Showing posts with label 1107. Show all posts
Showing posts with label 1107. Show all posts

03 September 2020

Tentang Sejarah magelang - HOTEL KOPENG KINI : Bagian Eksterior Gedung Utama

 

HOTEL KOPENG KINI : Bagian Eksterior Gedung Utama

Setelah lebih dari satu minggu berkutat dengan Hotel Kopeng beserta sisik meliknya, sekarang mari kita lihat kondisi eks-Hotel Kopeng yang digadang - gadang pernah dijuluki sebagai Hotel Pegunungan Hypermodern pada masa kolonial.

Pada tanggal 15 Agustus yang lalu, saya mencoba menelusuri jejak - jejak kejayaan eks-Hotel Kopeng. Bangunan luar gedung utama Hotel Kopeng masih mempertahankan bentuk hasil renovasi ditahun 1950an. Fasade depan lantai satu nampaknya masih mempertahankan wujud asli hasil renovasi lobby tahun 1938 karya arsitek dan bouwbureau H. Pluyter dari Magelang. Ciri khas berupa batu alam yang diekspos memang tren dan banyak dipakai oleh Pluyter pada saat itu. Contoh lain karya Pluyter yang menerapkan konsep serupa juga dapat ditemui pada RK Militair Tehuis (Hotel Wijaya, Poncol, Magelang) dan Hotel Montagne (Eks Polwil Kedu, Poncol, Magelang.

Selain itu yang menarik juga adalah cerobong perapian yang masih ada dan bertahan dari dulu hingga sekarang. Jendela kaca yang lebar dan rendah khas rancangan Pluyter juga masih bisa ditemukan pada fasade bangunan lantai satu.

Untuk bentuk bangunan di lantai dua kebanyakan sudah berubah dari hasil tahun 1938. Sebagai dampak aksi bumi hangus pada tahun 1947-1949, bentuk atap asli yang mengambil konsep rumah Eropa pegunungan sudah berganti dengan atap pelana limasan.

Tentang Sejarah Magelang - HOTEL KOPENG KINI : Kondisi Wisma atau Paviliun eks Hotel Kopeng

 

HOTEL KOPENG KINI : Kondisi Wisma atau Paviliun eks Hotel Kopeng

Sebagaimana diketahui, Hotel Kopeng dulu juga dilengkapi dengan Paviliun - Paviliun yang mengapit di kanan dan kirinya. Paviliun yang ada diatas atau sebelah kanan gedung utama diberi nama Merbabu dan yang dibawah atau sebelah kiri diberi nama Telomoyo. Penamaan paviliun - paviliun tersebut bisa jadi diambil dari view pemandangan yang bisa pengunjung dapatkan dari lokasi dimana mereka menginap. Paviliun Merbabu berada dilokasi yang agak tinggi dengan view pemandangan Gunung Merbabu yang megah sedangkan Paviliun Telomoyo dengan view pemandangan Gunung Telomoyo dan hamparan kampung serta perkebunan sayur. Tidak mengherankan jika Hotel Kopeng dulu berada dilokasi yang sangat strategis untuk berlibur para tuan dan nyonya.

Sisa - sisa kejayaan kedua paviliun di Hotel Kopeng masih bisa didapatkan jika ditilik dari segi bangunan luar. Perubahan fisik bangunan paling kentara bisa dilihat dari atap asli sudah berubah dan berganti dengan yang baru. Jika dibandingkan dengan foto lama, atap bangunan paviliun ini senada dengan atap bangunan gedung utama hotel yang mengambil konsep atap perumahan Eropa pegunungan yang cenderung runcing. Mungkin karena sempat dibakar pejuang selama perang kemerdekaan, maka bentuk renovasi atap kemudian berubah. Atap paviliun di Eks-Hotel Kopeng ini sekarang sudah berganti model dengan gaya “Jengki” khas era 50an yang cenderung asimetris dengan bahan seng.

