08 April 2022

Mantyasih = Meteseh ??

 Mantyasih = Meteseh??


Oleh : Liem Ang Ewoo



Belakangan ini marak terjadi sebuah pemblawuran sejarah yang sangat masif. Dalam mempelajari sejarah kita harus mau menganggalkan isme-isme dalam diri, terutama Ego Primordialisme. Selain itu, dalam mempelajari sejarah jangan hanya mengandalkan jarene, nine,yak’e, katanya,konon,dsb tanpa sumber yang jelas. Mempelajari sejarah haruslah obyektif dan legowo, jangan hanya karena factor x kita mempertahankan argument yang ternyata belum tentu ada kebenarannya dan malah semakin membuat kita terperosok dalam jurang pemblawuran.  


Okelah kalo begitu, pembahasan prasasti kali ini kita akan membahas tentang Prasasti Mantyasih yang kemudian dijadikan Rujukan hari jadi Kota Magelang yang kini mendapatkan bonus tambahan 1 tahun . 


Prasasti Mantyasih sendiri ada 3 buah, Yakni : 

1. Mantyasih I ; 2 lempeng tembaga, tersimpan di museum Radya Pustaka –Solo-

2. Mantyasih II ; Batu dengan pahatan huruf di dua sisinya, tersimpan di Museum Nasional. D.40 Temuan di daerah Sragen (?) 

3. Mantyasih III; 1 lempeng tembaga yang bertulisan di dua sisinya, tersimpan di Museum Nasional. E.19


Oke mari kita Skip saja lainnya, mari kita terfokus pada Prasasti Mantyasih 2.

Prasasti Mantyasih 2 merupakan prasasti Tamra (berbahan logam) prasasti tembaga ini berukuran 49.3 x 22.2 cm. Lempeng pertama ditulisi satu sisinya dengan 25 baris tulisan, sedang lempeng kedua juga ditulisi satu sisinya dengan 23 baris tulisan.


 Prasasti ini banyak memakai kata ko, kong, ku, kita kamung, ta, te, ya, seperti yang dijumpai pada baris 12, 14 dan 18 sisi belakang. Selain itu ungkapan sapatha yang agak berlainan dari prasasti lain seperti, Sisi belakang baris 5-6 sumpah lemih palar i panghilir, i tinghal ta, nihanku sumawak kita, nihanku sumangguh kita, nihanku lumamun kita aku tat sinangguh, aku tak linamun, tan kamua linganta sinawakku kita kabaih, siangguhku kita kabaih, linamunku kita kabaih. ungkapan yang demikian mirip dengan sumpah di prasasti Kota Kapur baris 6-7. ni wunuh ya sumpah tubi mulang yang manuruh marjjahati yang marjjahati yang watu nu pratista ini tuwi ni wunuh ya sumpah talu, muah ya mulang. Untuk tau lebih tentang alih aksara dan alih bahasa dari prasasti Mantyasih bisa cek di foto dibawah saja karena ora amot nang postingan dibawah. 


Prasasti Mantyasih, juga disebut juga Prasasti Tembaga Kedu, berangka tahun 829 Ç yang berasal dari Kerajaan Mḍaŋ. Dalam prasasti disebutkan bahwa desa Mantyasih serta hutannya yang ada di Muṇḍuan, di Kayu pañjaŋ, serta perumahan di Kuniŋ yang masuk wilayah desa kagunturan, daerah persawahannya di daerah Wunut diberi benih sebanyak 1 tū 18 hamat. Termasuk juga sawah milik para nayaka serta hutan di susuṇḍara dan si gunung sumwiŋ yang semuanya berada di wilayah Patapan, dijadikan sīmā bagi para patiḥ. Untuk kemudian digunakan secara bergantian oleh para patiḥ di Mantyasiḥ dan sanak keluarga selama masing masing 3 tahun. Banyaknya Patih yang berkaitan (dengan sīma itu) yaitu Pu Sna bapak dari Ananta, Pu Kolā bapak dari Ḍiṇī, Pu Puñjĕng bapak dari Udal, Pu Karā bapak dari Labdha, Pu Sudraka bapak dari Kayut, yang semua berjumlah 5 orang.


Alasannya (mereka) diberi anugerah adalah karena mereka sungguh sungguh telah banyak melakukan hal yang baik untuk raja, sebagai (tanda) kecintaan kepada Śrī Mahārāja ketika pesta pernikahan raja. Selain itu juga melakukan pemujaan kepada bhaṭāra  di Malaŋkuśéśwara, di Pūteśwara, di Kutusan, di Śilābhédéśwara, di Tuléśwara, setiap tahun dan ketika penduduk desa di Kuniŋ merasa ketakutan, Patiḥ itu dipercayai untuk menjaga (keamanan) jalan.


