Arya Jaya
puspita Memimpin Surabaya Melawan Kartasura Dan VOC
Sekitar tahun 1709, Adipati Arya Jayapuspita dinobatkan sebagai Tumenggung baru di Surabaya menggantikan kakaknya, Tumenggung Jangrana atau Jayengrana yang dihukum mati oleh Raja Kartasura, Pakubuwana I (Pangeran Puger).
Jayengrana dihukum mati atas desakan VOC kepada Kartasura, dimana Jayengrana dituduh telah bersekutu dengan Wiranegara atau Untung Surapati sewaktu terjadi peperangan di Pasuruan.
Peperangan di Pasuruan (1697) Pihak VOC dan Kartasura bersekutu untuk menyerang Surapati. Sebagai daerah bawahan Kartasura, Surabaya mau tidak mau ikut terlibat dalam perang dengan mengerahkan ribuan pasukan dibawah pimpinan Jayengrana. Sementara VOC dibawah pimpinan Mayor Goovert Knole mengerahkan 800 prajurit bersenjata lengkap dengan meriam. Selain Surabaya, pasukan Madura juga dilibatkan untuk membantu VOC dan Kartasura.
Meski memenangkan peperangan, banyak jatuh korban di pihak VOC dengan hanya menyisakan beberapa pasukan. Sedangkan di pihak pasukan Surabaya tidak ada jatuh korban.
Atas alasan itu, pihak VOC menuntut Kartasura untuk menghukum mati Jayengrana. Apabila tidak dilaksanakan, VOC mengancam bakal memutuskan hubungan dengan Kartasura.
Pangeran Puger atau Pakubuwana I kala itu lebih memilih hubungan baik dengan Belanda dan memutuskan memanggil Jayengrana ke Kartasura untuk dihukum sesuai keinginan VOC. Arya Jayapuspita yang sebelumnya mengetahui permintaan VOC itu menyarakankan kepada Jayengrana untuk melawan dan mati terhormat melalui Jalan Perang.
Namun, usulan itu ditolak oleh Jayengrana karena takut terjadi perang besar yang akan menyengsarakan rakyat Surabaya. Setelah melewati berbagai pertimbangan, Jayengrana pun akhirnya menyerahkan nyawanya pada Pakubuwana.
Jayapuspita yang ikut mengantar Saudaranya itu ke Kartasura diceritakan dalam babad Jawi naik pitam melihat mayat Jayengrana yang telah bersimbah darah akibat tikaman keris para punggawa Kartasura.
Kepada Pangeran Puger, Jayapuspita menyatakan memahami ketidakberdayaan Kartasura dihadapan VOC. Namun dia memastikan akan menuntut balas kepada VOC dengan menyiapkan sekitar 2000 pasukan Surabaya terdiri dari Pasukan Dulang Mangap dan Talangpati untuk menghabisi tentara VOC yang ada di Kartasura.
Niat Jayapuspita itu berubah setelah ia mendapat surat dari Pangeran Puger yang menyatakan mendukung balas Pati Jayapuspita atas kematian Jayengrana. Namun ia meminta Jayapuspita untuk sabar sementara waktu dan menata Surabaya yang saat ini tidak memiliki pemimpin.
“Jayapuspita, ing samêngko sira sun gêntèkakên marang kakangira, dadi bupati ing Surabaya, sira tumuli muliha marang Surabaya, nagara ing kono sira tataa sarta angayumana sanak sadulurira, supaya têntrêma atine, besuk ing samangsane wong cilik wis padha kapenak atine, ingsun anjurungi ing kaniyatanira, bakal ambelani patine kakangira.”
Kata Pangeran Puger dalam suratnya yang dikutip serat Babad Jawi.
Sejak kematian Jayengrana, Arya Jayapuspita hanya sekali saja menghadap ke Kartasura yakni pada bulan Maulud (Maulid). Hingga puncaknya pada 1714 Jayapuspita menyatakan perang terbuka terhadap Kartasura dan juga VOC. Dia juga memerdekakan Surabaya dari Kartasura.
Perang besar terjadi antara Kerajaan Surabaya dengan Kartasura yang bersekutu dengan VOC.
Jayapuspita akhirnya kalah dalam peperangan ini, ia terpaksa menyingkir ke Japan (sekarang Mojokerto) pada tahun 1718 dan bersekutu Arya Dipanagara.
Pakubuwana I kemudian meninggal dunia pada tahun 1719 digantikan oleh anaknya yang bergelar Amangkurat IV. kembali terjadi. Perebutan pucuk penguasa Mataram diantara saudara Amangkurat IV, seperti Pangeran Purbaya, Pangeran Balitar, Pangeran Arya Dipanagara, dan juga Pangeran Arya Mataram (paman Amangkurat IV).
Dalam pemberontakan melawan Amangkurat IV itu, Jayapuspita bergabung dengan Arya Dipanagara. Ditrngah oertempuran tersebut satu persatu kekuatan pemberontak berkurang. Termasuk Jayapuspita yang meninggal karena sakit tahun 1720.
* Abror Subhi
No comments:
Post a Comment