11 March 2014

MENYUSURI PETILASAN PANGERAN DIPONEGORO

"..... Disadur dari tulisan Tuhu Prihantoro yang dimuat di Surat Kabar Harian Suara Merdeka, Edisi Senin, 10 Maret 2014 dan Selasa, 11 Maret 2014, Halaman 32, MagelangRaya ....."

Alqur’an Tulisan Tangan Masih Tersimpan di Ponpes

Maret adalah bulan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Belanda di Magelang. Momen itu dijadikan Komunitas Pentjinta dan Pelestari Bangunan Toea Magelang (KTM) untuk melakukan Djeladjah Perdjoeangan Diponegoro.
“Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda 28Maret 1830. Kami mengajak Raden Roni Sodewo, keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro untuk acara napak tilas ini,” kata Bagus Priyana, Koordinator Kota Toea Magelang (KTM).















Sebanyak 85 anggota Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) memulai kegiatan dari Museum Pangeran Diponegoro di Kompleks Bekas Karesidenan Kedu di Magelang. Sebelum masuk museum, seniman Magelang, Eka Pradhaning, melakukan performance art yang menggambarkan patriotisme Pangeran Diponegoro.





















Di dalam ruangan perundingan antara Pangeran Diponegoro dan Letnan Jenderal HM De Kock itu terdapat beberapa peninggalan meja dan kursi untuk berunding, jubah Pangeran Diponegoro, cangkir keramik, dan balai-balai tempat sholat.









Penelusuran dilanjutkan ke bantaran Sungai Progo, sebelah barat Museum Diponegoro. “Di tempat ini terdapat sebuah delta yang dulu digunakan sebagai batas laskar Pangeran Diponegoro diizinkan menunggu perundingan Sang Pangeran,” kata Bagus Priyana mengutip tulisan Pater Carey dalam buku “Kuasa Ramalan” yang berisi kisah perjuangan Pangeran Diponegoro. Ditempat itu pula Mayor Michiels melucuti senjata prajurit Pangeran Diponegoro berupa 852 tombak, 87 bedil, dan sejumlah keris.











Merupakan Petilasan

Setelah itu Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) berkunjung ke Langgar Agung di Dusun Kamal, Desa Menoreh, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Langgar Agung merupakan petilasan Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya saat berdiam, menunggu kedatangan Letnan Jenderal HM De Kock dari Batavia untuk mengadakan perundingan di Magelang.
“Di tempat ini dahulu terdapat sebuah batu tempat Pangeran Diponegoro Sholat dan Mujahadah. Dalam perkembangannya di situ dibangun langgar atau surau, Pada tahun 1950 kemudian dibangun Musholla, “ tutur Muhaiminul Hakim, pengurus Yayasan PNP Diponegoro.


Atas prakarsa Gubernur Akabri (saat itu dijabat Mayjend TNI Sarwo Edhie Wibowo) 1972 dipugar lagi menjadi bentuk yang tampak sekarang. Sejak tahun 1995 diresmikan menjadi Masjid Langgar Agung PNP Diponegoro.














Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) diberi kesempatan melihat Al Qur’an tulisan tangan yang selalu dibaca Pangeran Diponegoro. Al Qur’an tersebut kini disimpan di Pondok Pesantren Nurul Falah, yang letaknya di depan Masjid Langgar Agung.
“Tidak ada penjelasan siapa penulis Al Qur’an itu dan tahun berapa dibuat. Al Qur’an itu kami terima turun temurun dengan penjelasan bahwa Al Qur’an itu dulu digunakan oleh Pangeran Diponegoro,” kata KH Achmad Nur Shodiq, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Falah, Menoreh.












Sumber :
Suara Merdeka, Edisi Senin, 10 Maret 2014, halaman 32, MagelangRaya

Ikat Kepala dan Jubah Masih Tersimpan

Meskipun namanya Gua Lawa, tetapi sudah lama tak lagi dihuni kelelawar. Hal ini tertuang dalam Surat Nomor 545/759/35/1997 tanggal 14 Juli 1997 yang ditandatangani Sekda Kabupaten Magelang, Drs H Solechan AS.

Gua itu letaknya diatas bukit berbatu, dalam kawasan penambangan marmer di Desa Ngargoretno, Kecamatan Salaman. Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) meminta izin pemegang otoritas, sehingga 85 anggota Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) pagi itu bisa mendekati Gua Lawa dari dekat. “Gua ini tempat beristirahat pangeran Diponegoro ketika bergerilya melawan belanda.” Kata Narwan Sastra Kelana, anggota KTM menjelaskan kepada kawan-kawannya.




















Narwan Sastra Kelana menyebutkan, di tempat itu Pangeran Diponegoro mengatur strategi perlawanan melawan Belanda. “Persinggahan ini termasuk di jalur gerilya Selarong – Salaman – Purworejo melintasi bukit Banyak Angrem bagian Pegunungan Menoreh.”
Menurut Narwan Sastra Kelana, sebelum tahun 2000, tempat itu banyak dikunjungi masyarakat terutama pecinta alam dan sejarah.

Tujuan akhir Djeladjah Perdjoeangan Pangeran Diponegoro berada di Dusun Kalipucung, Desa Kalirejo, Kecamatan Salaman. Di dusun ini rombongan Komunitas Kota Toea Magelang (KTM) melihat peninggalan Pangeran Diponegoro berupa Udheng (Ikat Kepala) dan Jubah. Kedua benda itu disimpan oleh keluarga Haryono (59).

Jadi Cikal Bakal

Haryono adalah keturunan ke-6 Kiai Radji, seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang menjadi cikal bakal masyarakat di wilayah itu.

Sementara itu jubah yang tersimpan sudah tidak utuh lagi karena usia dan kurangnya perawatan. Hingga kini kedua benda bersejarah itu tetap disimpan oleh keluarga Haryono.

Kiai Radji dan Ki Demang Sampir tidak memakai benda peninggalan itu. Kia Radji hanya menyimpan ikat kepala itu. Kelak Kiai Radji dikenal sebagai Simbah Saleh Kiai radji yang menjadi cikal bakal penduduk Dusun Kalipucung.














Setelah itu jalan kaki menuju petilasan berupa dua pohon beringin tua. Menurut Narwan Sastra Kelana, di tempat itu Pangeran Diponegoro memerintahkan dua orang pengikutnya Kiai radji dan Ki Demang Sampir untuk tinggal. (Tuhu Prihantoro-28)

Sumber :
Suara Merdeka, Edisi Selasa, 11 Maret 2014, halaman 32, MagelangRaya




1 comment: