29 July 2025

Gegodog 1676: Hari Saat Pangeran Purbaya Gugur dan Mataram Terkapar Pada 13 Oktober 1676, sebuah pertempuran besar yang sarat makna sejarah meletus di Gegodog, sebuah kawasan strategis antara pesisir utara dan daratan timur Pulau Jawa. Pertempuran ini bukan hanya benturan fisik antara pasukan Kerajaan Mataram melawan koalisi Madura-Makassar yang dipimpin Raden Trunajaya, namun juga menandai kemunduran tajam kekuatan politik dan militer Mataram di bawah pimpinan putra mahkota, Pangeran Adipati Anom. Wafatnya Pangeran Purbaya dalam pertempuran ini menjadi simbol keruntuhan moral dan keperkasaan kerajaan yang sebelumnya hegemonik di tanah Jawa. Sumber utama dari narasi ini berasal dari Babad B.P. jilid XII, Serat Kandha, dan dokumen Meinsma, serta laporan daghregister Kompeni Belanda. Keberadaan catatan-catatan ini memberi gambaran kronologis, militer, dan psikologis yang memperkaya pemahaman historis tentang pertempuran di Gegodog. * Asal Usul dan Posisi Genealogis Pangeran Purbaya: Ancaman Tersembunyi bagi Amangkurat I Dalam sejarah Dinasti Mataram Islam, Pangeran Purbaya menempati posisi yang sangat penting, bukan hanya karena kedekatan darahnya dengan pendiri dinasti, Panembahan Senopati, tetapi juga karena posisinya yang unik dalam struktur kekuasaan internal istana. Ia adalah putra kandung Panembahan Senopati dari seorang istri yang bukan permaisuri, yakni Kanjeng Ratu Giring. Meski lahir dari selir, garis darahnya mengalir langsung dari Sang Pendiri Mataram, menjadikannya bagian dari generasi pertama trah dinasti tersebut. Dari garis ibunya, Pangeran Purbaya adalah cucu Ki Ageng Giring, tokoh karismatik sekaligus rival spiritual Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senopati. Maka, secara garis darah, Purbaya mewarisi dua poros utama leluhur Mataram. Dari pihak ibu, ia keturunan Ki Ageng Giring. Dari pihak ayah, ia cucu Ki Ageng Pamanahan. Namun ironisnya, meskipun darah agung mengalir dari dua trah besar pendiri Mataram, takdir menjadikannya hanya bayangan di balik takhta, bukan sebagai pewarisnya. Pangeran Purbaya adalah saudara seayah dari Raden Mas Jolang, yang kelak naik takhta sebagai Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram setelah wafatnya Panembahan Senopati. Dari pernikahan Panembahan Hanyakrawati inilah lahir Sultan Agung, penguasa terbesar dalam sejarah Mataram Islam yang memerintah antara tahun 1613 hingga 1645. Sultan Agung kemudian menurunkan Amangkurat pertama, yang bertakhta dari tahun 1646 hingga 1677. Secara genealogis, ini berarti bahwa Pangeran Purbaya merupakan paman dari Sultan Agung dan kakek dari Amangkurat I. Dengan demikian, ia adalah tokoh senior dalam struktur keluarga kerajaan, termasuk dalam lapisan bangsawan sepuh yang disegani dan memiliki akar kekuasaan yang lebih tua dibanding generasi penerusnya. Dalam tatanan masyarakat Jawa tradisional, usia dan garis keturunan memainkan peranan krusial dalam struktur legitimasi, dan di sinilah letak kekuatan tersembunyi Pangeran Purbaya. Meski bukan pewaris takhta utama, Pangeran Purbaya memiliki kharisma dan dukungan luas, terutama dari kalangan prajurit veteran serta bangsawan-bangsawan tua yang masih menganggapnya sebagai wakil dari generasi Panembahan Senopati. Di mata mereka, ia adalah representasi kejayaan awal Mataram, masa ketika kekuasaan kerajaan masih berbasis pada konsensus para elite lokal, bukan sistem monarki absolut yang mulai ditegakkan oleh Amangkurat I. Ketika Amangkurat I mulai memusatkan kekuasaan dan mengeliminasi potensi-pesaing dari kalangan kerabat istana, Pangeran Purbaya dipandang sebagai ancaman potensial. Pengaruhnya terlalu luas, martabatnya terlalu tinggi, dan loyalitas prajurit-prajurit lama terlalu kuat melekat padanya. Amangkurat I, yang sedang menyusun kekuasaan dengan basis kontrol penuh atas birokrasi dan militer, tidak bisa mengabaikan figur sepuh yang secara genealogis lebih unggul itu. Sumber-sumber babad Jawa seperti Babad Tanah Jawi umumnya menggambarkan Pangeran Purbaya sebagai sosok setia kepada kerajaan. Ia disebut sebagai pangeran yang menyingkir dari hiruk-pikuk istana, memilih tinggal di daerah pedalaman atau mengabdi secara simbolik. Namun