Amukan Mataram, Perlawanan Banten & Surabaya
Sebuah kisah nyata dari abad ke-17, ketika ambisi, darah, dan keyakinan bertemu dalam pusaran perang besar Nusantara.
Di Bawah Langit Jawa yang Bergolak
Tahun 1620-an. Nusantara belum bersatu. Di pulau Jawa, tiga kekuatan besar berdiri dengan bangga Kesultanan Mataram, Kesultanan Banten, dan Kerajaan Surabaya. Di tengah geliat kekuasaan dan penyebaran Islam, muncul satu sosok ambisius yang ingin menyatukan semuanya: Sultan Agung dari Mataram.
Ia bukan hanya raja ia adalah simbol perlawanan terhadap dominasi asing dan pemersatu tanah Jawa. Tapi di balik cita-cita besar itu, ada darah, intrik, dan perang panjang yang mengubah wajah pulau ini.
Mataram Menggertak
Sultan Agung mengangkat tangan di atas menara istana Karta. Matanya tajam menatap barat dan timur. Banten di barat tumbuh menjadi pusat perdagangan internasional, bersahabat dengan Belanda. Surabaya di timur adalah pelabuhan kuat, pusat kekuatan Islam pesisir yang enggan tunduk pada Mataram.
Sultan Agung bersumpah “Aku tak akan berhenti hingga seluruh Jawa berada di bawah satu panji, panji Mataram!”
Serangan ke Surabaya
Tahun 1620 hingga 1625, pasukan Mataram bertubi-tubi menyerang Surabaya. Tanah pesisir itu dikepung. Air sungai dialihkan, makanan diputus, jalan dagang ditutup. Surabaya bertahan keras—mereka tak ingin tunduk pada Mataram yang mewakili kekuasaan pedalaman.
Tapi Sultan Agung bermain cerdik. Dia tidak hanya mengandalkan kekuatan, tapi juga mengepung secara psikologis dan ekonomi.
Surabaya akhirnya runtuh tahun 1625. Kota itu dikepung selama lebih dari 5 tahun, dan akhirnya menyerah karena kelaparan dan kelelahan.
Banten, Sang Raja Laut yang Menolak Tunduk
Setelah Surabaya jatuh, mata Mataram beralih ke barat: Banten. Di sana berdiri Sultan Abul Mafakhir, penguasa laut yang menolak tunduk pada pengaruh Sultan Agung. Banten juga mendapat dukungan dari VOC Belanda, musuh besar Sultan Agung.
Mataram mencoba menggempur, tapi Banten lebih kuat dari yang dibayangkan. Aliansi dengan Belanda membuat serangan menjadi sulit. Mataram tidak pernah bisa benar-benar menaklukkan Banten.
Namun, konflik ini terus memanas hingga akhirnya meletus menjadi perang besar tahun 1633, meski akhirnya berakhir tanpa kemenangan jelas.
Luka dan Warisan
Perang ini bukan hanya soal kekuasaan. Ia adalah simbol benturan antara kekuatan agraris pedalaman (Mataram) dan kekuatan maritim pesisir (Banten dan Surabaya). Perang ini menciptakan luka panjang, tapi juga meninggalkan warisan: impian tentang kesatuan Jawa, semangat anti-kolonial, dan pertarungan ideologi antara dua dunia yang berbeda.
Api yang Tak Pernah Padam
Sultan Agung akhirnya wafat pada 1645. Ia gagal menaklukkan seluruh Jawa, tapi warisannya abadi. Ia dikenang sebagai raja besar yang pertama kali berpikir tentang persatuan Jawa melawan kekuatan asing.
Sementara Banten dan sisa kekuatan pesisir terus bertahan, hingga mereka pun harus berhadapan dengan kekuatan baru dari Eropa yang makin menancapkan taringnya.
#sejarah #jawa #kerajaan #mataram #banten #singosari #bumipusaka #majapahit #sumatra #sriwijaya #surabaya #bonek
No comments:
Post a Comment