Meskipun demikian, untungnya dinding dan pondasi paviliun ini masih sama seperti aslinya dulu. Paviliun ini dibagi menjadi beberapa kamar yang masing - masing kamarnya dilengkapi dengan ruang tamu dan kamar mandi dengan mesin pemanas air. Bagian depan paviliun masih dihiasi dengan konstruksi tembok batu bata dengan aksen batu alam ekspos yang memberi kesan kokoh pada bangunan. Garis - garis simetris ada tiang penyangga dinding depan yang menjorok kedepan selain berfungsi sebagai pemisah antar kamar,juga memberi kesan modern pada paviliun ini. Panil - panil jendela dan pintu tiap kamar terbuat dari kaca transparan dan kain tirai digunakan sebagai penutupnya. Mungkin dimaksudkan agar view para tamu yang menginap tidak terhalang.


Tentang Sejarah Magelang - HOTEL KOPENG KINI : Kondisi Wisma atau Paviliun eks Hotel Kopeng

 

HOTEL KOPENG KINI : Kondisi Wisma atau Paviliun eks Hotel Kopeng

Sebagaimana diketahui, Hotel Kopeng dulu juga dilengkapi dengan Paviliun - Paviliun yang mengapit di kanan dan kirinya. Paviliun yang ada diatas atau sebelah kanan gedung utama diberi nama Merbabu dan yang dibawah atau sebelah kiri diberi nama Telomoyo. Penamaan paviliun - paviliun tersebut bisa jadi diambil dari view pemandangan yang bisa pengunjung dapatkan dari lokasi dimana mereka menginap. Paviliun Merbabu berada dilokasi yang agak tinggi dengan view pemandangan Gunung Merbabu yang megah sedangkan Paviliun Telomoyo dengan view pemandangan Gunung Telomoyo dan hamparan kampung serta perkebunan sayur. Tidak mengherankan jika Hotel Kopeng dulu berada dilokasi yang sangat strategis untuk berlibur para tuan dan nyonya.

Sisa - sisa kejayaan kedua paviliun di Hotel Kopeng masih bisa didapatkan jika ditilik dari segi bangunan luar. Perubahan fisik bangunan paling kentara bisa dilihat dari atap asli sudah berubah dan berganti dengan yang baru. Jika dibandingkan dengan foto lama, atap bangunan paviliun ini senada dengan atap bangunan gedung utama hotel yang mengambil konsep atap perumahan Eropa pegunungan yang cenderung runcing. Mungkin karena sempat dibakar pejuang selama perang kemerdekaan, maka bentuk renovasi atap kemudian berubah. Atap paviliun di Eks-Hotel Kopeng ini sekarang sudah berganti model dengan gaya “Jengki” khas era 50an yang cenderung asimetris dengan bahan seng.

Meskipun demikian, untungnya dinding dan pondasi paviliun ini masih sama seperti aslinya dulu. Paviliun ini dibagi menjadi beberapa kamar yang masing - masing kamarnya dilengkapi dengan ruang tamu dan kamar mandi dengan mesin pemanas air. Bagian depan paviliun masih dihiasi dengan konstruksi tembok batu bata dengan aksen batu alam ekspos yang memberi kesan kokoh pada bangunan. Garis - garis simetris ada tiang penyangga dinding depan yang menjorok kedepan selain berfungsi sebagai pemisah antar kamar,juga memberi kesan modern pada paviliun ini. Panil - panil jendela dan pintu tiap kamar terbuat dari kaca transparan dan kain tirai digunakan sebagai penutupnya. Mungkin dimaksudkan agar view para tamu yang menginap tidak terhalang.