gambaran ini kontras jika dibandingkan dengan laporan-laporan kolonial Belanda, terutama dalam naskah Gezantschapsreizen van Goens yang ditulis oleh Cornelis van der Lijn dan Rijcklof van Goens. Sumber Belanda ini justru membuka tabir konflik yang jauh lebih kompleks, di mana Pangeran Purbaya tampak berada dalam posisi tawar tinggi yang nyaris memecah internal keluarga Mataram. Dalam laporan van Goens, tersirat bahwa Pangeran Purbaya pernah menjadi pusat dari ketegangan istana yang bisa berujung pada perang saudara. Ia dianggap sebagai figur alternatif yang bisa didukung oleh kelompok bangsawan yang tidak puas dengan kebijakan keras dan gaya pemerintahan otoriter Amangkurat I. Amangkurat I, sejak awal kekuasaannya, melakukan pembersihan politik besar-besaran terhadap bangsawan dan ulama, menciptakan ketakutan yang meluas. Ketidakhadiran Purbaya dari istana pada 1655 menjadi simbol pembangkangan. Ia mulai menghimpun loyalis, termasuk anak cucunya yang banyak menduduki jabatan strategis. Ketegangan memuncak saat anaknya, Raden Mas, menolak menyampaikan pesan damai dari raja, menyatakan loyalitas tunggalnya kepada Amangkurat. Sebagai respons, sang raja mengerahkan pasukan besar untuk mengepung kediaman Purbaya. Namun sang pangeran memilih jalur damai. Ia mengirim kembali anaknya ke istana dengan pesan kesetiaan. Di tengah krisis ini, ibunda Amangkurat pertama, Ratu Ibu yang merupakan janda Sultan Agung, berperan sebagai penengah. Ia membawa putranya berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri dan memohon pengampunan bagi Purbaya. Permintaan itu dikabulkan setelah melalui adegan simbolik dan emosional yang berhasil menghindarkan Mataram dari perang saudara. Meski diampuni, Purbaya tak pernah kembali berpengaruh seperti dahulu. Catatan Belanda menyebut hanya ia dan Tumenggung Singaranu yang tersisa dari generasi lama. Pembersihan politik terus berjalan. Setelah wafatnya Ratu Ibu pada 1652, tak ada lagi yang mampu menahan absolutisme Amangkurat. Kisah Purbaya menggambarkan bagaimana warisan genealogis dan moral dari pendiri Mataram dapat dibungkam oleh kekuasaan yang terobsesi akan kontrol. Ia adalah simbol kearifan lama yang tersingkir oleh politik eliminasi dan ketakutan, pendahulu dari krisis besar seperti Pemberontakan Trunajaya yang kemudian meluluhlantakkan Mataram. * Konfigurasi Militer: Perkemahan dan Strategi Jepara Pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom berkemah di Jepara sebelum bergerak ke medan tempur. Menurut Babad B.P. (jil. XII, hlm. 3-5), konfigurasi perkemahan menunjukkan distribusi kekuatan: Adipati Anom di rumah Ngabei Wangsaprana; Pangeran Singasari di selatan pura; Pangeran Purbaya di Kasatusan; Pangeran Blitar di Bayularangan; dan Pangeran Sampang di luar kota. Perkemahan ini disertai dengan musyawarah tiga hari dan konsolidasi pasukan dari pesisir barat dan daerah Bangwetan. Pangeran Purbaya, dalam rapat tersebut, melaporkan kolaborasi erat antara kekuatan Madura dan Makassar yang telah menyatakan patuh pada Raden Trunajaya yang berkedudukan di Surabaya. Titah ini membuktikan bahwa Raden Trunajaya telah berhasil menyusun kekuatan lintas etnik dan regional, dengan pengakuan sebagai Panembahan Maduretna Panatagama oleh daerah-daerah timur Jawa. Walaupun kecewa karena dikhianati Trunajaya, yang sebelumnya pernah menjalin kesepakatan, putra mahkota tetap melanjutkan ekspedisi demi menghindari aib kegagalan. Jepara ditinggalkan dengan penjagaan Wangsadipa, dibantu oleh pihak Belanda bahkan Inggris (Serat Kandha, halaman 1029). * Pasukan Bergerak: Menuju Gegodog Pasukan Mataram menyusur garis pantai utara, dengan perbekalan dibawa lewat kapal. Di garis depan, pasukan pesisir dan Mancanagara bertugas membuka jalan, disusul kesatuan inti dari Mataram. Setiba di Gegodog atau Masahar (Babad B.P., jil. XII, hlm. 7), mereka berhadapan dengan gabungan pasukan Madura, Makassar, dan Mancanagara. Pemimpin-pemimpin koalisi ini termasuk Mangkuyuda, Dandangwacana, Wangsaprana dari Madura; serta Karaeng Galesong, Daeng Marewa, Daeng Makincing, dan Bung Mernung dari Makassar. Formasi tempur mereka tertib: Madura di barisan depan, Makassar di tengah, dan Mancanagara di