai Ketua Dewan Hindia dan juga sebagai Direktur Jenderal VOC.


Menjadi Gubernur Jenderal


Pada masa kepemimpinannya, Maetsuyker memiliki ambisi untuk memperluas wilayah VOC di Indonesia, apalagi dia mempunyai dua orang bawahan yang sangat setia, bisa dipercaya dan juga tangguh yaitu Rijkloff van Goens dan Cornelis Speelman.


Langkah pertama yang diambil oleh Maetsuyker adalah mengincar Kerajaan Goa di Sulawesi yang selama ini selalu menolak kerjasama dagang dengan VOC tetapi berhubungan dengan Portugis, yang notabene juga merupakan pesaing berat VOC di Indonesia. Untuk memantapkan langkah tersebut, mula-mula adalah mengkondisikan kepulauan Maluku betul-betul 100% dikuasai oleh VOC. Karena itu VOC melakukan pengusiran kepada penduduk di Ambon dan juga pemusnahan tanaman cengkih di Hoamoal, peristiwa ini dilakukan pada tahun 1656. Setahun kemudian VOC melakukan hal yang sama di Pulau Buru, penduduk di pulau itu diusir.


Setelah posisi VOC di kepulauan Maluku dapat diperkuat, maka VOC memasang pos di Manado untuk mengawasi lalulintas dagang antara Spanyol di kepulauan Filipina dengan Tidore. Sementara itu pada tahun yang sama VOC membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Banten.


Perang Gowa


Maetsuyker kembali ke ambisinya semula yaitu mengontrol Gowa. Tindakan awal yang dilakukannya adalah menghancurkan kekuatan pantai Gowa yang saat itu dilindungi oleh kapal-kapal Portugis. Serangan dilakukan pada bulan Agustus 1660. VOC akhirnya berhasil meluluhlantakan kapal-kapal Portugis di pelabuhan Makassar. Akibat dari kekalahan ini, raja Gowa saat itu Sultan Hasanuddin dipaksa menerima perjanjian damai dengan VOC.


Melihat bahwa Gowa sudah lemah karena angkatan perangnya dikalahkan oleh VOC, pemimpin kerajaan Bone (yang saat itu merupakan jajahan dari kerajaan Gowa) Arung Palakka memberontak kepada Hasanuddin dan memusatkan kekuatannya di Butung. VOC melihat pemberontakan Bone kepada Gowa merupakan celah yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai Gowa secara keseluruhan. Karena itu pada tahun 1663, VOC mengajak Arung Palakka dan pengikutnya untuk pergi ke Batavia. Di Batavia, Arung Palakka dijanjikan bahwa Bone akan berdaulat sepenuhnya jika mau membantu VOC menghancurkan Makassar.


Kesepakatan antara Arung Palakka dan Maetsuyker akhirnya disetujui. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman dibantu dengan tentara Bugis pimpinan Arung Palaka dan juga tentara Ambon pimpinan dari Kapten Jonker, menyerang Makassar. Tahun 1667, armada Speelman berhasil mendarat di Butung dan menghancurkan tentara Gowa di sana. Dari Butung, Speelman tidak mengarahkan armadanya ke Makassar tetapi langsung menuju Tidore (yang saat itu sudah tidak dilindungi oleh Spanyol) untuk memaksa perjanjian damai dengan VOC. Akibat tekanan yang diberikan oleh VOC Tidore bersedia menerima perjanjian tersebut,dan akhirnya Ternate dan Tidore sepenuhnya berada dalam kekuasaan VOC.


Kondisi tersebut diatas sangat menguntungkan VOC karena praktis Gowa tidak akan mendapat bantuan dari manapun, apalagi setelah sebelumnya pos Portugis di Larantuka dihancurkan oleh armada VOC dan akhirnya memaksa Portugis hengkang ke Lifau. Setelah mendarat di Butung, Arung Palakka kembali ke Bone dan mengobarkan revolusi melawan Gowa kepada rakyatnya. Dan pada tahun 1668 Gowa berhasil dikalahkan oleh koalisi VOC dan Bone. Dan pada tanggal 18 November 1668, dilakukan perjanjian antara Sultan Hasanuddin dengan VOC yang dikenal dengan Perjanjian Bongaya. Isi dari perjanjian tersebut adalah Kerajaan Gowa sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC, dan pengaruh Raja Gowa adalah hanya sekitar kota Makassar dan tidak berhak mengontrol wilayah di luar kota.


