02 April 2014

Tentang Sejarah Magelang - Pa Van Der Steur

Pa Van Der Steur, Pahlawan Kemanusiaan Dari Magelang

resolve
Pa Van Der Steur.
(berbaju hitam, duduk)
10 November. Hari dimana pahlawan diagungkan di Indonesia. Tanggal istimewa yang dipilih karena simbol perlawanan semesta bangsa Indonesia melawan penjajah. Konon Pertempuran 10 November adalah salah satu pertempuran semesta di kurun waktu Perang Dunia yang terbesar di Asia Tenggara. Dimana seluruh penduduk kota tanpa pandang bulu memberikan perlawanan sampai titik darah penghabisan.
Tapi pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di garis depan, yang angkat senjata. Ada juga pahlawan yang bekerja dalam sunyi, bukan dengan senjata, tapi dengan kasih sayang tanpa batas. Pahlawan adalah juga mereka yang bekerja tulus tanpa gelar dan mungkin dilupakan begitu saja. Hanya segelintir yang mengingat jasanya, dan mungkin tahu namanya.
Johannes Van Der Steur namanya, lahir di Harleem, negeri Belanda pada 10 Juli 1865. Johannes atau kadangkala dipanggil Jan, tumbuh dengan jiwa berbagi yang besar sejak muda. Rasa berbaginya yang tinggi itulah yang kemudian membuat dirinya memilih jalan hidup sebagai misionaris dan kemudian berangkat bertugas di Hindia Belanda.
Awalnya Johannes tidak ada niatan ke Hindia Belanda, pertemuannya dengan eks serdadu Belanda di Hardewijk yang menceritakan kisah-kisah sengsara di Hindia Belanda membuatnya terpanggil. Johannes berangkat dari Belanda pada tanggal 10 September 1892 dan kemudian memilih Magelang sebagai tempat tugasnya yang pertama, kelak sampai akhir hidupnya nanti.
Johannes pertama bertugas sebagai pelayan serdadu kolonial. Tugasnya setiap harinya antara lain adalah membagikan kertas berisi pesan-pesan motivasi yang dikutip dari injil. Suatu ketika ada serdadu yang menunjukkan padanya bahwa ada empat anak-anak di sebuah kampung di Magelang yang didera kesusahan. Johannes kemudian datang dan trenyuh melihat kondisi anak-anak itu, tanpa pikir panjang Johannes langsung mengambil anak-anak itu untuk kemudian diasuhnya dengan harapan bisa mendapat kehidupan yang lebih baik.
Langkah Johannes tadi terbilang nekat, gajinya belum besar, tapi karena memang Johannes adalah orang yang sangat welas asih, jadilah dia membangunkan rumah sederhana bagi empat anak-anak tadi dan mencoba berbagai cara untuk menghidupi mereka. Oleh keempat anak asuhnya tadi, Johannes dipanggil “Pa” yang merupakan kependekan dari “Papa”. Akhirnya nama “Pa” inilah yang kemudian lebih dikenal untuk menyebut Johannes.
Anak asuh Pa kemudian makin bertambah banyak. Selain mereka yang kesusahan, anak asuh Pa juga adalah mereka anak-anak serdadu yang gugur di medan perang. Tanpa memilih suku bangsa, Pa mengasuh mereka, membangun sebuah panti asuhan yang kala itu jadi panti asuhan terbesar di Jawa. Mulai dari anak-anak Belanda, Indo, Ambon, Jawa, Manado. Pada 1942, ada 1100 anak asuh Pa Van Der Steur.
Pa tidak hanya mendirikan panti asuhan, Pa menginisiasi sekolah, anak-anak asuhnya dididik dengan pendidikan yang baik dengan harapan mereka bisa menjadi anak-anak yang terdidik dan cerdas. Panti asuhan Pa sangat luas, berhektar-hektar, lokasinya sekarang kira-kira di sekitar Mateseh, Kota Magelang. Untuk ukuran era kolonial, Panti Asuhan Pa tergolong sangat lengkap, tempat ibadah, kamar, gereja, lapangan, bahkan sampai arena hiburan. Namanya kemudian harum sebagai sebagai filantropis di Hindia Belanda dan Belanda.
Kisah Pa, berakhir dengan cukup sedih. Kedatangan Jepang membuat Pa dipenjara di Cimahi. Di usianya yang mulai sepuh, Pa merasakan kehidupan di penjara yang tidak manusiawi,. Beruntung ada Lutters, seorang anak asuh Pa yang juga dirawat di Cimahi, Lutters merawat Pa selama di penjara.
Begitu Jepang hengkang dari Indonesia, Pa dibebaskan dalam kondisi sakit-sakitan karena derita yang dialaminya di penjara. Kondisi ini makin memburuk dan pada akhirnya karena usia tuanya dan sakit yang mendera, Pa mangkat pada 10 September 1945, tak sampai sebulan setelah Indonesia merdeka. Pa dimakamkan di Kherkof Magelang, konon pada saat pemakamannya ribuan orang memenuhi jalanan Magelang untuk memberikan penghormatan pada Pa Van Der Steur. Mereka menganggap Pa adalah pahlawan, pahlawan kaum Papa.
pvds 11
Pusara Pa Van Der Steur,
Magelang 2013
Pa tidak diingat dalam sejarah, tapi Pa akan selalu diingat di hati para anak asuhnya dan warga Magelang. Pa tidak diakui sebagai pahlawan, mungkin karena dia Belanda atau bisa jadi karena Pa tidak turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Tapi lebih dari itu Pa adalah pahlawan yang memerdekakan banyak anak-anak dengan kasih sayang dan pendidikan yang layak.
Tempat pemakaman Pa sekarang adalah satu-satunya di kompleks Kherkof yang tersisa. Geliat pembangunan di tahun 1970-1980-an membuat Kherkof tergusur dan digantikan ruko-ruko, hanya menyisakan gapura dan secuil kompleks makam Pa Van Der Steur. Pa Van Der Steur jasanya dihargai tak lebih dari secuil ruang untuk makamnya.
Sementara itu bekas panti asuhannya pun seolah hilang. Berganti menjadi kantor Dinas Pendidikan. Kantor Penanaman Modal. Kantor Golkar, Perumahan, SD Magelang III dan kantor Badan Pertanahan. Sementara mungkin bekas bangunan Pa yang masih bertahan sejak era Panti Asuan adalah Gereja Bethel dan Bangunan Panti Asuhan Mayu Dharma Putra. Nyaris tidak ada kenangan dari jasa-jasa Pa kecuali di hati para anak asuh dan keturunannya.
Itulah sekilas tentang Pa Van Der Steur, seorang dari Harleem yang atas nama kemanusiaan mengabdi di Magelang sampai akhir hidupnya. Pa berjuang dengan kemanusiaan, senjatanya adalah kasih sayang dan pendidikan. Mungkin Pa akan terlupa, tapi tidak bagi mereka yang mengenangnya seperti kata – kata yang tertulispada pusaranya.
“Niet mijn naam, maar mijn werk zij gedacht”
Jangan kenang nama saya tetapi kenanglah pikiran dan kerja saya
Tabik.
pvds 12
pvds4
pvds3
Referensi :
A History of Christianity in Indonesia, Jan S Aritonang. 2008

Bagikan:

No comments:

Post a Comment