11 June 2018

KLITHIH


KLITHIH
Beberapa fenomena kekerasan akhir akhir ini mengemuka, seperti pembacokan di beberapa ruas jalan yang menimpa orang yang sedang melaksanakan aktifitas di jalan. Hal ini membuat kenyamanan warga masyarakat terusik. Penyerangan terhadap warga  menjadi sebuah realitas belum terkikisnya fenomena klithih.
Istilah klithih bukan menjadi hal baru bagi masyarakat Yogya. Klithih atau nglithih dapat diartikan sebagai aktivitas berkeliling kota menggunakan kendaraan yang dilakukan oknum remaja, biasanya mereka diidentifikasikan sebagai pelajar sekolah menengah. Aksi klithih ini lebih cenderung bermakna konotatif. Karena aktivitas yang dilakukan mereka yang nglithih tidak lepas dari aksi vandalisme dan memancing keresahan publik.
Fenomena klithih ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari ruang interaksi dan komunikasi sosial. Dan fenomena ini bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk disorientasi sosial yang terjadi di masyarakat. Secara sosiologis, masyarakat kita sedang sakit, dalam pengertian telah terjadi begitu banyaknya perilaku menyimpang.
Seperti aksi vandalisme, kriminalitas di jalanan (klithih), bunuh diri, dan kekerasan seksual baik pada perempuan maupun anak anak. Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya ternyata justru kerap sekali menjadi sasaran atau target dari perilaku menyimpang tersebut. Suatu paradoks di tengah-tengah masyarakat yang sangat kental dengan tatanan nilai dan budaya.
Perilaku menyimpang yang ditunjukkan dengan aktivitas klithih sebenarnya tidak hadir dalam ruang kosong. Artinya kemunculan klithih sebagai salah satu perilaku komunal yang menyimpang juga dilatarbelakangi oleh keberadaan gerombolan remaja yang menamakan dirinya sebagai geng. Kehadiran geng merupakan keniscayaan bagi para remaja yang secara psikologis menginginkan adanya pengakuan akan keberadaan mereka. Sehingga sangat relevan jika keinginan atas pengakuan tersebut mereka wujudkan dalam bentuk aktivitas fisik, salah satunya dengan melakukan klithih. Bagi mereka klithih merupakan salah satu bentuk pertemanan (friendship) yang menandakan nilai dan ikatan diri.
Berkembangnya perilaku klithih sebagai suatu pilihan untuk menunjukkan eksistensi diri bagi remaja juga dipengaruhi oleh perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Tidak bisa kita pungkiri efek dari globalisasi, di mana salah satunya ditandai dengan keterbukaan media melalui media daring (IT) menjadi salah satu kontributor maraknya aksi-aksi penyimpangan di ranah publik. Aksesibilitas informasi yang begitu cepat dan tanpa batas, pada satu sisi membawa efek negatif bagi preferensi sosial seseorang maupun entitas sosial masyarakat. Mereka yang tidak mampu mencerna dan memilih informasi yang dibutuhkan akan cenderung taqlid dan menjadi suatu kebutuhan untuk dilakukan, tidak terkecuali sebagai bentuk pelampiasan atas sebuah eksistensi diri. Dan keberadaan klithih bukan tidak mungkin diawali oleh informasi-informasi hanya memberikan kebanggaan sesaat.
Pemerintah daerah maupun aparat kepolisian harus segera mengambil tindakan tegas atas perilaku menyimpang ini, jangan sampai kasus-kasus vandalisme dan kriminalitas yang diakibatkan oleh perilaku klithih menjadi momok bagi masyarakat. Karena jika hal ini tidak segera diatasi maka bukan tidak mungkin akan memicu konflik sosial dalam skala yang lebih besar, di mana kemudian muncul aksi kekerasan massa sebagai bentuk kekesalan publik atas oknum klithih. Penanganan atas persoalan ini harus dilakukan melalui pendekatan sosiologis maupun psikologis, agar formulasi kebijakan penanganan mampu dilakukan dengan baik dan tepat sasaran. Mengingat para pelaku klithih secara umum adalah para remaja yang masih duduk di bangku sekolah.
