01 August 2025

Harta Daha - Wilwatikta Banyak yang beranggapan, kondisi ekonomi masyarakat di saat - saat kemunduran Majapahit di rentang tahun 1478 - 1527 sangatlah miskin, makan susah, kehidupan tidak aman seperti yg di gambarkan Ma Huan pasca perang Peregreg. Hal ini adalah penalaran yg salah, mari kita simak narasi yg berdasar bukti primer berita sejaman berikut ini.. Memang sejak Perang Peregreg di-ikuti dengan penaklukan istana Majapahit di Trowulan oleh anak-anak Sang Sinagara pada 1478, mandala Majapahit tidaklah berkuasa dalam jangkauan yg luas lagi, bahkan di pulau Jawa terutama pesisir utara pun sudah bermunculan negara-negara kota yang tidak tunduk pada Majapahit dengan Demak sebagai pimpinan nya. Tapi pusat Majapahit yang telah berpindah ke Daha setelah 1478 masih memegang kuasa besar di pedalaman, beberapa kota pelabuhan besar seperti Tuban, Gamda (Bangil - Pasuruan), Pajarakan - Panarukan dan Blambangan masih merupakan vasal setia Majapahit, dari pelabuhan-pelabuhan inilah mereka tetap bisa berdagang dengan negara luar. Karena itu ekonomi Majapahit/Wilwatikta dalam rentang tahun diatas (40 tahun lebih) tetaplah perkasa, tidak tampak adanya krisis maupun kelaparan, semua tertulis dalam laporan Tome Pires, seorang wakil kerajaan Portugis yang mengunjungi daerah-daerah di Nusantara pada 1512 - 1515. Penduduk daerah pedalaman ini dilaporkan sangat besar jumlahnya, memiliki banyak kota, pusatnya Daha/dayo, ukurannya jauh melebihi kota terbesar di pesisir yakni Demak yang saat itu berjumlah hanya 8-10 ribu rumah, perdagangan export-import lewat pelabuhan negara vasal diatas sangat bergairah, sehingga menciptakan kemakmuran di Majapahit pedalaman ini. Beras-beras kualitas terbaik, yang tidak dimiliki daerah lain di export dalam jumlah yg sangat besar ke pasar Melaka, tempat ini juga menghasilkan sapi, domba, kambing hingga kerbau, rusa, kemudian berbagai ikan laut di pesisir, buah-buahan, cabe jawa, asam, trengguli semua dalam kata-kata yak terhitung saking banyaknya. Dalam jumlah terbatas ada kapulaga, sayuran, Topas, tembaga, sejumlah emas yg lebih banyak daripada daerah lain dan budak yang juga di export lewat Tuban. Kalau bisa mengexport komoditas diatas, urusan pangan tentulah bukan lagi masalah serius, bahkan ini berlebih, artinya profesi lain seperti seni, kerajinan barang rumah/peralatan semuanya bisa terjaga bahkan militer/petugas negara pun bisa tercukupi mengingat mereka juga memungut pajak atas pedagang yang menjual barang-barang dari luar, termasuk dari Portugis ini. Tak heran, keberadaan tempat yg masih dikenal di kota kediri modern yang mencerminkan profesi diatas seperti Baluwerti (abdi dalem), Kemasan (perajin emas), Pandean (pembuat alat-alat besi), Jagalan (penyembelihan hewan) dll tentulah bisa diwujudkan oleh suatu kegiatan ekonomi yg dilaporkan Tome Pires ini. Majapahit II ini melakukan import dari negeri-negeri luar terutama Melaka dalam bentuk komoditas kain, bermacam jenisnya dan jumlahnya tak terhitung mengingat berjibunnya penduduk di daerah pedalaman. Kegiatan ekonomi yg stabil walau diselingi perselisihan dengan negeri kota pesisir mampu memberikan kehidupan yg bergelimang kemewahan bagi bangsawan nya. Sang raja, bernama Batara Vogjaya disebutkan hidup lavish (mewah) bergelimang pesta dan anggur ditemani para istri-selirnya didalam istana Dayo yang megah, system tata istana mempekerjakan sekitar 1000 kasim untuk mengurus segala kebutuhan mereka. Batara Vogjaya ini menurut sejarah mainstream tak lain adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, si bungsu anak-anak sang Sinagara yg mengalahkan raja Majapahit Trowulan pada perang paman - keponakan 1478, dirinya benar benar menikmati kemenangan sebagai raja walau akhirnya karena usia, kekuasaan sehari-hari dipegang oleh Patih yang bernama Amdura/Udara (Kita akan membahasnyablagi di silsilah raja-raja Majapahit versi Suma Oriental). Bangsawan Majapahit yang tentu saja anak cucu trah Sinagara dan anak-anak Patih Udara adalah pribadi yang suka berhias, bukan hanya perhiasan badan tapi keris, pedang dan tombaknya semua berlapis emas, disaat tertentu bersama raja mereka pergi berburu, suatu hiburan besar keluar Daha dengan segala attribut kemewahan, lengkap dengan prajurit dan para istri - selir yang mendampingi dengan menaiki kereta khusus. Tak hanya bangsawan yg berhias emas, pelana kuda dan injakan kaki semua dari emas dan bahkan anjingnya pun dilengkapi lonceng emas - perak dilehernya, suatu kemewahan yang tidak bisa ditandingi negeri lainnya. Mereka adalah penguasa atas tanah pedalaman, dianggap dewa oleh yg masih memuja mereka, sesiapa yang menghalangi jalan rombongan ini, akan dihukum mati di tempat, karena itulah rakyat harus masuk rumah jika acara berburu ini di maklumatkan melintasi daerah mereka. Begitulah, melihat kemewahan raja dan para bangsawan ini, bukan tak mungkin merekalah yang membuat benteng kolosal Daha - yang sisa sisanya dipakai Trunojoyo 150 tahun kemudian, kemakmuran dan kebutuhan untuk bertahan dari serangan Demak mendorong mereka membuat benteng kolosal 8.5 km mengelilingi kota Daha. Tapi kemewahan, kekuasaan dan penyembahan bak dewa kepada bangsawan membuat rakyat tidaklah merasa puas, rakyat pada saat kunjungan Tome Pires ini dilaporkannya tidaklah percaya lagi kepada perintah raja, karena mereka membuat Majapahit kehilangan sebagian besar tanahnya, terlebih yg berkuasa adalah sang Patih yang meminjam tangan sang raja untuk berkuasa. Saat itu memang juga sedang terjadi perubahan kultur dan ideologi di sebagian rakyat Majapahit, agama lama memang masih dianut di pedalaman, tapi agama baru yang mengajarkan kesetaraan dan terbuka sedang mendapatkan dukungan luas. Dan bukan tak mungkin juga agama ini telah dianut oleh sebagian bangsawan Daha yang sedikit banyak memberi pertunjukan kesederhanaan yg mengena dihati dan akhirnya membuat kekuasaan yg bersandar pada agama lama mulai ditinggalkan oleh rakyat yang sedang kecewa ini. Kepercayaan rakyat adalah sendi utama yang bukan saja melemahkan Majapahit II, tapi membuatnya berangsur-angsur lenyap ditelan kekuasaan lain. Kembali kepada kemewahan hidup para bangsawannya, walaupun saat itu politik masih didominasi oleh mereka yg terkungkung dalam romantisme - kultur masa lalu (Patih Udara cs) ,tapi diantara mereka selain yg sudah beragama lain, tentulah ada yg pragmatis, mereka yang ingin mempertahankan kekayaan dan disinilah menariknya.. Para pragmatis ini tentulah paham bahwa benteng Daha yg mempunyai dimensi 2 meter tebal, 6 meter tinggi, 8.5 km keliling, akan sulit ditembus oleh teknologi Majapahit-demak saat itu, berarti kehidupan didalam benteng tsb akan aman untuk waktu yang lama, tapi jika para pasukan gabungan kota pesisir melakukan expansi ke sumber-sumber ekonomi mereka diluar benteng, bagaimana mereka bisa bertahan, mengingat rakyat sudah tidak banyak mendukung mereka lagi? Bagaimana rupa & perawakan bangsawan Daha? https://www.facebook.com/share/p/1KEjNtF7Qa/ Foto dibawah hanya ilustrasi benteng di tepi sungai seperti halnya benteng Daha-Wilwatikta...

