10 July 2025

Pangeran Diponegoro Pahlawan nasional Indonesia Pangeran Diponegoro Jogjakarta lahir sebagai Bendara Raden Mas Mustahar; kemudian Bendara Raden Mas Antawirya 11 November 1785 – 8 Januari 1855 adalah seorang pangeran Jawa yang menentang pemerintahan kolonial Belanda. Putra sulung Hamengkubuwana III ini memegang peranan penting dalam Perang Jawa tahun 1825 hingga 1830. Setelah kalah dan tertangkap, ia diasingkan ke Makassar, dan meninggal di sana pada usia 69 tahun. Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian setelah dewasa menjadi Bendara Raden Mas Antawirya. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton. Sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam Babad Diponegoro dijelaskan bahwa semasa kecil Diponegoro diajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di Tegalrejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini. Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Diponegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, di mana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air. Disclaimer : gambar hanya ilustrasi Karena keterbatasan literasi sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi sejarah mohon untuk dikoreksi terimakasih. #sejarah #raja #budaya #sultan #yogyakarta #kerajaan #tokoh #nusantara #Diponegoro #pangeran #pahlawan #nasional

 Pangeran Diponegoro

Pahlawan nasional Indonesia



Pangeran Diponegoro Jogjakarta la

hir sebagai Bendara Raden Mas Mustahar; kemudian Bendara Raden Mas Antawirya 

11 November 1785 – 8 Januari 1855 


adalah seorang pangeran Jawa yang menentang pemerintahan kolonial Belanda. Putra sulung Hamengkubuwana III ini memegang peranan penting dalam Perang Jawa tahun 1825 hingga 1830. Setelah kalah dan tertangkap, ia diasingkan ke Makassar, dan meninggal di sana pada usia 69 tahun.


Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar Hamengkubuwana III. Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian setelah dewasa menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.


Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa. Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di Tegalrejo, berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, daripada tinggal di keraton. Sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam Babad Diponegoro dijelaskan bahwa semasa kecil Diponegoro diajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di Tegalrejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.


Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini. Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Diponegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, di mana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.


Disclaimer : gambar hanya ilustrasi 

Karena keterbatasan literasi sumber dan sejarah mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan deskripsi sejarah mohon untuk dikoreksi terimakasih. 


#sejarah #raja #budaya #sultan #yogyakarta #kerajaan #tokoh #nusantara #Diponegoro #pangeran #pahlawan #nasional

No comments:

Post a Comment