28 August 2020

tentang Sejarah Magelang - Sejarah Plat Nomor Kendaraan di Indonesia, Warisan Raffles Yang Abadi Hingga Kini

 

Sejarah Plat Nomor Kendaraan di Indonesia, Warisan Raffles Yang Abadi Hingga Kini

Mobil kuno di halaman Candi Borobudur sekitar tahun 1929 [foto: Tropenmuseum]

Dua Mobil sedang parkir di halaman Candi Borobudur tahun 1929 (foto: Tropen Museum)

Jumlah kendaraan bermotor semakin lama semakin bertambah. Berbagai merek dari berbagai pabrik menjejali jalanan. Dari kendaraan biasa hingga mewah tumpah ruah tak terhitung jumlahnya.

Bahkan di DKI Jakarta diberlakukan plat nomor ganjil genap untuk mengurangi kemacetan.

Tapi tahukah anda, bagaimana sejarah penggunaan plat nomor?

Sejarah Plat nomor di Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan bangsa Inggris di Indonesia.

Tepatnya di tahun 1810, Inggris membawa 15.600 bala tentara dengan menaiki 60 kapal dari daerah koloninya di India yang didatangkan langsung ke Batavia untuk merebut Jawa dari tangan Belanda.

Sejumlah pasukan tersebut terbagi menjadi 26 batalion yang dinamai A-Z. Saat Inggris menduduki Batavia mereka membuat aturan mengenai kendaraan di jalan raya. Inggris kemudian memberi tanda huruf B untuk kereta kuda agar mudah dikenali.

Daftar plat nomor di jaman Belanda tahun 1930-an.

Mengapa huruf B?

Karena wilayah Batavia direbut oleh pasukan batalion B. Penomorannya sama seperti penomoran kendaraan sekarang di mana huruf B di depan diikuti dengan angka.

Setelah Batavia, wilayah yang selanjutnya diduduki pasukan Inggris ini adalah Banten yang dilakukan oleh pasukan batalion A. Kemudian di sana mereka juga menandai wilayah tersebut dengan kode A.

Wilayah selanjutnya yang direbut adalah Surabaya (batalion L) dan Madura (batalion M) pada tanggal 27 Agustus 1811. Wilayah lainnya juga berhasil direbut oleh masing-masing batalion sesuai dengan huruf wilayah plat nomor kendaraan pada jaman sekarang.

Sedangkan Batalion G bergerak menuju Pekalongan sebagai daerah termaju di pantura Jawa Tengah bagian barat,melucuti senjata tentara Belanda dan hingga saat ini penggunaan plat G adalah merujuk pada Batalion G Pasukan Inggris yang mengambil alih kekuasaan di Pekalongan dan sekitarnya.

Mobil bernomor plat AA 6 milik Dokter Bijleveld tahun 1929 di Magelang (foto: KITLV)

Mobil dokter Bijleveld, dokter rumah sakit tentara di Magelang tahun 1929 (foto: KITLV)

Hingga akhirnya keseluruhan pulau Jawa dapat jatuh ke tangan Inggris pada tanggal 18 September 1811.

Di beberapa daerah seperti Magelang (AA), Yogyakarta (AB) dan Solo (AD) memiliki dua abjad.

Mengapa begitu?

Pada saat itu Kesultanan Mataram berdiri sendiri dan belum menjadi wilayah Belanda. Namun pada akhirnya, Kesultanan Mataram menyerah dan bergabung bersama Inggris. Sehingga, di beberapa daerah yang telah disebutkan dibekali batalion A dan batalion B untuk menjaga area Yogyakarta (diberi kode AB). Adapun di area Magelang hanya disediakan batalion A saja sehingga diberi kode AA. Hal serupa juga ditemui di beberapa daerah lainnya.

Setelah Inggris menduduki Jawa, Sir Thomas Stamford Raffles akhirnya membentuk wilayah administratif atau Karesidenan sesuai kode batalion yang disebutkan sebelumnya.

Raffles

Sir Thomas Stamford Raffles

Bahkan, saat Belanda kembali ke Indonesia di tahun 1816, sistem ini masih terus diterapkan hingga ke beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti halnya Sumatera Selatan, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Kini wilayah Karesidenan tersebut lebih dikenal sebagai Ibu Kota maupun Kabupaten.

