28 February 2019

Sejarah Bioskop di Magelang

DINAMIKA PERBIOSKOPAN KOTA MAGELANG MASA KOLONIAL
HINGGA KEMERDEKAAN TAHUN 1920-1960
Oleh: Rispa Achsin Syafi’i
NIM. 12407144005
Abstrak
Secara umum bioskop dan film merupakan salah satu hiburan yang populer
dan murah. Bioskop dapat diartikan sebagai gedung tempat pemutaran film untuk
umum yang dipungut biaya.Awalnya di Indonesia bioskop pertama kali
diperkenalkan di Batavia pada tahun 1903. Keberadaan bioskop merupakan suatu
hal yang baru dan menarik dalam dunia hiburan sehingga bioskop banyak
diminati oleh masyarakat. Begitupula di Kota Magelang, bioskop sudah ada sejak
tahun 1920 dengan nama Cinema Glory. Bioskop dan film merupakan hiburan
yang banyak digemari masyarakat Kota Magelang sejak tahun 1920 hingga akhir
abad ke-20. Perkembangan bioskop di Kota Magelang dipengaruhi oleh
berjalannya sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia, terjadinya perubahan
kekuasaan juga turut mempengaruhi pasang surut perbioskopan di Kota
Magelang. Pada perjalanannya bioskop menjadi suatu sarana hiburan yang sangat
didambakan oleh masyarakat Kota Magelang pada awal hingga akhir abad ke-20.
Hal ini dikarenakan bioskop merupakan wahana hiburan yang baru dan murah.
Penghasilan masyarakat waktu itu tidak hanya diaplikasikan untuk kebutuhan
sehari-hari namun juga diaplikasikan dalam bentuk konsumsi di dunia hiburan
semacam bioskop. Selain itu perkembangan bioskop di Kota Magelang turut
memberi pengaruh terhadap perkembangan gaya hidup masyarakat.
Kata kunci: Bioskop, Gaya Hidup, Kota Magelang
3
A. PENDAHULUAN
Masa pendudukan Belanda di Indonesia tahun 1900-1942 bioskop memiliki
peranan penting sebagai media bagi film untuk menyampaikan pesan mengenai
arti film tersebut kepada khalayak. Bioskop dalam pemahaman populer dapat
diartikan sebagai gedung tempat pertunjukan film ditujukan untuk umum yang
dipungut biaya. Sebenarnya bioskop bukan merupakan hal baru bagi masyarakat
di Indonesia. Bioskop pertama di Indonesia adalah The Roijal Bioscope yang
berdiri pada tahun 1903.1 Pada dasarnya, bioskop berasal dari bahasa Yunani,
gabungan suku kata bios = hidup dan skoein = melihat atau mengamati. Sejak
awal kehadirannya di Indonesia bioskop diterjemahkan sebagai gambar hidoep
yang secara khusus “bioskop” diartikan sebagai tempat bercengkerama
(rendezvous) bagi pembuat (sineas) dengan penggemar / pecinta seni film dan alur
seni.2
Awal sejarah bioskop diperkenalkan di Batavia atau yang sekarang
menjadi Jakarta. Batavia merupakan kota metropolitan yang dicita-citakan sejak
masa pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen untuk dijadikan
sebagai Amsterdam van Java atau Nieuwe Hollandia.3 Aktivitas bioskop
terpampang dan di iklankan di surat kabar Bentang Betawi tentang pemutaran
1 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900-1950, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 12.
2 Johan Tjasmadi, HM. Sejarah Bioskop. (Jakarta: Sinematek Indonesia,
1992). hlm. 3.
3 Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-
1926, (Jakarta: PT. Utama Grafiti, 1996), hlm.10-36.