Semua elemen harus sadar dan menyadari adanya perubahan sosial dalam tatanan sosial, tidak terkecuali tatanan sosial pada masyarakat Yogyakarta. Fenomena sosial ini merupakan suatu keniscayaan yang harus diperhatikan dan disikapi dengan bijak. Publik secara nyata menghadapi vandalisme sosial dan kriminalitas yang diakibatkan oleh perilaku tidak bertanggung jawab, oleh karena itulah diperlukan adanya perubahan mindset dan perspektif untuk mencegahnya.
Melakukan pelabelan atas para pelaku klithih bukan solusi yang tepat untuk mengeliminir aksi mereka, karena secara psikologis aksi mereka bisa dipahami sebagai bentuk pencarian jati diri. Pendekatan sosiologis dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dan stakeholder merupakan solusi yang paling tepat. Sehingga akan lahir tatanan sosial yang lebih humanis.
( Sumber : Agung SS Widodo MA. Peneliti Sosial-Politik, Pusat Studi Pancasila UGM. Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 14 Desember 2016)
‘Klithih’ dapat diterjemahkan sebagai sebuah tindakan nekad dari kebanyakan dilakukan oleh anak-anak remaja/Anak Baru Gede(ABG), sosok-sosok  yang masih labil jiwanya, yang konon katanya masih mencari jati diri, namun di implementasi dengan tindakan negatif bahkan tindakan melukai orang lain dengan senjata tajam(sajam).
Tindakan yang melukai orang lain dengan beragam motif bahkan tanpa motif ini, sungguh meresahkan masyarakat. Karena tindakan melukai ini tergolong sadis bahkan brutal, mereka tak bermoral memakai sajam, batangan besi dan lain sebagainya guna melukai korban. Dan ini sungguh melukai semua warga masyarakat bukan hanya korban, karena, hal yang kriminal ini meresahkan, membuat takut dan menjadi momok bagi yang kebetulan keluar malam atau pulang kerja di malam hari.
Tapi hal ini agak sedikit melega karena pihak-pihak kepolisan selaku penegak hukum dan pengayom masyarakat langsung merespon dan bertindak cepat, dengan sering melakukan patroli malam, dan bahkan dengan cepat pula berhasil  menangkap beberapa pelaku tindak kriminal yang lagi ngetren disebut aksi ‘Klithih’ ini.
Klithih/ klitih (klithihan/nglithih) merupakan sebuah (kosa) kata dari bahasa jawa/Yogyakarta, yang mempunyai arti sebuah kegiatan dari seseorang yang keluar rumah di malam hari yang tanpa tujuan. Atau yaa boleh hanya sejedar jalan-jalan, mencari/ membeli makan, nongkrong di suatu tempat dan lain sebagainya. Klitih jika dialih bahasakan ke kosa kata bahasa Indonesia bisa disamakan dengan kata keluyuran. Itulah arti dari kata klitih/klithih.
Memang benar sih konotasi dari kata tersebut menjurus ke hal atau tindakan yang kurang baik, karena sebuah tindakan yang tidak ada kepastian tujuan dari kegiatan ini.
Dan memang tepat juga sih jika banyak orang menyebut aksi anak remaja tanggung yang melakukan aksi melukai orang lain menyebutnya aksi klithih, ya walaupun aksi melukai orang lain merupakan sebuah tindak kriminal, bukan merupakan tindak klithih/ keluyuran.
Beberapa orang mungkin akan bilang kalau di zaman serba modern ini tidak ada lagi yang namanya tawuran remaja. Tidak ada kejahatan yang dilakukan remaja dengan saling baku hantam di jalanan. Remaja era milenial ini akan lebih konsen dengan gadget atau mempercantik atau mempertampan wajahnya agar bisa selfie dan eksis di sosial media.
Ternyata, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta. Aksi kenakalan yang dilakukan oleh seorang remaja masih saja terjadi. Mereka melakukan aksi nglithih dengan mengeroyok anak dari sekolah tertentu menggunakan senjata tajam hingga nyawa korban bisa saja melayang.