Plat nomor kendaraan di berbagai wilayah di Indonesia dibedakan sesuai karesidenan yang dahulunya diputuskan oleh Inggris.

Sebuah mobil melintas di depan kantor pos Magelang tahun 1960-an

Sebuah mobil melintas di depan kantor pos Magelang tahun 1960-an.

Namun perlu menjadi catatan bahwasannya kode C, I, J, O, Q, U, V, W, X, Y dan Z tidak diaplikasikan. Pasalnya batalion dengan kode-kode tersebut hanya menjadi pasukan Back-Up saja atau Reserve Unit kala itu. Khusus kode W dan Z memiliki sisi historisnya sendiri yang kini ternyata diaplikasikan tanpa mengadopsi sistem batalion tersebut.

Ya, kode wilayah W untuk Sidoarjo, dahulu masih satu kesatuan dengan Surabaya berkode L. Namun semenjak tahun 2000, Polres Gresik dan Sidoarjo menetapkan kodefikasi sendiri menggunakan huruf W.

Sedangkan Surabaya masih menerapkan kode L di bawah naungan Polrestabes Surabaya. Sama halnya dengan kode Z yang sebelumnya masih berkode D yang merupakan Eks-Karesidenan Parahyangan.

Sejarah plat nomer begitu panjang, lebih dari 200 tahun sudah warisan dari Raffles menjejali jalanan nusantara. Meski ia warisan penjajah, tak mudah untuk mengubahnya.

(Sumber: wag)

 

Sumber :  http://wartamagelang.com/sejarah-plat-nomor-kendaraan-di-indonesia-warisan-raffles-yang-abadi-hingga-kini.html

Wage Rudolf Supratman

 

Ini jepretan kamera 'Toean SOEPRATMAN!'
Iya Wage Rudolf Supratman bung!
Anda tau siapa dia?
Dia wartawan Sin Po, violis, penulis roman dan......?

(Koran Sinpo tahun 1928)

Gambar mungkin berisi: 1 orang, teks yang menyatakan 'pe- memang bagoes sekali dan oepaTa orang-orang ketjil Tionghoa bebrapa tanah particulier jang ka- adahannja djaoe dari bagoes seka- taoe „adres" mana iaorang bisa dapet pertoeloengan perdio boeat dapetken maskipoen seringkali ter- ternjata „Persatoean dengen Sun diboeat waktoe propaganda perge- negri sebagi besar Officier-offi lah tida sikep „saja toendjoekan bab ada bertandak gitan kandjen Jang pertama. Sebab ada satoe peman- djaoe. Sun „berba- tida bisa pegang tika kapal kaleboe, tida soeroe orang pegang mono oekoe orang bisa perkatahan Koleksi: Bagus Magelang „Koetika menikah larang „Tjotjok, kaoe!" Hoedt, Goeroe: kaoe potong Moerid: dari Rechts- hoogeschool Batavia. toean Soepratman, dipotong Moerid:'

Dicari Selama Puluhan Tahun, Lagu Indonesia Raya Karangan WR Supratman Justru Ditemukan di Magelang

 

Dicari Selama Puluhan Tahun, Lagu Indonesia Raya Karangan WR Supratman Justru Ditemukan di Magelang

WR Supratman sebagai cover sebuah buku berjudul ‘Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya’ oleh Kasansengari tahun 1966.
(foto Dok Bagus Priyana)

-Lagu ‘Indonesia Raya’ jelas bukan lagu kebangsaan yang dipaksakan. Ia dilahirkan bersama-sama dengan sumpah Tri Prasetya ‘Satu Bangsa, Satu Tanah Air, Satu Bahasa’ pada tahun 1928-

Begitulah petikan sambutan Kolonel TNI Soekotjo, Wali Kota Kepala Daerah Kotamadya Surabaya di buku berjudul ‘Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya’ tahun 1966

JIKA menengok sejarah, lagu kebangsaan Indonesia yaitu ‘Indonesia Raya’ merupakan karya dari WR Supratman. Lagu ini pertama kali berkumandang di acara Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang mencetuskan Sumpah Pemuda.