belakang. Pertempuran yang meletus diawali dengan senjata api, menghasilkan kepulan asap yang pekat, lalu disusul pertarungan senjata tajam. Pasukan Mataram yang semula unggul, mulai kehilangan keunggulan karena perlawanan sengit dari pihak pemberontak. Di tengah pertempuran, semangat tempur pasukan Mataram mulai menurun. Banyak prajurit tewas, termasuk tokoh penting seperti Kiai Ngabei Wirajaya, Panji Wirabumi, dan Kiai Rangga Sidayu. Putra mahkota yang kehilangan semangat ikut berpengaruh pada moril pasukan. "Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan," ujar Pangeran Purbaya dalam penggalan terakhir hidupnya. Pangeran Purbaya sendiri tetap bertahan meski kudanya mati. Ia berperang dengan keris pusaka bernama Panji. Tubuhnya tak mempan senjata biasa, namun akhirnya dikeroyok dan tulang-tulangnya diremukkan. Dalam keadaan sekarat, ia menolak menyaksikan keruntuhan Mataram dan wafat dengan kebesaran seorang satria.Namun sebelum wafat, ia berkata dengan getir: "Kepada tiga raja aku mengabdi, tapi tak pernah aku melihat Mataram serendah ini. Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan. Mataram ditakdirkan runtuh. Aku tak sudi menyaksikannya." (Babad BP, jil. XII, hlm. 10) Pangeran Blitar menyelamatkan jenazahnya, memasukkannya ke dalam peti dan membawanya kembali ke Mataram. Hari itu, tanggal 8 Ruwah Dal 1599 Jawa atau 13 Oktober 1676 Masehi, menjadi titik balik kehancuran pasukan kerajaan. * Kekacauan Pasca-Pertempuran Pasukan Mataram bubar. Banyak yang melarikan diri ke Jepara atau mengundurkan diri. Para pemberontak merajalela dan terjadi perampokan besar-besaran. Menurut Serat Kandha (hlm. 1038), penyakit melanda pasukan, logistik habis, dan kondisi menjadi sangat buruk. Pihak Madura dan Mancanagara terus mengejar mereka yang lari, tetapi tanpa hasil. Dalam laporan Wangsadipa kepada Kompeni tertanggal 19 Agustus dan 12 September 1676, disebutkan bahwa pasukan Mataram yang datang ke Jepara disertai tokoh-tokoh besar, antara lain Singasari, Purbaya, Blitar, Raden Wiranapada, Rajamenggala, Pangeran Sampang, dan Cirebon. Meskipun keabsahan daftar ini diragukan, surat tersebut menunjukkan upaya diplomatik untuk menarik simpati dan kekaguman Belanda. Pada 12 September 1676, Pangeran Adipati Anom mengadakan pertemuan besar dengan Residen Couper di Jepara, yang dihadiri lebih dari 1.000 orang. Dalam pertemuan itu, Couper memberikan hadiah senjata dan tekstil. Putra mahkota mengucapkan terima kasih atas nama ayahandanya, Sultan Amangkurat I, dan memohon bantuan untuk memulihkan stabilitas kerajaan. * Simbol Kejatuhan Wafatnya Pangeran Purbaya di medan Gegodog adalah salah satu titik balik penting dalam sejarah Mataram. Ia adalah tokoh karismatik dan panglima senior yang setia pada tiga generasi raja. Dalam sekaratnya, ia melihat Mataram sebagai kerajaan yang ditakdirkan runtuh, bukan karena kekuatan musuh semata, tetapi karena kegetiran moral dari dalam: pengkhianatan, ketakutan, dan kelemahan hati para pemimpinnya. Dalam kacamata historiografi, Pertempuran Gegodog bukan hanya peristiwa militer, melainkan juga simbol kegagalan elite Mataram dalam membaca dinamika sosial-politik abad ke-17. Aliansi musuh yang plural, lemahnya kepercayaan pada pusat kekuasaan, dan keengganan membangun reformasi militer membuat kerajaan ini rapuh di hadapan ancaman internal. Pangeran Purbaya wafat sebagai martir. Namun, seperti banyak tokoh tragis lainnya dalam sejarah Jawa, pengorbanannya tidak mampu membendung arus kehancuran. Tiga tahun kemudian, Mataram dipaksa menandatangani perjanjian dengan Kompeni, menandai awal dari subordinasi politik yang panjang. Dengan demikian, Gegodog bukan sekadar titik di peta atau panggung pertempuran berdarah. Ia adalah tugu sunyi yang menyimpan gema luka dinasti. Di tempat itulah kesetiaan diuji, kehormatan direnggut, dan warisan tergerus oleh waktu. Di sanalah, di antara tanah yang basah oleh hujan dan darah, gugur seorang putra agung dari fajar Dinasti Mataram. Pangeran Purbaya, pewaris yang tak pernah dinobatkan, kesatria yang tak pernah mengkhianat. * Abror Subhi https://jatimtimes.com/baca/342249/20250724/101800/gegodog-1676-hari-saat-pangeran-purbaya-gugur-dan-mataram-terkapar