4
film pertama di Indonesia. Pada kisaran tahun 1900an ini masyarakat Hindia
sudah dapat menikmati film bioskop atau moving image. Bioskop pada awalnya
masih menayangkan film dengan durasi pendek serta gambar bergerak yang tidak
bersuara atau biasanya disebut dengan “gambar hidoep”. Kondisi bioskop belum
permanen melainkan masih berpindah-pindah dengan menyewa gedung saat ada
pemutaran film. Tingginya antusiame masyarakat untuk menonton gambar
bergerak di gedung bioskop mendorong pemerintah untuk mengantisipasi dengan
membuat gedung bioskop permanen terutama di kota-kota besar.
Bioskop kian berkembang tidak hanya di kota-kota besar melainkan kota
kecil seperti Magelang, mengingat bioskop merupakan media hiburan yang murah
dan populer. Faktor lain yang mempengaruhi pembangunan bioskop di Kota
Magelang ialah banyaknya orang Eropa yang mendiami Kota Magelang di awal
abad ke-20, pada saat itu jumlah penduduk Kota Magelang 59.749 jiwa, 4.493
diantaranya orang Eropa.4
Pembangunan bioskop di Magelang sudah direncanakan sejak tahun 1919
yang akan dibangun di sebidang tanah dekat pasar.5 Selain itu pada tahun 1922
bioskop mulai memasuki distrik kabupaten Magelang yaitu Muntilan.6 Terlihat
bahwa perkembangan bioskop tidak hanya berada di kota-kota besar melainkan
merambah hingga daerah kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa popularitas
4 Hj, Souke, Wetenswaardigheden van Magelang, (Magelang, 1935), hlm.
13.
5 Koloniaal Verslag van 1919.
6 Koloniaal Verslag van 1922.
5
bioskop mengalahkan seni pertunjukan opera stamboel dan sandiwara7 yang pada
era 1900 hingga 1930 memang menjadi seni pertunjukan yang banyak digemari.
Adapun beberapa bioskop di Magelang pada era kolonial Belanda tahun 1920
hingga pasca kemerdekaan 1990 ialah, Bioskop Alhambra, Bioskop Roxy,
Bioskop Kresna, Bioskop Bayeman, Bioskop Kartika, Bioskop Mutiara,
Rejowinangun Theatre, Bioskop Globe, Bioskop Magelang Theatre dan Tidar
Theatre.8
B. KEADAAN UMUM KOTA MAGELANG PADA AWAL ABAD KE-20
Magelang merupakan salah satu kota kecil yang berada di Jawa Tengah.
Kota ini dapat dibilang salah satu kota yang unik karena secara geografis Kota
Magelang terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Nama Magelang barangkali
sudah ada sejak masa kerajaan Mataram Kuno. Salah satu legenda yang beredar
menceritakan mengenai petani yang datang bersama istri dan anak perempuannya
dalam perjalanan untuk mencari sebidang tanah yang subur. Anak perempuan
tersebut sontak berteriak saat mengetahu gelangnya hilang dengan mengatakan
“Ma, gelangku!!”. Kemudian ayahnya mencari gelang anak perempuannya
tersebut. Bersamaan dengan ditemukan gelang anak perempuan tersebut, sang
ayah juga menemukan sebiadang tanah yang subur. Kemudian mereka menetap di
7 Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan
Seni Media, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 110.
8https://koetatoeamagelang.wordpress.com/2013/02/04/sejarahperbioskopan-
di-kota-magelang-gambar-hidoep-jang-soedah-redoep/. diakses 17
Maret 2016, pukul 20.00.