Sesudah lagu itu berkumandang, selang 13 hari kemudian, koran Sin Po menerbitkannya dalam bentuk lirik lagu lengkap dengan partiturnya atau not balok berjudul ‘Indonesia’. Koran Sinpo tersebut terbit pada 10 November 1928 dengan edisi nomer 293. Koran Sin Po menjadi media massa pertama yang memuat lagu tersebut. Kelak lagu ini menjadi lagu kebangsaan negara Indonesia berjudul ‘Indonesia Raya’.

Pada saat itu, melihat situasi yang demikian, pemerintah Belanda menganggap lagu itu membahayakan kepentingan penjajahan dan merugikan politiknya. Maka segeralah, diadakan pelarangan menyanyikan lagu itu. Akibat pelarangan itu, arsip lagu itu menjadi langka. Termasuk koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 itu.

Koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 yang memuat lirik dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman pada sisi kanan halam koran
(Foto Dok Bagus Priyana)

Pada 20 Mei 1974, Presiden Soeharto meresmikan sebuah gedung yang dijadikan Museum Sumpah Pemuda. Museum ini merupakan museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat dan dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Gedung ini dulunya merupakan tempat berlangsungnya Kongres Pemuda II pada tahun1928 silam.

Museum ini memiliki koleksi foto dan benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Sumpah Pemuda 1928, serta kegiatan-kegiatan dalam pergerakan nasional kepemudaan Indonesia. Sebagai museum khusus, koleksi museum ini terdiri dari koleksi yang berhubungan dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Pada tahun 2007, keseluruhan koleksi berjumlah 2.867 koleksi, salah satunya adalah biola milik WR Supratman.

Meski sudah berdiri sejak 1974, museum ini berusaha untuk mencari koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 untuk melengkapi koleksinya. Edisi koran ini sangat penting sekali mengingat menjadi bagian penting perjuangan bangsa Indonesia.

Setelah proses pencarian selama 46 tahun, koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 akhirnya berhasil diketemukan tim Museum Sumpah Pemuda. Lokasinya justru ada di Magelang. Adalah koleksi milik founder dan koordinator di komunitas sejarah KOTA TOEA MAGELANG, yakni Bagus Priyana.

Tepat pada Selasa Wage 11 Agustus 2020, tim Museum Sumpah Pemuda yang terdiri dari empat orang berkunjung ke Magelang yaitu Eko Septian (Kurator), Eli Herlina (Registrar) dan Setyo Wahyuni (Konservator), dan Hidayatul Wildan (dokumentasi). Proses penyerahan koleksi ke museum tersebut dilakukan di rumah Bagus Kampung Dukuh di Kelurahan Magelang.

Lirik lagu dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman yang dimuat di koran Sin Po edisi nomer 293 tanggal 10 November 1928 pada sisi kiri (foto Dok Bagus Priyana)

Bagus Priyana mengatakan, Koran Sin Po sendiri berbentuk majalah, tapi lebih populer disebut dengan koran. Ukurannya sama dengan ukuran majalah sekarang ini. Bentuknya dalam satu bendel berisi 15 edisi dari edisi nomer 288 hingga 303 (minus edisi nomer 292) dengan tanggal terbit dari 6 Oktober 1928 hingga Januari 1929. Sedangkan yang memuat lagu ‘Indonesia’ ada di edisi nomer 293 10 November 1928. Sin Po sendiri terbit setiap 2 mingguan.

Bagus mengaku, dirinya sudah memiliki koran Sin Po itu sekitar tahun 2016. Ia mendapatkannya dari seorang relasinya. Kondisi sampul bendel dilapisi kertas tebal yang sudah berlubang karena dimakan kutu. Tetapi bagian dalamnya masih terjaga dengan baik.

