19 August 2025

Bupati Pati yang dicintai Rakyatnya Dulu Pati memiliki beberapa bupati yang dicintai rakyatnya. Salah satunya Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo. Setidaknya begitu salah satu bunyi sebuah rubrik obituari di suratkabar De Locomotief edisi 5 Juni 1934. Nama Bupati Soewondo pun hingga kini masih diabadikan sebagai nama rumahsakit, RSUD RAA Soewondo. “Berita lokal mengabarkan wafatnya Bupati Pati, Raden Adipati Ario Soewondo. Bupati tertua di Jawa Tengah, baik dari segi usia maupun masa pengabdiannya itu wafat kemarin petang (4 Juni 1934) pukul 2.30. Seorang bupati yang sangat dicintai rakyatnya, termasuk kalangan priayi,” tulis harian tersebut. Bupati Soewondo, lanjut koran tersebut, menghembuskan nafas terakhir setelah 12 hari menderita tipes dan mendapat perawatan intensif di Ziekenhuis (rumahsakit) Mardi Oesodo. Rumahsakit itulah yang di kemudian hari menjadi RSUD RAA Soewondo. Sebagaimana dimuat rubrik obituari di De Locomotief tadi, Raden Ngabehi Soewondo lahir pada 11 Juni 1875. Sebagai kalangan priayi, ia berkesempatan mengenyam pendidikan Eropa karena ayahnya juga seorang bupati di daerah yang sama, yakni Raden Tumenggung Prawiro Werdojo. Soewondo mulai 1893 berkarier di pemerintahan kolonial di Pati sebagai juru tulis. Tujuh tahun berselang, ia sudah mengemban jabatan asisten wedana. Sebelum mendaki jabatan bupati, Soewondo lebih dulu mengambil karier di bidang hukum, baik di Openbare Ministerie (Dinas Kejaksaan Umum) pada 1903 maupun deputi jaksa pada 1905. Pada medio Agustus 1907, ia ditunjuk menjadi bupati menggantikan ayahnya. “Pada Selasa pagi, bupati Pati yang baru (mantan deputi jaksa R. Ngabehi Soewondo) meninggalkan kantornya. Ia dikawal beberapa priayi dengan alunan musik yang mengalun dari sebuah panggung. Dilaporkan kakak kandungnya dan kakak iparnya kurang berkenan dengan penunjukan itu,” tulis suratkabar Het nieuws van den dag voor Nederlandcsh-Indië, 3 Agustus 1907. Meski berasal dari kalangan priayi, Bupati Soewondo dianggap sangat peduli pada semua lapisan masyarakat Pati. Sebagai bupati, ia pada 1908 juga menjadi salah satu anggota Gewestelijke Raad (Dewan Provinsi) serta anggota dewan lokal di Semarang, Rembang, Kedu, dan Blora. Pada 1911, ia mendapat tambahan gelar “Ario” dan satu dekade berselang, dianugerahi medali dan gelar Officier in de Order van Oranje-Nassau dari Ratu Belanda. Bupati Soewondo juga dikenal dekat dengan kalangan agama. Terutama setelah ia turut dalam Kapengulon atau Komisi Pembaruan Agama pada 1922. “Upaya pembaruan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kapengulon sejalan dengan program-program lain yang berkaitan secara langsung dengan bidang tugas dan misi yang diemban kapengulon. Sebagaimana tampak dalam kegiatan studi tentang hukum adat, yang dilancarkan oleh para sarjana hukum Belanda yang menerapkan hukum Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Islam. Hal ini tampak jelas dengan dibentuknya tim komisi pembaruan agama atau kapengulon pada 1922. Keanggotaannya terdiri atas Dr. RA Hoesin Djajadiningrat (adviseur Indlandsche Zaken), Bupati R.A.A. Soewondo dari Pati dan Bupati R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura. Selanjutnya, ditambah tiga penghulu, yaitu KH Ahmad Dahlan dari Kapengulon Yogyakarta, KH R. Muhammad Isa dari Purbolinggo dan Banyumas, seorang lagi mewakili pemerintah Belanda yaitu Bertrandter Haar Bzn,” ungkap Ibnu Qoyim Ismail dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial. Sebagai rasa hormat dan kecintaan publik Pati terhadap Bupati Soewondo, sebuah festival rakyat besar-besaran digelar pada 20 Juli 1927 untuk memperingati dua dekade masa jabatannya. Paginya, digelar pertandingan sepakbola antara tim Belanda M.O.S melawan tim Tionghoa J.C.V.O di Paseban, lalu dilanjutkan parade oleh anak-anak dari beragam sekolah –baik sekolah Eropa, sekolah rakyat, maupun sekolah Jepang– dari jalan-jalan dekat stadion yang berakhir di pendopo kabupaten. Di podium pendopo, Asisten Residen Pati Mayer Ranneft jadi pembicara utama untuk mengapresiasi sang bupati. Perayaan tersebut merupakan bukti rasa hormat dan kekaguman kaum muda dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat terhadap karakter Bupati Soewondo selama menjabat 20 tahun terakhir. “Seperti yang semua kita rasakan di Pati, kami sangat bersyukur bahwa bupati kami adalah seseorang yang mumpuni dalam memenuhi banyak tuntutan, terutama dalam memadukan hal-hal baik dari masa lalu dengan era modern, termasuk di masa-masa sulit. Selama 20 tahun Anda menjabat dengan sangat bijak. Semoga Tuhan memberkati Anda selama tahun-tahun ke depan dan semoga Anda terus memimpin dengan baik demi negeri dan rakyat,” tukas Renneft, dikutip De Locomotief, 26 Juli 1927. Salah satu warisan berharga Bupati Soewondo adalah cikal-bakal RSUD RAA Soewondo. Fasilitas kesehatan umum itu berawal dari yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang berdiri sejak 1929. “Mengenai laporan tahunan yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang diketuai oleh bupati kami (RAA Soewondo) dan didirikan pada Mei 1929, sampai Juni 1930 telah menerima banyak sumbangan pihak ketiga mencapai 3.567 gulden, sementara pengeluarannya sebanyak 2.124 gulden sehingga sisa kas yang ada di Volksbank di Pati sebesar 442 gulden,” tulis De Locomotief, 27 Juni 1930. Yayasan itu, lanjut suratkabar tersebut, menerima banyak sumbangan dana dari berbagai pihak. Dana tersebut digunakan untuk penyediaan sejumlah alat kesehatan dan prasarana lain di klinik-klinik darurat di Jakenan, Tambakromo, maupun Kajen. Mereka berencana membangun rumahsakit di pusat kota walau masih butuh biaya hingga 200 ribu gulden. “Seperti diketahui, fasilitas kesehatan lainnya juga dibuka oleh dr. Van Noordt, sebuah zendinghospitaal (rumahsakit misionaris) di Kelet. Jika kami bisa membuka Rumahsakit Mardi Oesodo, maka banyak orang sakit tak perlu pergi jauh untuk menerima perawatan,” lanjut suratkabar tersebut. Harapan itu terwujud pada 1932, di mana Ziekenhuis Mardi Oesodo mulai dibangun dan rampung dua tahun berselang. Namun, tak lama berselang Bupati Soewondo pun jadi pasiennya karena penyakit tipes. Meski selama 12 hari mendapat perawatan intensif langsung dari direktur rumahsakit, dr. Veldstra, nyawa Bupati Soewondo tak tertolong. Bupati Soewondo wafat pada 4 Juni 1934. Namanya kemudian dikenal sebagai salah satu bupati Pati paling dihormati. Potret : Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo

 Bupati Pati yang dicintai Rakyatnya


Dulu Pati memiliki beberapa bupati yang dicintai rakyatnya. Salah satunya Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo. Setidaknya begitu salah satu bunyi sebuah rubrik obituari di suratkabar De Locomotief edisi 5 Juni 1934. Nama Bupati Soewondo pun hingga kini masih diabadikan sebagai nama rumahsakit, RSUD RAA Soewondo.



“Berita lokal mengabarkan wafatnya Bupati Pati, Raden Adipati Ario Soewondo. Bupati tertua di Jawa Tengah, baik dari segi usia maupun masa pengabdiannya itu wafat kemarin petang (4 Juni 1934) pukul 2.30. Seorang bupati yang sangat dicintai rakyatnya, termasuk kalangan priayi,” tulis harian tersebut.


Bupati Soewondo, lanjut koran tersebut, menghembuskan nafas terakhir setelah 12 hari menderita tipes dan mendapat perawatan intensif di Ziekenhuis (rumahsakit) Mardi Oesodo. Rumahsakit itulah yang di kemudian hari menjadi RSUD RAA Soewondo.


Sebagaimana dimuat rubrik obituari di De Locomotief tadi, Raden Ngabehi Soewondo lahir pada 11 Juni 1875. Sebagai kalangan priayi, ia berkesempatan mengenyam pendidikan Eropa karena ayahnya juga seorang bupati di daerah yang sama, yakni Raden Tumenggung Prawiro Werdojo.


Soewondo mulai 1893 berkarier di pemerintahan kolonial di Pati sebagai juru tulis. Tujuh tahun berselang, ia sudah mengemban jabatan asisten wedana. Sebelum mendaki jabatan bupati, Soewondo lebih dulu mengambil karier di bidang hukum, baik di Openbare Ministerie (Dinas Kejaksaan Umum) pada 1903 maupun deputi jaksa pada 1905. Pada medio Agustus 1907, ia ditunjuk menjadi bupati menggantikan ayahnya.


“Pada Selasa pagi, bupati Pati yang baru (mantan deputi jaksa R. Ngabehi Soewondo) meninggalkan kantornya. Ia dikawal beberapa priayi dengan alunan musik yang mengalun dari sebuah panggung. Dilaporkan kakak kandungnya dan kakak iparnya kurang berkenan dengan penunjukan itu,” tulis suratkabar Het nieuws van den dag voor Nederlandcsh-Indië, 3 Agustus 1907.


Meski berasal dari kalangan priayi, Bupati Soewondo dianggap sangat peduli pada semua lapisan masyarakat Pati. Sebagai bupati, ia pada 1908 juga menjadi salah satu anggota Gewestelijke Raad (Dewan Provinsi) serta anggota dewan lokal di Semarang, Rembang, Kedu, dan Blora. Pada 1911, ia mendapat tambahan gelar “Ario” dan satu dekade berselang, dianugerahi medali dan gelar Officier in de Order van Oranje-Nassau dari Ratu Belanda.


Bupati Soewondo juga dikenal dekat dengan kalangan agama. Terutama setelah ia turut dalam Kapengulon atau Komisi Pembaruan Agama pada 1922.


“Upaya pembaruan yang dilakukan pemerintah Belanda atas kapengulon sejalan dengan program-program lain yang berkaitan secara langsung dengan bidang tugas dan misi yang diemban kapengulon. Sebagaimana tampak dalam kegiatan studi tentang hukum adat, yang dilancarkan oleh para sarjana hukum Belanda yang menerapkan hukum Islam kepada masyarakat Jawa yang beragama Islam. Hal ini tampak jelas dengan dibentuknya tim komisi pembaruan agama atau kapengulon pada 1922. 


Keanggotaannya terdiri atas Dr. RA Hoesin Djajadiningrat (adviseur Indlandsche Zaken), Bupati R.A.A. Soewondo dari Pati dan Bupati R.A.A. Tjakraningrat dari Bangkalan, Madura. Selanjutnya, ditambah tiga penghulu, yaitu KH Ahmad Dahlan dari Kapengulon Yogyakarta, KH R. Muhammad Isa dari Purbolinggo dan Banyumas, seorang lagi mewakili pemerintah Belanda yaitu Bertrandter Haar Bzn,” ungkap Ibnu Qoyim Ismail dalam Kiai Penghulu Jawa: Peranannya di Masa Kolonial.