6
tanah tersebut dimana tempat gelang itu ditemukan.9 Menurut sumber lain
dikatakan bahwa Magelang berasal dari kisah dikepungnya Kyai Sepanjang oleh
prajurit Mataram secara temu gelang yang berarti kepungan tersebut merapat
membentuk lingkaran seperti gelang. Ada pula yang mengkaitkan nama Magelang
dengan kondisi geografis dan topologi daerah Kedu yang berbentuk “cumlorot”
atau berbentuk cekung kedalam yang semakna dengan gelang.10 Sumber lain yang
paling populer mengenai asal usul penamaan Magelang mengatakan bahwa
Magelang berasal dari dua kata yaitu maha dan gelang.11 Kata maha berarti besar
dan gelang berarti melingkar yang merujuk pada gunung-gunung yang melingkar
mengelilingi Magelang. Adapun gunung-gunung tersebut antara lain Gunung
Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Andong,
serta Gunung Telomoyo. Sehingga dapat diartikan bahwa Magelang ialah gelang
yang besar, karena jika ditilik dari ketinggian gunung-gunung tersebut mirip
dengan gelang yang sangat besar.12
Magelang mulai dirintis pada masa pemerintahan Danoeningrat I.
Pembangunan-pembangunan seperti membuat alun-alun kota, Masjid Agung,
Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB), bahkan pembangunan rumah
dinas bupati dilakukan pada masa pemerintahan Danoeningrat I. Pada masa
9 HJ Sjouke, Wetenswaardigheden van Magelang, op.cit., hlm. 9.
10 Kusumawati, dkk, Membaca Magelang, (Magelang: Corner Book, 2013),
hlm. 17.
11 R Nessel van Lissa, Magelang Middlepunt van de Tuin van Java,
(Magelang: voor Stadgementee Magelang, 1936), hlm. 21.
12 Ibid.
7
selanjutnya yaitu tahun 1818 Magelang dipilih menjadi ibukota Karisidenan
Kedu. Hal ini dikarenakan Magelang memiliki letak yang strategis antara jalan
raya Yogyakarta-Semarang. Sejak saat itu pula Magelang kemudian memiliki
identitas sebagai kota transit.13 Perguliran pemerintahan di Magelang nantinya
jatuh di tangan Belanda yang kemudian mulai menduduki Magelang.
Budaya masyarakat Kota Magelang pada awal tahun 1900 masih
tradisional, masyarakat masih menjaga budaya Jawa. Pada masa 1900 hingga
tahun 1920 masyarakat Magelang belum mengenal modernisasi, interaksi sosial
masih diadakan dalam lingkup pribadi, contoh jika berkumpul dengan teman
masih dilakukan di rumah. Budaya seperti keluar malam tidak banyak dilakukan
oleh masyarakat Kota Magelang dikarenakan tidak adanya hiburan yang bisa
diakses malam hari oleh orang-orang pribumi. Keberadaan tempat-tempat hiburan
tersebut tidak sembarang bisa diakses oleh umum, hanya orang-orang yang
memiliki status sosial tinggi dan memiliki uang yang cukup yang dapat
mengakses dunia hiburan semacam rumah candu dan societeit. Bahkan societeit
tersebut hanya diperbolehkan untuk orang-orang Belanda.14 Perbedaan stratifikasi
sosial mempengaruhi budaya sosial masyarakat di Kota Magelang. Orang pribumi
yang menjadi dasar dari stratifikasi tersebut tidaklah bebas dalam mengakses
tempat-tempat hiburan yang ada di Kota Magelang, disisi lain pendapatan orang-
13 Pemerintah Kota Magelang, Selayang Pandang Kodya Dati II Magelang,
(Magelang: Pemerintah Kota Magelang, 1970), hlm 2.
14 https://koetatoeamagelang.wordpress.com/2013/03/0/sejarah-societeit-dikota-
magelang/. diakses pada 1 November 2016, pukul 23.10.
8
orang pribumi yang kebanyakan petani tidak cukup untuk membayar untuk akses
hiburan.