Bagus mengatakan, awalnya, ia kurang begitu paham dengan koran tersebut. Namun karena ketekunan dan kesukaannya mengumpulkan sumber atau data sejarah, koran tersebut pun berhasil dikoleksinya.

“Saya merasa tergugah kesadaran nasionalismenya, ketika museum tersebut justru tidak memiliki sebuah arsip penting tersebut. Intinya, alasan utama saya menyumbangkan koran Sin Po itu adalah demi satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa yakni Indonesia,” kata Bagus sambil mengepalkan tangan.

Bagus berharap, dengan menjadi koleksi museum, Koran Sin Po tersebut dapat dijadikan sebagai pembelajaran penting bagi masyarakat dan para generasi muda. Juga untuk menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia yang beragam ini.

Apalagi, menurut Bagus, dirinya pun pernah memerankan dr. RCL Senduk, perwakilan Jong Celebes, dalam Kongres pemuda I (1926) dan II (1928) di film biopik berjudul ‘Wage’. Film Wage ini sendiri menceritakan tentang perjuangan WR Supratman.

“Hal inilah yang memperkuat hubungan emosional saya dengan lagu karya WR Supratman itu,” imbuhnya.

Bagus menekankan, walaupun benda bersejarah itu sudah ditemukan, bukan berarti proses menumbuhkan jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia sudah selesai dan tidaklah berhenti begitu saja.

“Proses itu akan terus berjalan karena semua itu demi SATU NUSA, SATU BANGSA dan SATU BAHASA yaitu INDONESIA,” pesannya.

Proses penyerahan bendel koran Sin Po dari Bagus Priyana kepada Museum Sumpah Pemuda Jakarta. Koran Sin Po ini di dalamnya terdapat salah satu edisi yang memuat lirik dan partitur lagu ‘Indonesia’ karya WR Supratman (Foto Dok Narwan)

Kurator Museum Sumpah Pemuda, Eko Septian mengatakan jika nantinya koran tersebut akan difumigasi terlebih dahulu sebelum didisplay di ruang museum. Dan yang terpenting lagi, menurut Eko, koran Sin Po itu akan diusulkan sebagai benda cagar budaya tingkat nasional.

Eko menambahkan bahwa koran Sin Po ini teramat penting mengingat secara komplit mencantumkan lirik dan partitur (not balok) lagu ‘Indonesia’. Terlebih sesudah Sin Po menerbitkannya, memang ada lagu ‘Indonesia’ yang disebarluaskan, tapi tak lengkap karena tak ada partiturnya.

“Seandainya tidak ada partiturnya, tentu teramat sulit untuk mengetahui seperti apa sebenarnya lagu ini,” imbuhnya.

Eko mengaku, pencarian panjang koran Sin Po edisi 10 November 1928 itu memakan waktu selama 46 tahun sejak museum itu berdiri pada 1974. Dan misal dihitung, kata Eko, memakan waktu 92 tahun sejak awal penerbitannya.

Sementara Kepala Museum Sumpah Pemuda Titik Umi Kurniawati, yang dikutip dari IG Museum Sumpah Pemuda, mengungkapkan, untuk melaunching koran Sin Po ini, museum mengadakan pameran menyambut 75 tahun Indonesia, bertajuk “Dibalik Layar Sumpah Pemuda” yang akan berlangsung mulai 25 Agustus 2020.

“Kami akan melakukan launching koleksi koran Sin Po dimana Sin Po adalah surat kabar yang pertama kali terdapat partitur lagu ‘Indonesia Raya’,” ungkapnya (bgs/aha)

 

Sumber :  http://wartamagelang.com/dicari-museum-sumpah-pemuda-selama-46-tahun-siapa-sangka-lagu-asli-indonesia-karya-wr-supratman-yang-diterbitkan-1928-ini-ditemukan-di-magelang.html?fbclid=IwAR38-3Jn4SaXHdM8DxBT_wNLGDFbPqAUzJ_5i9_O8B7TAJw5kL2sVa5thAQ