TEGALREJO TERBAKAR, 20 JULI 1825
Mentari sore kian turun ke peraduan ketika Sang Pangeran menjebol tembok baluwarti barat daya Puri. Api menjalar dari Joglo ke bagian Pringgitan dan Gandok, sementara pondok-pondok limasan terpisah yang biasa menjadi inapan para tamu, juga kandang kuda maupun lembu telah terlebih dahulu lenyap terbubung oleh asap.
Puri Tegalrejo yang megah menjelma menjadi nyala merah dan kepulan putih, diiringi suara gemeretak dan gerubyuk hempasan kayu-kayu blandar yang rubuh. Artileri Belanda masih terus menyalak, melubangi tembok-tembok puri dan mematahkan saka-saka penyangga.
Dari kesemua yang dilalap si merah, ada satu yang paling membuat hati Sang Pangeran membara. Masjid. Bangunan beratap tajuk tumpang yang baru tigaperempat jadi itu turut jadi sasaran penghancuran para penyerbu.
Airmatanya hendak jatuh, tapi ditahannya sekuat tenaga. “Ya Allah”, bisiknya dalam hati, “Hamba ingin memuliakanMu dengan mendirikan rumahMu. Tapi kafir-kafir itu merubuhkannya. Ya Allah, hamba rela menjadi tumbal tegaknya agamaMu!”
Api kian merajalela. Udara panas menyebar merasuki nafas, menggelegakkan darah. Hanya deretan pohon sawo di halaman Puri yang masih tegak terselubung kepulan asap, menyampaikan pesan yang sering diulang-ulang Sang Pangeran, “Sawo jajar... Sawwu shufufakum... Luruskan barisan!”
Bagi pasukan penyerbu, serangan mereka sesungguhnya gagal mencapai tujuan awal. Sang Pangeran yang hendak ditangkap itu terlihat nun jauh semakin ke barat, melintasi pematang sawah yang basah oleh hujan salah musim. Bagai bangau berbaris, pakaian putih-putih para pengikutnya menggerayap di garis cakrawala.
Masih tampak, namun tak tergapai jangkauan tembak.
“Lihat Paman! Lihat sedulur sekalian!”, seru Sang Pangeran sambil mengacungkan tangan ke arah Puri yang dikerumuk api. “Kediaman kita telah terbakar! Tiada lagi tersisa tempat bagi kita di atas bumi ini! Maka mari kita semua mencari tempat di sisi Gusti Allah!”
___________
Mengenang 200 tahun dimulainya Perang Jawa, naskah dari 'Sang Pangeran dan Janissary Terakhir.'
No comments:
Post a Comment