Showing posts with label apdn. Show all posts
Showing posts with label apdn. Show all posts

03 September 2020

Tentang Sejarah Magelang - HOTEL KOPENG KINI : Bentuk Interior Lobby Hotel Kopeng yang Mencoba Mengais Kejayaan Masa Lalu

 

HOTEL KOPENG KINI : Bentuk Interior Lobby Hotel Kopeng yang Mencoba Mengais Kejayaan Masa Lalu

Jika kita masuk kedalam lobby eks Hotel Kopeng, kita akan langsung bisa merasakan kesan kekunoan banguan ini. Ketika saya masuk kebagian dalam bangunan kesan “singup” dan gelap langsung terasa meskipun diluar cuaca cukup cerah. Entah perasaan saya saja atau memang lampu dalam ruangan yang memang tidak dinyalakan.

Pintu masuk bangunan utama berupa pintu geser berbingkai kayu dan kaca yang dipenuhi oleh sticker promosi. Lantai lobby terbuat dari tegel hitam polos. Sebagian besar perabotan yang ada berupa perabotan berbahan baku kayu yang ditiap - tiap itemnya diberi stempel inventaris barang milik TNI. Pada bagian dinding sebagian besar dilapisi oleh kayu dan batu bata ekspos yang memang memberikan kesan hangat dimalam yang dingin dan berkabut.

Dibagian kiri lobby terdapat meja biliar datu tungku perapian yang memiliki cerobong. Sebuah senapan kuno (muskeet?) dan kerangka kepala rusa dipajang diatasnya. Dua ikat kayu bakar ada dibagian depan perapian. Dibalik cerobong ini, terdapat sebuah ruangan hasil renovasi dan perluasan tahun 1938 karya Bouwkindig Bureau H. Pluyter asal Magelang. Toilet laki - laki dan perempuan terletak tidak jauh dari sana. Jendela kaca memanjang membujur memberikan pandangan ke arah kolam renang. Namun sayangnya tertutup oleh sticker.

Pada bagian tengah sebuah tangga mengarah ke lantai dua tegak lurus dengan pintu masuk. Di kanannya, meja resepsionis sekarang berdiri. Dulunya, tempat ini merupakan bar dengan kursi kulit berwarna merah. Langit - langit lobby hotel yang rendah sekarang ditutupi oleh lapisan kayu. Dulunya, beberapa lampu gantung mahkota bergaya Tudor pernah bergelantungan diatasnya.

Sebuah ruangan kaca dengan banyak panil kaca disudut kiri lobby digunakan sebagai kantor. Sebuah ruangan yang dulunya banyak diisi dengan meubel bergaya Inggris van der Pool sekarang berubah menjadi stand penjualan souvenir.

Pagi itu, saya memesan bakmi goreng Jawa dan teh panas, sebuah alibi untuk bisa masuk dan mengabadikan jejak kejayaan Hotel Kopeng, Hypermoderne Berghotel di Jawa Tengah.

selesai

Gambar mungkin berisi: orang duduk, tabel dan dalam ruangan

03 July 2020

Akademi TNI Pasang Plang Pathok di Kantor Walikota Magelang

Kompleks Kantor Pemkot-DPRD Kota Magelang Dipasangi Patok TNI, Ada Apa?

Eko Susanto - detikNews
Jumat, 03 Jul 2020 15:49 WIB
Sejumlah prajurit Akademi TNI memasang patok di kompleks kantor Pemkot dan DPRD Kota Magelang, Jumat (3/7/2020). (Foto: Eko Susanto/detikcom)
Kota Magelang - 
Sejumlah prajurit dari Akademi TNI mendatangi kompleks kantor Pemkot dan DPRD Kota Magelang, Jawa Tengah hari ini. Mereka memasang patok di kompleks kantor pemerintah dan legislatif Kota Magelang tersebut.
Pantauan detikcom, prajurit TNI datang naik enam truk bertuliskan Akademi TNI. Setibanya di halaman Pemkot, truk dan dua armada lain diparkir kemudian prajurit melakukan apel.
Setelah itu, prajurit TNI memasang lima patok yang berada di dekat pagar kantor Pemkot Magelang di Jalan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo serta di depan kantor DPRD Kota Magelang.
Patok yang dipasang berwarna putih dan bertuliskan 'Tanah dan Bangunan Ini Milik Dephankam Cq Mako AKABRI/Mako Akademi TNI. Berdasarkan SHP No 9 tahun 1981 IKN No 2020335014, Luas Tanah 40.000 meter persegi'. Adapun pemasangan patok ini dipimpin Komandan Resimen Candradimuka Akademi TNI Kolonel Pas Tri Bowo.
Saat dilakukan pemasangan patok tersebut, tampak sejumlah pegawai Pemkot Magelang menonton dari kejauhan. Terlihat ada yang menonton dari lantai atas ruang kerjanya. Setelah pemasangan patok selesai, prajurit Akademi TNI lantas meninggalkan lokasi.
"Hari ini, kami akan melakukan pemasangan (patok). Ini bermaksud bahwa kepemilikan adalah hak kami yang memiliki sertifikat. Luasnya kurang lebih 40.000 meter persegi," kata Komandan Resimen Candradimuka Akademi TNI Kolonel Pas Tri Bowo di Mako Akademi TNI Kompleks Akmil Magelang, Jumat (3/7/2020).
Sejumlah prajurit Akademi TNI memasang patok di kompleks kantor Pemkot dan DPRD Kota Magelang, Jumat (3/7/2020).Sejumlah prajurit Akademi TNI memasang patok di kompleks kantor Pemkot dan DPRD Kota Magelang, Jumat (3/7/2020). Foto: Eko Susanto/detikcom