Secara geografis Magelang berada di tengah-tengah wilayah Jawa, juga
terdapat Gunung Tidar di tengah kota yang sering disebut sebagai paku Pulau
Jawa. Posisi Magelang juga sangat strategis yang berada pada titik tengah antara
Yogyakarta dengan Semarang dan juga berada pada persimpangan antara
beberapa kota di Jawa Tengah. Kota Magelang terletak 75 km sebelah selatan
Kota Semarang, 43 km arah utara Yogyakarta, dan 43 km timur laut Kota
Purworejo serta hanya 22 km dari Temanggung. Jarak yang sangat strategis dan
dapat dikatakan tidak terlampau cukup jauh. Jarak yang tidak cukup jauh ini
memberi kemudahan terutama dalam bidang pemasokan barang, kedekatannya
dengan kota-kota kecil lainnya menjadikan kota ini berkembang dan seolah
menjadi mediator antara kota besar dan kota kecil lainnya. Selain itu Magelang
juga berperan sebagai jalur wisata yang menghubungkan antara Borobudur -
Dieng - Ketep Pass dan Kopeng.
Berada pada kawasan yang dikelilingi pegunungan membuat Magelang
memiliki tanah yang subur. Oleh karena itu sebagian masyarakat di Magelang
telah mengenal sistem pertanian sejak lama. Selain budidaya tanaman palawija,
sayur dan buah-buahan masyarakat di Magelang juga membudidayakan tanaman
padi sebagai makanan pokok masyarakat. Pengairan sederhana untuk mengaliri
sawah-sawah padi sudah mereka kenal dengan membendung sungai-sungai kecil
di sekitaran pemukiman untuk dialirkan ke sawah-sawah.15 Masyarakat Magelang
15 A. M Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di
Karisidenan Kedu 1800-1890, (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 43.
9
yang bermukim pada dataran rendah lebih banyak menanam tanaman palawija,
sayur dan buah-buahan. Memiliki tanah yang subur menjadikan masyarakat
Magelang mayoritas berprofesi sebagai petani. Dapat dikatakan mata pencaharian
utama masyarakat Magelang ialah bertani. Sejak zaman kolonial Magelang sudah
memiliki areal pertanian yang luas, namun komoditas yang dihasilkan dari lahan
pertanian tersebut hanya karet dan pala. Terbukti dengan adanya nama daerah
yang merupakan bekas kebun karet dan kebun pala yaitu Kampung Karet dan
Kampung Kebonpolo.16 Para petani tinggal berkelompok di dukuh-dukuh atau
desa-desa yang dikelilingi sawah dan tegal bahkan tepi jalan besar.
C. DINAMIKA PERBIOSKOPAN DI KOTA MAGELANG TAHUN 1920-
1960
Keberadaan bisokop-bioskop di Kota Magelang tidak terlepas dari
kebutuhan bangsa kolonial akan sarana hiburan yang baru dan menarik.
Kebutuhan akan bioskop disebabkan karena maraknya industri perfilman di
Batavia yang merupakan pusat dari perfilman di Hindia-Belanda. Bisokop
menjadi hiburan yang baru dan menarik yang kebanyakan dinikmati oleh
kalangan menengah atas yaitu bangsa-bangsa Eropa. Sarana hiburan yang
dikatakan memiliki segudang tekhnologi mutakhir pada abad itu, baru rencana
16 Kantor Statistik Kabupaten Magelang, Kabupaten Magelang hasil
Registrasi Penduduk akhir 1993, (Magelang: Pemda dan Kantor Statistik
Kabupaten Magelang, 1993), hlm. 33.
10
dibangun di Magelang pada tahun 191917 yang kemudian dikenal pertama kali
setelah berdiri sebagai gedung bisokop Globe dekat dengan pasar Rejowinangun.
Hal ini cukup lambat pada bidang pembangunannya jika dibandingkan dengan
wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Pada wilayah Surakarta sudah dibangun
bioskop pada tahun 1914 kemudian disusul berdirinya bioskop di Kota
Yogyakarta pada tahun 1916.