Aksi ngelithih yang pernah menggemparkan Yogyakarta bertahun-tahun yang lalu mendadak muncul kembali beberapa hari lalu. Puluhan orang dengan penutup wajah mengeroyok siswa SMA Muhammadiyah I Yogyakarta dan menyebabkan satu korban meninggal dunia.
Sejarah Munculnya Nglithih di Yogyakarta
Nglithih atau lithih memiliki arti berkeliaran di sepanjang jalan. Kata ini akhirnya diadopsi menjadi sebutan aksi menyisiran di jalan guna menemukan anak-anak yang akan dieksekusi. Para tim ngelithih akan menyusuri jalan untuk menemukan anak sekolahan entah SMP atau SMA yang berasal dari sekolah tandingan untuk diajak ke markas.
TKP Nglithih yang Menimpa siwa MUH I [image source]Aksi ngelithih berbeda dengan aksi tawuran yang dilakukan dengan terang-terangan. Aksi ini dilakukan di jalanan secara diam-diam sehingga siapa saja bisa jadi korban. Para pelaku klithih biasanya menangkap dan melakukan penganiayaan dengan tanpa ampun. Tidak jarang, korban dari ngelithih ini meninggal karena luka pada tubuhnya.
Jam-Jam Berjalannya Nglithih di Yogyakarta
Ngelithih biasanya dilakukan dalam beberapa gelombang yang berbeda. Tim nglithih dari sekolah tertentu kerap melakukan penyisiran di jalanan saat jam pulang sekolah. Mereka yang pulang sekolah dan sedang apes bisa terjaring gang nglithih yang mengerikan ini. Selanjutnya, gelombang kedua dilakukan beberapa jam setelah pulang sekolah. Aksi ini dilakukan untuk mencegat pelajar yang sembunyi di sekolah untuk menghindari anggota klithih.
Gelombang ketiga biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Mereka yang  pulang les atau selesai melakukan ekstrakurikuler di sekolah akan menjadi target selanjutnya. Tim nglithih yang biasanya menggunakan sepeda motor dan anggotanya banyak bisa langsung melakukan aksi pembacokan di tempat atau korban ditangkap untuk dianiaya bersama-sama.
Siklus Berlanjut dan Tidak Pernah Putus. Seperti halnya tawuran yang terjadi di Jakarta atau kota besar lain, pelaku adalah korban yang dahulu pernah merasakan kekejaman. Mereka seperti balas dendam dengan apa yang terjadi degan melakukan aksi yang sama. Para anggota nglithih biasanya mereka yang pernah diperlakukan dengan tidak baik di jalanan hingga mungkin nyaris merenggut nyawanya.
Tawuran Pelajar [image source]Dari pengalaman yang sangat mengerikan ini, timbul inisiatif untuk balas dendam sehingga tim nglithih akan terus lahir dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kalau praktik ini tidak segera dihapuskan dari jalanan, bukan tidak mungkin kematian demi kematian akan terus terjadi hingga pelajar di Yogyakarta tidak bisa sekolah dengan tenang.
Aksi nglithih yang sangat meresahkan ini sudah sangat melanggar hukum. Bagaimana mungkin pelajar bisa melakukan aksi mengerikan yang kadang dilakukan tanpa alasan. Asal bisa melakukan aksi anarki, mereka jadi senang sehingga ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyediakan tas berisi senjata untuk aksi yang di luar batas kewajaran ini.
Pelaku yang melakukan aksi nglithih ini sudah melanggar UU perlindungan anak. Meski rata-rata mereka masih berusia 17 tahun, hukuman berat sudah seharusnya diterapkan. Sebelum kejadian nahas yang menimpa siswa SMA Muhammadiyah I, hukuman yang ditetapkan untuk aksi ini adalah 7 tahun. Namun, hukuman cukup lama ini sepertinya tidak membuat pelaku jera dan tetap melakukan aksi-aksinya.

Dari apa yang telah kita bahas di atas, terlihat dengan sangat jelas kalau nglithih sangat mengerikan. Fenomena ini bak bom waktu yang bisa meledak kapan saja sehingga pencegahan sejak dini harus diterapkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Semoga, aksi pembantaian pelajar ini tidak terjadi lagi.
Sumber :



No comments:

Post a Comment