 Gegodog 1676: Hari Saat Pangeran Purbaya Gugur dan Mataram Terkapar

 Pada 13 Oktober 1676, sebuah pertempuran besar yang sarat makna sejarah meletus di Gegodog, sebuah kawasan strategis antara pesisir utara dan daratan timur Pulau Jawa.



Pertempuran ini bukan hanya benturan fisik antara pasukan Kerajaan Mataram melawan koalisi Madura-Makassar yang dipimpin Raden Trunajaya, namun juga menandai kemunduran tajam kekuatan politik dan militer Mataram di bawah pimpinan putra mahkota, Pangeran Adipati Anom. Wafatnya Pangeran Purbaya dalam pertempuran ini menjadi simbol keruntuhan moral dan keperkasaan kerajaan yang sebelumnya hegemonik di tanah Jawa.


Sumber utama dari narasi ini berasal dari Babad B.P. jilid XII, Serat Kandha, dan dokumen Meinsma, serta laporan daghregister Kompeni Belanda. Keberadaan catatan-catatan ini memberi gambaran kronologis, militer, dan psikologis yang memperkaya pemahaman historis tentang pertempuran di Gegodog.


* Asal Usul dan Posisi Genealogis Pangeran Purbaya: Ancaman Tersembunyi bagi Amangkurat I

Dalam sejarah Dinasti Mataram Islam, Pangeran Purbaya menempati posisi yang sangat penting, bukan hanya karena kedekatan darahnya dengan pendiri dinasti, Panembahan Senopati, tetapi juga karena posisinya yang unik dalam struktur kekuasaan internal istana. Ia adalah putra kandung Panembahan Senopati dari seorang istri yang bukan permaisuri, yakni Kanjeng Ratu Giring. Meski lahir dari selir, garis darahnya mengalir langsung dari Sang Pendiri Mataram, menjadikannya bagian dari generasi pertama trah dinasti tersebut.


Dari garis ibunya, Pangeran Purbaya adalah cucu Ki Ageng Giring, tokoh karismatik sekaligus rival spiritual Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senopati. Maka, secara garis darah, Purbaya mewarisi dua poros utama leluhur Mataram. Dari pihak ibu, ia keturunan Ki Ageng Giring. Dari pihak ayah, ia cucu Ki Ageng Pamanahan. Namun ironisnya, meskipun darah agung mengalir dari dua trah besar pendiri Mataram, takdir menjadikannya hanya bayangan di balik takhta, bukan sebagai pewarisnya.