Mulai dari sinilah bioskop mulai marak dibangun baik oleh orang Eropa
maupun orang Tionghoa. Selanjutnya bioskop-bioskop mulai bertambah hingga
kisaran tahun 1980. pada rentang waktu itu terjadi perkembangan-perkembangan
dan dinamika pada perbioskopan di Kota Magelang. Banyak pasang surut serta
buka tutup gedung-gedung bioskop pada rentang waktu 1920 hingga 1960-an.
Banyak faktor yang menyebabkan bioskop mengalami masa-masa keemasan, di
samping itu banyak pula gejolak-gejolak yang menyebabkan bioskop juga kian
meredup.
Perkembangan bioskop di Magelang dimulai pada tahun 1919, masa itu
pemerintah Belanda yang berada di Kota Magelang mulai menyusun perencanaan
pembangunan gedung bioskop di dekat pasar Rejowinangun.18 Pembangunan
bioskop tersebut belum terealisasi, namun pada tahun 1920 Kota Magelang sudah
memiliki gedung bisokop (tobong) dengan nama Bioscoop te Magelang
sebenarnya terdapat nama dari gedung tersebut yang tertera sebuah tulisan di
gedung tersebut Cinema Glory. Film yang diputar pada tahun 1920 ialah The
17 Verslag van 1919,
18 Koloniaal Verslag van 1919.
11
Broken Coin. Gedung tersebut tidak bertahan lama dikarena sifatnya yang tidak
permanen. Selanjutnya berdirilah bioskop Globe di dekat pasar Rejowinangun,
tidak jelas tahunnya namun bioskop ini merupakan bioskop kelas bawah dan
merupakan gedung permanen di Magelang. Sebelum adanya bioskop Globe
pembangunan bioskop di Kota Magelang mulai dirintis oleh orang-orang
Tionghoa. Tahun 1920 mulai dibangun bioskop Al-Hambra oleh Sie Wie Tjioe
yang menjadi tempat favorit bagi orang-orang Belanda.19
Kekalahan Belanda dari Jepang menyebabkan pergantian kekuasaan di
bumi Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Perubahan penguasa di bumi
Nusantara pada Maret 1942 ini mengakibatkan terhentinya semua kegiatan
perfilman pada waktu itu secara serentak. Jepang berusaha mengambil simpati
masyarakat pada awal kependudukannya, hal itu ditujukan agar Jepang mendapat
bantuan dan dukungan dari masyarakat pribumi guna melawan Amerika Serikat.
Kedatangan Jepang pada Perang Dunia II ini ternyata memiliki dampak yang
buruk bagi dunia perbioskopan di Indonesia pada umumnya. Masa Perang Dunia
II suasana tidak begitu kondusif, ketika aliran listrik dipadamkan dengan sengaja
oleh pemerintah Jepang yang menjadikan seluruh wilayah Indonesia menjadi
gelap seperti yang dikabarkan majalah Pertjatoeran Doenia dan Film edisi 1
februari 1942.20 Segala bentuk kesenian pada masa itu dijadikan sebagai alat
propaganda untuk Indonesia, bahwa Jepang bersungguh-sungguh menjalankan
19 https://koetatoeamagelang.wordpress.com/2013/02/04/sejarahperbioskopan-
di-kota-magelang-gambar-hidoep-jang-soedah-redoep/. diakses
pada 17 Agustus 2016, pukul 23.40.
20 S. M Ardan, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks, (Jakarta: GPBSI, 1992),
hlm. 30.
12
gagasan untuk mewujudkan kemakmuran bagi Asia Timur Raya. Melalui berbagai
kesenian inilah Jepang melancarkan segala propagandanya termasuk
menggunakan film dan bioskop sebagai alat propaganda yang paling menjanjikan.
Pada tahun 1942-1945 bioskop di Indonesia juga Kota Magelang mengalami
kelumpuhan alias kemunduran, dikarenakan fungsi bisokop tidak dijalankan
dengan semestinya sebagai media hiburan.