Sebagai rasa hormat dan kecintaan publik Pati terhadap Bupati Soewondo, sebuah festival rakyat besar-besaran digelar pada 20 Juli 1927 untuk memperingati dua dekade masa jabatannya. Paginya, digelar pertandingan sepakbola antara tim Belanda M.O.S melawan tim Tionghoa J.C.V.O di Paseban, lalu dilanjutkan parade oleh anak-anak dari beragam sekolah –baik sekolah Eropa, sekolah rakyat, maupun sekolah Jepang– dari jalan-jalan dekat stadion yang berakhir di pendopo kabupaten.


Di podium pendopo, Asisten Residen Pati Mayer Ranneft jadi pembicara utama untuk mengapresiasi sang bupati. Perayaan tersebut merupakan bukti rasa hormat dan kekaguman kaum muda dari berbagai kalangan dan lapisan masyarakat terhadap karakter Bupati Soewondo selama menjabat 20 tahun terakhir.


“Seperti yang semua kita rasakan di Pati, kami sangat bersyukur bahwa bupati kami adalah seseorang yang mumpuni dalam memenuhi banyak tuntutan, terutama dalam memadukan hal-hal baik dari masa lalu dengan era modern, termasuk di masa-masa sulit. Selama 20 tahun Anda menjabat dengan sangat bijak. Semoga Tuhan memberkati Anda selama tahun-tahun ke depan dan semoga Anda terus memimpin dengan baik demi negeri dan rakyat,” tukas Renneft, dikutip De Locomotief, 26 Juli 1927.


Salah satu warisan berharga Bupati Soewondo adalah cikal-bakal RSUD RAA Soewondo. Fasilitas kesehatan umum itu berawal dari yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang berdiri sejak 1929.


“Mengenai laporan tahunan yayasan kesehatan Mardi Oesodo yang diketuai oleh bupati kami (RAA Soewondo) dan didirikan pada Mei 1929, sampai Juni 1930 telah menerima banyak sumbangan pihak ketiga mencapai 3.567 gulden, sementara pengeluarannya sebanyak 2.124 gulden sehingga sisa kas yang ada di Volksbank di Pati sebesar 442 gulden,” tulis De Locomotief, 27 Juni 1930.


Yayasan itu, lanjut suratkabar tersebut, menerima banyak sumbangan dana dari berbagai pihak. Dana tersebut digunakan untuk penyediaan sejumlah alat kesehatan dan prasarana lain di klinik-klinik darurat di Jakenan, Tambakromo, maupun Kajen. Mereka berencana membangun rumahsakit di pusat kota walau masih butuh biaya hingga 200 ribu gulden.


“Seperti diketahui, fasilitas kesehatan lainnya juga dibuka oleh dr. Van Noordt, sebuah zendinghospitaal (rumahsakit misionaris) di Kelet. Jika kami bisa membuka Rumahsakit Mardi Oesodo, maka banyak orang sakit tak perlu pergi jauh untuk menerima perawatan,” lanjut suratkabar tersebut.


Harapan itu terwujud pada 1932, di mana Ziekenhuis Mardi Oesodo mulai dibangun dan rampung dua tahun berselang. Namun, tak lama berselang Bupati Soewondo pun jadi pasiennya karena penyakit tipes. Meski selama 12 hari mendapat perawatan intensif langsung dari direktur rumahsakit, dr. Veldstra, nyawa Bupati Soewondo tak tertolong. Bupati Soewondo wafat pada 4 Juni 1934. Namanya kemudian dikenal sebagai salah satu bupati Pati paling dihormati. 


Potret : Raden Adipati Ario (RAA) Soewondo

No comments:

Post a Comment