Pangeran Purbaya adalah saudara seayah dari Raden Mas Jolang, yang kelak naik takhta sebagai Panembahan Hanyakrawati, raja kedua Mataram setelah wafatnya Panembahan Senopati. Dari pernikahan Panembahan Hanyakrawati inilah lahir Sultan Agung, penguasa terbesar dalam sejarah Mataram Islam yang memerintah antara tahun 1613 hingga 1645. Sultan Agung kemudian menurunkan Amangkurat pertama, yang bertakhta dari tahun 1646 hingga 1677.


Secara genealogis, ini berarti bahwa Pangeran Purbaya merupakan paman dari Sultan Agung dan kakek dari Amangkurat I. Dengan demikian, ia adalah tokoh senior dalam struktur keluarga kerajaan, termasuk dalam lapisan bangsawan sepuh yang disegani dan memiliki akar kekuasaan yang lebih tua dibanding generasi penerusnya. Dalam tatanan masyarakat Jawa tradisional, usia dan garis keturunan memainkan peranan krusial dalam struktur legitimasi, dan di sinilah letak kekuatan tersembunyi Pangeran Purbaya.


Meski bukan pewaris takhta utama, Pangeran Purbaya memiliki kharisma dan dukungan luas, terutama dari kalangan prajurit veteran serta bangsawan-bangsawan tua yang masih menganggapnya sebagai wakil dari generasi Panembahan Senopati. Di mata mereka, ia adalah representasi kejayaan awal Mataram, masa ketika kekuasaan kerajaan masih berbasis pada konsensus para elite lokal, bukan sistem monarki absolut yang mulai ditegakkan oleh Amangkurat I.


Ketika Amangkurat I mulai memusatkan kekuasaan dan mengeliminasi potensi-pesaing dari kalangan kerabat istana, Pangeran Purbaya dipandang sebagai ancaman potensial. Pengaruhnya terlalu luas, martabatnya terlalu tinggi, dan loyalitas prajurit-prajurit lama terlalu kuat melekat padanya. Amangkurat I, yang sedang menyusun kekuasaan dengan basis kontrol penuh atas birokrasi dan militer, tidak bisa mengabaikan figur sepuh yang secara genealogis lebih unggul itu.


Sumber-sumber babad Jawa seperti Babad Tanah Jawi umumnya menggambarkan Pangeran Purbaya sebagai sosok setia kepada kerajaan. Ia disebut sebagai pangeran yang menyingkir dari hiruk-pikuk istana, memilih tinggal di daerah pedalaman atau mengabdi secara simbolik. Namun gambaran ini kontras jika dibandingkan dengan laporan-laporan kolonial Belanda, terutama dalam naskah Gezantschapsreizen van Goens yang ditulis oleh Cornelis van der Lijn dan Rijcklof van Goens. Sumber Belanda ini justru membuka tabir konflik yang jauh lebih kompleks, di mana Pangeran Purbaya tampak berada dalam posisi tawar tinggi yang nyaris memecah internal keluarga Mataram.


Dalam laporan van Goens, tersirat bahwa Pangeran Purbaya pernah menjadi pusat dari ketegangan istana yang bisa berujung pada perang saudara. Ia dianggap sebagai figur alternatif yang bisa didukung oleh kelompok bangsawan yang tidak puas dengan kebijakan keras dan gaya pemerintahan otoriter Amangkurat I.


Amangkurat I, sejak awal kekuasaannya, melakukan pembersihan politik besar-besaran terhadap bangsawan dan ulama, menciptakan ketakutan yang meluas. Ketidakhadiran Purbaya dari istana pada 1655 menjadi simbol pembangkangan. Ia mulai menghimpun loyalis, termasuk anak cucunya yang banyak menduduki jabatan strategis. Ketegangan memuncak saat anaknya, Raden Mas, menolak menyampaikan pesan damai dari raja, menyatakan loyalitas tunggalnya kepada Amangkurat.