Namun tidak selamanya biokop lumpuh di Indonesia, kehadiran Jepang
sejak tahun 1942 tidak berlangsung lama hingga proklamasi digemakan di
Indonesia pada bulan Agustus 1945 oleh Soekarno. Kekalahan Jepang dari tentara
sekutu pada PD II dengan dibomnya pusat kota di Jepang yaitu Hiroshima dan
Nagasaki membuat pemerintahan pusat di Jepang menjadi lumpuh total. Saat
itulah kemudian Indonesia memerdekakan dirinya membebaskan diri dari
belenggu penjajahan Jepang yang kian lemah. Telah sampailah Indonesia pada
babak baru yaitu masa kemerdekaan yang memiliki pemerintah sendiri. Indonesia
masa awal kemerdekaan memiliki kepala negara Ir. Soekarno dan wakilnya Moh.
Hatta. Perubahan pemerintah tentunya mempengaruhi perubahan sistem dan
kebijakan yang berlaku di segala bidang, begitu pula terjadi perubahan wajah pada
dunia perbioskopan yang memasuki babak baru pada masa kemerdekaan yang
mengalami perombakan di berbagai sisi.
Pada awal dasawarsa 1950-an memang sarat akan bangkitnya kembali
dunia perbioskopan di Indonesia. Banyak bioskop-bioskop yang tadinya jatuh
mulai bangkit lagi. Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi kebangkitan
bioskop ini yang pertama yaitu munculnya perusahaan-perusahaan film yang
diprakarsai oleh orang-orang pribumi sendiri, seperti Haji Usmar Ismail dan
13
Djamaludin Malik. Kedua yaitu lahirnya IPEFI (Ikatan Pengusaha Film
Indonesia) pada 19 Februari 1953, yang diketuai oleh Mr. Liem Tiong King.21
Impor film mulai ditangani secara serius dan volume film yang masuk semakin
besar. Terdapat organisasi Importir dengan nama GIFI (Gabungan Importir Film
Indonesia).22 Masa ini dunia perfilman dan perbioskopan mulai diorganisir secara
serius dan rapi, itulah mengapa masa ini disebut sebagai “fase pulih kembali”.
Peningkatan bioskop juga sangat fluktuatif, tercatat pada jangka waktu 1951-1953
tidak kurang dibangun sekitar 513 bioskop di seluruh Indonesia.23 Dapat diartikan
pada masa ini perkembangan iklim industri bioskop cukup kondusif. Pada fase ini
banyak bioskop dibangun di Kota Magelang dan dapat dikatakan Peningkatan
gedung bioskop di Kota Magelang berada pada tahun 1950-1960.
D. PENGARUH BIOSKOP DI KOTA MAGELANG TAHUN 1920-1960
Memasuki abad ke-20 ketika dunia modern dan semangat liberalisasi
sepenuhnya hadir di masyarakat kota Magelang, bioskop menjadi suatu hal yang
berpengaruh dalam bidang sosial. Adanya tempat-tempat hiburan bergaya Eropa
seperti Societeit dan gedung bioskop, merupakan tempat hiburan yang penuh
dengan diskriminasi. Hal ini disebabkan karena hanya golongan Belanda dan
priyayi tingkat tinggi saja yang diperbolehkan untuk masuk dan menikmati
21 Haris Jauhari, Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 53.
22 Ibid.
23 S.M Ardan, op.cit., hlm. 61.
14
hiburan tersebut.24 Adanya bioskop justru semakin memperlihatkan perbedaan
kelas sosial yang ada di kalangan msyarakat. Pada masa kolonial bioskop dibagi
menjadi beberapa kelas dan setiap kelas tersebut memiliki pengunjungnya
masing-masing. Penduduk pribumi yang memiliki status sosial yang rendah hanya
dapat menikmati film di bioskop pada kelas kambing, Hal ini sangat berbeda
dengan para kaum elit dari golongan Eropa dan priayi yang dapat mengakses
ruang utama atau kelas utama dalam pemutaran film di bioskop.
