๐๐ฒ๐ด๐ฒ๐ป๐ฑ๐ฎ ๐ฆ๐ถ ๐ฃ๐ฎ๐ต๐ถ๐ ๐๐ถ๐ฑ๐ฎ๐ต — ๐ฆ๐ฒ๐ฟ๐๐ป๐๐ถ๐ป๐ด ๐ฆ๐ฎ๐ธ๐๐ถ
Di tepian Sungai Musi, beratus tahun yang lalu, hiduplah seorang pemuda gagah bernama Serunting Sakti. Ia adalah keturunan bangsawan dari Tanah Pasemah, pandai mengolah senjat4 dan menguasai berbagai ilmu gaib. Namun, yang paling menggetarkan hati orang-orang adalah kesaktian lidahnya — setiap kata yang diucapkannya bisa menjadi nyata.
Kesaktian ini bukan datang begitu saja. Konon, Serunting mendapatnya setelah beradu ilmu dengan saudara iparnya, Aria Tebing Serdang. Perselisihan mereka bermula dari hal kecil, namun api kemarahan membesar hingga menantang kehormatan keluarga. Mereka bertarung di sebuah bukit, saling menguji kesaktian. Dalam pertarungan sengit itu, Serunting mengeluarkan sumpah yang tak disangka menjadi kutuk4n abadi: apa yang ia ucapkan akan terjadi. Dari hari itu, ia dijuluki Si Pahit Lidah.
Dengan membawa tombak pusaka, Serunting mengembara dari desa ke desa. Di setiap langkahnya, ia melihat banyak kelakuan manusia yang congk4k dan tam4k. Tak jarang, kemarahannya meledak. “Jangan s0mbong, nanti batu kau jadinya!” katanya suatu hari kepada sekelompok orang yang menghina penduduk miskin. Seketika, tubuh mereka kaku, membatu, dan menjadi karang di tepi sungai.
Perjalanan Si Pahit Lidah membentang jauh hingga ke tanah Lampung. Banyak tempat kini menyimpan jejak kutuk4nnya. Batu besar di pinggir jalan yang disebut Batu Betangkup, batu menyerupai lesung di hutan yang dinamai Batu Lesung, dan batu menjulang di tepi sungai yang disebut Batu Raja — semuanya diyakini berasal dari kata-kata yang meluncur dari lidahnya.
Namun, kesaktian itu juga membuatnya hidup dalam kesepian. Tak ada yang berani berbicara lama dengannya, takut salah kata lalu berubah menjadi batu.
Hingga suatu masa, terdengar kabar tentang orang sakti lain bernama Si Mata Empat, yang mampu melihat segala hal gaib, bahkan isi hati manusia. Pertemuan keduanya tak terelakkan. Mereka bertarung bukan hanya dengan senjat4, tapi juga dengan kesaktian. Petir menggelegar, bumi bergetar, dan suara kutuk4n berbalas mantera.
Legenda berkata, pertarungan itu berakhir dengan menghilangnya Si Pahit Lidah di sebuah hutan lebat. Tak ada yang tahu pasti apakah ia gugur atau sekadar bersembunyi. Yang jelas, hingga kini, batu-batu besar yang berserakan di Sumatera Selatan dipercaya sebagai saksi bisu lidahnya yang “pahit” dan sakti.
Sejak saat itu, orang tua di kampung selalu berpesan kepada anak-anaknya: “Jaga kata-katamu, nak. Lidah lebih tajam dari pedang, dan bisa saja jadi pahit seperti Serunting Sakti.”
Keterangan : Dari Beberapa Sumber
Editor : FOTO ZAMAN DULU
No comments:
Post a Comment