Sebagai respons, sang raja mengerahkan pasukan besar untuk mengepung kediaman Purbaya. Namun sang pangeran memilih jalur damai. Ia mengirim kembali anaknya ke istana dengan pesan kesetiaan. Di tengah krisis ini, ibunda Amangkurat pertama, Ratu Ibu yang merupakan janda Sultan Agung, berperan sebagai penengah. Ia membawa putranya berziarah ke makam Sultan Agung di Imogiri dan memohon pengampunan bagi Purbaya. Permintaan itu dikabulkan setelah melalui adegan simbolik dan emosional yang berhasil menghindarkan Mataram dari perang saudara.


Meski diampuni, Purbaya tak pernah kembali berpengaruh seperti dahulu. Catatan Belanda menyebut hanya ia dan Tumenggung Singaranu yang tersisa dari generasi lama. Pembersihan politik terus berjalan. Setelah wafatnya Ratu Ibu pada 1652, tak ada lagi yang mampu menahan absolutisme Amangkurat. 


Kisah Purbaya menggambarkan bagaimana warisan genealogis dan moral dari pendiri Mataram dapat dibungkam oleh kekuasaan yang terobsesi akan kontrol. Ia adalah simbol kearifan lama yang tersingkir oleh politik eliminasi dan ketakutan, pendahulu dari krisis besar seperti Pemberontakan Trunajaya yang kemudian meluluhlantakkan Mataram.


* Konfigurasi Militer: Perkemahan dan Strategi Jepara


Pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom berkemah di Jepara sebelum bergerak ke medan tempur. Menurut Babad B.P. (jil. XII, hlm. 3-5), konfigurasi perkemahan menunjukkan distribusi kekuatan: Adipati Anom di rumah Ngabei Wangsaprana; Pangeran Singasari di selatan pura; Pangeran Purbaya di Kasatusan; Pangeran Blitar di Bayularangan; dan Pangeran Sampang di luar kota. Perkemahan ini disertai dengan musyawarah tiga hari dan konsolidasi pasukan dari pesisir barat dan daerah Bangwetan.


Pangeran Purbaya, dalam rapat tersebut, melaporkan kolaborasi erat antara kekuatan Madura dan Makassar yang telah menyatakan patuh pada Raden Trunajaya yang berkedudukan di Surabaya. Titah ini membuktikan bahwa Raden Trunajaya telah berhasil menyusun kekuatan lintas etnik dan regional, dengan pengakuan sebagai Panembahan Maduretna Panatagama oleh daerah-daerah timur Jawa.


Walaupun kecewa karena dikhianati Trunajaya, yang sebelumnya pernah menjalin kesepakatan, putra mahkota tetap melanjutkan ekspedisi demi menghindari aib kegagalan. Jepara ditinggalkan dengan penjagaan Wangsadipa, dibantu oleh pihak Belanda bahkan Inggris (Serat Kandha, halaman 1029).


* Pasukan Bergerak: Menuju Gegodog


Pasukan Mataram menyusur garis pantai utara, dengan perbekalan dibawa lewat kapal. Di garis depan, pasukan pesisir dan Mancanagara bertugas membuka jalan, disusul kesatuan inti dari Mataram. Setiba di Gegodog atau Masahar (Babad B.P., jil. XII, hlm. 7), mereka berhadapan dengan gabungan pasukan Madura, Makassar, dan Mancanagara. Pemimpin-pemimpin koalisi ini termasuk Mangkuyuda, Dandangwacana, Wangsaprana dari Madura; serta Karaeng Galesong, Daeng Marewa, Daeng Makincing, dan Bung Mernung dari Makassar.


Formasi tempur mereka tertib: Madura di barisan depan, Makassar di tengah, dan Mancanagara di belakang. Pertempuran yang meletus diawali dengan senjata api, menghasilkan kepulan asap yang pekat, lalu disusul pertarungan senjata tajam. Pasukan Mataram yang semula unggul, mulai kehilangan keunggulan karena perlawanan sengit dari pihak pemberontak.


Di tengah pertempuran, semangat tempur pasukan Mataram mulai menurun. Banyak prajurit tewas, termasuk tokoh penting seperti Kiai Ngabei Wirajaya, Panji Wirabumi, dan Kiai Rangga Sidayu. Putra mahkota yang kehilangan semangat ikut berpengaruh pada moril pasukan. "Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan," ujar Pangeran Purbaya dalam penggalan terakhir hidupnya.