"Pemkot Magelang menggunakan aset Mako AKABRI yang saat ini menjadi Mako Akademi TNI. Jadi sebenarnya yang disampaikan oleh pimpinan kami bahwa selama ini, Pemkot perkantorannya menggunakan aset Mako AKABRI sejak 1985. Sementara kami, yang ada di sini, Resimen Candradimuka Akademi TNI, fasilitas yang kami gunakan adalah dari fasilitas Akmil," ujarnya.Menurutnya, sebagaimana yang disampaikan pimpinannya bahwa selama ini Pemkot Magelang perkantorannya menggunakan aset Mako AKABRI sejak tahun 1985. Untuk itu, kata Tri Bowo, kantor Akademi TNI kemudian menempati fasilitas yang ada milik Akmil.
Pihaknya berharap Pemkot Magelang segera pindah. Nantinya kompleks kantor Pemkot Magelang tersebut akan digunakan Akademi TNI.
"Harapannya secepatnya mereka mengambil langkah untuk pindah. Akan digunakan karena kami selama ini numpang di Akmil," tuturnya.
"Perlu saya sampaikan kepada teman-teman pers, saya melihat dokumen yang ada. Aset yang ada di Pemerintah Kota Magelang tahun 1985, 'Pak Menteri Pertahanan waktu itu, Jenderal Soesilo Sudarman menyerahkan kepada Pak Mendagri Supardjo Rustam. Kemudian dari Mendagri kepada Gubernur Jawa Tengah menyerahkan supaya ditempati Kantor Wali Kota Magelang," kata Sigit saat jumpa pers di Pendopo Pengabdian Kota Magelang.Diwawancara terpisah, Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito menjelaskan soal lahan yang saat ini menjadi lokasi kantor Pemkot Magelang. Sesuai dokumen, ujarnya, ada pelimpahan untuk menempati sebagai kantor Wali Kota Magelang. Pelimpahan tersebut terjadi di era Menteri Pertahanan Soesilo Sudarman, Mendagri Supardjo Rustam kepada Gubernur Jawa Tengah terus kepada Pemkot Magelang.
Sigit mengaku tidak mengetahui secara detail terkait dengan persoalan tersebut. Ia mengaku sebagai pendatang baru di Kota Magelang dan persoalan tersebut muncul di era kepemimpinannya.
"Saya kan termasuk pendatang baru 2010. Jadi tidak tahu secara detail sebetulnya berkaitan dengan itu. Dan tentunya seorang wali kota yang di daerah itu, ya tidak tiba-tiba atau berani menempati tempatnya tentara/ABRI. Saya kita nggak mungkin di daerah apalagi ini kapasitasnya nasional, mako TNI di Jakarta. Saya melihat dokumennya yang ada ini, 'seorang wali kota tidak mungkin tiba-tiba kok menempati itu' karena perintah dari Pak Mendagri yang pelimpahan Pak Menteri Pertahanan akhirnya ditempati dan komunikasi dialog berkaitan dengan aset itu kebetulan pas era saya," tutur Sigit.
Sigit melanjutkan, aset yang ada sekarang ini sudah dicatatkan di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sekalipun berdasarkan dokumen sertifikat masih atas nama Mabes TNI.
"Aset ini, sudah saya catatkan juga di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pas di era saya. Saya lihat dokumen memang sertifikat masih atas nama Mabes TNI," katanya.
Menanggapi pemasangan patok hari ini, Sigit menyayangkan. Hal ini mengingat sehari sebelumnya telah dilangsungkan pertemuan di Jakarta yang difasilitasi oleh Sekjen Depdagri.
Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito, Jumat (3/7/2020).Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito, Jumat (3/7/2020). Foto: Eko Susanto/detikcom
"Kejadian tadi pagi, sebetulnya kita sayangkan lah. Kami sehari kemarin rapat di Depdagri ya rapat ini dipimpin oleh Pak Sekjen Depdagri yang menyampaikan segala sesuatunya pergerakannya, ketersediaan anggarannya. Saya sudah menyampaikan pada rapat itu, anggaran kita relokasi untuk COVID-19, tetapi di perubahan penetapan 2021, kita munculkan lagi," ujarnya.
Sigit juga bicara soal permintaan untuk pindah. Menurutnya, jajaran pemerintah di OPD sekarang sangat banyak, kemudian PDAM sendiri juga digunakan untuk melayani masyarakat.
"Terus meminta untuk pindah dan lain sebagainya, 'lha ini waktu rapat saya pimpinan'. Saya katakan tadi, 'wali kota, saya kira tidak tiba-tiba langsung menempati nggak mungkin'. 'Kok wani-wanine' terus sekarang perintah saya minta fasilitasi di Depdagri. Bagaimana mencari pemecahan masalahnya, kami pun dari Pemkot dan Dewan (Ketua Dewan) yang terhormat hadir, juga hadir sudah mengalokasikan. Kalau harus pindah, jajaran pemerintah di OPD, sekarang sangat banyak, tiba-tiba terus PDAM. PDAM sendiri ya juga melayani rakyat, juga penuh. Mesti harus melihat berpikir secara rasional dan berpikir yang jernih," 

