28 July 2025

Jasa Dotulong & Pasukan Minahasa untuk Belanda Selama Melawan Diponegoro Pernah ada perang antara Belanda dengan orang-orang di tanah Minahasa, yakni Perang Tondano (1808-1809). Salah satu penyebab Perang Tondano adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk Hindia Belanda. Banyak di antara mereka yang lebih suka dikirim ke pembuangan daripada harus menjadi seradu Belanda, tetapi ada pula yang tertipu dengan janji-janji dan bujukan atau hadiah, akhirnya menjadi serdadu atau tentara bantuan. Di antara yang tertipu itu, ada beberapa yang kabur. Belum dua dekade Perang Tondano usai, pemerintah kolonial kembali meminta orang-orang Minahasa untuk jadi serdadu demi menghadapi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Kali ini Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat mendekati tokoh-tokoh masyarakat. Pendekatan itu sukses, sebuah kontrak penyediaan 1.421 personil diteken oleh pihak Minahasa dan Belanda pada 23 Desember 1927. Orang-orang Minahasa diwakili Abraham Dotulong dan J. Kawilarang. Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (tulung=tolong, bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado. Dalam bahasa Belanda, pasukan Tulungan disebut Hulptroepen. Kenyataannya, pasukan ini adalah tenaga bantuan untuk memperkuat pasukan reguler Belanda di Perang Jawa. Pasukan Tulungan dikomandoi Tololiu Herman Willem Dotulong yang berasal dari Sonder. Lahir di Kema pada 12 Januari 1795, usianya Tololiu 34 tahun ketika memimpin pasukan. Tololiu adalah keponakan dari kepala walak (distrik) Tonsea yang membantu Belanda dalam Perang Tondano. Sebagai kepala pasukan, Tololiu dibantu tiga kapten. Masing-masing kapten ini berasal dari distrik yang menyumbang banyak serdadu. Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langouwan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano). Setiap kapten dibantu dua orang letnan. Para letnan yang terkenal antara lain H. Supit dan Alexander Wuisan dari Tondano; Jahanis Sangari dari Langowan; Mandagi, Palar, dan Mongula dari Tomohon. * Ke Jawa Melawan Diponegoro Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829. Pasukan ini datang pada tahun-tahun terakhir Perang Jawa. Meski begitu, mereka menambah kekuatan militer Belanda untuk terus mengejar pengikut Diponegoro yang makin terdesak. Pihak Belanda tentu terkesan. Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelahnya perang dianggap selesai. Pasukan Tulungan pulang dengan ikut merasa menang dalam Perang Jawa yang menguras kantong pemerintah kolonial Belanda. * Kepala Distrik Setelah perang selesai, banyak pemuda Minahasa kembali ke kampung halamannya, minat untuk menjadi tentara pun meningkat. Tak heran pada masa-masa setelahnya banyak orang Minahasa yang bersemangat jadi serdadu KNIL. Seperti Dotulong, Jesajas Pongoh adalah salah satu legenda serdadu KNIL dengan bintang penghargaan seperti Milltaire Willems Orde. Jika pemuda serdadu bawahan makin berminat menjadi tentara, maka para perwiranya yang masih terhubung erat dengan keluarga para kepala melanjutkan hidup sebagai orang terpandang. Pemerintah kolonial tentu sangat berterimakasih kepada para kepala distrik di Minahasa. Tololiu Datulong pun akhirnya menjadi kepala distrik di Sonder. Dia pensiun pada 1861. Salah seorang keturunan Dotulong menjabat kepala distrik—atau Hukum Besar—bergelar mayor. Namanya Albertus Bernardus Waworuntu. Sementara itu, perwira bawahannya, Kapten Benjamin Thomas Sigar alias Tawajlin Sigar, juga akhirnya jadi kepala distrik Langowan, daerah asalnya. Makamnya tidak jauh dari Gereja Sentrum (Patung Schwarz), Langowan. Ada pula keturunannya yang pernah jadi Hukum Besar atau kepala distrik di Langowan dengan gelar Mayor. Namanya Phillip Sigar. * Abror Subhi https://tirto.id/jasa-dotulong-pasukan-tulungan-untuk-belanda-selama-perang-jawa-dK5D

 Jasa Dotulong & Pasukan Minahasa untuk Belanda Selama Melawan Diponegoro

Pernah ada perang antara Belanda dengan orang-orang di tanah Minahasa, yakni Perang Tondano (1808-1809). Salah satu penyebab Perang Tondano adalah bahwa Minahasa tidak mau menyediakan tentara untuk Hindia Belanda.