 Selain itu terdapat pula wilayah atau daerah yang hadir sebagai saksi penetapan Sima (perdikan/otonom) yakni : 

wanua i miramiraḥ watak ayam tĕas 

wanua i paŋḍamuan sīma ayam tĕas 

wanua i waduŋ poḥ watak paṅkur poḥ ; 

wanua i kataṅguhan watĕk hamĕas. 

wanua i paṇḍamuan sīma wadihati

wanua i sumaṅka watak kaluŋ warak. 

wanua iŋ kabikuan iŋ wḍi taḍahaji paṅgul. 

wanua i sumaṅka watak taṅkil sugiḥ


Pejabat yang Hadir antara lain : 

• Juru di Ayam Tĕas ; Miraḥmiraḥ di Ayam Tĕas. wakilnya di Halaran desa di Paṇḍamuan sīma Ayam Tĕas 

• Juru di Makudur  di Patalĕsan penduduk desa di Wadung Poh yang masuk wilayah Pangkur Poh, wakilnya di Wawaha penduduk desa di Katangguhan yang masuk wilayah Hamĕas, 

• (pejabat) Ayam Tĕas  yang melakukan pembatasan (sīma) penduduk desa di Paṇḍamuan sīma milik Wadihati [sīma  wadihati], 

• Makudur penduduk desa Sumangka yang masuk wilayah Kalungwarak, 

• Tiruan (pejabat) Patūngan penduduk desa di Kabikuan di Wḍi, 

• Taḍahaji di Panggul, 

• Juru dari Wadua Rarai di Patapān penduduk desa di Sumangka yang masuk wilayah Tangkil Sugih,

• Sang Juru di Patapan yaitu (pejabat) Matanda, (pejabat) Juru dari Lampuran (pejabat) Juru dari Kalula, (pejabat) Juru dari Mangrakat

• (pejabat) Patiḥ di (desa) Kayumwungan, di (desa) Sukun, (di desa), (pejabat) Wahuta Petir, (di desa) Paṇḍakyan 

• (pejabat) Wahuta Lampuran, (di desa)  Paṇḍakyan 

• (pejabat) Parujar dari Patiḥ Kayumwungan, (di desa) Sukun, (di desa) Airbarangan, (pejabat) Kalima di Petir. (pejabat) Juru di Paṇḍakyan, (pejabat) Samwal


rāma i tpi siriŋ irikāŋ kāla (wilayah-wilayah yang menjadi batas sima (perdikan) dalam Prasasti Mantyasih : 

i muṇḍuan (Temanggung ada Prasastinya) ; i haji huma; i tulaṅair (Temanggung ada Prasastinya) ; i wariṅin ; i kayu hasam ;i pragaluh ; i wurut ; air hulu ; i sulaŋ kuniŋ ; i laṅka tañjuŋ ; i samalagi ; i wuṅkal tajam ; i hampran ;i kasugihan ; i puhunan ; i praktaha; i wa°atan; i turayun; i kalaṇḍiṅan; i kḍu; i pamaṇḍyan ; i tpusan (Temanggung ada Prasastinya).

Daerah-daerah ini sebagian besar ada di Kab. Temanggung dan terdapat juga bukti temuan Prasasti dan Cagar Budaya yang masih eksis hingga saat ini. 


Kata Mantyasih juga disebut dalam beberapa Prasasti, antara lain : 

• Prasasti Karangtengah (OJO IV) D-34 baris 14-15 (Batu Lereng Sindoro) sang mantyasih sang kirta punta ni naga anak wanwa ri cri haji winaih takurang yu 1 parwuwus, 

• Pras Tulang Air 775 Saka (OJO VI), 

• Sri Kahulununan 806 Saka (Batu-rumah residen Magelang OJO XVII) (Batu –Lereng Sindoro) 

• KayuAraHiwang (Batu-Bara Purworejo OJO XXII), 

• Mantyasih II 830 (Batu –Sebuah tempat di Jawa Timur OJO XXVII), namun menyebut wukir susundara … kumonnakan nikanang wanua i mantyasik wini(k) ni sawa(k)nya satü, muang alasnya i mu ud(u) an, i kayu panda, muang pomakan ikuni wanua katung(</u)an pasawakbanya ri wunut


Sumber prasasti menyebut beberapa nama desa [daerah] yang masih dikenal hingga sekarang. Tetapi harus diketahui bahwa luas wilayah [daerah] tersebut tidak harus tetap sama. 

• Prasasti Poh menyebut nama desa Mantyasih, Galang dan Glangglang. 

• Mantyasih I menyebut nama desa perdikan Mantyasih dan 

• Prasasti Gilikan I menyebut Bhatara di Glam. 

• Kalau disimpulkan maka ketiga buah prasasti tersebut menyebut nama desa :

a. Mantyasih,

b. Galang [rupa-rupanya sama dengan Glam],

c. Glangglang


Dalam makalah berjudul ‘Sekitar Masalah Hari Jadi Magelang’ tgl. 18 Juni 1988, MM Sukarto K. Atmodjo mengemukakan pendapat bahwa penentuan hari jadi suatu daerah [kota] harus memperhatikan beberapa kriteria pokok, antara lain :

1. Di cari yang setua mungkin.

2. Mampu menimbulkan rasa bangga [pride] bagi penduduk dan masyarakat umumnya.

3. Mempunyai ‘ciri khas’ atau identitas yang cukup jelas dalam sejarah.

4. Bersifat Indonesia-sentris dan bukannya Neerlando-sentris.


Sumber prasasti menyebut beberapa nama desa [daerah] yang masih dikenal hingga sekarang. Tetapi harus diketahui bahwa luas wilayah [daerah] tersebut tidak harus tetap sama. 