Sumber :
https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5078701/kompleks-kantor-pemkot-dprd-kota-magelang-dipasangi-patok-tni-ada-apa/2

05 June 2020

Tentang Sejarah Magelang - Plengkung

Oleh : Es Teler

Di tempt ini jd tempt sy & temn" wktu msih sekolah, buat cri gebetan Ank "SMK pelgkung . Hayo sipa yg pny Cewek Smk dulu

Tentang Sejarah Magelang - DE GROOTE MOSKEE TE MAGELANG 1864

DE GROOTE MOSKEE TE MAGELANG 1864
Sebuah foto tua bergambar bangunan yang konon adalah Masjid Agung Magelang pada 1864 belakangan ini mengusik rasa penasaran saya. Kesana – kemari saya mencoba menanyakan dan mencari data tentang masjid ini serta bentuk arsitektural masjid yang saya anggap agak ‘nyeleneh’ dibandingkan dengan arsitektur masjid kuno Nusantara lainnya. Di dalam foto yang konon di jepret oleh Camerik ini bangunan Masjid Agung Magelang berbentuk segi banyak (polygonomial) dengan atap dua susun serta berkonsep semi terbuka. Sebuah bentuk yang tentunya kurang lazim untuk ukuran masjid setingkat masjid pusat kabupaten di Jawa atau bahakan Nusantara.
Sejarah pendirian Masjid Agung Magelang sendiri bermula ketika Mas Ngabehi Danoekromo yang bergelar Raden Tomenggoeng Danoeningrat I diangkat sebagai Bupati Magelang pertama pasca Geger Sepoy pada 1812. Sebagai bupati baru yang harus memimpin sebuah wilayah yang luas, maka Danoeningrat I kemudian mendirikan beberapa bangunan utama sebagai syarat sebuah pusat pemerintahan pemimpin Jawa. Alun - alun, rumah bupati (regentswoning) dan masjid menjadi hal pertama yang ia bangun diawal kepemerintahannya. Lokasi masjid kemudian didirikan disebelah Barat alun – alun kabupaten sebagaimana umumnya konsep tata letak “Catur Gatra Tunggal” dalam keraton pewaris trah Mataram.
Berdasarkan tradisi lisan masyarakat sekitar, asal usul Masjid Agung Magelang konon dulunya didahului dengan berdirinya sebuah langar yang dibuat oleh Kyai Mudzakir dari Jawa Timur pada abad ke-17. Apakah kemudian Danoeningrat I merenovasi langgar kemudian menjadi sebuah masjid masih belum jelas benar. Namun yang pasti, kondisi Masjid Agung Magelang pada periode awal pemerintahan Danoenigrat I ini diperkirakan masih menggunakan bahan dasar bangunan berupa kayu. Bisa jadi bentuk bangunan Masjid Agung Magelang pada periode ini berbentuk layaknya Masjid Jami’ Baitul Muttaqiin (Masjid Wali / Masjid Tiban) di Trasan, Magelang.
Berdasarkan penuturan Bupati Magelang ke-5, Raden Adipati Ario Danoesoegondo dalam acara persmian renovasi Masjid Agung Magelang tahun 1935, Masjid tersebut pernah mengalami renovasi pada tahun 1832 ketika Raden Toemenggoeng Danoeningrat II memerintah Magelang. Danoeningrat II yang memerintah sejak 1826 – 1862 ini menggantikan ayahnya, Danoenigrat I yang tewas pada 1825 ketika Perang Jawa meletus. Bentuk masjid hasil renovasi pada 1832 tersebut mungkin masih bertahan hingga 1864 dan terabadikan oleh S.W. Camerik, seorang pegawai pemerintah kolonial, seperti yang ada didalam foto. Sudut pengambilan foto kemungkinan berada di sebelah Selatan alun – alun Magelang sekitar depan gedung Landraadgebow (Bank BPD Jateng).