Banyak di antara mereka yang lebih suka dikirim ke pembuangan daripada harus menjadi seradu Belanda, tetapi ada pula yang tertipu dengan janji-janji dan bujukan atau hadiah, akhirnya menjadi serdadu atau tentara bantuan. Di antara yang tertipu itu, ada beberapa yang kabur.


Belum dua dekade Perang Tondano usai, pemerintah kolonial kembali meminta orang-orang Minahasa untuk jadi serdadu demi menghadapi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830). Kali ini Residen Manado Daniel Francois Willem Pietermaat mendekati tokoh-tokoh masyarakat.


Pendekatan itu sukses, sebuah kontrak penyediaan 1.421 personil diteken oleh pihak Minahasa dan Belanda pada 23 Desember 1927. Orang-orang Minahasa diwakili Abraham Dotulong dan J. Kawilarang.

Pasukan Minahasa yang disebut Tulungan (tulung=tolong, bantu), tapi lebih dikenal dengan Serdadu Manado. Dalam bahasa Belanda, pasukan Tulungan disebut Hulptroepen. Kenyataannya, pasukan ini adalah tenaga bantuan untuk memperkuat pasukan reguler Belanda di Perang Jawa.


Pasukan Tulungan dikomandoi Tololiu Herman Willem Dotulong yang berasal dari Sonder. Lahir di Kema pada 12 Januari 1795, usianya Tololiu 34 tahun ketika memimpin pasukan. Tololiu adalah keponakan dari kepala walak (distrik) Tonsea yang membantu Belanda dalam Perang Tondano.


Sebagai kepala pasukan, Tololiu dibantu tiga kapten. Masing-masing kapten ini berasal dari distrik yang menyumbang banyak serdadu. Mereka antara lain Benyamin Sigar (Langouwan), D. Rotinsulu (Tonsea), dan Polingkalim (Tondano). Setiap kapten dibantu dua orang letnan. Para letnan yang terkenal antara lain H. Supit dan Alexander Wuisan dari Tondano; Jahanis Sangari dari Langowan; Mandagi, Palar, dan Mongula dari Tomohon.


* Ke Jawa Melawan Diponegoro

Mereka berangkat dengan kapal laut ke Pulau Jawa tanggal 29 Maret 1829. Pasukan ini datang pada tahun-tahun terakhir Perang Jawa. Meski begitu, mereka menambah kekuatan militer Belanda untuk terus mengejar pengikut Diponegoro yang makin terdesak. Pihak Belanda tentu terkesan.


Pangeran Diponegoro berhasil ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830. Setelahnya perang dianggap selesai. Pasukan Tulungan pulang dengan ikut merasa menang dalam Perang Jawa yang menguras kantong pemerintah kolonial Belanda. 


* Kepala Distrik

Setelah perang selesai, banyak pemuda Minahasa kembali ke kampung halamannya, minat untuk menjadi tentara pun meningkat. Tak heran pada masa-masa setelahnya banyak orang Minahasa yang bersemangat jadi serdadu KNIL. Seperti Dotulong, Jesajas Pongoh adalah salah satu legenda serdadu KNIL dengan bintang penghargaan seperti Milltaire Willems Orde.

Jika pemuda serdadu bawahan makin berminat menjadi tentara, maka para perwiranya yang masih terhubung erat dengan keluarga para kepala melanjutkan hidup sebagai orang terpandang. Pemerintah kolonial tentu sangat berterimakasih kepada para kepala distrik di Minahasa.


Tololiu Datulong pun akhirnya menjadi kepala distrik di Sonder. Dia pensiun pada 1861. Salah seorang keturunan Dotulong menjabat kepala distrik—atau Hukum Besar—bergelar mayor. Namanya Albertus Bernardus Waworuntu.

Sementara itu, perwira bawahannya, Kapten Benjamin Thomas Sigar alias Tawajlin Sigar, juga akhirnya jadi kepala distrik Langowan, daerah asalnya. Makamnya tidak jauh dari Gereja Sentrum (Patung Schwarz), Langowan. Ada pula keturunannya yang pernah jadi Hukum Besar atau kepala distrik di Langowan dengan gelar Mayor. Namanya Phillip Sigar.


* Abror Subhi 

https://tirto.id/jasa-dotulong-pasukan-tulungan-untuk-belanda-selama-perang-jawa-dK5D

No comments:

Post a Comment