Pangeran Purbaya sendiri tetap bertahan meski kudanya mati. Ia berperang dengan keris pusaka bernama Panji. Tubuhnya tak mempan senjata biasa, namun akhirnya dikeroyok dan tulang-tulangnya diremukkan. Dalam keadaan sekarat, ia menolak menyaksikan keruntuhan Mataram dan wafat dengan kebesaran seorang satria.Namun sebelum wafat, ia berkata dengan getir:


"Kepada tiga raja aku mengabdi, tapi tak pernah aku melihat Mataram serendah ini. Laki-laki menjadi penakut seperti perempuan. Mataram ditakdirkan runtuh. Aku tak sudi menyaksikannya." (Babad BP, jil. XII, hlm. 10)


Pangeran Blitar menyelamatkan jenazahnya, memasukkannya ke dalam peti dan membawanya kembali ke Mataram. Hari itu, tanggal 8 Ruwah Dal 1599 Jawa atau 13 Oktober 1676 Masehi, menjadi titik balik kehancuran pasukan kerajaan.


* Kekacauan Pasca-Pertempuran


Pasukan Mataram bubar. Banyak yang melarikan diri ke Jepara atau mengundurkan diri. Para pemberontak merajalela dan terjadi perampokan besar-besaran. Menurut Serat Kandha (hlm. 1038), penyakit melanda pasukan, logistik habis, dan kondisi menjadi sangat buruk. Pihak Madura dan Mancanagara terus mengejar mereka yang lari, tetapi tanpa hasil.


Dalam laporan Wangsadipa kepada Kompeni tertanggal 19 Agustus dan 12 September 1676, disebutkan bahwa pasukan Mataram yang datang ke Jepara disertai tokoh-tokoh besar, antara lain Singasari, Purbaya, Blitar, Raden Wiranapada, Rajamenggala, Pangeran Sampang, dan Cirebon. Meskipun keabsahan daftar ini diragukan, surat tersebut menunjukkan upaya diplomatik untuk menarik simpati dan kekaguman Belanda.


Pada 12 September 1676, Pangeran Adipati Anom mengadakan pertemuan besar dengan Residen Couper di Jepara, yang dihadiri lebih dari 1.000 orang. Dalam pertemuan itu, Couper memberikan hadiah senjata dan tekstil. Putra mahkota mengucapkan terima kasih atas nama ayahandanya, Sultan Amangkurat I, dan memohon bantuan untuk memulihkan stabilitas kerajaan.


* Simbol Kejatuhan


Wafatnya Pangeran Purbaya di medan Gegodog adalah salah satu titik balik penting dalam sejarah Mataram. Ia adalah tokoh karismatik dan panglima senior yang setia pada tiga generasi raja. Dalam sekaratnya, ia melihat Mataram sebagai kerajaan yang ditakdirkan runtuh, bukan karena kekuatan musuh semata, tetapi karena kegetiran moral dari dalam: pengkhianatan, ketakutan, dan kelemahan hati para pemimpinnya.


Dalam kacamata historiografi, Pertempuran Gegodog bukan hanya peristiwa militer, melainkan juga simbol kegagalan elite Mataram dalam membaca dinamika sosial-politik abad ke-17. Aliansi musuh yang plural, lemahnya kepercayaan pada pusat kekuasaan, dan keengganan membangun reformasi militer membuat kerajaan ini rapuh di hadapan ancaman internal.


Pangeran Purbaya wafat sebagai martir. Namun, seperti banyak tokoh tragis lainnya dalam sejarah Jawa, pengorbanannya tidak mampu membendung arus kehancuran. Tiga tahun kemudian, Mataram dipaksa menandatangani perjanjian dengan Kompeni, menandai awal dari subordinasi politik yang panjang.


Dengan demikian, Gegodog bukan sekadar titik di peta atau panggung pertempuran berdarah. Ia adalah tugu sunyi yang menyimpan gema luka dinasti. Di tempat itulah kesetiaan diuji, kehormatan direnggut, dan warisan tergerus oleh waktu. Di sanalah, di antara tanah yang basah oleh hujan dan darah, gugur seorang putra agung dari fajar Dinasti Mataram. Pangeran Purbaya, pewaris yang tak pernah dinobatkan, kesatria yang tak pernah mengkhianat.


* Abror Subhi 

https://jatimtimes.com/baca/342249/20250724/101800/gegodog-1676-hari-saat-pangeran-purbaya-gugur-dan-mataram-terkapar

No comments:

Post a Comment