08 June 2018

ENNY ARROW

Generasi 80an dan 90an pasti mengetahuinya. membaca karyanya dan tumbuh "menggelinjang" bersamanya. meskipun membacanya dengan sembunyi-sembunyi baik di rumah maupun di ruang ruang kelas masa SMA,



inilah nama yang begitu lekat dalam dunia penulisan Indonesia pada 1977-1992. Karya-karyanya paling banyak dibaca generasi muda Indonesia.
Tapi siapakah sebenarnya Enny Arrow, inilah paparan dari Sunardian Wirodono di akun Facebooknya.

Nama sesungguhnya, Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Hambalang, Bogor 1924. Karirnya dimulai sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang. Belajar stenografi di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran seputar wilayah Bekasi.

Pada 1965, Enny Sukaesih menulis karangan dengan judul "Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta". Ini karya pertama ia mengenalkan nama samaran sebagai Enny Arrow. Kata arrow ia dapatkan sesuai dengan nama toko penjahit di dekat Kalimalang. Di toko penjahit "Arrow" itulah Enny Sukaesih pernah bekerja sebagai penjahit pakaian.
Setelah Peristiwa 30 September 1965, suasana politik tidak menentu, Enny Arrow berkelana ke Filipina, Hong Kong, dan kemudian mendarat di Seattle Amerika Serikat, pada bulan April 1967.
Disitulah Enny belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Ia mulai mencoba menulis dan mengirimkan beberapa karyanya ke koran-koran terkenal Amerika Serikat. Salah satu karyanya novel dengan judul "Mirror Mirror".
Tahun 1974, Enny Arrow kembali ke Jakarta, dan bekerja di salah satu perusahaan asing, sebagai copy writer atas kontrak-kontrak¬ bisnis. Semasa kerjanya itulah, Enny rajin menulis novel. Sangat produktif. Salah satunya, "Kisah Tante Sonya", cukup populer, mampu mengalahkan popularitas "Ali Topan Anak Jalanan" Teguh Esha yang hit pada waktu itu. Pada dekade 1980-an, nama Enny Arrow mendapat sambutan luar biasa. Motingo Boesje pun lewat.
Hingga pada kematiannya (1995), tak satupun orang Indonesia tahu siapa dirinya. Warisan semangatnya sebagai penulis, dia menolak bukunya dijual di toko-toko buku besar. Untuk masa kini, sikap kepenulisannya itu nampol banget, untuk toko buku yang                       mengambil 50% dari harga jual buku.

Enny Arrow bukan saja penulis yang berkibar karena karya-karyanya yang penuh desah. Tapi ia juga penantang karya-karya sastra yang berpihak pada kaum pemodal, waktu itu.

Sumber :

Anda yang pada 1980-an menginjak usia remaja atau lebih tua akan tidak asing dengan nama Enny Arrow. Bahkan mungkin Anda pernah membaca karya Enny Arrow secara sembunyi-sembunyi.

Sebaliknya, Anda yang pada era itu belum lahir atau masih balita besar kemungkinan akan gagal memahami lelucon itu. Enny Arrow adalah sosok penulis novel erotis--kalau tak mau disebut porno--paling produktif pada zamannya.

Karya-karyanya beredar luas di masyarakat. Bahkan di eranya, Enny Arrow menjadi legenda sastra stensilan. Yang jadi persoalan adalah, hingga sekarang tak banyak yang tahu siapa sebenarnya Enny Arrow, termasuk pemerintah Orde Baru waktu itu.

Hari Gib, pria yang pernah menghabiskan masa studinya di Universitas Brawijaya Malang, pernah melakukan penelitian sederhana tentang Enny Arrow. Kepada Liputan6.com ia mengatakan, Enny Arrow sebenarnya adalah nama samaran dari penulis aslinya. "Semacam nama pena-lah," katanya.

Bisa dibilang, novel-novel karya Enny Arrow setara dengan VCD atau situs-situs porno internet di zaman sekarang. Tak muluk kiranya, hanya dengan novel Enny Arrow-lah remaja ke atas pada saat itu mengenal pornografi untuk pertama kali.

 

Lalu, Siapa Enny Arrow?

Hari Gib pun blak-blakan berkisah. Enny Arrow, ujarnya, adalah seorang perempuan bernama Eni Sukaisih. Lahir di Hambalang, Bogor, pada 1942 dan wafat pada 1995.

Sebelum menulis novel-novel stensilan yang digemari banyak orang, Eni mulanya adalah seorang jurnalis ketika Republik Indonesia ini masih begitu muda. Lalu pada pemerintahan Sukarno, Eni diketahui pindah ke Amerika Serikat dan bekerja di sana sebagai copywriter.

"Entah apa yang membuat Eni Sukaisih ini kembali lagi ke Indonesia. Saya lupa tahun berapa, tapi di zaman Orba. Pada saat itulah, ia mulai menulis novel-novel erotis," tutur Hari, peneliti sekaligus pengoleksi karya-karya Enny Arrow.

Pada masanya, karya Enny Arrow meledak keras di pasaran. Seri terbarunya sangat ditunggu-tunggu para pembaca. Isinya luar biasa vulgar. Bercerita tentang sepasang manusia sedang bercinta. Lengkap dengan deskripsi yang rinci dan hiperbola. "Saya kira kekuatannya memang pada deskripsinya. Sangat detail. Imajinasi orang pasti sudah ke mana-mana," ujar Hari. 

Cover novel Enny Arrow juga terbilang berani. Tak ada satu pun buku bergambar wanita berpose panas pada saat itu, kecuali karya-karyanya. Dibalut dengan judul yang metaforis seperti, Selembut Sutera, Malam Kelabu, Gairah Cinta, Noda-Noda Merah dan lain sebagainya.
"Rata-rata kalau tidak sembunyi saat membaca, ya disobek covernya agar tidak ketahuan," ujar Hari. 

Anehnya lagi, tak hanya nama penulis, nama penerbit pun disamarkan. Dari ratusan judul yang telah dilahirkan Enny Arrow, hanya tertera Penerbit Mawar. Tanpa nomor telepon apalagi alamat kantor. Para loper buku juga begitu. Semuanya bungkam dan mentok hanya geleng-geleng, tak tahu menahu siapa Enny Arrow.

Hari melanjutkan, novel karya Enny Arrow terbilang sangat murah. Per buku yang rata-rata berisi 40 halaman hanya dihargai Rp.1000. Itu tak sebanding dengan harga kertas pada saat itu. Lalu dari mana Eni Sukaisih alias Enny Arrow dapat untung? Atau memang bukan itu tujuan ia menulis.

Anti Mainstream dan Sindiran Keras Dunia Sastra

Hari mengatakan, kemampuan menulis Eni tak kalah dengan sastrawan sekaliber Angkatan Pujangga Baru atau bahkan Balai Pustaka. Hanya saja, Eni bercerita soal seks dan selangkangan. "Dan kemampuan itu barangkali ia dapatkan sewaktu ia di Amerika sana," ujar Hari.

Kata Hari juga, Eni Sukaisih sebenarnya ingin menyindir karya-karya sastra pada saat itu. Menurut dia, sastra yang berkembang saat itu terlalu eksklusif dan normatif.

"Kecenderungan Eni, dia orangnya anti-mainstream. Tidak memikirkan royalti contohnya. Dia ingin menelurkan karya yang segar, itu saja. Dan setiap orang berhak membaca. Bahkan kelas menengah ke bawah sekali pun," katanya.

Benar saja. Jika dicermati, karya Enny Arrow sebenarnya mengajarkan kebaikan juga. Namun dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, Eni selalu membuat cerita tokoh dalam bukunya happy ending.Seburuk apa pun yang telah dilakukan tokoh itu, pada akhirnya si tokoh akan mendapatkan ganjaran yang setimpal lalu bertobat.

"Walau sebenarnya berisiko, itu yang membuat Enny Arrow tak pernah ditinggalkan pembacanya," kata Hari meyakinkan
Pada akhirnya, setiap tulisan pasti akan menemukan pembacanya masing-masing. Tak terkecuali karya-karya Enny Arrow. Biar bagaimana pun orang memaknainya, ia pernah meramaikan khazanah kesastraan Indonesia. Walau sosoknya tak pernah dikenal orang apalagi diceritakan di buku-buku pelajaran, Enny Arrow tetap punya tempat di hati para penggemarnya hingga sekarang.

Sehingga apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer ada benarnya, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dan dari guyonan di seminar itu, Enny Arrow tak pernah benar-benar dilupakan pembacanya. Hingga saat ini, karya-karya Enny Arrow pun masih sering dicari di toko-toko onlinekendati langka dan mahal harganya.




















No comments:

Post a Comment