 Harta Daha - Wilwatikta 


Banyak yang beranggapan, kondisi ekonomi masyarakat di saat - saat kemunduran Majapahit di rentang tahun 1478 - 1527 sangatlah miskin, makan susah, kehidupan tidak aman seperti yg di gambarkan Ma Huan pasca perang Peregreg. 



Hal ini adalah penalaran yg salah, mari kita simak narasi yg berdasar bukti primer berita sejaman berikut ini.. 


Memang sejak Perang Peregreg di-ikuti dengan penaklukan istana Majapahit di Trowulan oleh anak-anak Sang Sinagara pada 1478, mandala Majapahit tidaklah berkuasa dalam jangkauan yg luas lagi, bahkan di pulau Jawa terutama pesisir utara pun sudah bermunculan negara-negara kota yang tidak tunduk pada Majapahit dengan Demak sebagai pimpinan nya.


Tapi pusat Majapahit yang telah berpindah ke Daha setelah 1478 masih memegang kuasa besar di pedalaman, beberapa kota pelabuhan besar seperti Tuban, Gamda (Bangil - Pasuruan), Pajarakan - Panarukan dan Blambangan masih merupakan vasal setia Majapahit, dari pelabuhan-pelabuhan inilah mereka tetap bisa berdagang dengan negara luar. 


Karena itu ekonomi Majapahit/Wilwatikta dalam rentang tahun diatas (40 tahun lebih) tetaplah perkasa, tidak tampak adanya krisis maupun kelaparan, semua tertulis dalam laporan Tome Pires, seorang wakil kerajaan Portugis yang mengunjungi daerah-daerah di Nusantara pada 1512 - 1515.


Penduduk daerah pedalaman ini dilaporkan sangat besar jumlahnya, memiliki banyak kota, pusatnya Daha/dayo, ukurannya jauh melebihi kota terbesar di pesisir yakni Demak yang saat itu berjumlah hanya 8-10 ribu rumah, perdagangan export-import lewat pelabuhan negara vasal diatas sangat bergairah, sehingga menciptakan kemakmuran di Majapahit pedalaman ini. 


Beras-beras kualitas terbaik, yang tidak dimiliki daerah lain di export dalam jumlah yg sangat besar ke pasar Melaka, tempat ini juga menghasilkan sapi, domba, kambing hingga kerbau, rusa, kemudian berbagai ikan laut di pesisir, buah-buahan, cabe jawa, asam, trengguli semua dalam kata-kata yak terhitung saking banyaknya. 


Dalam jumlah terbatas ada kapulaga, sayuran, Topas, tembaga, sejumlah emas yg lebih banyak daripada daerah lain dan budak yang juga di export lewat Tuban. 


Kalau bisa mengexport komoditas diatas, urusan pangan tentulah bukan lagi masalah serius, bahkan ini berlebih, artinya profesi lain seperti seni, kerajinan barang rumah/peralatan semuanya bisa terjaga bahkan militer/petugas negara pun bisa tercukupi mengingat mereka juga memungut pajak atas pedagang yang menjual barang-barang dari luar, termasuk dari Portugis ini. 


Tak heran, keberadaan tempat yg masih dikenal di kota kediri modern yang mencerminkan profesi diatas seperti Baluwerti (abdi dalem), Kemasan (perajin emas), Pandean (pembuat alat-alat besi), Jagalan (penyembelihan hewan) dll tentulah bisa diwujudkan oleh suatu kegiatan ekonomi yg dilaporkan Tome Pires ini. 


Majapahit II ini melakukan import dari negeri-negeri luar terutama Melaka dalam bentuk komoditas kain, bermacam jenisnya dan jumlahnya tak terhitung mengingat berjibunnya penduduk di daerah pedalaman. 


Kegiatan ekonomi yg stabil walau diselingi perselisihan dengan negeri kota pesisir mampu memberikan kehidupan yg bergelimang kemewahan bagi bangsawan nya. 


Sang raja, bernama Batara Vogjaya disebutkan hidup lavish (mewah) bergelimang pesta dan anggur ditemani para istri-selirnya didalam istana Dayo yang megah, system tata istana mempekerjakan sekitar 1000 kasim untuk mengurus segala kebutuhan mereka. 