Perjanjian ini membuat Hasanuddin berang, karena dianggap sangat merugikan kerajaannya. Akhirnya pada awal tahun 1669, dengan kekuatan terakhirnya Gowa melawan tentara VOC. Perlawanan hebat ini berakhir setelah Speelman mendapat bantuan dari Batavia dan berhasil menerobos Benteng terkuat Gowa saat itu, Somba Opu pada tanggal 22 Juni 1669. Akibat dari kekalahan ini, Sultan Hasanuddin akhirnya mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan meninggal dunia pada tanggal 12 Juni 1670. Dengan meninggalnya Sultan Hasanuddin, berakhirlah Perang Gowa, dan sejak saat itu Makassar dikuasai oleh VOC. Kemudian sesuai dengan janjinya, VOC pada tahun 1672 mengangkat Arung Palakka sebagai Raja Bone.


Pemberontakan Trunojoyo

sunting

Pada tahun 1671, pemimpin pulau Madura yaitu Trunojoyo memberontak terhadap kekuasaan Mataram di pulau itu. Pemberontakan dimenangkan oleh Trunojoyo dan ia mulai menguasai pulau ini agar terlepas dari pengaruh Mataram. Mataram sendiri tidak begitu serius menanggapi Trunojoyo, karena di tahun-tahun tersebut Gunung Merapi meletus dan dilanjutkan dengan wabah kelaparan pada tahun 1674.


Mengetahui bahwa Mataram terkena musibah dan tidak menganggap serius terhadap kekuatan Trunojoyo. Maka pada tahun 1675 Trunojoyo dibantu dengan tentara Makassar yang mengungsi dari Sulawesi mulai menyerang pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Jawa. Trunojoyo dengan memanfaatkan sentimen keagamaan berhasil mengambil simpati penduduk di pesisir utara Jawa. Hingga akhir tahun Trunojoyo berhasil mengambil alih Surabaya, Jepara hingga Cirebon dari tangan Mataram.


Mengetahui situasi yang tidak menguntungkan, Raja Mataram Amangkurat I mengutus anaknya Pangeran Puger untuk bertemu dengan Maetsuyker dengan tujuan meminta bantuan VOC menumpas Trunojoyo. Permintaan ini segera dimanfaatkan oleh Maetsuyker untuk memperluas pengaruhnya di Pulau Jawa. Maetsuyker segera memenuhi permintaan itu, kemudian dia mengirimkan Cornelis Speelman untuk menaklukan tentara Trunojoyo di Cirebon dan Jepara.


Keberhasilan VOC memaksa pasukan Trunojoyo meninggalkan Cirebon dan Jepara membuat Amangkurat I harus menandatangani perjanjian antara VOC dengan Mataram. Perjanjian dibuat pada tanggal 25 Februari 1677 dengan isi VOC berhak mendirikan pelabuhan dimana saja di wilayah Mataram, Mataram dilarang melakukan hubungan dengan Aceh, Arab atau bangsa lain untuk mendarat di Mataram, seluruh biaya yang timbul akibat peperangan dengan Trunojoyo ditanggung sepenuhnya oleh Mataram.


Setelah Mataram bersedia menandatangani perjanjian tersebut, pada bulan Mei 1677, Speelman menyerang Surabaya dan dapat memukul mundur pasukan Trunojoyo. Trunojoyo sendiri langsung bergerak ke ibu kota Mataram yaitu Kraton Plered, untuk membunuh Amangkurat I dan keluarganya, namun ternyata keluarga Amangkuart I sudah mengungsi. Akhirnya Trunojoyo membakar kraton Plered dan membawa seluruh harta peninggalan Amangkurat I lalu bergerak mundur hingga Kediri. Sementara di pengasingannya pada bulan Juli, Amangkurat I meninggal dunia dan digantikan Amangkurat II (bukan Pangeran Puger namun anak dari selir sesuai permintaan VOC) yang tetap meminta bantuan VOC untuk menumpas Trunojoyo. Karena Mataram sudah tidak memiliki harta untuk mendanai perang lagi, akhirnya mereka membuat perjanjian pada tanggal 20 Oktober 1677, dimana isinya Mataram menyerahkan Semarang kepada VOC dan sebagian daerah dudukannya di Parahyangan tepatnya sebelah barat Sungai Citarum dan Cipunagara, namun Amangkurat II tidak menyanggupi penyerahan daerah antara Sungai Citarum dan Cipunagara karena daerah tersebut masuk dalam kendali langsung bupati Sumedang saat itu yaitu Rangga Gempol III. Mataram juga dibebankan penyerahan keuntungan dari hasil perdagangan hingga semua hutang selesai terlunasi.


VOC dan Arung Palakka menyerang tentara Trunojoyo di Kediri pada tahun 1678 dan pada tahun 1679 Trunojoyo tertangkap dan dihukum mati.


Jasa-Jasa


Jasa-jasa Maetsuyker kepada pemerintah Belanda antara lain:

Perluasan wilayah Kompeni di Malabar dan Ceylon

Penaklukan Makassar

Penaklukan Sumatera Barat

Ekspedisi pertama ke Mataram