• Apabila dilihat peta topografi ternyata di kota Magelang terdapat nama-nama desa seperti Pelikan [Plikon], Dumpoh. 

• Meskipun peta topografi tidak menyebut nama Meteseh, tetapi di bagian barat kota Magelang [sebelah timur Kali Progo] sampai sekarang masih terletak kampung Meteseh [Kal./Kec./Kota Magelang].

• Selain itu juga disebut dalam prasasti bahwa desa Mantyasih yang dipimpin oleh 5 orang pejabat patih secara bergantian [setiap 3 tahun ganti pimpinan], juga mampu dan berhasil menghilangkan rasa takut dan mengamankan jalan raya desa Kuning Kagunturan. 

• Menarik perhatian bahwa disebelah barat laut kota Magelang [Meteseh] sampai sekarang masih terletak desa Kembang Kuning dan Guntur [Kal. Rejosari, Kec. Bandongan].

• Dari segi etimologi perkataan Mantyasih berasal dari kata Manti [panti, sangat, penuh] dan sih [cinta, kasih]. 

• Dengan demikian nama Mantyasih [Mateseh] berarti ‘cinta kasih yang sempurna, penuh. Cf. serviam in caritato : pengabdian dalam cinta kasih, atau In omnibus Caritas : Dalam segalanya cinta kasih.

• Selanjutnya nama Galang [Glam] dan Glangglang mungkin berubah menjadi Gelang atau Magelang sekarang [ awalan ma-].

• Dalam bahasa Jawa Kuno nama glang, galang berarti lingkaran [cf. mandala dengan lingga di tengahnya, atau gunung Tidar yang menjadi paku titik tengah Pulau Jawa], cemerlang [cf. bahasa bali : galang bulan : terang bulan].

• Perkataan tidar berarti : sinar, pendadaran. 

Masalah jatidiri daerah Magelang masih dapat diteliti lebih lanjut. Tetapi berdasarkan data prasasti Mantyasih I setidak-tidaknya dapat diketahui bahwa penduduk Magelang [Mantyasih] sejak awal abad X Masehi [sekitar tahun 900 Masehi] sudah mempunyai identitas [jatidiri] yang cukup menarik dan patut di banggakan, yaitu :

1. Sifat setia dan bakti kepada pimpinan [Sri maharaja]

2. Berbakti kepada Tuhan [Bhtara di beberapa buah bangunan suci, candi]

3. Mampu mengamankan jalan raya [hawan] dan menghilangkan rasa takut penduduk Kuning Kagunturan

4. Gunung Tidar di Magelang apabila di kaitkan dengan legenda atau kepercayaan penduduk melambangkan titik tengah atau pusat suatu daerah. Bahkan juga di anggap sebagai paku pulau Jawa.

5. Penduduk Mantyasih [Magelang] sejak jaman dahulu selalu berhubungan atau kontak dengan penduduk lain. Hal ini disebabkan letak Mantyasih [Magelang] di tengah-tengah jalan raya yang menghubungkan dataran tinggi Dieng [pusat ziarah, siddhayatra atau tirthayatra] dengan daerah di Jawa timur [Pranaraga]. 

6. Berkaitan dengan nama Mantyasih [Meteseh], Galang [Glam] dan Glangglang [Gelang. Magelang], maka prasasti tembaga Poh dan Mantyasih dapat di jadikan pegangan. 

7. Prasasti Poh berangka tahun 17 Juli 905 M  dan menyebut nama Mantyasih dan Glangglang, tetapi desa Mantyasih baru ditetapkan menjadi daerah sima kapatihana dalam prasasti mantyasih I yang berangka tahun 11 April 907 M


Dari bacaan ini terdapat pertanyaan besar, yakni : 

Benarkah Mantyasih adalah Meteseh???


Sumber bacaan

• AS Wibowo dan Boechari, 1985/1986, Prasasti Koleksi Museum Nasional jilid I, Proyek pengembangan museum Nasional, Jakarta

• Himansu Bhusan Sarkar, 1972, Corpus of the Inscriptions of Java vol II, Firma K.L. Mukhopadhyay, Calcutta

• Kayato Hardani, Pemakaian Istilah Bahasa Sanskerta Pada Nama Diri Di Dalam Prasasti Poh (827 Çaka); tinjauan perspektif identitas dalam Berkala Arkeologi Vol.38 Edisi No.2 November 2018, hal 116-134

• MM Sukarto K Atmodjo, 1988, Sekitar Masalah Hari Jadi Magelang, tidak diterbitkan 

• W. F, Stutterheim, 1940, “Oorkonde van Balitung Uit 905 A.D (Randoesari I)”, dalam INI 1, hal. 4 – 7.




















No comments:

Post a Comment