Batara Vogjaya ini menurut sejarah mainstream tak lain adalah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, si bungsu anak-anak sang Sinagara yg mengalahkan raja Majapahit Trowulan pada perang paman - keponakan 1478, dirinya benar benar menikmati kemenangan sebagai raja walau akhirnya karena usia, kekuasaan sehari-hari dipegang oleh Patih yang bernama Amdura/Udara (Kita akan membahasnyablagi di silsilah raja-raja Majapahit versi Suma Oriental). 


Bangsawan Majapahit yang tentu saja anak cucu trah Sinagara dan anak-anak Patih Udara adalah pribadi yang suka berhias, bukan hanya perhiasan badan tapi keris, pedang dan tombaknya semua berlapis emas, disaat tertentu bersama raja mereka pergi berburu, suatu hiburan besar keluar Daha dengan segala attribut kemewahan, lengkap dengan prajurit dan para istri - selir yang mendampingi dengan menaiki kereta khusus. 


Tak hanya bangsawan yg berhias emas, pelana kuda dan injakan kaki semua dari emas dan bahkan anjingnya pun dilengkapi lonceng emas - perak dilehernya, suatu kemewahan yang tidak bisa ditandingi negeri lainnya. 


Mereka adalah penguasa atas tanah pedalaman, dianggap dewa oleh yg masih memuja mereka, sesiapa yang menghalangi jalan rombongan ini, akan dihukum mati di tempat, karena itulah rakyat harus masuk rumah jika acara berburu ini di maklumatkan melintasi daerah mereka.


Begitulah, melihat kemewahan raja dan para bangsawan ini, bukan tak mungkin merekalah yang membuat benteng kolosal Daha - yang sisa sisanya dipakai Trunojoyo 150 tahun kemudian, kemakmuran dan kebutuhan untuk bertahan dari serangan Demak mendorong mereka membuat benteng kolosal 8.5 km mengelilingi kota Daha. 


Tapi kemewahan, kekuasaan dan penyembahan bak dewa kepada bangsawan membuat rakyat tidaklah merasa puas, rakyat pada saat kunjungan Tome Pires ini dilaporkannya tidaklah percaya lagi kepada perintah raja, karena mereka membuat Majapahit kehilangan sebagian besar tanahnya, terlebih yg berkuasa adalah sang Patih yang meminjam tangan sang raja untuk berkuasa.


Saat itu memang juga sedang terjadi perubahan kultur dan ideologi di sebagian rakyat Majapahit, agama lama memang masih dianut di pedalaman, tapi agama baru yang mengajarkan kesetaraan dan terbuka sedang mendapatkan dukungan luas.


Dan bukan tak mungkin juga agama ini telah dianut oleh sebagian bangsawan Daha yang sedikit banyak memberi pertunjukan kesederhanaan yg mengena dihati dan akhirnya membuat kekuasaan yg bersandar pada agama lama mulai ditinggalkan oleh rakyat yang sedang kecewa ini. 


Kepercayaan rakyat adalah sendi utama yang bukan saja melemahkan Majapahit II, tapi membuatnya berangsur-angsur lenyap ditelan kekuasaan lain. 


Kembali kepada kemewahan hidup para bangsawannya, walaupun saat itu politik masih didominasi oleh mereka yg terkungkung dalam romantisme - kultur masa lalu (Patih Udara cs) ,tapi diantara mereka selain yg sudah beragama lain, tentulah ada yg pragmatis, mereka yang ingin mempertahankan kekayaan dan disinilah menariknya..


Para pragmatis ini tentulah paham bahwa benteng Daha yg mempunyai dimensi 2 meter tebal, 6 meter tinggi, 8.5 km keliling, akan sulit ditembus oleh teknologi Majapahit-demak saat itu, berarti kehidupan didalam benteng tsb akan aman untuk waktu yang lama, tapi jika para pasukan gabungan kota pesisir melakukan expansi ke sumber-sumber ekonomi mereka diluar benteng, bagaimana mereka bisa bertahan, mengingat rakyat sudah tidak banyak mendukung mereka lagi?


Bagaimana rupa & perawakan bangsawan Daha? 

https://www.facebook.com/share/p/1KEjNtF7Qa/


Foto dibawah hanya ilustrasi benteng di tepi sungai seperti halnya benteng Daha-Wilwatikta...

No comments:

Post a Comment