Adanya bioskop juga dapat merubah perilaku dan gaya hidup masyarakat,
tergantung film apa yang masyarakat konsumsi. Film dan bioskop pada dasawarsa
1950-1960 an sudah menjadi gaya hidup (life style) untuk masyarakat Kota
Magelang. Perubahan sikap dan sosial setelah melihat film di bioskop masyarakat
Kota Magelang sendiri terkesan terpengaruh dengan apa yang mereka lihat,
seperti halnya sikap, karakter, maupun gaya berpakaian. Dapat dikatakan
kecondongan masyarakat Kota Magelang kala itu mengikuti trend yang ada di
film yang diputarkan bioskop kala itu. Gaya berpakaian masyarakat Kota
Magelang sudah berubah pada tahun-tahun tersebut dan lebih menarik
dibandingkan dengan memakai jarik.
Keberadaan Bioskop di Kota Magelang juga mempengaruhi dalam bidang
perekonomian Kota Magelang. Pengaruh dalam bidang perekonomian kota
tersebut dikarenakan pajak yang dibayarkan oleh bioskop di Kota Magelang,
selain pajak gedung bangunan terdapat pajak tontonan yang harus ditanggung
24 Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa
Masa Kolonial 1870-1915, (Yogyakarta: Tarawang, 2000), hlm. 194.
15
bioskop. Pajak tontonan merupakan pajak yang dipungut atas pertunjukkan atau
keramaian, misalnya pertunjukkan sandiwara, wayang, bioskop, cabaret, pameran,
pasar malam, musik, olah raga dan lain-lain. Pertunjukkan dan keramaian dengan
pembayaran uang masuk.25
Patut kita sadari bahwa keberadaan bioskop dan film juga turut serta
menjadi faktor penggeser seni-seni pertunjukan budaya lokal. Pengaruh budaya
Eropa yang ditiru oleh kaum pribumi tidak terlepas karena keberadaan bioskop di
Kota Magelang. Bentuk seni pertunjukan dalam bentuk baru tersebut mampu
membaawa kecenderungan baru yang disukai dan digemari oleh masyarakat
pribumi. Iklim di perkotaan yang sangat padat akan waktu merupakan alasan yag
pasa mengapa hiburan berbau modern lebih digemari dibandingkan dengan
hiburan lokal. Hal ini dikarenakan hiburan jenis film di bioskop ini memiliki
waktu yang sangat cocok akan padatnya pekerjaan di kota yang sangat ketat akan
waktu. Jika dibanding dengan hiburan lokal yang menyita banyak waktu
kecenderungan hiburan film yang memiliki waktu singkat memang tepat untuk
sekedar melepas lelah. Suasana seperti ini pernah terjadi di daerah Surakarta
dimana hiburan lokal seperti wayang, ketoprak, tari klasik, dan musik tradisional
sudah terkikis oleh pesaing baru di dunia hiburan seperti bioskop, musik modern,
opera, sirkus dan sebagainya.26 Kecenderungan tersebut kemungkinan terjadi di
Kota Magelang pada masa kolonial, mengingat adanya banyak bangsa Eropa yang
menempati wilayah Kota Magelang.
25 Dullles Charles, Dasar-Dasar Pajak Penghasilan, (Jakarta: Intergrita
Press, 1985), hlm. 19.
26 Bedjo Riyanto, op.cit., hlm. 194.
16
E. KESIMPULAN
Bioskop-bioskop di Kota Magelang tidak terlepas dari kebutuhan bangsa
Kolonial akan hiburan yang baru dan menarik. Banyaknya bangsa asing yang
menempati Kota Magelang menjadi salah satu alasan dibangunnya bioskop di
Kota Magelang, selain itu banyaknya pelajar masa itu juga menjadi alasan lain
dibangun gedung-gedung bioskop di Kota Magelang. Harga tiket yang murah
menjadikan bioskop pada waktu itu digemari oleh kalangan pelajar. Mengingat
Kota Magelang merupakan kota yang indah pada waktu itu banyak wisatawan
yang datang berkunjung untuk bereksplorasi. Melihat potensi tersebut maka
bioskop menjadi suatu fasilitas tambahan dalam dunia hiburan yang juga dapat
dinikmati oleh para wisatawan yang berkunjung di Kota Magelang.
