Benteng Kolosal Daha - Wilwatikta
Orang Belanda/VoC yg menaklukkan benteng Wilwatikta di Daha pada 1768 tentunya sangatlah takjub dengan dimensi benteng tsb, bayangkan sebuah benteng batu-bata sepanjang 8.5 km, 2 meter tebalnya mengelilingi sebuah kota di pinggir sungai Brantas.
Mereka tentulah membandingkan dengan dimensi benteng Plered yang di jaman itu sudah dikatakan yang paling mutakhir melebihi benteng Karta di kota Gede yg masih sederhana, tapi fakta mengatakan bahwa Plered pun tidak ada apa-apa nya dibandingkan dengan bangunan kuno yg mereka lihat.
Keliling Plered hanya 2.6 km (600 x 500 meter), sedangkan benteng di kota Daha ini keliling nya 8.5 km (asumsikan saja 2.2 km x 2 km - total keliling 8.4 km), dari sisi luas benteng Wilwatikta ini luasnya 440 hektare sedangkan Plered hanya 30 ha, artinya sekitar 15 benteng Plered bisa masuk ke dalam benteng Daha ini!
Belum cukup mengintimidasi, benteng Plered hanya memiliki tinggi 3 meter, sedangkan Benteng di kota Daha ini tinggi nya 6 meter, bayangkan kekaguman mereka saat melihat benteng kuno ini, mereka harus mendongak lebih tinggi saat melihat puncak benteng stb, pikir mereka, pantas saja Trunojoyo lebih hebat dari raja Mataram yang mereka bela saat ini.
Nah kalau benteng Daha - Wilwatikta membuat orang dahulu merasa kagum, terintimidasi dengan luas dan tingginya, sejarawan modern tentu lebih takjub lagi saat melakukan ekskavasi kota Majapahit di Trowulan.
Walaupun benteng daerah inti Majapahit tidak seluas Kediri, tapi tetap saja ukuran kota tsb membuat orang ternganga, 9 x 11 km sekitar 100 km persegi atau 10.000 hektar, artinya 22 benteng Daha, atau 300 benteng Plered bisa masuk ke dalamnya!
Dan tak cukup terkesan dengan luasnya, Ma-huan juru tulis Laksamana Cheng-ho menulis bahwa benteng daerah inti Majapahit memiliki tinggi diatas 9 meter (angka ini dirasa lebih masuk akal daripada 30 meter mengingat forbidden City wall saja hanya 10 meter), jadi dinding Majapahit 1.5x lebih tinggi daripada benteng Daha, 3x lebih tinggi daripada Plered!
Di abad modern ini, kota Jogja yang mempunyai tata-letak dan philosophy yang meniru Majapahit-pun terasa lebih inferior dari segi luas dan tingginya jika dibandingkan dengan peninggalan Majapahit, padahal kota ini jelas lebih kuno daripada Jogja.
Tapi perkara hebat-hebatan dari segi bangunan, kalau orang Majapahit mempunyai kemampuan seperti kita di jaman modern ini, mereka pun terasa terintimidasi kala mereka melihat Borobudur, batu bata lebih ringan, lebih mudah dibuat, Borobudur full batu-batuan, tentu lebih berat dan susah dibentuk guna membuat bangunan kolosal seukuran dan setinggi candi Budha ini.
Beruntunglah, Borobudur tidak pernah dibuat pertahanan untuk melawan Belanda atau sekutu mereka, kalau saja dulu Trunojoyo bertahan di sana, kita mungkin tidak akan pernah tahu kebesaran candi Borobudur, karena seperti yang terjadi di Daha, VoC akan menghancurkan bangunan tsb supaya tidak dipakai lagi sebagai benteng pertahanan pemberontak di masa depan.
Mungkin disini ada juga yang mempertanyakan, mengapa koq kami berani mengatakan bahwa benteng Trunojoyo yang dihancurkan VoC ini sebagai benteng Wilwatikta, bukankah ada Trunojoyo disitu, bukankah Majapahit sudah runtuh pada saat itu?
Di suasana chaotic, peperangan, penghancuran, pembunuhan dan selalu curiga, tidak mungkin pemberontak maupun penguasa berpikir dan mengerahkan resource guna membangun suatu benteng dengan skala se-kolosal benteng tsb, butuh produksi batu bata, butuh manusia berapa ribu, keamanan dan ini batu batanya lebih kuno dari pada jaman VoC 1768, jelas bukan Trunojoyo.
Di masa damai saja, Demak atau Mataram era Sultan Agung saja tidak mampu membuat nya, apalagi Trunojoyo yang harus berperang melawan kekuatan Mataram dan sekarang VoC, dia tentu hanya mempergunakan resource yg tersedia saat itu, pilihan Daha yang terus ditempati sejak dahulu, dengan karakter bangunan melebihi Plered walau lebih kuno tentulah sangat cocok digunakan sebagai markas mereka.
Lalu kalau bukan Trunojoyo, siapa kah yg membangunnya? Para Adipati Kediri yg berinduk ke Demak, Pajang - Giri, kemudian Mataram era Senapati dan Sultan Agung?
Jelas tidak mungkin juga, para Sultan nya saja di masa mereka berkuasa, kaya dan mempunyai waktu tidak mampu membuat benteng seukuran benteng Daha, apalagi para Adipati Kediri ini sudah tidak punya kekayaan dari pelabuhan pantai utara, pergantian poros kekuasaan, plus repot dengan situasi sehari-hari yg masih penuh dengan residue pergantian kultur di masyarakat, mustahil mereka bisa melakukannya.
Dari sini, kita harus mundur ke belakang, ke jaman raja yg mempunyai motif, kemampuan dan waktu untuk membuat atau paling tidak memperkuat benteng tsb, sesuai dgn laporan visual pada saat perang Trunojoyo 1768, bahwa benteng itu terbuat dari batu bata merah yg lebih kuno dari masa VoC & Mataram.
Bersambung
Notes:
Keberadaan Benteng Daha adalah kenyataan sejarah, pakar - pakar sejarah seperti Ricklefs, De Graaf dll mengkonfirmasi nya dari Daghregister VoC 1678 - The expedition of Admiral Anthonio Hurdt...journal oleh Johann Jurgen Briel.
Benteng Plered bersumber dari Buku: “Keraton Plered: Peninggalan Arkeologi Kesultanan Mataram Islam” oleh BPCB DIY.
Sumber istana Majapahit: Ma Huan (catatan ekspedisi Zheng He, 1413)
Gambar dibawah bukan Daha, hanya rekaan gambar 3D kota Majapahit.
No comments:
Post a Comment