Ketika mencoba melihat dengan seksama, saya sempat mengira bahwa bentuk masjid ini adalah bersegi enam (heksagonal). Namun, setelah bertanya dan berkonsultasi dengan praktisi arsitektur ternyata menurut pendapat beliau didapati bangunan masjid dalam foto 1864 tersebut merupakan bangunan bersegi delapan (oktagonal). Berdasarkan pengamatan, bangunan ini menggunakan konstruksi gabungan antara kayu pada bagian atap dan dinding tembok berbahan dasar bligon (tumbukan bata merah) yang dicampur dengan pasir dan gamping. Terdapat delapan buah tiang penyangga atap pada tepinya dengan jarak antar kolom kurang lebih 4 meter. Kemungkinan bangunan masjid tanpa menggunakan saka guru ditengah karena bentang bangunannya tidak begitu luas. Hal ini tentu saja cukup mengherankan mengingat kebanyakan masjid – masjid tua yang ada di Jawa saat itu mengadopsi denah bangunan segi empat atau bujur sangkar dengan empat tiang utama (saka guru) sebagai struktur utama penopang bangunan ditengah.
Keunikan lain pada Masjid Agung Magelang 1864 ini terdapat juga pada dinding bagian samping yang dibuat rendah dan semi terbuka. Hal ini menyebabkan bangunan masjid cenderung mirip seperti gazebo berdenah oktagonal, tidak seperti masjid – masjid lain pada umumnya di Jawa. Pada masjid – masjid Nusantara, denah bangunan berbentuk oktagonal umumnya berkembang pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 atau setelah Masjid Agung Magelang berdiri dengan bentuk segi delapan. Contohnya seperti Masjid Raya Al Ma’shun Medan yang berdenah segi delapan yang dibangun 1906 , dan Masjid Gantiang di Padang yang direnovasi awal abad ke-20 dengan atap segi delapan dan Masjid Agung Manonjaya Tasikmalaya yang memiliki menara masjid bersegi delapan.
Bangunan Masjid Agung Magelang 1864 menggunakan atap dua susun dengan penutup genting tanah liat. Bentuk atap bersusun pada masjid seperti ini adalah salah satu ciri khas masjid di Nusantara sebagai bentuk akulturasi dengan kebudayaan pra-Islam (Hindu – Budha). Pada bagian kemuncak masjid (mustaka) diberi penutup berbentuk runcing. Kemungkinan kemuncak masjid ini terbuat dari terakota tanah liat yang lebih sederhana.
Masjid dibuat meninggi dengan tangga dibagian kanan dan kiri pintu masuk masjid. Pada ujung tangga naik terdapat pagar pembatas seperti Kelir / Grenteng berventilasi yang kemungkinan berfungsi sebagai pembatas area inti bangunan masjid dan halaman luar masjid. Bagian mihrab (pengimaman) kemungkinan dibatasi dinding sebagai batas sholat (sutrah) sang imam.
Pada tahun 1864 Magelang sudah dipimpin oleh cucu Bupati Danoeningrat I atau anak Danoenigrat II, yaitu Danoeningrat III. Pada masa awal pemerintahaanya, Danoeningrat III melakukan beberapa pembaharuan Masjid Agung Magelang seperty pembuatan maksurah (tempat sholat raja dalam hal ini Bupati), sawiyah ( bilik untuk mengaji di dalam masjid / muadzin adzan) dan mimbar. Pada tahun 1867 bangunan masjid berbentuk segi delapan sudah digantikan dengan bangunan yang lebih megah dan besar dengan bentuk segi empat. Masjid Agung Magelang dengan bentuk baru tersebut selesai pada 1869 dan menjadi model denah masjid yang dipakai hingga sekarang, meninggalkan bentuk masjid oktagonal yang pernah ada. Semoga bisa menjadi bahan diskusi.
Referensi :
Hasil baca buku “Menelisik Sejarah de Groote Moskee Magelang” nya mas Novo Indarto
Hasil ngobrol virtual dengan Pak Umar Iswadi, Pak Denmaz Didotte, dan Mas Jowo
Serta baca artikel lain yang relevan
- Chandra Gusta Wisnuwardana -