Perkembangan bioskop pada tahun 1930 mengalami pasang surut di
karenakan kalah saing dengan hiburan lain seperti tonil dan operet. Selain itu tiket
bioskop juga terbilang mahal bagi rakyat kecil dan alhasil mendapat pengunjung
yang sedikit dan tidak sesuai dengan harapan. Namun pada tahun 1916 setelah
dikeluarkannya ordonasi bioskop yang membuat bioskop dibagi dalam dua kelas
membuat bioskop mulai ramai didatangi pengunjung termasuk rakyat kecil.
Bioskop mulai mengalami kejayaan pada masa Belanda dan sukses
membentangkan layarnya di Indonesia termasuk di Kota Magelang. Maraknya
bioskop Alhambra dan Roxy pada masa pemerintahan kolonial tidak bertahan
lama.
17
Keberadaan bioskop di Kota Magelang merupakan hal yang istimewa bagi
Kota Magelang dan masyarakatnya, hal ini kemudian menjadikan bioskop
berpengaruh terhadap Kota Magelang dan masyarakatnya. Pengaruh bioskop
tersebut menimbulkan dampak yang positif dan juga negatif. Pengaruh dan
dampak positif yang diberikan bioskop terhadap rakyat Kota Magelang ialah
terciptanya sebuah modernisasi, namun penyerapan yang terlalu berlebihan
menimbulkan pengaruh negatif bagi sosial masyarakat Kota Magelang yang
kemudian mengadopsi budaya barat dengan meniru gaya hidup serta pola
perilakunya (westernisasi). Selain itu bioskop berpengaruh dan memberi dampak
positif bagi pertumbuhan ekonomi Kota Magelang. Adanya bioskop menjadikan
Kota Magelang memiliki tambahan pemasukan melalui pajak tontonan yang
dikenakan pemerintah daerah melalui bioskop.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arsip
Koloniaal Verslag tahun 1919.
Koloniaal Verslag tahun 1922.
Buku dan Artikel
A. M Djuliati Suroyo, Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di Karisidenan
Kedu 1800-1890, Yogyakarta: Tarawang, 2000.
Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa
Kolonial (1870-1915), Yogyakarta: Tarawang, 2000.
Charles, Dulles, Dasar-Dasar Pajak Penghasilan, Jakarta: Intergrita Press, 1985.
Haris Jauhari (ed), Layar Perak; 90 Tahun Bioskop di Indonesia, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Johan Tjasmadi, Sejarah Bioskop, Jakarta: Sinematek Indonesia, 1992.
Kantor Statistik Kabupaten Magelang, Kabupaten Magelang hasil Registrasi
Penduduk akhir 1993, Magelang: Pemda dan Kantor Statistik Kabupaten
Magelang, 1993.
Kusumawati, dkk, Membaca Magelang, Magelang: Corner Book, 2013.
Misbach Yursa Biran, Sejarah Film 1900-1950, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1992.
Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia: Seni Pertunjukan dan Seni
Media, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Pemerintah Kota Magelang, Selayang Pandang Kodya Dati II Magelang,
Magelang: Pemerintah Kota Magelang, 1970.
R. Nessel, van Lissa, Magelang Middlepunt van de Tuin van Java, Magelang:
voor Stadgementee Magelang, 1936.
Souke, HJ, Wetenswaardigheden van Magelang, Magelang: Wahyu Utami, 1935.
S. M. Ardan, Dari Gambar Idoep ke Sinepleks, Jakarta: GPBSI, 1992
sumber :

No comments:

Post a Comment